Deni Kurniawan, Universitas Tidar Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes). Berbagai upaya dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Peraturan penmdang- undangan korupsi sendiri telah rnengalami beberapa kali perubahan, sejak diberlakukan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/O11/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penunututan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta Benda dan kemudian keluar Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 24 tahun 1961, selanjutnya digantikan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diganti lagi dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu dikeluarkan juga UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Namun walau begitu tidak membatasi adanya perlindungan terhadap saksi dan pelapor. Perlunya diberikan perlindungan hukum pada saksi pelapor dan saksi pelaku secara memadai dan terjaminkan hak-haknya tidak hanya menjadi perbincangan isu nasional, namun juga secara internasional. Perlindungan sendiri adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak mana pun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan. Pada prinsipnya perlindungan bagi saksi pelapor dan saksi pelaku sebagai manusia yang termasuk dalam golongan masyarakat haruslah merupakan seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya di proses peradilan pidana, yang merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusinya dalam proses ini, sekadar menjadi alat hukum dalam proses peradilan tersebut. Perlindungan tersebut meliputi suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, terror dan kekerasan dari pihak mana pun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan. KUHAP sendiri tidak menjelaskan secara rinci mengenai pengertian perlindungan bagi saksi. Pengungkapan hal yang sebenar-benarnya terjadi dalam suatu tindak pidana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari suatu proses penyelesaian kasus dan proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap sederhana dan mudah. Rumusan Masalah 1. Apa saja bentuk perlindungan hukum terhadap pelapor dan saksi dalam tindak pidana korupsi ? 2. Bagaimana solusi nyata yang harus diterapkan untuk menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia ? Pembahasan 1.Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, perlindungan terhadap saksi dn pelapor terdapat beberapa aturan, baik ditingkat undang-undang maupun aturan pelaksanaan yang lain. Ditingkat undang-undang, perlindungan terhadap saksi dan pelapor terdapat di dalam 3 undang-undang yang mengaturnya yaitu pada pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa masyarakat dapat diberikan perlindungan hukum yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan juga pemberantasan tindak pidama korupsi, Pasal 15 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang nenyampaikan laporan mengenai terjadinya korupsi yaitu dengan memberikan perlindungan hukium, jaminan keamanan, dan mengganti identitas pelapor. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas juga dari ancaman yang mana berkenaan dengan kesaksian yang akan dan sedang atau telah diberikannya. Bahkan seorang saksi dan korban dapat ikut serta memilih dan juga menentukan bentuk perlindungan hukum dan juga dukungan untuknya. Selain itu ketentuan undang-undang jaminan perlindungan saksi dan pelapor juga terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam perkara tindak pidana tertentu. MA dalam SEMA meminta kepada hakim untuk jika menemukan saksi pelapor atau saksi pelaku yang bekerja sama maka dapat diberikan perlakuan khusus berupa keringanan hukuman dan atau perlindungan lainnya. 2.Solusi Nyata yang Harus di Terapkan Untuk Menangani Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Korupsi di Indonesia memang harus diberantas karena selain merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, korupsi juga merusak system perekonomian yang mana imbasnya membuat negeri kita belum bisa mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian Tindakan untuk menvegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat yang mana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di era teknologi maju ini pemerintah juga melakukan pemberantasan korupsi melalui kemjuan teknologi yang ada. Di dalam penegakan hukum di Indonesia, pada Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan. Namun tidak seperti yang dipikirkan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa sekehendak hatinya menggunakan instrument yang sensitif seperti penyadapan. Untuk KPK penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang ditandatangani oleh pimpinan KPK yang mana menganut kepemimpinan kolektif di antara lima komisionernya. Penyelidikan itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya bukanlah keputusan yang mudah. Dalam melakukan penyadapan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 serta pasal 12 butir a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tunduk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Karena itu KPK tidak menganggap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ancaman, karena penyadapan yang selama ini dilakukan merupakan lawfull interception, sesuai aturan yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan kehati-hatian ekstra. Tidak hanya itu upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan cara preventif, detektif, dan represif. Upaya detektif yaitu bisa dengan penyadapan yang telah dijelaskan tersebut, sedangkan Upaya pencegahan preventif dan represif agar tindak korupsi tidak lagi terjadi adalah meminimalisasi faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi dan mempercepat proses penindakan terhadap pelaku tindak korupsi. Upaya preventif adalah usaha pncegahan korupsi yang mana diarahkan untuk meminimalisir penyebab dan peluang seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Ada beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan yaitu : Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Memperkuat MA dan jajaran peradilan di bawahnya, Membangun kode etik di sector public. Membangun kode etik di sector partai politik, organisasi profesi dan asosiasi bisnis. Meneliti lebih jauh sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan. Penyempurnaan manajemen SDM dan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri. Peningkatan kualitas penerapan system pengadilan menejemen. Penyempurnaan menejemen barang kekayaan milik negara atau BKMN. Peningkatan kualitas pelaynan kepada Masyarakat. Kampanye unuk mencapai nilai atau value secara nasional Strategi represif adalah sebuah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses dengan cepat, tepat, dan dengan biaya murah. Sehingga para pelakunya dapat segera diberikan sanksi yang mana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Upaya represif ada beberapa cara yaitu : Penguatan kapasitas badan atau komisi anti korupsi. Penyelidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar dengan efek jera. Penentuan jenis-jenis ataupun kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas. Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik. Pemberlakuan system pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu. Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya. Pengaturan Kembali hubungan daan standar kerja antara tugas penyidikan tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PNS, dan penuntut umum. Kesimpulan Perlindungan terhadap saksi dn pelapor terdapat beberapa aturan, baik ditingkat undang- undang maupun aturan pelaksanaan yang lain. Ditingkat undang-undang, terdapat di dalam 3 undang-undang yang mengaturnya yaitu pada pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 15 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan juga terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian Tindakan untuk menvegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat yang mana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan cara preventif, detektif, dan represif. Yang mana hal tersebut butuh Kerjasama antara apparat penegak hukum dan juga masyarakat.