DISUSUN OLEH:
NIM 1802010147
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM SYEKH YUSUF
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku. Dalam negara hukum, hukum
ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan, sementara tujuan negara hukum itu sendiri adalah terciptanya kegiatan
kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan
kemanfaatan atau kebermaknaan. Seiring dengan perkembangan zaman, Indonesia juga mulai
berkembang menjadi Negara hukum materiil atau welfare state dimana semua kegiatan dari
segala aspek ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Welfare state menuntut adanya peran aktif
birokrasi untuk mengatur peran warga negaranya. Kewenangan birokrasi yang demikian luasnya
mengakibatkan timbulnya perbuatan tercela dalam birokrasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga
negara, karena secara sadar atau tidak sadar warga negara pada umumnya selalu berhubungan
dengan aktifitas birokrasi pemerintahan. Karena itulah diperlukan suatu pengawasan yang
disertai sanksi bagi aparatur penyelenggara pemerintahan (birokrasi) apabila melakukan suatu
pelanggaran terhadap tugas atau kewenangannya, sehingga dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat para aparatur penyelenggara pemerintahan dapat memberikan pelayanan
dengan sebaik-baiknya.
Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka
kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara
hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan
penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya
menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance).
2
Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan
peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas
pemerintahan umum yang baik. Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi
itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan
sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan
membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu
diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman
Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan Keputusan Presiden
No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman
bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam
melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta
masyarakat.
PEMBAHASAN
Ombudsman adalah institusionalisasi dari hak-hak sipil (hak-hak hukum) yang dimiliki
oleh setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari institusi pemerintah.
Dengan demikian, Ombudsman adalah lembaga yang memperjuangkan hak-hak sipil warga
negara dalam berhubungan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab untuk
merealisasikan hak-hak warga negara tersebut. Fungsi ombudsman pada dasarnya adalah fungsi
mediasi antara pihak pelapor (anggota masyarakat) dan terlapor (aparatur negara dan aparatur
pemerintah). Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka setiap institusi pemerintah harus
mempunyai prosedur dan alur administratif pelayanan publik dan aturan tingkah laku (code of
conduct) aparatur negara di lingkungan pekerjaan masing-masing.
Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret
2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 bertujuan meningkatkan pelayanan
dan perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat. Saat ini telah
dicabut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Dengan demikian nama Komisi Ombudsman Nasional juga
berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Ombudsman Indonesia dapat disebut
sebagai lembaga negara yang berbentuk badan hukum publik, karena Ombudsman dibentuk oleh
kekuasaan umum dan dimaksudkan untuk menyelenggarakan kegiatan yang mempunyai tujuan
untuk kepentingan umum. Ombudsman perperan sebagai perantara/ penghubung aspirasi dan
keluhan dari masyarakat.
Mengenai Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia tercantum dalam Pasal
7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi :
a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain
yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi
mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Pasal 8 ayat (2), selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang:
Sistem penegakkan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai dengan substansi
hukum serta prilaku nyata manusia Jika hakikat penegakkan itu mewujudkan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah (substansi yang memuat keadilan dan kebenaran), maka penegakan hukum bukan
hanya menjadi tugas dari penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi
menjadi tugas setiap orang.
Menurut J.B.J.M, ten Berge, “tugas penegakan hukum tidak hanya diletakkan di pundak
polisi. Penegakkan hukum merupakan tugas dari semua subjek hukum dalam masyarakat.
Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik, pihak pemerintahlah yang paling
bertanggung jawab melakukan penegakan hukum J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa
aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam penegakan hukum, yaitu:
a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi;
b. Ketentuan perkecualian harus dibatasai secara minimal;
c. Peraturan harus banyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara obyektif dapat
ditentukan;
d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh meraka yang terkena peraturan itu dan mereka
yang dibebani dengan (tugas) penegakan (hukum).
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat penegak hukum Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya
hukum itu, dimulai dari polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas-petugas sipir
pemasyarakatan.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu:
1) Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya;
2) Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan
3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Pasal 1 angka (1) dan Pasal 6 ayat (1) huruf (b) UU N.o 8/1981 tentang Hukum Acara
Pidana’ Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pegawai negeri sipil yang oleh undang-
undang diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 angka 11 UU No.
2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah
pejabat pegawai negeri tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku
penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka (2)
huruf(b) UU No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain PPNS adalah pegawai
negeri sipil yang diberi jabatan, dan dengan jabatan tersebut ia memiliki kewenangan untuk
melakukan tugas penyidikan, dan mengemban fungsi sebagai penegak hukum.
PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia atas usul departemen
yang membawahi pegawai negeri tersebut, setelah mendapatkan pertimbangan dari Jaksa Agung
dan Kepala Kepolisian RI Untuk dapat diangkat menjadi PPNS, pegawai negeri sipil harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil paling sedikit 2 (dua) tahun
2. Pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b)
3. Berijazah paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas
4. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum
5. Telah mengikuti pendidikan dn pelatihan khusus di bidang penyidikan
6. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam daftar penilaian pelaksanaan
pekerjaan (DP3) pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun
terakhir berturut-turut
7. Sehat jasmani dan jiwa yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dari rumah sakit
pemerintah atau rumah sakit swasta
8. Mendapat pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI.
Wewenang PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan pejabat kepolisian; Apabila undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya tidak mengatur secara tegas kewenangan yang diberikan, maka PPNS karena
kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
e. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
f. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara
g. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjut nya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,
tersangka atau keluarganya
h. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain
wewenang sebagaimana tersebut di atas, PPNS mengemban fungsi kepolisian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Pejabat PPNS diberhentikan dari jabatannya, karena:
Berhenti sebagai pegawai negeri sipil
Atas permintaan sendiri
Melanggar disiplin kepegawaian atau terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Tidak bertugas lagi di bidang teknik operasional penegakan hukum
Meninggal dunia
Pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Usul pemberhentian pejabat PPNS diajukan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang membawahi pegawai
negeri sipil yang bersangkutan kepada Menteri Hukum dan HAM RI. dengan memuat
alasan pemberhentian.
1. Jors Stein, pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolaan untuk mencapai hasil
dan tujuan.
2. Hendri fayon dan Muhsan, pengawasan adalah tolok ukur untuk mencapai tujuan.
3. Jost Teri, Hanri, dan Muhsan, pengawasan adalah kegiatan mencocokan antara hasil
dan tujuan.
4. Bagir Manan dan Paulus Efendi, pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekeliruan dan menunjukan cara dan tujuan yang benar.
5. Philips giding, nilai pengawasan terletak pada materi korektif pemerintah terhadap
kekeliruan yang telah dilangkahi.
A. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap
badan/ organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan atas: Kontrol intern berarti bahwa
pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organisatoris/ struktural masih
termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. kontrol ekstern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar
pemerintah.
Pengawasan Intern Pengawasan atau kontrol intern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang
bersangkutan. Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara
pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control). Pengawasan
intern dapat dibedakan antara:
a) Pengawasan intern dalam arti sempit; dimana antara pejabat yang diawasi itu dengan
aparat pengawas sama-sama bernaung dalam satu lembaga. Contoh: Insperktorat Jenderal
(Irjen) Departemen Dalam Negeri dan Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) Wilayah
Provinsi/ Kabupaten/Kota, masing-masing bernaung dalam DEPDAGRI. Pengawasan
intern dalam arti sempit ini dapat dilihat sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
komponen-komponen eksekutif sendiri demi mendukung dan mengamankan tanggung
jawab pimpinan.
b) Pengawasan intern dalam arti luas. pengawasan ini pada hakikatnya sama dengan
pengawasan intern dalam arti sempit. Perbedaannya hanya terletak pada adanya korelasi
langsung antara pengawas dan pejabat yang diawasi, artinya pengawas yang melakukan
pengawasan tidak bernaung dalam satu Departemen/Lembaga Negara, tetapi masih
berada dalam satu kelompok eksekutif, dalam arti aparat pengawas tersebut diangkat dan
bertanggung jawab kepada pimpinan eksekutif. Aparat yang melakukan pengawasan
dalam arti luas adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang
ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan yang tidak mempunyai
hubungan kedinasan dengan unit organisasi yang diawasi Pengawas tidak tunduk
terhadap pimpinan organisasi/unit kerja yang diawasinya. Oleh karenanya
obyektivitas pemeriksaan dapat dipertahankan Pengawasan intern dilakukan bukan
untuk kepentingan unit organisasi yang diawasi, tetapi untuk kepentingan masyarakat
atau organisasi lain yang diwakilinya dalam bidang pengawasan Contoh pengawasan
ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap penguasaan dan pengurusan keuangan negara oleh pemerintah.
B. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya, pengawasan atau kontrol dibedakan atas:
Kontrol a-priori terjadi bila pengawasan dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan
atau ketetapan pemerintah. Kontrol a-posteriori terjadi bila pengawasan itu baru
dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah .
Pengawasan a-priori adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun sebelum dilaksanakan nya suatu
kegiatan. Oleh karena itu, pengawasan ini dapat pula dikatakan sebagai pengawasan
preventif. Pengawasan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan ataupun dalam penerbitan keputusan atau
ketetapan oleh pemerintah.
Pengawasan a-priori biasanya berbentuk prosedur-prosedur ataupun persyaratan-
persyaratan yang harus ditempuh ataupun dipenuhi sebelum suatu keputusan atau
ketetapan dikeluarkan, ataupun suatu tindakan dilaksanakan oleh pemerintah.
Prosedur-prosedur atau syarat-syarat mana telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan keputusan atau ketetapan
ataupun tindakan pemerintah.
Pengawasan a-posteriori adalah pengawasan yang dilakukan sesudah
dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun setelah kegiatan
dilakukan. Dalam hal keputusan atau ketetapan pemerintah, maka pengawasan jenis
ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan keputusan atau ketetapan
tersebut, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan tujuan atau maksud
diterbitkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam hal kegiatan pemerintah,
lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, dengan pengawasan represif
dimaksudkan untuk mengetahui apkah kegiatan dan pembiayaan yang telah dilakukan
itu telah mengikuti kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
C. Ditinjau dari segi objek yang diawasi yang terdiri dari Kontrol dari segi hukum
(rechtmatigheid) dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat
hukumnya saja (segi legalitas), yaitu segi rechtmatigheid dari perbuatan pemerintah
Kontrol dari segi kemanfaatan (doelmatigheid) dimaksudkan untuk menilai benar
tidaknya perbuatan pemerintah itu dari segi atau pertimbangan kemanfaatannya.
Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan
mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan atau menyatakan tidak
berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap
peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga
dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si
pelanggar.
Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam HAN
terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada
asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap
benar menurut hukum. Oleh karena itu, Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan
itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di
pengadilan.
Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara
yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara
sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.
Sebab-sebab Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi melingkupi
jika, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Jika yang
berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi, atau
pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga
apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya
penolakan izin.
N.E. Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya, bahwa
uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang
harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu
yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran
bunga.
Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.
d. Pengenaan Denda Administratif
Pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan
denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk
mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari
sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang
pasti. Dalam pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum
administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Denda administratif dapat dilihat contohnya pada benda fiskal yang ditarik oleh inspektur
pajak dengan fiskal yang ditarik oleh inspektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dan
ketentuan semula sebagai akibat dari kesalahannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 bertujuan meningkatkan pelayanan dan
perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat. Dan telah dicabut
dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN,
BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau
APBD.
Penegakan hukum dalam hukum administrasi Negara dilakukan dengan dua cara :
1. Pengawasan bahwa organ pemerintah dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan
peraturan dan perundang-undangan tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang
meletakkan kewajiban kepada individu.
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.
Macam-macam sanksi dalam hukum administrasi Negara :
1) Paksaan pemerintah (berstuursdwang)
2) Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan
3) Pengenaan uang paksa
4) pengenaan denda administrasi.
B. SARAN
Sebaiknya Ombudsman lebih giat lagi dalam mengadakan sosialisasi kepada masyarakat,
Karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang
keberadaan Ombudsman. Sosialisasi dapat juga dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah
tayang dan waktu tayang Iklan layanan masyarakat di media surat kabar dan radio, serta
menambahkan media televisi dan website sebagai penyedia jasa iklan layanan masyarakat
Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, dilakukan percepatan perwakilan Ombudsman di
daerah-daerah serta memperluas kewenangan Ombudsman Republik Indonesia, dalam hal:
Antonius Sujata, dkk.2002. Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang Dan Masa
Mendatang. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
HR, Ridwan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hallim, Ridwan. 1987. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
www.hukumonline.com
http://medizton.wordpress.com/2010/04/14/pengawasan-penegakan-dan-sanksi-han/