Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

DISUSUN OLEH:

NAMA : AFFAN BUSANTA

NIM 1802010147

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM SYEKH YUSUF
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku. Dalam negara hukum, hukum
ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan, sementara tujuan negara hukum itu sendiri adalah terciptanya kegiatan
kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan
kemanfaatan atau kebermaknaan. Seiring dengan perkembangan zaman, Indonesia juga mulai
berkembang menjadi Negara hukum materiil atau welfare state dimana semua kegiatan dari
segala aspek ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Welfare state menuntut adanya peran aktif
birokrasi untuk mengatur peran warga negaranya. Kewenangan birokrasi yang demikian luasnya
mengakibatkan timbulnya perbuatan tercela dalam birokrasi.

Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga
negara, karena secara sadar atau tidak sadar warga negara pada umumnya selalu berhubungan
dengan aktifitas birokrasi pemerintahan. Karena itulah diperlukan suatu pengawasan yang
disertai sanksi bagi aparatur penyelenggara pemerintahan (birokrasi) apabila melakukan suatu
pelanggaran terhadap tugas atau kewenangannya, sehingga dalam memberikan pelayanan
terhadap masyarakat para aparatur penyelenggara pemerintahan dapat memberikan pelayanan
dengan sebaik-baiknya.

Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka
kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara
hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan
penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya
menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance).

2
Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan
peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas
pemerintahan umum yang baik. Setalah reformasi bergulir, reformasi mengamanatkan perubahan
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, yaitu kehidupan yang didasarkan pada
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan semangat reformasi
itu, pemerintah melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan
sistem pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan yang dimaksud antara lain dengan
membentuk lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Salah satu
diantaranya adalah Komisi Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut Ombudsman
Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000, berdasarkan Keputusan Presiden
No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman
bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam
melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta
masyarakat.

Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang komisi


Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia
sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan
pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya
memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang.

Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2008 yaitu terbentuknya Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia selanjutnya disebut
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau
perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD.

Pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam


mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan
pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk
memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga,
partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana
yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat dilaksanakan secara optimal.

Dengan adanya lembaga Ombudsman ini, masyarakat diharapkan berperan secara


partisipatif dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, di samping adanya
pengawasan internal oleh inspektorat dan atasan langsung, pengawasan eksternal oleh
Ombudsman RI, pengawasan fungsional oleh BPKP dan BPK serta melibatkan DPR dan DPRD.
Pengawasan tersebut di antaranya meliputi tindakan-tindakan maladministrasi yang masih terjadi
dalam pelayanan publik yang sangat meresahkan masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman dalam mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik ?
2. Bagaimana peran ombudsman dalam menangani tindakan maladministrasi oleh aparatur
penyelenggara negara ?
3. Bagaimana mekanisme penegakkan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dalam hukum administrasi negara ?
4. Apa saja sanksi yang diterapkan dalam hukum administrasi negara ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang Ombudsman dalam Mengawasi Penyelenggaraan


Pelayanan Publik

Ombudsman Indonesia muncul ditandai dengan adanya landasan yuridis berupa


Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi
Ombudsman Nasional. Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional dengan dasar hukum berupa
Keppres tidaklah kuat. Banyak pihak yang menganggap keberadaan Komisi Ombudsman
Nasional tidak efektif bila diterapkan di Indonesia. Namun dalam prakteknya, setelah Komisi
Ombudsman Nasional dibentuk, masyarakat mulai menyampaikan keluhan-keluhan dan
pengaduan lainnya mengenai sikap tindak para penyelenggara negara dan penyelenggara
pemerintahan yang tidak memberikan pelayanan publik yang baik. Untuk itu, perlu adanya dasar
hukum yang lebih kuat bagi Komisi Ombudsman Nasional, agar keberadaan dan tanggung
jawabnya dapat dilaksanakan dengan lancar.

Ombudsman adalah institusionalisasi dari hak-hak sipil (hak-hak hukum) yang dimiliki
oleh setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari institusi pemerintah.
Dengan demikian, Ombudsman adalah lembaga yang memperjuangkan hak-hak sipil warga
negara dalam berhubungan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab untuk
merealisasikan hak-hak warga negara tersebut. Fungsi ombudsman pada dasarnya adalah fungsi
mediasi antara pihak pelapor (anggota masyarakat) dan terlapor (aparatur negara dan aparatur
pemerintah). Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka setiap institusi pemerintah harus
mempunyai prosedur dan alur administratif pelayanan publik dan aturan tingkah laku (code of
conduct) aparatur negara di lingkungan pekerjaan masing-masing.

Ombudsman dikenal sebagai lembaga independen yang menerima dan menyelidiki


keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration)
publik. Dalam hal ini meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil
(inap-propriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan
(irregular/illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), keterlambatan yang tidak
perlu (undue-delay), atau pelanggaran kepatutan (equity). Tetapi sesungguhnya Ombudsman
tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat kasus demi kasus, namun
yang utama adalah mengambil inisiatif untuk mengkhususkan perbaikan administratif atau
sistemik dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan masyarakat.

Fungsi Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia tidaklah jauh dengan Ombudsman di


banyak negara, yaitu (1) mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh
pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, menyelenggarakan peradilan yang adil, tidak
memihak dan jujur, (2) meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan
publik, keadilan dan kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan
tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue
delay), serta diskresi yang tidak layak.

Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret
2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 bertujuan meningkatkan pelayanan
dan perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat. Saat ini telah
dicabut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Dengan demikian nama Komisi Ombudsman Nasional juga
berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Ombudsman Indonesia dapat disebut
sebagai lembaga negara yang berbentuk badan hukum publik, karena Ombudsman dibentuk oleh
kekuasaan umum dan dimaksudkan untuk menyelenggarakan kegiatan yang mempunyai tujuan
untuk kepentingan umum. Ombudsman perperan sebagai perantara/ penghubung aspirasi dan
keluhan dari masyarakat.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik


Indonesia memberi definisi tentang Ombudsman Republik Indonesia yaitu lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara
serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Komisi Ombudsman Nasional
dibentuk dengan pertimbangan bahwa : Pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka
untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih,
transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik


Indonesia menyebutkan Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak
memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Pasal
3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
menyebutkan Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan kepatutan,
keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan dan
kerahasiaan.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik


Indonesia menyebutkan Ombudsman bertujuan:

1. mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;


2. mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur,
terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
3. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan
penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
4. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan
praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
5. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi
hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

Mengenai Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia tercantum dalam Pasal
7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,
yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi :

Pasal 7, Ombudsman bertugas:

a. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan


publik
b. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik;
e. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. membangun jaringan kerja;
g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
dan
h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Pasal 8 ayat (1), Ombudsman berwenang :

a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain
yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi
mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.

Pasal 8 ayat (2), selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang:

a) menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara


Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur
pelayanan publik;
b) menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah
Maladministrasi.

Mengenai rekomendasi Ombudsman, Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan


saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk
dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan
administrasi pemerintahan yang baik. Ombudsman menerima Laporan dan memberikan
Rekomendasi apabila ditemukan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Rekomendasi disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua
Ombudsman. Menurut Pasal 37 ayat (2) Rekomendasi memuat sekurang-kurangnya:

1. uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;


2. uraian tentang hasil pemeriksaan;
3. bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan
4. kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan
Terlapor dan atasan Terlapor.

Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman. Walaupun


demikian, sebenarnya rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia tidak mempunyai
kekuatan hukum (non legally binding), tetapi bersifat morally binding. Rekomendasi yang
bersifat morally binding pada dasarnya mecoba menempatkan manusia pada martabat mulia
sehingga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu seorang pejabat publik tidak
harus diancam dengan sanksi hukum, melainkan melalui kesadaran moral yang tumbuh dari
lubuk hati.

Apabila dipandang perlu, Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di


daerah provinsi atau kabupaten/kota. Perwakilan Ombudsman mempunyai hubungan hierarkis
dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Kepala perwakilan dibantu
oleh asisten Ombudsman. Ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang Ombudsman secara
mutatis mutandis berlaku bagi perwakilan Ombudsman. Saat ini telah ada beberapa perwakilan
Ombudsman di daerah antara lain di wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, wilayah Sumatra
Utara dan NAD, wilayah NTT dan NTB, dan Wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo.

2.2 Peran Ombudsman dalam Menangani Tindakan Maladministrasi oleh Aparatur


Penyelenggara Negara

Lembaga Ombudsman mempunyai peran yang sangat penting dalam menangani


maladministrasi. Peran tersebut dapat dilihat dari fungsi lembaga Ombudsman yang dijalankan
melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, Pasal 7 UU Ombudsman. Dalam kamus ilmiah populer
maladminstrasi artinya administrasi yang buruk atau pemerintahan yang buruk. Soenaryati
Hartono mengartikan maladministrasi dengan perilaku yang tidak wajar, kurang sopan dan tidak
peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang disebabkan penggunaan kekuasaan secara
semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil,
intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan
undang-undang atau fakta tidak termasuk akal, atau berdasarkan tindakan unreasonable, unjust,
oppresive, dan diskriminasi.
Menurut Sadjijono maladministrasi adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh
penyelenggara administrasi negara (pejabat pemerintahan) dalam proses pemberian pelayanan
umum yang menyimpang dan bertentangan dengan kaidah atau norma hukum yang berlaku atau
melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de povoir) yang atas tindakan tersebut
menimbulkan kerugian dan ketidak adilan bagi masyarakat.
Kategori maladministrasi bahwa tindakan hukum dimaksud bertentangan dengan kaidah
atau norma dalam menjalankan pemerintahan termasuk norma hukum, sehingga menurut
Soenaryati Hartono tindakan atas perilaku maladministrasi bukan sekedar merupakan
penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat penegak
hukum, tetapi juga dapat merupakan perbuatan hukum.
Kartini Istikomah dalam penjelasannya di Kantor Pusat Ombudsman di Jakarta pada
tanggal 13 Nopember 2013 mengatakan bahwa Ombudsman RI memberikan indikator bentuk-
bentuk maladministrasi antara lain:
1. Penundaan atas Pelayanan (Berlarut larut)
2. Tidak Menangani
3. Melalaikan Kewajiban
4. Persekongkolan
5. Kolusi dan Nepotisme
6. Bertindak Tidak Adil
7. Nyata-nyata Berpihak
8. Pemalsuan
9. Pelanggaran Undang-Undang
10. Perbuatan Melawan Hukum
11. Diluar Kompetensi
12. Tidak Kompeten
13. Intervensi
14. Penyimpangan Prosedur
15. Bertindak Sewenang-wenang
16. Penyalahgunaan Wewenang
17. Bertindak Tidak Layak/ Tidak Patut
18. Permintaan Imbalan Uang/Korupsi
19. Penguasaan Tanpa Hak
20. Penggelapan Barang Bukti.
Menurut Sadjijono tindakan maladministrasi memiliki kaitan dengan sikap dan perilaku
penyelenggara administrasi negara (pemerintahan) sebagai subjek hukum yang secara teori
pemerintah memiliki kedudukan khusus sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban
untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum dalam rangka melaksanakan
kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang atau menerapkan sanksi-sanksi hukum,
sehingga penyelenggaraan pemerintahan memiliki pengaruh yang sangat dominan.
Apabila wewenang tersebut melekat suatu tanggung jawab atau akuntabilitas kepada
masyarakat, sehingga tindakan maladministrasi sebagai tindakan yang bertentangan dengan
kehendak rakyat, maka tindakan maladministrasi sebagai tolak ukur moralitas suatu
pemerintahan yang mendapatkan penilaian baik apabila tidak terjadi maladministrasi, dan
sebaliknya. Selain itu tindakan maladministrasi bertentangan dengan konsep good governance,
yang esensinya sebagai kaidah etika atau moral dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik.
Fungsi dan tugas Ombudsman tidak dapat dijalankan apabila lembaga tersebut tidak
diberikan kewenangan. Oleh karena itu undang-undang ini menyebutkan pula wewenang
Ombudsman sebagaimana terdapat dalam Pasal 8. Dalam konsep hukum administarsi setiap
pemberian wewenang kepada suatu badan atau pejabat administrasi negara selalu disertai dengan
tujuan dan maksud pemberian wewenang itu sehingga penerapannya harus sesusai dengan tujuan
dan maksudnya. Apabila penggunaan wewenang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud
pemberian wewenang, berarti telah terjadi penyalahgunaan wewenang. Dan maksud pemberian
wewenang merupakan parameter dalam menilai penerapan kewenangan penyelenggara negara
yang tergolong penyalahgunaan wewenang. Parameter dengan tujuan dan maksud tersebut
dikenal dengan asas spesialitas.
Proses penanganan laporan di Ombudsman
Berikut ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan proses penanganan laporan di lembaga
Ombudsman:
 Siapa saja yang boleh melapor?
Seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) atau penduduk, khususnya yang menjadi korban
langsung tindakan maladministrasi.
 Laporan yang ditangani Ombudsman:
1. Harus jelas identitas pelapornya (Ombudsman tidak melayani surat kaleng).
2. Substansi yang dilaporkan merupakan kewenangan Ombudsman.
3. Disertai data kronologis yang jelas dan sistematis.
4. Tidak harus menggunakan bahasa hukum, cukup bahasa yang sederhana.
 Laporan yang tidak ditindaklanjuti apabila:
1. Identitas pelapor tidak lengkap
2. Tidak disertai alasan yang mendasar
3. Tidak mendapat kuasa dari korban
4. Sedang dalam pemeriksaan di pengadilan atau instansi yang berwenang
5. Sudah diselesaikan oleh instansi yang berwenang
6. Pelapor sudah terlebih dahulu menyampaikan keluhan atau dilaporkan kepada instansi yang
berwenang
7. Peristiwa tindakan atau keputusan yang dikeluhkan atau dilaporkan sudah lewat 2 (dua)
tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan terjadi.
 Bagaimana proses penanganan laporan?
1. Keluhan masyarakat akan ditelaah oleh Ombudsman;
2. Apabila berkas belum lengkap, pelapor akan dihubungi kembali agar melengkapi data yang
diperlukan;
3. Bila dirasa perlu, pelapor dapat berkonsultasi di Kantor Ombudsman Republik Indonesia atau
kantor Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia;
4. Ombudsman akan menyiapkan permintaan klarifikasi dan rekomendasi yang ditujukan
kepada instansi yang dilaporkan dengan tembusan kepada instansi yang terkait serta pelapor
tentunya.
 Pemeriksaan dapat dihentikan apabila:
1. Substansi yang dilaporkan merupakan kebijakan umum pemerintah;
2. Perilaku dan keputusan aparat telah sesuai ketentuan yang berlaku;
3. Masalah yang dilaporkan masih dapat diselesaikan sesuai prosedur administrasi yang
berlaku;
4. Masalah yang dilaporkan sedang diperiksa di Pengadilan, dalam proses banding atau kasasi
di Pengadilan yang lebih tinggi;
5. Tercapainya penyelesaian dengan cara mediasi;
6. Pelapor meninggal dunia atau mencabut laporannya.
 Biaya/Imbalan:
Ombudsman tidak memungut biaya (GRATIS) dan tidak menerima imbalan dalam bentuk
apapun.
 Kerahasiaan:
Atas pertimbangan tertentu Ombudsman dapat menjaga kerahasiaan identitas pelapor.
 Bagaimana cara menyampaikan laporan?
1. Datang langsung ke kantor Ombudsman RI atau perwakilannya
2. Melalui surat pos atau jasa ekspedisi ke alamat kantor Ombudsman RI atau perwakilannya
3. Melalui telepon atau faksimili
4. Melalui internet dengan alamat http//:www.ombudsman.go.id
2.3 Mekanisme Penegakkan dan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
dalam Hukum Administrasi Negara

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia


terlindungi, hukum, harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar
itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Diperlukan
sarana dalam sebuah penegakan hukum, maka dari itu ada langkah preventif yang harus
ditempuh untuk menegakkan sehingga aturan itu dapat diterapkan, maka lahirlah istilah
pengawasan. dan untuk memaksakan peraturan maka lahirlah juga sanksi.

Soerjono Soekanto mengemukakan ada dua pengertian penegakkan hukum, yaitu:

A. Pengertian dalam arti luas yang mencakup:


1. Lembaga-lembaga yang menerapkan hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian;
2. Pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksana atau Penegak Hukum seperti
Hakim, Jaksa, Polisi;
3. Segi Adminsitratif seperti proses peradilan, pengusutan, penahanan, dan seterusnya;
4. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan;
5. Batas-batas wewenang antara Pengadilan Sipil dengan Pengadilan Militer, dan
Pengadilan Agama.
B. Pengertian dalam arti sempit yang mencakup:
Penerapan hukum oleh lembaga lembaga peradilan (serta pejabat-pejabatnya), kejaksaan dan
kepolisian Pendapat berbeda dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan
bahwa penegakan hukum itu maknanya adalah pelaksanaan hukum itu atau implementasi
hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaan hukum akan terkait dengan tiga komponen, yaitu:
1. Adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur prilaku manusia menyelesaikan
sengketa yang timbul diantar anggota masyarakat.
2. Adanya seperangkat orang atau lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan yang
dibuat itu dipatuhi dan tidak dilanggar.
3. Cara atau prosedur pelaksanaanya harus jelas dan tegas serta mudah dimengerti agar
pelaksanaannya tidak mengalami kesalahpahaman dan keraguan dalam tata organisasi
maupun kewenangan.

Sistem penegakkan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai dengan substansi
hukum serta prilaku nyata manusia Jika hakikat penegakkan itu mewujudkan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah (substansi yang memuat keadilan dan kebenaran), maka penegakan hukum bukan
hanya menjadi tugas dari penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi
menjadi tugas setiap orang.

Menurut J.B.J.M, ten Berge, “tugas penegakan hukum tidak hanya diletakkan di pundak
polisi. Penegakkan hukum merupakan tugas dari semua subjek hukum dalam masyarakat.
Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik, pihak pemerintahlah yang paling
bertanggung jawab melakukan penegakan hukum J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa
aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam penegakan hukum, yaitu:

a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi;
b. Ketentuan perkecualian harus dibatasai secara minimal;
c. Peraturan harus banyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara obyektif dapat
ditentukan;
d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh meraka yang terkena peraturan itu dan mereka
yang dibebani dengan (tugas) penegakan (hukum).

Aparat Penegak Hukum :

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat penegak hukum Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya
hukum itu, dimulai dari polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas-petugas sipir
pemasyarakatan.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu:
1) Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya;
2) Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan
3) Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) :

Pasal 1 angka (1) dan Pasal 6 ayat (1) huruf (b) UU N.o 8/1981 tentang Hukum Acara
Pidana’ Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pegawai negeri sipil yang oleh undang-
undang diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 angka 11 UU No.
2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah
pejabat pegawai negeri tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku
penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka (2)
huruf(b) UU No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan kata lain PPNS adalah pegawai
negeri sipil yang diberi jabatan, dan dengan jabatan tersebut ia memiliki kewenangan untuk
melakukan tugas penyidikan, dan mengemban fungsi sebagai penegak hukum.

PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia atas usul departemen
yang membawahi pegawai negeri tersebut, setelah mendapatkan pertimbangan dari Jaksa Agung
dan Kepala Kepolisian RI Untuk dapat diangkat menjadi PPNS, pegawai negeri sipil harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil paling sedikit 2 (dua) tahun
2. Pangkat paling rendah Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b)
3. Berijazah paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas
4. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum
5. Telah mengikuti pendidikan dn pelatihan khusus di bidang penyidikan
6. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam daftar penilaian pelaksanaan
pekerjaan (DP3) pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun
terakhir berturut-turut
7. Sehat jasmani dan jiwa yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dari rumah sakit
pemerintah atau rumah sakit swasta
8. Mendapat pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI.

Wewenang PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan pejabat kepolisian; Apabila undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya tidak mengatur secara tegas kewenangan yang diberikan, maka PPNS karena
kewajibannya mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
e. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
f. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara
g. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjut nya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,
tersangka atau keluarganya
h. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain
wewenang sebagaimana tersebut di atas, PPNS mengemban fungsi kepolisian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Pejabat PPNS diberhentikan dari jabatannya, karena:
 Berhenti sebagai pegawai negeri sipil
 Atas permintaan sendiri
 Melanggar disiplin kepegawaian atau terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
 Tidak bertugas lagi di bidang teknik operasional penegakan hukum
 Meninggal dunia
 Pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Usul pemberhentian pejabat PPNS diajukan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang membawahi pegawai
negeri sipil yang bersangkutan kepada Menteri Hukum dan HAM RI. dengan memuat
alasan pemberhentian.

J.B.J.M.Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi negara


meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. pengawasan merupakan langkah preventif untuk
memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk
memaksakan kepatuhan dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah
dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma
hukum, dan juga adanya jaminan terhadap masyarakat dari tindakan-tindakan pemerintahan
sebagai konsekuensi konsep welfare state pemerintah campur tangan sangat luas dalam
kehidupan masyarakat seperti bidang politik, agama, sosial, budaya, dan sebagainya, perlu
adanya perlindungan kepentingan masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk
pengawasan terhadap kegiatan pemerintah. Berdasarkan beberapa pendapat ahli dibawah ini
dikemukakan beberapa pengertian pengawasan :

1. Jors Stein, pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolaan untuk mencapai hasil
dan tujuan.
2. Hendri fayon dan Muhsan, pengawasan adalah tolok ukur untuk mencapai tujuan.
3. Jost Teri, Hanri, dan Muhsan, pengawasan adalah kegiatan mencocokan antara hasil
dan tujuan.
4. Bagir Manan dan Paulus Efendi, pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekeliruan dan menunjukan cara dan tujuan yang benar.
5. Philips giding, nilai pengawasan terletak pada materi korektif pemerintah terhadap
kekeliruan yang telah dilangkahi.

Paulus E. Lotulung mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam hukum


administrasi negara, yaitu bahwa :

A. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap
badan/ organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan atas: Kontrol intern berarti bahwa
pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organisatoris/ struktural masih
termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. kontrol ekstern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar
pemerintah.
 Pengawasan Intern Pengawasan atau kontrol intern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang
bersangkutan. Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara
pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control). Pengawasan
intern dapat dibedakan antara:
a) Pengawasan intern dalam arti sempit; dimana antara pejabat yang diawasi itu dengan
aparat pengawas sama-sama bernaung dalam satu lembaga. Contoh: Insperktorat Jenderal
(Irjen) Departemen Dalam Negeri dan Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) Wilayah
Provinsi/ Kabupaten/Kota, masing-masing bernaung dalam DEPDAGRI. Pengawasan
intern dalam arti sempit ini dapat dilihat sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
komponen-komponen eksekutif sendiri demi mendukung dan mengamankan tanggung
jawab pimpinan.
b) Pengawasan intern dalam arti luas. pengawasan ini pada hakikatnya sama dengan
pengawasan intern dalam arti sempit. Perbedaannya hanya terletak pada adanya korelasi
langsung antara pengawas dan pejabat yang diawasi, artinya pengawas yang melakukan
pengawasan tidak bernaung dalam satu Departemen/Lembaga Negara, tetapi masih
berada dalam satu kelompok eksekutif, dalam arti aparat pengawas tersebut diangkat dan
bertanggung jawab kepada pimpinan eksekutif. Aparat yang melakukan pengawasan
dalam arti luas adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
 Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang
ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan yang tidak mempunyai
hubungan kedinasan dengan unit organisasi yang diawasi Pengawas tidak tunduk
terhadap pimpinan organisasi/unit kerja yang diawasinya. Oleh karenanya
obyektivitas pemeriksaan dapat dipertahankan Pengawasan intern dilakukan bukan
untuk kepentingan unit organisasi yang diawasi, tetapi untuk kepentingan masyarakat
atau organisasi lain yang diwakilinya dalam bidang pengawasan Contoh pengawasan
ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap penguasaan dan pengurusan keuangan negara oleh pemerintah.
B. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya, pengawasan atau kontrol dibedakan atas:
Kontrol a-priori terjadi bila pengawasan dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan
atau ketetapan pemerintah. Kontrol a-posteriori terjadi bila pengawasan itu baru
dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah .
 Pengawasan a-priori adalah pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun sebelum dilaksanakan nya suatu
kegiatan. Oleh karena itu, pengawasan ini dapat pula dikatakan sebagai pengawasan
preventif. Pengawasan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan ataupun dalam penerbitan keputusan atau
ketetapan oleh pemerintah.
Pengawasan a-priori biasanya berbentuk prosedur-prosedur ataupun persyaratan-
persyaratan yang harus ditempuh ataupun dipenuhi sebelum suatu keputusan atau
ketetapan dikeluarkan, ataupun suatu tindakan dilaksanakan oleh pemerintah.
Prosedur-prosedur atau syarat-syarat mana telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan keputusan atau ketetapan
ataupun tindakan pemerintah.
 Pengawasan a-posteriori adalah pengawasan yang dilakukan sesudah
dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun setelah kegiatan
dilakukan. Dalam hal keputusan atau ketetapan pemerintah, maka pengawasan jenis
ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan keputusan atau ketetapan
tersebut, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan tujuan atau maksud
diterbitkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam hal kegiatan pemerintah,
lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, dengan pengawasan represif
dimaksudkan untuk mengetahui apkah kegiatan dan pembiayaan yang telah dilakukan
itu telah mengikuti kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

C. Ditinjau dari segi objek yang diawasi yang terdiri dari Kontrol dari segi hukum
(rechtmatigheid) dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat
hukumnya saja (segi legalitas), yaitu segi rechtmatigheid dari perbuatan pemerintah
Kontrol dari segi kemanfaatan (doelmatigheid) dimaksudkan untuk menilai benar
tidaknya perbuatan pemerintah itu dari segi atau pertimbangan kemanfaatannya.

Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan


agar pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai
suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum
terjadinnya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Disamping itu
penagwasan diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Pengawasan segi hukum dan segi kebijakan terhadap tindakan pemerintah dalam hukum
administrasi negara adalah dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat, yang terdiri dari
upaya administratif dan peradilan administrasi.

2.4 Sanksi-sanksi yang Diterapkan dalam Hukum Administrasi Negara

Sarana penegakkan hukum disamping pengawasan adalah sankasi. Sanksi Hukum


Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, ”sanksi merupakan inti dari penegakan hukum
administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi” . Dalam HAN,
penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana
kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis. J.J.
Oosternbrink berpendapat ”sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara
pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan
peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri”.
Jenis sanksi administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu sanksi reparatoir artinya
sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk
memngembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya
bestuursdwang, dwangsom), sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan
hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif, sedangkan Sanksi
Regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidak patuhan terhadap ketentuan
yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan,
Perbedaan Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika Sanksi Administrasi
ditujukan pada perbuatan, sifat repatoir-condemnatoir, prosedurnya dilakukan secara langsung
oleh pejabat Tata Usaha Negara tanpa melalui peradilan. Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan
pada si pelaku, sifat condemnatoir, harus melalui proses peradilan. Macam-macam Sanksi dalam
Hukum Administrasi seperti berikut, Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali
keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan
uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

a. Paksaan Pemerintahan (Bestuurswang/Politiedwang)

Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda (paksaan pemerintahan merupakan


tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk
memindahka, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang
telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan). Contoh Undang-Undang Nomor 51 Prp
Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa ijin yang Berhak atau Kuasanya.
Bestuursdwang merupakan Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk
mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak
atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.
Paksaan pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum yang berlaku baik Hukum
tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas pemerintahan yang layak seperti asas kecermatan,
asas keseimbangan, asas kepastian hukum dan lain-lain.. Contoh Pelanggaran yang tidak bersifat
substansial seorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, tanpa IMB.
Pemerintah tidak sepatutnya langsung menggunakan paksaan pemerintahan, dengan
membongkar rumah tersebut, karena masih dapat dilakukan legalisasi, dengan cara
memerintahkan kepada pemilik rumah untuk mengurus IMB. Jika perintah mengurus IMB tidak
dilaksanakan maka pemerintah dapat menerapkan bestuursdwang, yaitu pembongkaran. Contoh
Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada pengusaha yang membangun industry
didaerah pemukiman penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RT/RW
yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan bestuursdwang.
Peringatan yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan
bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis, yang dituangkan dalam
bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara.
Isi peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut, Peringatan harus
definitif, Organ yang berwenang harus disebut, Peringatan harus ditujukan kepada orang yang
tepat, Ketentuan yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas,
Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan seimbang, Pemberian beban tanpa
syarat, Beban mengandung pemberian alasannya, Peringatan memuat berita tentang pembebanan
biaya.
Ketentuan hukum bahwa pelaksanaan bestuursdwang atau paksaan pemerintahan itu
wajib didahului dengan surat peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk KTUN. Surat
peringatan tertulis ini harus berisi hal-hal berikut ini:

1. Peringatan harus definitif.


2. Organ yang berwenag harus disebut.
3. Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat.
4. Ketentuan yang dilanggar jelas.
5. Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas.
6. Peringatan harus memuat penentuan jangka waktu.
7. Pemberian beban harus jelas dan seimbang.
8. Pemberian beban tanpa syarat.
9. Beban mengandung pemberian alasannya.
10. Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan

Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan
mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan atau menyatakan tidak
berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap
peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga
dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si
pelanggar.
Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam HAN
terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada
asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap
benar menurut hukum. Oleh karena itu, Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan
itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di
pengadilan.
Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara
yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara
sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.
Sebab-sebab Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi melingkupi
jika, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Jika yang
berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi, atau
pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga
apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya
penolakan izin.

c. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)

N.E. Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya, bahwa
uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang
harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu
yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran
bunga.
Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada
seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.
d. Pengenaan Denda Administratif

Pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan
denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk
mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari
sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang
pasti. Dalam pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum
administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Denda administratif dapat dilihat contohnya pada benda fiskal yang ditarik oleh inspektur
pajak dengan fiskal yang ditarik oleh inspektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dan
ketentuan semula sebagai akibat dari kesalahannya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 bertujuan meningkatkan pelayanan dan
perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat. Dan telah dicabut
dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggaraan negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN,
BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau
APBD.

Fungsi Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia, yaitu (1) mengakomodasi partisipasi


masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien,
menyelenggarakan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur, (2) meningkatkan perlindungan
perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan dan kesejahteraan, serta
mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse
of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak.
Tugas dan wewenang Ombudsman diatur dalam pasal (7) dan pasal (8) UU NO. 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Peran Ombudsman dalam menangani tindakan maladministrasi oleh aparatur


penyelenggara negara sangat penting. Ombudsman menerima Laporan dan memberikan
Rekomendasi apabila ditemukan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Rekomendasi disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, dan atasan Terlapor dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua
Ombudsman. Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
Walaupun demikian, sebenarnya rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia tidak
mempunyai kekuatan hukum (non legally binding), tetapi bersifat morally binding. Rekomendasi
yang bersifat morally binding pada dasarnya mecoba menempatkan manusia pada martabat mulia
sehingga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu seorang pejabat publik tidak
harus diancam dengan sanksi hukum, melainkan melalui kesadaran moral yang tumbuh dari
lubuk hati.

Penegakan hukum dalam hukum administrasi Negara dilakukan dengan dua cara :

1. Pengawasan bahwa organ pemerintah dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan
peraturan dan perundang-undangan tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang
meletakkan kewajiban kepada individu.
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.
Macam-macam sanksi dalam hukum administrasi Negara :
1) Paksaan pemerintah (berstuursdwang)
2) Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan
3) Pengenaan uang paksa
4) pengenaan denda administrasi.

B. SARAN

Sebaiknya Ombudsman lebih giat lagi dalam mengadakan sosialisasi kepada masyarakat,
Karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang
keberadaan Ombudsman. Sosialisasi dapat juga dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah
tayang dan waktu tayang Iklan layanan masyarakat di media surat kabar dan radio, serta
menambahkan media televisi dan website sebagai penyedia jasa iklan layanan masyarakat
Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, dilakukan percepatan perwakilan Ombudsman di
daerah-daerah serta memperluas kewenangan Ombudsman Republik Indonesia, dalam hal:

a. kekuatan mengikat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia


b. pemberian reward kepada instansi penyelenggara pelayanan publik
c. peninjauan berkala Ombudsman Republik Indonesia kepada instansi penyelenggara
pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA

Antonius Sujata, dkk.2002. Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang Dan Masa
Mendatang. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
HR, Ridwan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hallim, Ridwan. 1987. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
www.hukumonline.com
http://medizton.wordpress.com/2010/04/14/pengawasan-penegakan-dan-sanksi-han/

Anda mungkin juga menyukai