Anda di halaman 1dari 4

1.

Berikan analisis, kualifikasi dari perbuatan dari pelaku tindak pidana korupsi yang
dapat dikenakan ancaman pidana mati.
2. Faktor yang menyebabkan penegak hukum mengalami kesulitan dalam
menerapkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
3. Berikan analisis, kebijakan diberlakukannya pengetatan hak remisi bagi
narapidana kasus korupsi.

Jawaban :

1. Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)


Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
undang Pemberantasan Korupsi, yang mana Perma tersebut banyak diapresiasi
oleh berbagai pihak, khususnya DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
berbagai pihak lainnya.
Dalam Perma tersebut, MA membagi kategori koruptor menjadi lima yaitu paling
berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan. Bagi koruptor yang masuk dalam
kategori paling berat, siap-siap saja hakim akan memberikan hukuman hingga
penjara seumur hidup dan bahkan hukuman mati.

Ancaman Hukuman Mati


Dilihat dari ancaman pemidanaan dalam Perma ini, Mahkamah Agung tampaknya
tidak main-main dalam menjatuhkan pidana hukuman mati. Berikut ini syarat
penjatuhan hukuman mati bagi koruptor sesuai Perma Nomor 1/2020:
1. Hakim tidak menemukan hal yang meringankan dari diri terdakwa.
2. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
3. Terdakwa korupsi Rp100 miliar atau lebih.
4. Terdakwa memiliki peran yang paling signifikan dalam terjadinya tindak pidana,
baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
5. Terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau menyuruh atau melakukan
terjadinya tindak pidana korupsi.
6. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus operandi atau
sarana/teknologi canggih.
7. Terdakwa korupsi dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala
nasional.
8. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan dampak nasional.
9. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak dapat
dimanfaatkan.
10. Korupsi yang dilakukan terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi kelompok
masyarakat rentan, di antaranya orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin,
perempuan hamil dan penyandang disabilitas.
11. Nilai kekayaan terdakwa didapat dari 50 persen atau lebih dari hasil korupsi.
12. Uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10 persen.

2. Hak hidup adalah hak paling mendasar yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan
apapun yang dijamin oleh konstitusi. Di sisi lain, hukuman mati masih ada dalam hukum
positif di Indonesia untuk mencegah dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak
pidana, salah satunya bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat dalam
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
yang mana pemberatannya adalah penerapan pidana mati.

“Padahal tidak ada korelasi antara penerapan hukuman mati dengan upaya pencegahan
dan efek jera di dalam pemberantasan tindak korupsi,” ungkap Ketua Komnas HAM RI
Ahmad Taufan Damanik ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Daring bertajuk
"Hukuman Mati untuk Koruptor: Apakah Tepat?" yang diselenggarakan oleh Imparsial
bersama narasumber lain Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Juru Bicara KPK Ali
Fikri, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, Peneliti Imparsial Amalia Suri dan
dimoderatori oleh Peneliti Imparsial Gustika Jusuf (Jumat, 12/3/2021).

Taufan lantas menilai vonis hukuman mati bukan lah solusi yang tepat untuk
memberantas korupsi, karena selain tidak cukup efektif mengatasi tindak pidana korupsi,
juga bertentangan dengan norma hak asasi manusia. Menurut Taufan, Indonesia tidak
saja dinilai dari seberapa kuat membangun sistem pencegahan dan penindakan terhadap
praktek korupsi, tetapi juga akan dinilai seberapa jauh memiliki komitmen kepatuhan
terhadap standar hak asasi manusia.

Mengutip dari paparan ICW, skor Indeks korupsi (CPI) China tahun 2020, sebagai salah
satu Negara yang gencar menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, tercatat di
angka 42 dari skala 0-100 dimana nilai yang lebih tinggi merupakan indikator bahwa
responden memberikan penilaian yang baik, sementara nilai rendah mengindikasikan
bahwa responden menilai bahwa di daerahnya praktik korupsi masih tinggi, yang berarti
praktik korupsi disana masih cukup tinggi. Sebaliknya, negara-negara terbaik Indeks
Persepsi Korupsinya (di antara angka 85-87) yakni Denmark, Selandia Baru, Finlandia,
Singapore, Swedia dan Switzerland, (kecuali Singapore yang masih menerapkan
hukuman mati namun bukan untuk tindak pidana korupsi), negara-negara tersebut sudah
lama menghapuskan hukuman mati. Sementara negara-negara yang paling buruk Indeks
Persepsi Korupsinya (di antara angka 10-14), yakni Korea Utara, Yaman, Sudan Selatan,
Suriah dan Somalia, justru adalah negara yang menerapkan hukuman mati.
“Komnas HAM sejak awal tidak sepakat dengan hukuman mati, karena bagi Komnas
HAM hak untuk hidup merupakan hak absolut seorang manusia, dalam berbagai kajian
PBB menyimpulkan tidak ada korelasi antara pemberantasan tindak pidana kejahatan
dengan hukuman mati. Meski dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pasal 6 ayat
2 masih membenarkan hukuman mati, namun hanya diterapkan kepada tindakan pidana
paling serius (the most serious crimes) yakni pelanggaran HAM yang berat (gross
violation of human rights) yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi, dan tidak termasuk tindak pidana korupsi. Resolusi Dewan HAM PBB justru
mendorong untuk menghapus hukuman mati. Saat ini tinggal sedikit saja negara yang
masih menerapkan hukuman mati, di antaranya adalah negara kita Indonesia” jelas
Taufan Damanik.

Di forum internasional Indonesia dinilai sudah menunjukkan langkah baik, ungkap


Taufan, karena misalnya dalam RKUHP tidak lagi menempatkan hukuman mati sebagai
pidana pokok, tetapi lebih sebagai pidana alternatif dan memberikan waktu 10 tahun
masa review yang bila di masa itu terpidana mati dinilai berkelakuan baik, hikumannya
bisa diturunkan menjadi pidana seumur hidup atau lebih ringan dari pidana awalnya.
Tetapi dengan memunculkan lagi wacana hukuman mati kepada koruptor, Taufan
prihatin, Indonesia kembali disorot internasional karena dinilai tidak patuh dan tidak
memiliki komitmen yang kuat kepada hak asasi manusia.

Koordinator ICW Adnan Topan memandang bahwa tuntutan hukuman mati adalah
refleksi rasa frustasi masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan
efektif sehingga hukuman mati seakan menjadi jalan pintas menyelesaikan masalah
korupsi yang mengakar. Lebih dalam Adnan menelisik bahwa korupsi merupakan gejala,
daripada penyakit, dari ketidakberesan sistem di sektor pemerintah, privat dan
masyarakat (symptomatic). “Menangani korupsi membutuhkan tiga pendekatan
sekaligus penindakan, pencegahan dan pendidikan serta mengalihkan paradigma dari
follow the suspect ke follow the money (asset recovery sebagai prioritas)” cermatnya.

“Tentu kita semua memiliki komitmen yang sama untuk pemberantasan korupsi terutama
dalam praktik-praktik korupsi yang menyengsarakan masyarakat, jadi korupsi dana
bansos itu sesuatu yang sangat kejam dan sangat tidak manusiawi, yang mengecewakan
semua pihak. Tapi sekali lagi refleksi dari frustasi sosial tidak boleh dijawab dengan
kefrustasian dalam mengambil kebijakan,” ungkap Taufan Damanik.

Taufan Damanik lebih menekankan strategi pemberantasan korupsi yang efektif


ketimbang mengedepankan hukuman mati sebagai ganjaran. Menurutnya pembenahan
tata kelola secara masif dan bersifat sistemik dari akar permasalahannya dapat menjadi
strategi pemberantasan korupsi. Kemudian dalam hal budaya korupsi yang jamak di
masyarakat misalnya, dengan menggencarkan upaya mendidik kepatuhan terhadap
hukum dari usia dini serta menerapkan clean government di level pemerintahan.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, turut urun pendapat. Tuntutan pidana mati, disampaikan Ali
Fikri, adalah sebagai pemberatan bukan menjadi pokok dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia menyampaikan bahwa prioritas bagi KPK
adalah pendidikan dan pencegahan baru kemudian penindakan. Melalui upaya
pencegahan tindak korupsi potensi kerugian Negara dapat diminimalkan serta melalui
pendidikan anti korupsi dapat dibangun sistem yang lebih berintegritas. (AAP/ATD)

3. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan


tentang pemberian remisi berdasarkan Perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana
proses pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsidikaitkan dengan UU 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif sehingga
dapat disimpulkan, bahwa: 1. Berdasarkan Perundang-undangan di Indonesia pemberian
remisi atau pengurangan masa penghukuman merupakan haknarapidana dengan disertai
batasan-batasan kondisi khusus yang secara hukum membedakan remisi yang diterima
narapidana satu dengan yang lainnya,keberadaannya tidak lepas dengan sistem
pemasyarakatan yang merupakansuatu tatanan pembinaan terhadap narapidana, maka
remisi merupakan suaturangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk
merubahperilaku sesuai dengan tujuan sistem pemasyarakatan. 2. Proses pemberian remisi
terhadap narapidana tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999
Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam
Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 pemberian remisi dibagikan atas dua bagian
yaitu remisi umum dan remisi khusus. Bilamana dikaitkan dengan UU korupsi (20 Tahun
2001) maka peraturan remisi harus ditinjau kembali dengan besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh terpidana.

Anda mungkin juga menyukai