Anda di halaman 1dari 8

TUGAS (2)

Nama : Alimas Rif’atun Khonsya


Nim : 11000121120094
Kelas :B
Fakultas/Jurusan : Hukum
Mata Kuliah : Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dosen Pengampu : Dr. Elfia Farida, S.H., M.Hum.

RESUME

UU 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

Reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yaitu


kehidupan yang didasarkan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, menciptakan keadilan, dan kepastian hukum bagi
seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek


Maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga mutlak diperlukan
reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan
negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka serta bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai
dengan peningkatan mutu aparatur Penyelenggara Negara dan pemerintahan dan penegakan asas-
asas pemerintahan umum yang baik. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya
meningkatkan pelayanan publik dan penegakan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas
eksternal yang secara efektif mampu mengontrol tugas Penyelenggara Negara dan pemerintahan.

Pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam implementasinya ternyata
tidak memenuhi harapan masyarakat, baik dari sisi obyektifitas maupun akuntabilitasnya. Dari
kondisi di atas, pada Tahun 2000, Presiden berupaya untuk mewujudkan reformasi
penyelenggaraan negara dan pemerintahan dengan membentuk Komisi Ombudsman Nasional
melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Komisi Ombudsman Nasional bertujuan
membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan
pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme serta meningkatkan perlindungan hak masyarakat agar
memperoleh pelayanan publik, keadilan, dan kesejahteraan.

Untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, perlu
dibentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang
lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya
Ombudsman dengan undang-undang.
Sebelum ada Komisi Ombudsman Nasional pengaduan pelayanan publik hanya disampaikan
kepada instansi yang dilaporkan dan penanganannya sering dilakukan oleh pejabat yang
dilaporkan sehingga masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Selain itu, untuk
menyelesaikan pengaduan pelayan publik, selama ini dilakukan dengan mengajukan gugatan
melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan tersebut memerlukan waktu cukup lama dan
biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, diperlukan lembaga tersendiri yakni Ombudsman Republik
Indonesia yang dapat menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak
memungut biaya. Ombudsman Republik Indonesia tersebut merupakan lembaga negara yang
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.

Dalam Undang-Undang ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud Ombudsman Republik Indonesia
adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum
Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh swasta atau
perseorangan tersebut, antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan
berdasarkan kontrak yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.

Dalam Undang-Undang ini ditentukan mengenai pedoman Ombudsman dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya dengan mendasarkan beberapa asas yakni kepatutan, keadilan, non-
diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai tugas Ombudsman, antara lain memeriksa Laporan atas
dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maladministrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara
Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi
masyarakat dan orang perseorangan.

Dalam pelaksanaan tugas memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip
independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya serta wajib
mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak dan mempermudah Pelapor. Dengan
demikian Ombudsman dalam memeriksa Laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang
bersifat memaksa, misalnya pemanggilan, namun Ombudsman dituntut untuk mengutamakan
pendekatan persuasif kepada para pihak agar Penyelenggara Negara dan pemerintahan mempunyai
kesadaran sendiri dapat menyelesaikan Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua
Laporan harus diselesaikan melalui mekanisme Rekomendasi. Hal ini yang membedakan
Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan Laporan.
Dalam melakukan pemeriksaan atas Laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat memanggil
Terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila Terlapor dan saksi telah dipanggil tiga
kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta
bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara
paksa (subpoena power).

Dalam Undang-Undang ini ditentukan pula bahwa Ombudsman menyampaikan laporan berkala
dan laporan tahunan, atau dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden yang dapat dijadikan bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk
mengambil kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik.

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman di daerah, jika dipandang
perlu Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang mempunyai hubungan hierarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh
seorang kepala perwakilan.

Untuk menegakkan Undang-Undang ini diatur mengenai pemberian sanksi administratif dan
pidana. Sanksi administrastif diberlakukan bagi Terlapor dan atasan Terlapor yang tidak
melaksanakan Rekomendasi Ombudsman, sedangkan sanksi pidana diberlakukan bagi setiap
orang yang menghalangi Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kedudukan saksi merupakan salah
satu alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP, dan sesuai ketentuan Pasal 1 KUHAP,
saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang Ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri. Namun di sisi lain, KUHAP belum mengatur mengenai aspek perlindungan bagi saksi.
Adapun pengaturan mengenai perlindungan saksi ditemukan dalam UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UUPSK”), sesuai ketentuan Pasal 4 UUPSK,
perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Kedudukan korban tidak
secara eksplisit diatur dalam KUHAP, kecuali terhadap korban yang juga berkedudukan sebagai
saksi, sehingga ketentuan dan jaminan perlindungan diberikan kepada korban yang juga menjadi
saksi dalam setiap proses peradilan pidana. Sementara itu, UUPSK mengatur perlindungan
terhadap saksi dan/atau korban, baik itu terhadap korban yang juga menjadi saksi, korban yang
tidak menjadi saksi dan juga anggota keluarganya. Sehingga, jaminan perlindungan terhadap
korban tindak pidana dan terutama terhadap korban pelanggaran HAM berat diatur sesuai
ketentuan UUPSK serta peraturan pelaksana lainnya seperti PP No. 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban. Sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa “keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan padanya,
melainkan harus disertai alat bukti yang sah.” Berdasarkan Pasal 189 ayat (4) KUHAP tersebut
di atas maka keterangan saksi harus dilandasi pada semangat untuk mengungkap kebenaran
materiil dalam setiap proses peradilan pidana. Dengan demikian, dalam proses pemeriksaan
diungkap perbuatan nyata yang dilakukan terdakwa (actus reus) dan derajat kesalahan terdakwa
(mens rea/guilty mind). Pengungkapan actus reus di dalam proses persidangan juga penting dalam
pembentukan keyakinan majelis hakim. Tentunya keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah
merupakan elemen penting dalam proses peradilan pidana yang membantu majelis mengungkap
kebenaran materiil. Perlindungan terhadap saksi, karena itu menjadi hal yang penting, mengingat
saksi selama ini seringkali mendapatkan intimidasi maupun tekanan dari berbagai pihak. Jaminan
pemberian perlindungan ini untuk memberikan jaminan terhadap saksi untuk mengungkap fakta
sebenarnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Perlindungan anak menurut definisi undang-undang yang berlaku adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi(pasal 1 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).

Bahasan mengenai perlindungan anak sendiri hadir setelah para pemimpin-pemimpin dunia di
sidang umum PBB menandatangani Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989. Konvensi
tersebut hadir atas pertimbangan melihat anak-anak sebagai individu yang merdeka yang memiliki
hak dan kewajibannya sendiri namun tetap memerlukan perlindungan dan perawatan khusus dari
negara dan orang di sekitarnya.

Konvensi Hak Anak kemudian diratifikasi menjadi hukum positif di Indonesia dengan keluarnya
aturan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights
Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Seiring berjalannya waktu, aturan mengenai
perlindungan terhadap anak telah sampai menjadi UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 dengan menambahkan beberapa
pasal tambahan .

Hak perlindungan anak antara lain adalah hak yang dimiliki oleh anak untuk mendapat
perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskiriminasi yang dijamin oleh negara sehingga
anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan.

Dalam Konvensi Hak Anak PBB, tertuang 5 klaster subtansi yang menjadi acuan aturan di
Indonesia, yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif,
kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan, hingga perlindungan khusus.

Keluarga, masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi
hak-hak anak. Hal ini tentu dipertegas dengan adanya penjatuhan sanksi pidana dan denda bagi
siapapun yang melanggar hak-hak anak yang telah tertuang di aturan.

Undang-undang Perlindungan Anak adalah sekelompok aturan yang menjamin pemenuhan hak-
hak anak dan memberikan perlindungan kepada anak untuk menuntut hak tersebut.
Di Indonesia sendiri, yang menjadi acuan adalah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. Undang-undang ini menjadi
payung hukum untuk setiap anak dalam memperoleh hak dan perlindungan terhadap haknya.

Hak anak tertuang dalam pasal 4 hingga pasal 18 dalam UU Perlindungan Anak(UU PA) di
Indonesia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa UU PA ini merupakan adopsi dari Konvensi
Hak Anak PBB yang memiliki 5 klaster bahasan utama.

Misalnya untuk klaster hak sipil dan kebebasan, di UU PA kemudian mengatur bahwa setiap anak
berhak memiliki status kewarganegaraan, berhak untuk beribadah, dan berhak untuk berekspresi
sesuai tingkat kecerdasan dan usianya.

Adapun selanjutnya, pada klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, pada undang-
undang mengatur setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri. Namun jika dalam suatu
kondisi orang tua si anak tidak dapat menjamin kesejahteraan anaknya, sang anak berhak diangkat
oleh orang tua asuh.

Pada klaster kesehatan dan kesejahteraan, setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan
hingga jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya.

Di klaster bahasan mengenai pendidikan, setiap anak berhak mengenyam bangku pendidikan dan
memperoleh pengajaran sesuai dengan minat dan bakat si anak.

Adapun untuk klaster perlindungan khusus mengatur hak anak yang menjadi korban atau pelaku
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum maupun bantuan lainnya.

Sebagaimana yang kita tahu bahwa hak senantiasa beriringan dengan kewajiban. Adapun setelah
diterangkan sebelumnya mengenai hak-hak anak, UU Perlindungan Anak juga mengatur
kewajiban yang menyertai setiap anak di Indonesia.

Setiap anak memiliki kewajiban untuk menghormati orang tua dan guru, mencintai keluarga dan
masyarakat, pun juga mencintai tanah air, bangsa, dan negaranya.

Dengan diberikannya hak untuk beribadah sebebas-bebasnya, maka wajar kiranya setiap anak
berkewajiban menunaikan ibadahnya dengan khusyuk. Atas semua kewajiban inilah, diharapkan
anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang bermoral dan memiliki akhlak yang mulia.

Peraturan Presiden tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Instrumen Pancasila Keppres No. 181 Tahun 1998 mengatur tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Keputusan presiden ini telah dicabut dan diganti dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Secara garis besar, Keppres No. 181 Tahun 1998 membahas sejumlah upaya yang
dilakukan untuk mencegah dan menghapus terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Upaya tersebut dilaksanakan lewat pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang bersifat independen.
Berdasarkan Pasal 2 Keppres Nomor 181 Tahun 1998, dituliskan bahwa Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Pancasila. Tujuan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan memiliki tiga tujuan, sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 4. Apa sajakah itu? Penyebarluasan pemahaman mengenai segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Peningkatan upaya
pencegahan serta penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan
HAM perempuan. Kegiatan yang dilakukan Komnas Perempuan Guna mewujudkan tujuannya,
Komnas Perempuan melakukan lima kegiatan utama, yaitu: Menyebarluaskan pemahaman beserta
upaya pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Mengkaji dan meneliti berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
perlindungan HAM perempuan, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
menyampaikan saran serta pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif,dan masyarakat,
terkait upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Memantau dan meneliti, termasuk mencari fakta mengenai segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan, memberi pendapat, saran, serta pertimbangan kepada pemerintah. Menyebarluaskan
hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan, kepada
masyarakat. Melaksanakan kerja sama regional dan internasional untuk meningkatkan upaya
pencegahan serta penanggulangan kekerasan, guna mewujudkan penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Baca juga: Isi UU Nomor 26 Tahun 2000 Hal-hal lain yang
dibahas dalam Keppres Nomor 181 Tahun 1998 Selain tujuan dan kegiatan Komnas Perempuan,
Keppres Nomor 181 Tahun 1998 juga membahas beberapa hal lain, seperti: Susunan organisasi
dan keanggotaan Terdiri atas Komisi Paripurna dan Badan Pekerja. Pembiayaan terkait kebutuhan
sarana dan prasarana, serta pelaksanaan program Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan.
UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Mengakui bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang dan disabilitas
merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap serta
lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat
berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Lampiran UU 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
CRPD, terjemahan Pembukaan CRPD huruf (e). Dapat kita pahami juga dari paradigma yang
berubah karena dulu menggunakan istilah Penyandang Cacat, kemungkinan penggunaan istilah
Penyandang Disabilitas nanti juga bisa berganti dengan penyebutan lain yang berbeda, atau
memiliki istilah lain yang diakui dan lebih disenangi masyarakat. Namun dalam UU 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas


disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 April 2016. Agar seantero negara Indonesia
mengetahuinya, UU 6 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diundangkan dan ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69 dan Penjelasan Atas UU 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly
pada hari itu juga tanggal 15 April 2016 di Jakarta.

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat
universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, sehingga Pelindungan dan hak asasi
manusia terhadap kelompok rentan, khususnya Penyandang Disabilitas.

Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban


negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak Penyandang
Disabilitas. Penyandang Disabilitas selama ini mengalami banyak Diskriminasi yang berakibat
belum terpenuhinya pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

Selama ini, pengaturan mengenai Penyandang Disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, tetapi pengaturan ini belum berperspektif hak asasi
manusia. Materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
lebih bersifat belas kasihan (charity based) dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas masih
dinilai sebagai masalah sosial yang kebijakan Pemenuhan haknya baru bersifat jaminan sosial,
rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Penyandang Disabilitas
seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya melalui
kemandirian sebagai manusia yang bermartabat.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on


the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) tanggal 10
November 2011 menunjukkan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang Disabilitas. Dengan demikian,
Penyandang Disabilitas berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan
semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan Penghormatan atas integritas mental dan fisiknya
berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan
Pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Oleh
karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi,
melalui penyesuaian peraturan perundang- undangan, termasuk menjamin Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan,
politik dan pemerintahan, kebudayaan dan kepariwisataan, serta pemanfaatan teknologi, informasi,
dan komunikasi.

Jangkauan pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Pemenuhan Kesamaan Kesempatan


terhadap Penyandang Disabilitas dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat,
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan
Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak. Pengaturan pelaksanaan dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas
yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu, pelaksanaan
dan Pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran
dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.

Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak
Penyandang Disabilitas, pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas, koordinasi, Komisi Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja sama
internasional, dan penghargaan.

Anda mungkin juga menyukai