Anda di halaman 1dari 9

PRO DAN KONTRA KEBIJAKAN HUKUMAN MATI PADA KORUPTOR

Fabhian Halky Syahir

2210611069

Ilmu Hukum. Fakultas Hukum, UPN Veteran Jakarta

upnvj@upnvj.ac.id

Abstrak

Korupsi merupakan kejahatan berat di Indonesia yang telah menghancurkan bangsa dan dasar negara. Korupsi tidak
hanya merugikan negara, tetapi juga merampas hak-hak sosial dan pembangunan ekonomi secara umum. Kejahatan
ini sangat sulit untuk diberantas karena sering dilakukan secara terorganisir dan melibatkan orang-orang yang
memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Dampak korupsi sangat besar. Saatnya mengklasifikasikan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa yang membutuhkan upaya khusus, pendekatan komprehensif, dan metode sistematis untuk
memberantasnya. Salah satu kemungkinannya adalah menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor.

Kata Kunci : Korupsi, hukuman mati, kejahatan

Abstract

Corruption is a serious crime in Indonesia that has destroyed the nation and the foundation of the country.
Corruption is not only detrimental to the state, but also robs social rights and economic development in general.
This is very difficult to eradicate because it is often carried out in an organized manner and involves people who
have economic and political power. The impact of corruption is enormous. It is time to classify corruption as an
extraordinary crime that requires special efforts, a comprehensive approach, and systematic methods to eradicate it.
One possibility is to impose the death penalty for corruptors.

Keywords: Corruption, death penalty, crime

PENDAHULUAN

Korupsi dewasa ini semakin meningkat baik jenis, pelaku maupun praktiknya. Masalah korupsi
bukan hanya masalah domestik, tetapi sudah menjadi masalah internasional. Bahkan dalam bentuk dan
skalanya saat ini, korupsi dapat menggulingkan rezim dan mengganggu dan bahkan menghancurkan
negara. Dampak korupsi di negara-negara di mana korupsi terjadi bervariasi dalam bentuk, ruang lingkup
dan konsekuensinya, tetapi dampak akhirnya menyebabkan kesengsaraan manusia. Di negara-negara
miskin, korupsi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menghambat pembangunan ekonomi dan
melemahkan legitimasi politik, yang dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Di
negara maju, korupsi mungkin tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian suatu negara, tetapi
seperti halnya di negara berkembang, korupsi dapat merusak legitimasi politik di negara-negara
demokrasi industri. Korupsi paling merusak di negara-negara transisi seperti Indonesia. Korupsi, jika
dibiarkan, dapat merusak dukungan untuk demokrasi dan ekonomi pasar.

Dapat dikatakan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis korupsi. Karena setelah 68
tahun kemerdekaan, korupsi bukan lagi gejala, sudah mengakar di setiap lapisan elit negara, dari pusat
hingga daerah-daerah terpencil. Situasi ini juga menggarisbawahi betapa dahsyatnya dampak sosial dan
kemanusiaan dari kejahatan luar biasa ini. Kejahatan ini tidak hanya merugikan masyarakat luas dan
merupakan bentuk pengkhianatan terhadap misi rakyat, tetapi juga mengancam moral bangsa bagi
generasi penerus dan merusak stabilitas, kredibilitas dan kedudukan bangsa di mata dunia. Korupsi tidak
hanya merugikan bangsa dan negara, tetapi juga merugikan jiwa masyarakat, baik di lingkungan instansi
pemerintah itu sendiri maupun di masyarakat luas, dapat menimbulkan semacam “balas dendam kelas” di
masyarakat. Mahfud MD, ketika menjadi Ketua MK, mengangkat "bola panas" bahwa hukuman mati bisa
dijatuhkan kepada koruptor. Bukan hanya untuk korupsi negara, tapi untuk seluruh pelaku korupsi di
Indonesia, seperti fatwa hasil mufakat Alim Ulama dan Musyawarah NU 2012. Pernyataan ini tentu akan
mengobarkan kembali perdebatan lama tentang perlunya hukuman mati di Indonesia, terutama dalam
kasus-kasus kejahatan luar biasa.

Terkait penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Republik Rakyat Tiongkok, Presiden
Republik Rakyat Tiongkok Jiang Zemin menggambarkannya sebagai kanker ganas yang menggerogoti
organ utama pemerintahan dan kebijakan luar negeri, itulah sebabnya Tiongkok baru-baru ini begitu aktif
dalam memerangi korupsi. Pengaruh penerapan pidana mati juga didasarkan pada kenyataan bahwa
pidana mati lebih pasti dan pasti daripada pidana penjara, karena pidana penjara seringkali mengandung
kemungkinan untuk melarikan diri karena amnesti atau pembayaran gratis. Hukuman mati sering
dibenarkan karena hukuman mati pada dasarnya jauh lebih murah daripada hukuman penjara seumur
hidup. Alasan yang mendukung hukuman mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela
keberadaan hukuman mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia ada situasi tertentu.
Bahaya melanggar hukum dan ketertiban di Indonesia semakin besar. Hazewinkel Suringa berpendapat
bahwa kejahatan adalah alat pembersihan radikal yang dapat digunakan di masa revolusioner. Van Veen
menganggap hukuman mati sebagai tindakan perlindungan sosial yang sangat berbahaya dan bahwa
hukuman mati dapat dan dapat digunakan sebagai instrumen semacam itu. Selain argumen yang
mendukung hukuman mati, banyak juga yang menentang hukuman mati bagi penyuap. Indonesia sendiri,
meskipun secara jelas tertuang dalam undang-undang, belum dilaksanakan. Pihak-pihak yang menentang
hukuman mati seringkali mengaitkan penerapan hukuman mati dengan hak untuk hidup dan hak asasi
manusia.

Hubungan antara hukuman mati dan hak asasi manusia sangat erat, yang didasarkan pada salah
satu alasan bahwa penerapan hukuman mati dikaitkan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar.
Dalam rangka penerapan pidana mati terhadap mereka yang melakukan tindak pidana korupsi dalam
kasus-kasus tertentu, perlu dilakukan penelitian yang mendalam, mengingat penerapan pidana mati
sebagai pidana terberat dalam arti pelaku yang bersalah akan rugi. hidupnya, yang merupakan hak yang
tak ternilai harganya. Berdasarkan uraian dasar penulis tentang masalah korupsi khususnya yang
berkaitan dengan kondisi di Indonesia, maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait
urgensi kasus pidana mati bagi pelaku korupsi. Apakah penerapan hukuman mati terlalu mendesak dalam
situasi dan kondisi Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi di dunia dan jika
penerapan hukuman mati dilaksanakan sesuai dengan norma hukum dan agama negara tersebut? Gereja
merupakan bagian dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum. Metode penelitian normatif, disebut
juga penelitian doktrinal, adalah penelitian analitik baik terhadap hukum yang tertulis dalam kitab
(hukum yang tertulis dalam kitab), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim dalam persidangan.
Penelitian hukum didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada tahap analisis teoritis-spekulatif
dan kualitatif-normatif. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum.
Penelitian hukum adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, terkait dengan urgensi dan
efektifitas hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Dalam penelitian hukum mengacu pada
sumber hukum, khususnya penelitian mengacu pada norma hukum yang terkandung dalam dokumen
hukum. Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum yang disebut juga penelitian doktrinal adalah kajian
analitis baik hukum yang tertulis dalam kitab (the law write in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui suatu proses penyerahan.

HASIL & PEMBAHASAN

A. Pidana Mati dalam Peraturan Perundangan- Undangan di Indonesia

Berbicara tentang hukuman mati dari sudut pandang Pancasila, masih ada pro dan kontra dari
hukuman mati secara umum. Bagi para pendukung pidana mati, kaitan antara pidana mati dengan nilai-
nilai Pancasila adalah bahwa hakikat pidana mati adalah untuk melindungi kepentingan individu dan
masyarakat dari kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. dijamin oleh nilai-nilai
Pancasila. Argumentasi lainnya adalah KUHP yang merupakan produk Belanda dan telah disesuaikan
untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia, disahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Oleh karena itu KUHP ini
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber informasi, hukum tertinggi di Indonesia.

Ancaman pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak semata-mata


didasarkan pada KUHP, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM juga memiliki hukuman mati bagi
pelanggar HAM berat, hal yang sama diatur dalam konvensi PBB bahwa pelaku kejahatan berat terhadap
kemanusiaan berhak dihukum mati. melampaui standar tertentu untuk tindak pidana korupsi berdasarkan
UU No. 31 tahun 1999 diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juga menjatuhkan hukuman mati bagi
penyuap tertentu yang memenuhi syarat. Dengan demikian, bagi para pemrakarsa pidana mati ditegaskan
bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila karena jelas undang-undang tersebut
secara aktif menerapkan pidana mati, dan terlebih lagi positif hukum secara tegas dinyatakan tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Sementara itu, para penentang
hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama
nilai-nilai kemanusiaan. Argumentasi dikemukakan bahwa pada umumnya tujuan pemidanaan menurut
hukum pidana Indonesia bukanlah untuk membalas dendam, tetapi untuk mengajarkan pelajaran kepada
terpidana sehingga ketika terpidana menyelesaikan hukumannya, ia harus menjadi anggota masyarakat
yang baik, dan bahkan mungkin menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.

Beberapa pakar hukum memperdebatkan hukuman mati dalam konteks revisi UU No. 22 Tahun
1997 tentang Narkoba terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Para ahli mempertahankan
pendapat dan keyakinan mereka. Salah satu ahli hukum Indonesia yang hadir dalam persidangan tersebut
adalah Jacob Elfinus Sahetapy. Ia sangat memperhatikan komitmen dan integritas penegak hukum dan
menganggap hukuman mati sepenuhnya bertentangan dengan Pancasila. Sahetapy mengingatkan bahwa
konstitusi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari budaya Indonesia. Oleh karena itu, hukuman seumur
hidup tanpa pembebasan bersyarat jauh lebih baik daripada hukuman mati. Dia yakin hukuman mati tidak
akan memberantas peredaran narkoba.

B. Masalah dalam pelaksanaan Pidana Mati


Sejauh ini di Indonesia, banyak terpidana mati menunggu eksekusi. Mulai dari warga negara asing
dan warga negara Indonesia. Terpidana mati seringkali melibatkan kasus narkoba, terorisme, dan
pembunuhan berencana. Meski Indonesia masih menerapkan hukuman mati, kampanye penghapusan
hukuman mati terus dilakukan oleh banyak pihak. Perdebatan muncul tidak hanya di ruang konferensi
dan media, tetapi juga dengan pengajuan tes dokumenter. Penolakan ini disebabkan oleh beberapa
masalah prosedural dalam penerapan hukuman mati, seperti yang terungkap dalam laporan tahunan
Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi di luar hukum, ringkasan atau sewenang-wenang dan oleh
Amnesty International, antara lain:
1. Dalam banyak kasus, eksekusi narapidana bertentangan dengan prinsip peradilan yang adil.
Banyak terpidana mati tidak memahami bukti dan bukti yang diajukan terhadap mereka. Atau
terkadang jaksa dan aparat penegak hukum lainnya tidak dapat mengungkapkan siapa atau
pelaku lain yang diduga bertanggung jawab atas suatu kasus.
2. Terpidana mati terkadang tidak sepenuhnya memahami tuduhan terhadap mereka. Hal ini
biasanya terjadi ketika terpidana tidak fasih dalam bahasa yang biasa digunakan dalam proses
pengadilan. Selain itu, dalam beberapa kasus, banyak pengadilan Indonesia yang belum
memiliki fasilitas penerjemahan yang disiapkan khusus untuk menerjemahkan dokumen
pengadilan dan memfasilitasi proses peninjauan. dibandingkan dengan hukuman mati biasanya
diterapkan pada orang-orang dengan keadaan sulit atau sulit dalam masyarakat.
3. Kebanyakan dari mereka yang dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang telah melakukan
kejahatan biasa menurut ketentuan KUHP. Namun, meski hukuman mati harus diterapkan
secara konsisten, hal itu tidak pernah diterapkan kepada mereka yang melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan atau terhadap orang-orang korup yang melarikan diri ke luar negeri
dengan dana Bank of America.Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI). Toh, kejahatan yang
mereka lakukan juga terus melukai dan merusak eksistensi negara yang sedang berjuang untuk
bangkit dari keterpurukan seperti Indonesia
4. Tidak ada jaminan bahwa penerapan hukuman mati akan mencegah atau mengurangi tingkat
kejahatan. Terakhir, penerapan hukuman mati tidak sesuai dengan konsep penitensi di negara-
negara di dunia terhadap pelaku kejahatan. Memang dalam sistem pemasyarakatan yang
diprioritaskan adalah pembinaan mental agar pelaku kejahatan diharapkan kembali kepada
kehidupan sosialnya. Penerapan hukuman mati jelas bertentangan dengan konsep penebusan
dosa yang juga berkembang di Indonesia.
Selain hal tersebut di atas, satu hal lagi yang menjadi permasalahan dalam penerapan pidana mati
banyak menimbulkan kerancuan dan kesadaran, terutama bagi mereka yang tidak setuju dengan alasan
penerapan pidana mati yang biasanya berlangsung selama itu, dan karena tidak jelas apakah hukuman
mati berlaku.

C. Pidana Mati dalam Presepektif HAM

Peraturan perundang-undangan nasional yang memuat ketentuan yang berkaitan dengan pidana mati
juga harus menghormati ketentuan tersebut dan tidak mengandung unsur ilegalitas dan ketidakadilan.
Dengan demikian, frasa “tidak seorang pun dapat dengan sewenang-wenang mencabut nyawanya” dalam
Pasal 6 UU No. 12 dari 205 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menunjukkan maksud
bahwa "sewenang-wenang" berarti baik. Selain pasal 6 UU No. Pasal 12 Tahun 205 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (hak untuk hidup), beberapa yang juga dilarang dikurangi adalah
pasal 7 (hak untuk tidak disiksa), pasal 8 (ayat 1 dan 2)./ hak untuk tidak diperbudak), Pasal 11 (hak
untuk tidak dipenjarakan karena ia tidak dapat melaksanakan kewajiban kontraktualnya), Pasal 15 (hak
untuk tidak dihukum berdasarkan hukum penuntutan), Pasal 16 (hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum) dan Pasal 18 (kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama) tidak sah atau tidak adil.

Ditegaskan pula bahwa soal tersebut masih kekurangan unsur-unsur yang tidak dapat dijadikan
pegangan dan tidak wajar. Jadi, sekalipun hukuman mati diperbolehkan, asalkan diatur dalam hukum
nasional, hukum itu harus legal, adil, efektif, dan wajar. Oleh karena itu, ketentuan yang berkaitan
dengan hak untuk hidup tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 dari 205 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik tidak bisa begitu saja dipahami sebagai pelarangan hukuman mati. Menurut
ketentuan ini, pidana mati sebagai perampasan hak untuk hidup masih dapat diterima hanya jika diatur
oleh hukum nasional yang adil, sah, dan efektif. Perhatikan pasal 6 hukum bilangan itu. 12/205 Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang masih mengakui pidana mati juga memperhatikan
ketentuan-ketentuan berikut yang mengatur tentang batas-batas pidana mati.

Berikut ketentuan Pasal 6 ayat (1), khususnya Pasal 6 ayat (2) n.d. (6) UU No. 12 Tahun 205
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik adalah sebagai berikut: (2) Di negara-negara yang belum
menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya dapat diterapkan pada kejahatan berat, yang terpenting
menurut hukum yang berlaku di tingkat waktu kejahatan itu dilakukan dan tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan akhir dari pengadilan yang
berwenang. (4) Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengampuni atau mengurangi
hukumannya. Dalam semua kasus, amnesti, amnesti atau pengurangan hukuman mati dapat dilakukan. (5)
Pidana mati tidak dapat dijatuhkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang berumur di bawah
delapan belas tahun, dan tidak dapat diterapkan terhadap wanita hamil. (6) Tidak ada satu pun dalam
pasal ini yang boleh digunakan untuk menunda atau mencegah Negara-negara Pihak pada Konvensi ini
untuk menghapuskan hukuman mati.

D. Penerapan Pidana Mati dalam Upaya pemberantasana Tindak pidana korupsi di Indonesia

Perbincangan tentang hukuman mati bagi koruptor baru-baru ini mengemuka setelah hakim kasus
korupsi memvonis Artalita hanya lima tahun penjara. Hukuman ini tentu merupakan hukuman maksimal
bagi siapa saja yang terbukti melanggar Pasal 5 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun
1999. Sementara itu, yang menyesalkan ancaman tersebut harus menyerahkan kepada yang berwajib,
pembuat undang-undang, bukan hakim antikorupsi atau jaksa KPK. Dalam undang-undang ini ancaman
pidana mati hanya berlaku bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan tindak pidana yang
melanggar Pasal 1 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-undang menetapkan bahwa hukuman mati hanya diterapkan dalam kasus-kasus di mana
negara dalam bahaya, masalah nasional, atau korupsi berulang, atau ketika negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.

Dari segi hukum internasional, hukuman mati memang telah dihapuskan dalam hukum nasional
setiap negara anggota PBB, termasuk Indonesia, yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik (tahun 1966) bersama dengan UU No. 12 Tahun 1995. ; hanya dalam pasal 6 Kovenan
yang masih diperbolehkan dalam tiga kasus. Pertama, itu hanya berlaku untuk kejahatan berat. Kedua,
hukum tidak dapat berlaku surut. Ketiga, harus berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Keempat, tidak berlaku untuk ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun. Jika pidana mati
dijatuhkan, penerapannya harus memperhatikan hak terdakwa yang dijatuhi hukuman mati atas amnesti
dan keringanan lain untuk kejahatan lainnya.

Pembahasan hukuman mati kembali mengemuka setelah Presiden Republik Indonesia, Susilo
Bambang Yudoyono, melalui juru bicara Presiden, Andi Malaranggeng, memberikan pidato atau gagasan
untuk menerapkan hukuman mati pada hukuman mati dengan orang-orang korup. Biarkan publik
mendiskusikan penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia, seperti yang dikatakan Andi dalam
wawancara dengan media. Pesan yang ingin disampaikannya sedikit banyak menunjukkan bahwa
pemerintahan SBY sangat serius dan tegas dalam upaya pemberantasan korupsi. Menanggapi pidato
tersebut, hadirin dengan lantang mengangkat topik ini dalam setiap percakapan atau obrolan sambil
minum teh atau kopi.

Beberapa media, tulisan dan televisi, telah meliput masalah hukuman mati di sejumlah acara
bincang-bincang, laporan khusus, dan debat. Antusiasme masyarakat kita menanggapi tema ini. Sekedar
mengingatkan, hukuman mati menurut hukum Indonesia sebenarnya sudah dikenal dan diterapkan sejak
zaman Hindia Belanda. Mengenai penerapan pidana mati, dalam kurun waktu dari zaman dahulu hingga
sekarang ini telah terjadi beberapa perubahan, terutama mengenai penerapan pidana mati. Misalnya,
dalam ketentuan Bab II Pasal 11 KUHP, hukuman mati dilakukan oleh algojo di hanggar. Penerapan
pidana mati menurut KUHP masih berlaku, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1964,
meskipun cara dan mekanisme eksekusi tidak lagi dilakukan oleh Dewan Negara, algojo di tiang
gantungan.

Selain diatur dalam KUHP, pidana mati juga diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain UU
No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 15 tahun 2003 tentang terorisme. Dalam
konteks itu, penerapan hukuman mati di Indonesia adalah sah dan tidak melanggar konstitusi.

Filosofi hukuman Indonesia sendiri berfokus pada upaya untuk merehabilitasi dan mengintegrasikan
kembali penjahat ke dalam masyarakat. Hal ini tidak mungkin dalam penerapan hukuman mati.
Penerapan pidana mati bersifat irrevocable (tidak mungkin kembali ke keadaan semula), sehingga
pelaksanaannya harus didasarkan pada penelitian dan pemikiran yang sangat matang. Ia tidak
bertanggung jawab atas penerapan hukuman mati berdasarkan spekulasi belaka. Kurangnya penelitian
yang mendukung tentang efektivitas hukuman mati (untuk mengurangi kejahatan melalui efek jera)
menjadi alasan yang sangat kuat untuk menghapus hukuman mati bagi mereka yang menentang
penggunaan hukuman mati.

Hal terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah masalah tingkat ancaman
kejahatan yang maksimal, tetapi bagaimana menjaga dan memelihara agar eksekusi tindak pidana di
lembaga pemasyarakatan berjalan dengan lancar dan konsisten. Juga tidak ada perbedaan perlakuan
berdasarkan status sosial dan ekonomi dari terpidana, bahkan jika orang tersebut ditahan sampai dengan
pelaksanaan hukuman, seperti keberadaan terpidana, pusat reruntuhan dan penjara seperti bintang empat.
Pengawasan yang ketat selama penahanan dan eksekusi pelaku kejahatan merupakan masalah penting di
Indonesia, terutama bagi pelaku kejahatan berat seperti suap.

PENUTUP

Penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU No 20
Tahun 2001 UU No. Tanggal 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun
belum pernah diterapkan dalam kasus korupsi di Indonesia, hal ini membutuhkan banyak pertimbangan
dan kehati-hatian, karena begitu hukuman mati dilaksanakan operasi, jika terjadi kesalahan. tidak dapat
diatur ulang ke keadaan semula. Penerapannya harus sangat selektif. Penerapan hukuman mati secara
filosofis diterima dan konsisten dengan konsep negara berdasarkan hukum Pancasila, meskipun yang
terakhir mungkin opsional atau kondisional. Hukum nasional mengakui adanya hukum Tuhan, hukum
alam, dan hukum moral. Indonesia adalah negara mayoritas muslim. Keberadaan hukuman mati dalam
hukum pidana Islam, jika dilihat secara objektif, sebenarnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umat,
karena hukuman mati dapat memberikan efek jera, selain dapat digunakan sebagai pencegah (zawajir)
dari dosa. dan kejahatan. Islam tidak secara khusus membahas bentuk-bentuk hukuman bagi orang yang
koruptor, namun para ulama telah sepakat bahwa makar dan perbuatan korupsi tidak dihukum dengan
potong tangan, karena ada syubhat (hak) atas harta yang dirampas, mereka hanya dihukum dengan
hukuman potong tangan. ta 'zir, yaitu hukuman pendidikan untuk kejahatan yang belum diidentifikasi
oleh syarak, dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat, bahkan sampai hukuman mati
dalam kejahatan berbahaya, dan hakim telah memberikan kekuasaan untuk memilih hukuman. sesuai
dengan keadaan pelaku dan pelaku, hal ini berarti penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan
hukum Tuhan dan hukum positif di Indonesia, sepanjang perpajakan dilakukan secara adil, selektif, etis.
pertimbangan dan nilai agama.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Grafitti Press, Jakarta, 2006.

Akhiar Salmi, yang dikutipnya dari Han Bing Siong, Cara Melaksanakan Hukuman Mati, Penerbit Dimar
Sondang, 1960.

Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Aksara persada, Jakarta, 1985.

Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT. Softmedia, Medan, 2009.

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1984.

-------------------, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.


Aulia HS., Belajarlah ke Negeri Cina, Majalah Panji Masyarakat, No. 19 Tahun IV, 30 Agustus
2000.

Baderin, Mashood, A., International Human Rights and Islamic Law, Oxford University Press, 2003

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195,
sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada
“Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan, tanggal 18
Februari 2003.

Djoko Parkoso & Nurwahid, Studi tentang penapatpendapat mengenai efektifitas hukuman mati, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985.

Imparsial, Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008. Updated hingga Juli 2008.

Jeffrey Fagan, Ohio State Journal of Criminal Law, Fall, 2006.


J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, C.V. Rajawali, Jakarta, 1979.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip- prinsipnya dilihat dari segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media,
Jakarta, 2003.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Mr J.E Jonkers, Buku Pedoman Hukum Hindia Belanda, Bina aksara, Jakarta, 1987.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007.

JURNAL:

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2003.

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Juricprudence, Seventh Edition, London, Sweet & Maxweel
Ltd, 2001.

Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition,
N.P. Engel, Publishers, hal. 122. dalam Kajian Hukuman Mati Dalam Pandangan Hak Asasi
Manusia (Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian Dan Penelitian, Roichatul Aswidah,
Komnas Ham Indonesia). Pandangan ini menegaskan sifat natural rights hak hidup.

PERATURAN UU:

Putusan No.2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007.

Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hukuman Mati. Putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
tanggal 15 Oktober 2008.

Anda mungkin juga menyukai