Anda di halaman 1dari 18

“MAL ADMINISTRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK”

LAPORAN HASIL PENELITIAN

OLEH:

CHANDRA LETINTO ALEZANDRO NINEF

042313126

UNIVERSITAS TERBUKA
KUPANG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan baik itu dalam bentuk pelayanan

kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan serta bentuk pelayanan lainnya.Pelayanan publik

tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangat dibutuhkan perhatian dalam

peningkatan pelayanan publik. Pelayanan publik harus diberikan secara adil tanpa adanya

pembedaan status sosial , jabatan, kedudukan, ras, agama, dan budaya sebagaimana terdapat

dalam Pasal 28H ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

berbunyi: “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan"

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara

dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik yang sebagamaina terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik.Pelayanan publik pada prinsipnya

menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan

di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka

upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik menjadi sebuah tanggung jawab utama pemerintah kepada

masyarakat, baik pelayanan dalam bentuk administrasi publik, jasa publik, maupun barang

publik sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara pelayanan berkewajiban untuk


menyediakan sarana, prasarana, serta fasilitas bagi pengguna layanan, termasuk bagi

pengguna layanan berkebutuhan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU No. 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pelayanan publik yang merupakan hak masyarakat serta kewajiban pemerintah yang

diberikan harus sebaik mungkin untuk mewujudkan Good Governance atau yang dikenal

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi,asas kecermatan, asas objektifitas,

asas keseimbangan, asas persamaan, asas keadilan, asas pertimbangan, asas tidak berlaku

surut, asas kepercayaan dan asas kepastian hukum. Dalam pemberian pelayanan publik

kepada masyarakat, dibutuhkan suatu pengawasan terhadap suatu pelayanan publik untuk

menjamin kualitas mutu suatu pelayanan yang diberikan. Jika suatu pelayanan publik tidak

sesuai dengan aturan maka disebut dengan Mal administrasi. Mal administrasi adalah suatu

praktek yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu praktek administrasi yang

menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi (Masthuri, 2005).

Suatu ketika ada masyarakat yang mengeluhkan pelayanan disuatu instansi yang dinilai

kurang baik ke Ombudsman, ia menyebutkan bahwa pelayanan di instansi yang menurutnya

kurang baik tersebut tersebut adalah malpraktik, ia menduga ada "permainan" dibalik belum

ditindaklanjutinya Laporan yang disampaikan ke instansi terkait. Bahkan, masyarakat

tersebut menilai petugas yang melayaninya pun tidak begitu berkompeten ketika si

masyarakat menanyakan sesuatu, alih-alih bicara kompetensi gaya si petugas yang

melayaninya pun tidak patut dan tidak ramah (https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--

maladministrasi-dan-etika-pelayanan-publik diakses tanggal 5 Juli 2023 Pukul 19:00 WITA).

Peristiwa tersebut adalah salah satu ilustrasi dari sekian banyak potret pelayanan publik
yang disampaikan masyarakat. Kepedulian masyarakat akan pelayanan publik dengan cara
melapor ke kanal-kanal pengaduan atau lembaga/instansi yang berwenang menerima
pengaduan patut kita apresiasi, meskipun masih banyak masyarakat yang belum memahami
istilah dari sebuah penyimpangan dalam suatu pelayanan publik itu. Maka tidak heran, masih
banyak masyarakat yang menyebutkan penyimpangan dalam suatu pelayanan publik disebut
dengan kata malpraktik ketimbang kata maladministrasi yang bisa dibilang belum eksis.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian tentang Mal Administrasi dan
Etika Pelayanan Publik di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan sebuah masalah yang akan diteliti yaitu
Bagaimana mal administrasi yang dilakukan dalam etika pelayanan publik?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui perilaku mal administrasi yang dilakukan dalam etika pelayanan publik.

D.
BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Ombudsman Republik Indonesia

1. Pengertian

Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik

Indonesia menjelaskan bahwa: “Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya

disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi

penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan

pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta swasta atau perseorangan

yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau

seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau

anggaran pendapatan dan belanja daerah.”

Dalam Ensiklopedia Columbia, ombudsman diartikan dengan“as a government agent

serving as an intermediary between citizens and the government bureaucracy, the

ombudsman is usually independent, impartial, universally accesible and empowered only

to recommended.” Yang artinya adalah agen pemerintah yang melakukan fungsi mediasi

antara masyarakat dengan penyelenggara atau aparat pemerintah, ombudsman biasanya

bersifat independen, tidak berat sebelah, umum dan berwewenang hanya untuk

rekomendasi.

2. Fungsi

Fungsi ombudsman berdasarkan Bab IV Pasal 6 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut: “Ombudsman berfungsi

mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara

Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang


diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan

Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.”

Fungsi komisi ombudsman berdasarkan Keppres Nomor 44 tahun 2000, yaitu sebagai

berikut:

1) Memberdayakan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan

pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih,

transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme;

2) Menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan publik secara

optimal untuk penyelesaian persoalan;

3) Memberdayakan pengawasan oleh masyarakat merupakan implementasi demokrasi

yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan,

wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi;

4) Dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan

memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh

aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan;

5) Lembaga ombudsman merupakan suatu komisi pengawasan yang bersifat mandiri dan

berdiri sendiri lepas dari campur tangan lembaga kenegaraan lainnya.

Menurut Sutedi (2010) dalam menjalankan fungsi tersebut, hendaknya Komisi

Ombudsman Daerah di arahkan untuk:

1) Independen dalam melakukan kerjanya. Ombudsman sedapat mungkin bersifat

mandiri (independen) dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga-lembaga

lain atau disubordinasi oleh kekuasaan negara, meskipun Ombudsman dirancang


untuk dipilih oleh DPRD dan diangkat oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dan harus

memberikan laporan pertanggungjawaban kepada yang memilihnya;

2) Dapat langsung memberikan rekomendasi kepada atasan pejabat yang diduga

melakukan maladministrasi, tak terkecuali Gubernur dan atau Bupati/Walikota;

3) Dapat mempublikasikan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkannya di media

massa. Hal ini penting agar Ombudsman daerah dapat diakses oleh semua lapisan

masyarakat, sehingga Ombudsman tidak melayani atau dinikmati oleh segelintir orang

saja, sekaligus sebagai shock therapy atas perilaku maladministrasi;

4) Secara hukum, ombudsman daerah sedapat mungkin diberikan hak imunitas dari

berbagai tuntutan dan gugatan di pengadilan atas Tindakan benar dalam menjalankan

kewenangannya;

5) Dari sisi anggaran, Ombudsman daerah harus didukung oleh pembiayaan yang cukup,

rutin dan teralokasikan secara khusus dalam pos anggaran.

3. Tujuan

Menurut Sutedi (2010) Adapun yang menjadi tujuan dari dibentuknya komisi

Ombudsman Indonesia, yaitu:

1) Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil dan sejahtera.

2) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur,

terbuka serta bebas dari KKN.

3) Melalui peran masyarakat membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi

yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

4) Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga dan

penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan semakin baik.

5) Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan

pencegahan praktik-praktik maladministrasi.


6) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat dan supremasi

hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

Ombudsman di Indonesia bertugas antara lain mengupayakan partisipasi masyarakat

dengan menciptakan keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birokrasi sederhana yang

bersih, pelayanan umum yang baik, penyelenggaraan peradilan yang efisien dan

professional termasuk proses peradilan yang independen dan fair sehingga dapat dijamin

tidak akan ada keberpihakan (Sujata dan Surahman, 2002).

4. Tugas

Menurut Taufiqukhoman (2015) Tugas Ombudsman yang lainnya, yaitu:

1) Menerima laporan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang tidak sesuai.

Dengan syarat pelapor adalah Orang yang mempunyai kepentingan terhadap kasus

yang dilaporkan.

2) Melakukan (investigasi) pemeriksaan atas laporan dari masyarakat. Investigasi dalam

konteks Ombudsman merupakan proses penyelidikan terhadap apakah laporan/

keluhan atau informasi yang memang menjadi kewenangannya dapat menemukan

bukti-bukti, bahwa pihak terlapor terbukti telah melakukan atau tidak melakukan

tindakan sebagaimana dilaporkan atau dikeluhkan.

3) Menindaklanjuti laporan masyarakat dengan dasar wewenang yang dimiliki.

4) Memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau

penyelesaian atas pengaduan tersebut.

5) Melakukan usaha pencegahan dalam ketidaksesuaian pelayanan Publik

Selain tugas, Ombudsman Republik Indonesia juga memiliki wewenang adalah

sebagai berikut:

1) Meminta keterangan dari pelapor mengenai laporan yang dilaporkan tersebut;

2) Memeriksa berkas-berkas kelengkapan mengenai laporan tersebut;


3) Meminta salinan berkas yang diperlukan untuk pemeriksaan;

4) Melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan semua pihak yang terlibat;

5) Menyelesaikan laporan dengan cara yang disepakati oleh pihak yang bersangkutan;

6) Membuat rekomendasi untuk penyelesaian laporan;

7) Mengumumkan hasil pertemuan;

8) Menyampaikan saran kepada lembaga negara dengan tujuan perbaikan demi

pelayanan publik yang lebih baik

Selain wewenang diatas, wewenang ombudsman lainnya juga terdapat dalam Pasal 8

ayat (2) UU Ombudsman Republik Indonesia, antara lain:

1) Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara

Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur

pelayanan publik;

2) Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan

peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah

Maladministrasi.

B. Mal Administrasi dalam Pelayanan Publik

1. Pengertian Pelayanan Publik

Pengertian Pelayanan Publik Menurut Philip Kotler “A service is any act or

performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does

not result in the ownership of anything. It’s production may or may be tied in physycal

Produce” (pelayanan merupakan setiap tindakan atau pelaksanaan yang dapat diberikan

oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya menunjukkan tidak nyata dan

tidak mengakibatkan kekuasaan atas segala sesuatunya. Hasil dari pelayanan ini dapat

atau tidak dapat dikaitkan dengan produk fisik. Pandangan Kotler tersebut dapat
dipahami bahwa pada hakikatnya pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan

dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya

tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Thamrin, 2013).

Dari pengertian pelayanan publik sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan istilah pelayanan publik sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan

masyarakat oleh penyelenggara negara (penyelenggara daerah). Untuk memahami lebih

jauh mengenai makna dan hakekat pelayanan publik ini, selanjutnya dapat dilihat di

dalam Keputusan Menteri Penetapan Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 63/

KEPMEN/PAN/17/2003) dirumuskan bahwa: “Pelayanan publik adalah segala kegiatan

pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai Upaya

pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksana ketentuan perUndang-

Undangan”.

Selanjutnya dapat dipahami juga melalui Rancangan Undang-Undang tentang

Pelayanan Publik, yang sekarang sudah diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dirumuskan bahwa: “Pelayanan publik adalah

kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai

dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan

pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.

Oleh karena itu sebenarnya pelayanan publik harus memiliki standar yang berbeda-

beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, dengan mengingat kondisi dan

situasi yang berbeda. Menurut Toha (2010) pelayanan publik memiliki standar pelayanan

sekurang-kurangnya meliputi:

1) Prosedur Pelayanan, prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima

pelayanan termasuk pengaduan;


2) Waktu Penyelesaian, waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan

permohonan sampai dengan penyelesaian termasuk pengaduan;

3) Biaya Pelayanan, biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam

proses pemberian layanan;

4) Produk Pelayanan, hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan;

5) Sarana dan Prasarana, penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh

peyelenggaraan pelayanan publik;

6) Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Publik, kompetensi petugas pemberi

pelayanan harus ditetapkan dengan tepat sesuai berdasarkan pengetahuan, keahlian,

keterampilan, sikap dan prilaku yang dibutuhkan.

2. Tujuan Pelayanan Publik

Pelayanan publik seharusnya bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi

masyarakat sebagai subyek penerima pelayanan. Selanjutnya apabila aturan tersebut

benar-benar diaplikasikan secara baik dan benar diyakini akan menjadikan suatu

penyelenggaraan pemerintahan daerah (otonomi) lebih efisien dan efektif dalam

memberikan pelayanan kepada publik, meskipun pada saat yang sama harus didukung

oleh kemampuan pemerintah (daerah). Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa Kondisi dan perubahan cepat

yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan

yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk

membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Untuk itu diperlukan konsepsi sistem pelayanan publik yang berisi nilai, persepsi, dan

acuan perilaku yang mampu mewujudkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dapat diterapkan
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan sesuai dengan harapan dan cita-cita tujuan

nasional.

3. Pengertian Mal Administrasi

Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui

wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan

wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan

pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat

dan orang perseorangan. Mal administrasi adalah administrasi yang buruk,

ketidakpatutan pengguna kekuasaan, ketidakjelasan dalam penerapan aturan, kegagalan

dalam pelaksanaan prosedur.

Mal administrasi adalah istilah politik yang menggambarkan tindakan badan

pemerintah yang dilihat menyebabkan ketidakadilan. Maladministrasi menunjuk pada

prilaku atau tindakan aparatur penyelenggara pelayanan publik yang cenderung

menyimpang, menyalahgunakan, atau melampaui wewenang hukum yang dimiliki

(Haryatmoko, 2011).

Tindakan mal administrasi adalah perbuatan atau pengabaian kewajiban hukum oleh

instansi atau aparatur negara yang melanggar asas umum pemerintahan yang baik dan

menimbulkan kerugian atau ketidakadilan, termasuk jika ada seseorang yang tidak

diberikan pelayanan yang semestinya.

Adapun bentuk mal administrasi antara lain berupa: keputusan berlarut-larut (undue

delayed), kurang pantas (inapropriate), sewenang-wenang (arbitrary), penyimpangan

prosedur (procedural deviation), penyalahgunaan diskresi/kebijakan (abuse of

discretion), dan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority), baik yang mengarah


maupun yang tidak mengarah kepada ketidakadilan (leading or not leading to injustice)

(Gunawan, 2015).

Berdasarkan klasifikasi Crossman dalam Syamsuddin, yang termasuk dalam tindakan-

tindakan penyimpangan wewenang oleh penyelenggara negara dan pemerintahan

mencakup: berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan wewenang,

Tindakan tidak layak, jahat, kejam dan semena-mena, bersikap kasar, keengganan

memperlakukan masyarakat sebagai insan yang memiliki hak, menolak memberi

jawaban atas pertanyaan yang beralasan, melalaikan keharusan memberi tahu masyarakat

akan hak-haknya, dengan sengaja memberi nasihat yang menyesatkan atau tidak lengkap,

mengabaikan nasihat yang sah atau pertimbangan yang membatalkan yang dapat

menimbulkan perasaan tidak enak pada pihak yang memberikan nasihat atau

pertimbangan tadi, dan menawarkan tidak ada pemulihan atau pemulihan yang tidak

proporsional, menunjukkan sikap prasangka atas alasan warna kulit, jenis kelamin, atau

alasan lain, cacat prosedur, kegagalan manajemen dalam memantau kepatuhan melalui

prosedur yang memadai, serta bersikap berpihak.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, menurut saya definisi tindakan

maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,

menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,

termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan

kerugian materil dan immateril bagi masyarakat dan orang perseorangan.


BAB III

METODELOGI

Metodologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu penelitian yang mengacu kepada norma- norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan kajian
studi pustaka (library research) dengan mengumpulkan beberapa sumber pustaka yang
berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian tersebut. Untuk menguraikan dan
menjelaskan pengertian tentang mal administrasi yang data-datanya telah dikumpulkan dapat
dilakukan analisis. Dalam hal metode analisis penulis menggunakan metode deskriptif
analitis. Semua data-data yang diperoleh dari library research dikumpulkan dan digabungkan
untuk kemudian dianalisa, dan hasil Analisa tersebut ditarik suatu kesimpulan sebagai hasil
akhir yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagaimana yang menjadi tujuan dari
penelitian tersebut, sehingga dapat diketahui bagaimana mal administrasi yang dilakukan
dalam pelayanan publik di Indonesia.
BAB IV

HASIL TEMUAN

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan setiap


penyelenggara pelayanan publik mematuhi standar pelayanan. Standar tersebut merupakan
pedoman penyelenggaraan layanan dan menjadi tolok ukur penilaian kualitas pelayanan yang
diberikan. Di sana diuji keterpenuhan pelaksanaan kewajiban dan janji penyelenggara kepada
masyarakat perihal layanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Sejak
tahun 2015, Ombudsman Republik Indonesia melaksanakan penilaian kepatuhan
penyelenggara pelayanan publik terhadap UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik. Penilaian dilakukan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan standar
pelayanan. Sebagai pengawas penyelenggaraan pelayanan publik, kegiatan penilaian
dilakukan sebagai wujud fungsi pencegahan maladministrasi.
Penilaian kepatuhan yang selama ini dilakukan hanya melihat pemenuhan standar
pelayanan secara tangible (ketampakan fisik) pada unit penyelenggara layanan. Pada tahun
2021 dilakukan penilaian pada 24 Kementerian, 16 Lembaga dan 548 Pemerintah Daerah
(Provinsi, Kota dan Kabupaten). Hasil penilaian digolongkan dalam tiga Kategori; Tingkat
Kepatuhan Tinggi (Zona Hijau), Tingkat Kepatuhan Sedang (Zona Kuning), dan Tingkat
Kepatuhan Rendah (Zona Merah). Sebagai bentuk inovasi pengawasan pelayanan publik,
pada tahun 2022 Ombudsman melakukan penyempurnaan penilaian penyelenggaraan
pelayanan publik. Pada tahun ini, penilaian diperluas kepada pengukuran kompetensi
penyelenggara, pemenuhan sarana dan prasarana, standar pelayanan serta pengelolaan
pengaduan. Semua komponen tersebut, menjadi bagian dari Penilaian Kepatuhan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2022.
Dengan demikian, penilaian ini diharapkan dapat menjadi lebih komprehensif dalam
menakar mutu pelayanan publik yang dicermati dalam dimensi input dan proses (service
manufacturing) hingga output dan dampak (impactful public service). Bagi Ombudsman RI
sendiri, perbaikan konsep penilaian tersebut juga diharapkan dapat memperkuat pengawasan
Ombudsman untuk mencegah maladministrasi. Profil yang lengkap dan gambaran situasi
yang lebih detil tentu penting dalam mengembangkan intervensi program lebih lanjut, baik
pada sisi pencegahan (kerja pendampingan) maupun antisipasi bagi pelaksnaaan fungsi
pemeriksaan terhadap laporan masyarakat.
Dalam penilaian ini segenap dimensi, variabel, dan indikator penilaian diambil
berdasarkan komponen penyelenggaraan pelayanan publik yang disebutkan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012, dan Peraturan
Presiden Nomor 76 Tahun 2013 yang berkaitan langsung dengan penyelenggara layanan.
Adapun dimensi penilaian sebagai berikut:
1. Dimensi Input terdiri dari variabel penilaian kompetensi pelaksana dan variable
pemenuhan sarana prasarana pelayanan;
a. Pada variabel kompetensi diukur pengetahuan pejabat dan petugas layanan
mengenai komponen standar pelayanan, tugas dan kewenangan jabatan, bentuk-
bentuk maladministrasi dan pengetahuan tentang layanan yang ramah kelompok
marginal/rentan
b. Pada variabel sarana prasarana diukur pemenuhan penjaminan mutu untuk
pelayanan yang diberikan, frekuensi pengawasan internal, jaminan keamanan dan
keselamatan pelayanan serta sarana prasarana dan fasilitas begi pengguna layanan
dan pengguna dengan perlakuan khusus.
2. Dimensi Proses terdiri dari variabel standar pelayanan publik; Pada variabel standar
pelayanan diukur pemenuhan informasi standar pelayanan seperti persyaratan, sistem
mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, produk pelayanan,
maklumat pelayanan, visi misi pelayanan, moto pelayanan, atribut dan pelayanan
terpadu.
3. Dimensi Output terdiri dari variabel penilaian persepsi maladministrasi; Pada variabel
penilaian persepsi maladministrasi diukur persepsi masyarakat sebagai pengguna
layanan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadi mengenai transparansi
standar pelayanan di suatu unit layanan setelah selesai mengakses suatu layanan.
4. Dimensi Pengaduan terdiri dari variabel pengelolaan pengaduan. Pada variabel
pengelolaan pengaduan diukur kewajiban pengelolaan pengaduan, pemenuhan sarana
pengaduan, pembinaan terhadap pengelola pengaduan, mekanisme dan tata cara
pengelolaan pengaduan dan informasi jangka waktu penyelesaian pengaduan.
Atas hasil penilaian kepatuhan tahun 2022, Ombudsman Republik Indonesia
memberikan saran perbaikan kebijakan dan tata kelola bagi penguatan system layanan publik
dan pencegahan maladministrasi. Adapun saran Ombudsman sebagai berikut:
1. Kepada Presiden, Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan
Menteri Dalam Negeri, agar:
a. Mendorong setiap Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk
mengimplementasikan dan memahami standar pelayanan publik serta pemenuhan
unit pengelolaan pengaduan di setiap instansi pelayanan publik.
b. Melakukan evaluasi dan pengawasan kepada Kementerian, Lembaga dan
Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2. Kepada Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur, Walikota dan Bupati, agar:
a. Memberikan apresiasi (award) kepada pimpinan unit layanan yang mendapatkan
zona hijau. Apresiasi tersebut, dalam bentuk penghargaan atas segala upaya dan
komitmen dalam memenuhi dan memahami komponen standar pelayanan serta
telah membuat unit pengelola pengaduan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
b. Memberikan teguran dan mendorong implementasi, pemahaman atas komponen
standar pelayanan serta pemenuhan unit pengelola pengaduan kepada para
pimpinan unit pelayanan publik yang mendapatkan zona merah dan zona kuning.
c. Memantau konsistensi peningkatan kepatuhan dalam pemenuhan standar
pelayanan publik dimana setiap unit pelayanan wajib menyusun, menetapkan dan
menerapkan standar pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, guna memantau hal tersebut maka
disarankan untuk menunjuk pejabat yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Yopi. 2015. Perkembangan Konsep Negara Hukum Dan Negara Hukum
Pancasila. Bandung: Refika Aditama.
Haryatmoko. 2011. Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Gramedia Pusat Jakarta
Masthuri, Budhi. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Sujata dan Surahman. 2002. Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional.
Jakarta: Komisi Ombudsman Nasioanl, 2002
Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar
Grafik,
Taufiqukhoman. 2015. Optimalisasi Investigasi Maladministrasi Ombudsman: Guna
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.
Thamrin, Husni. 2013. Hukum Pelayanan Publik di Indonesia. Jakarta: Aswaja Persindo.
Thoha, Miftah. 2010. Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi. Jakarta: Kencana.

Sekretariat Negara RI. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Sekretariat Negara RI. 2000. Keppres Nomor 44 tahun 2000 tentang Fungsi Komisi
Ombudsman.
Sekretariat Negara RI. 2008. UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia
Sekretariat Negara RI. 2009. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik
Sekretariat Negara RI. 2013. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan
Pengaduan Pelayanan Publik.

https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--maladministrasi-dan-etika-pelayanan-publik
https://ombudsman.go.id/produk/lihat/751/LP_file_20221223_090605.pdf

Anda mungkin juga menyukai