Anda di halaman 1dari 40

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP

TINDAK PIDANA PENCURIAN


(Studi Penelitian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh


Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NAMA : FHANDIO AKBAR PUTRA


NIM : 170510100
FAKULTAS : HUKUM
PROGRAM STUDI : HUKUM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS HUKUM
LHOKSEUMAWE
2024
USULAN RANCANGAN PENELITIAN UNTUK PENULISAN SKRIPSI
PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

A. Judul Penelitian:

Analisis Yuridis Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana

Pencurian (Studi Penelitian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe)

B. Identitas Peneliti:

1. Nama : Fhandio Akbar Putra

2. NIM : 170510100

3. Angkatan : 2017

4. Fakultas : Hukum

5. Program Studi : Hukum

6. Konsentrasi : Hukum Pidana

7. Alamat : Jl. Meranti, Mekar Baru, Kecamatan Kisaran

Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara

C. Latar Belakang Masalah

Hukum adalah kumpulan peraturan dan regulasi komprehensif yang secara resmi

ditetapkan dan ditegakkan oleh otoritas yang berkuasa atau pemerintah. Hal ini

mencakup seperangkat prinsip yang mengatur dan menjaga ketertiban dalam

masyarakat, mencakup berbagai institusi dan prosedur yang bertujuan untuk

memastikan penerapan dan kepatuhan terhadap undang-undang tersebut. Penting

untuk dicatat bahwa pembahasan mengenai penegakan hukum sangat erat

1
2

kaitannya dengan konsep peradilan pidana, karena proses penegakan hukum pada

dasarnya melibatkan sistem peradilan pidana.

Menurut Moeljatno, hukum pidana dapat dipecah menjadi tiga komponen

utama. Yang pertama melibatkan identifikasi tindakan yang dilarang dan memiliki

konsekuensi, seperti hukuman, bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.

Aspek kedua melibatkan penentuan keadaan di mana individu yang melanggar

aturan-aturan ini dapat dihukum dengan ancaman hukuman. Aspek ketiga

mencakup penjabaran proses investigasi dan penuntutan terhadap individu yang

diduga melanggar larangan tersebut.1

Seiring berjalannya waktu, ide-ide baru untuk membentuk masa depan

kebijakan hukum menjadi penting. Penting untuk mengeksplorasi pendekatan-

pendekatan alternatif yang melengkapi sistem peradilan pidana yang ada, untuk

memastikan bahwa masyarakat bukan cuma bergantung pada metode-metode

yang ada saat ini. Salah satu jalan keluar yang diusulkan yaitu penerapan

mekanisme penyelesaian restorative justice.

Keadilan Restoratif mencakup konsep memperbaiki hubungan dan

mencari pengampunan atas kesalahan yang dilakukan pelaku (dan keluarganya)

terhadap korban kejahatan (dan keluarganya). Tujuan utama dari Keadilan

Restoratif adalah untuk mendorong rekonsiliasi di luar sistem peradilan

tradisional, dengan tujuan akhir untuk menyelesaikan komplikasi hukum yang

timbul akibat tindak pidana. Hal ini dapat dicapai secara efektif melalui

1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta, 2008 , hlm.
1.
3

komunikasi terbuka, negosiasi, dan saling pengertian antara semua pihak yang

terlibat.2

Keadilan restoratif merupakan pendekatan holistik dalam menangani kasus

pidana yang menyertakan partisipasi aktif pelaku, korban, keluarganya, dan pihak-

pihak lain yang terkena dampak. Tujuan utama dari keadilan restoratif yakni

untuk secara kolaboratif menemukan resolusi yang berfokus pada perbaikan

kerusakan dan memulihkan hubungan, daripada mencari retribusi atau hukuman.

Proses ini menekankan pentingnya mengakui dampak kejahatan atas seluruh

kalangan yang terlibat dan mengupayakan penyembuhan dan rekonsiliasi.3

Untuk memasukkan prinsip-prinsip keadilan restoratif ke dalam ranah

penegakan hukum, prinsip-prinsip tersebut harus diubah menjadi undang-undang

atau peraturan yang mengikat secara hukum dan dapat diterapkan pada berbagai

lembaga penegak hukum, termasuk Polisi, Jaksa, dan Pengadilan. Langkah

transformatif ini sangat penting karena memungkinkan integrasi dan pelaksanaan

prinsip-prinsip keadilan restoratif secara lancar di seluruh proses penegakan

hukum.

Kejaksaan Republik Indonesia berperan penting dalam mengawasi

keadilan restoratif dalam perkara pidana. Secara khusus, mereka menegakkan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang

penghentian penuntutan melalui penerapan restorative justice. Peraturan ini

berfungsi sebagai panduan komprehensif bagi jaksa, sehingga memungkinkan

2
Joko Sriwidodo Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Kepel Press,
Yogyakarta, 2000, hlm. 120.
3
Surat Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, Menkumham, Menteri
Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Penangangan Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum, tahun 2009.
4

mereka untuk secara efektif menegakkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan

dengan menerapkan praktik restoratif. Dengan berpegang pada peraturan ini,

Kejaksaan bertujuan untuk menjamin adanya penyelesaian yang adil dan merata

bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana di Indonesia.

Jaksa memainkan peran penting dalam sistem peradilan pidana karena

mereka memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengelola seluruh proses

suatu perkara pidana. Kedudukan ini mempunyai arti yang sangat penting dalam

penegakan hukum karena merupakan tanggung jawab penuntut umum untuk

mengambil keputusan akhir apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan,

dengan mempertimbangkan adanya bukti-bukti yang kuat sesuai dengan ketentuan

KUHAP.

Sesuai dengan Peraturan Jaksa Nomor 15 Tahun 2020 di Indonesia,

khusus fokus pada Penghentian Penuntutan lewat penerapan Restorative Justice,

pasal 5 ayat (1) menguraikan kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat

menggunakan metode alternatif tersebut. Berdasarkan ketentuan ini, perkara

pidana dapat diselesaikan dan penuntutan dapat dihentikan melalui penerapan

Restorative Justice guna tercapainya syarat yakni:

a. Orang yang bersangkutan pertama kali melakukan perbuatan melawan

hukum.;

b. Melanggar hukum dapat mengakibatkan hukuman seperti denda uang atau

hukuman penjara maksimal lima tahun.; dan

c. Yang dimaksud dengan tindak pidana adalah segala perbuatan melawan

hukum yang baik terhadap nilai barang bukti maupun nilai kerugian yang
5

timbul akibat perbuatan tersebut, yang tidak boleh melebihi jumlah uang

sebesar Rp2.500.000,00 (setara dengan dua juta lima ratus ribu rupiah).

Mencuri dianggap tidak etis karena bertentangan dengan prinsip-prinsip

masyarakat. Hal ini tidak hanya merugikan para korban yang terkena dampak

langsung dari pencurian tersebut, namun juga mempunyai dampak yang besar

terhadap masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat penting untuk

mengambil tindakan untuk mencegah pencurian dan mengurangi kemungkinan

terjadinya pencurian, karena sering kali pencurian terjadi ketika ada peluang untuk

melakukannya. Pencurian melanggar hak milik pribadi dan merupakan kejahatan

yang berdampak tidak hanya pada individu, namun juga harta benda dan

kesejahteraan finansial mereka.4

Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh masyarakat, dan siapa yang

melakukan perbuatan tersebut akan mendapat akibat berupa sanksi pidana.

Hukum pidana adalah cabang hukum yang mengatur hukuman atas pelanggaran-

pelanggaran ini, dan istilah "kriminal" mengacu pada seseorang yang dinyatakan

bersalah dan dijatuhi hukuman oleh otoritas hukum sebagai sarana untuk

mencegah pelanggaran di masa depan.

Tindak pidana pencurian dalam hukum Indonesia tergolong salah satu

tindak pidana yang berkaitan dengan harta benda dalam KUHP. Secara spesifik

dituangkan dalam buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 hingga 367. Pasal 362 KUHP

menyebutkan pencurian dilakukan apabila seseorang secara melawan hukum

4
Anna Andriany Siagian dan Ciptono, Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencurian
Yang Dilakukan Oleh Tenaga Kerja, Jurnal PETITA, Vol. 4 No.1, Juni 2022, hlm.23.
6

merampas suatu barang punya orang lain dengan maksud untuk merampasnya.

kepemilikan sah mereka. Hukuman bagi pencurian di Indonesia dapat berupa

pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 900.5

Terjadinya pencurian tidak hanya terjadi pada masyarakat umum saja,

namun juga dapat menimpa instansi dan organisasi. Contohnya adalah kasus

pencurian yang terjadi pada tahun 2023 yang melibatkan rumah seorang anggota

TNI dan gudang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Utara di

Lhokseumawe.6

Pada tahun 2023 terjadi peristiwa pencurian solar dalam jumlah besar di

PT. Pertamina Lhokseumawe. Oleh karena itu, PT. Pertamina Lhokseumawe

sebagai entitas yang bertanggung jawab dan taat hukum segera mengambil

tindakan dengan menyerahkan tersangka pelaku pencurian tersebut kepada pihak

yang berwenang di Polsek Banda Sakti. Dengan demikian, PT. Pertamina

Lhokseumawe bertujuan untuk memfasilitasi proses investigasi yang ketat dan

menyeluruh untuk memastikan keadilan ditegakkan dan pelaku bertanggung

jawab atas perbuatannya. Berikut contoh kasus pencurian yang ada di Kejaksaan

Negeri Lhokseumawe dapat dilihat pada table dibawah ini.

No Tersangka Alamat Korban Keterangan

5
Anindita T. Valerina, Implementasi Restorative Justice pada Tindak Pidana Pencurian
terhadap Peraturan Kejaksaan (PERJA) Nomor 15 tahun 2020 di Kejaksaan Negeri Semarang
Perspektif Hukum Pidana Islam, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo,
Semarang, 2022, hlm. 1.
6
Zaki Mubarak, Pelaku Pembobolan Gudang Disdikbud Aceh Utara Diringkus,
https://aceh.tribunnews.com/amp/2023/05/10/pelaku pembobolan-gudang-disdikbud-aceh-utara-
diringkus. Akses tanggal 15 Juni 2023.
7

1 Rizki Hagu Selatan, PT. Dilakukan RJ karena:


Maulana Banda Sakti, Pertamina 1. Baru sekali melaksanakan
Bin Lhokseumawe perbuatan pidana;
Abdullah 2. Memenuhi kerangka pikir
keadilan Restoratif antara lain
dengan mempertimbangkan
keadaan dan dilakukan upaya
perdamaian;
3. Pihak pertama dan kedua
sepakat melakukan perdamaian
dan tidak menuntut apapun.
2 FS Uteunkot, Misbahuddin Diserahkan ke Polsek Muara Dua
Lhokseumawe (TNI) guna penyelidikan lebih lanjut

3 Nama Banda Sakti, Disdikbud Diserahkan ke Polsek Muara Dua


dirahasiakan Lhokseumawe guna penyelidikan lebih lanjut
Sumber : Kejaksaan Negeri Lhokseumawe Tahun 2023

Kejadian-kejadian ini menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan yang


cukup besar di masyarakat, karena mereka merasa tidak puas dengan hasil yang
dihasilkan oleh sistem peradilan pidana. Sistem ini dirasa belum mampu
memenuhi keinginan masyarakat akan penyelesaian yang adil dan adil. Fungsinya
tidak sesuai dengan harapan karena seringkali mengabaikan hak-hak calon korban
dan calon terdakwa. Intinya, sistem peradilan pidana tradisional yang berlaku di
berbagai negara sering kali menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas mendorong rasa ingin tahu penulis

untuk mengetahui lebih banyak tentang masalah Pelaksanaan Restorative Justice

di Kejaksaan, sehingga penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis Penerapan

Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus di

Kejaksaan Negeri Lhokseumawe)".

D. Rumusan Masalah
8

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dapat ditarik

rumusan masalah yang akan dikaji dipengkajian ini, yaitu:

1. Bagaimana penerapan restorative justice terhadap tindak pidana pencurian di

Kejaksaan Negeri Lhokseumawe?

2. Bagaimana efektivitas penerapan restorative justice terhadap tindak pidana

pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan restorative justice terhadap tindak pidana

pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.

2. Untuk mengetahui efektivitas penerapan restorative justice terhadap tindak

pidana pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.

F. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas, baik

secara teoritis maupun secara praktis, manfaat yang diharapkan adalah sebagai

berikut:

1. Secara teoritis, informasi ini bisa sangat berharga karena menyoroti kemajuan

di bidang ilmu hukum secara keseluruhan, dengan fokus khusus pada hukum

pidana. Lebih khusus lagi, mendalami penerapan Restorative justice dalam

kasus pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.

2. Secara praktis, Pada hakikatnya, pengkajian ini dapat menawarkan

pemahaman yang holistik kepada berbagai pihak, termasuk masyarakat,


9

profesional hukum, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan, khususnya

terkait implementasi kebijakan dan penanganan kasus pencurian melalui

Restorative Justice. praktik. Hal ini juga dapat berfungsi sebagai sumber daya

yang berharga untuk mengatasi berbagai permasalahan yang diteliti dalam

bidang ini.

G. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencegah adanya penyimpangan atau penyimpangan dari topik

yang dimaksudkan, penulis harus mempersempit fokus penelitian ini. Tujuan

utama penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana restorative justice dapat

diterapkan pada kasus pencurian di wilayah hukum Kejaksaan Negeri

Lhokseumawe. Dengan tetap berada dalam cakupan khusus ini, studi ini dapat

menggali lebih dalam mengenai efektivitas dan implikasi keadilan restoratif dalam

menangani tindak pidana pencurian.

H. Penelitian Terdahulu

Memanfaatkan penelitian sebelumnya sangat penting bagi penulis untuk

membangun landasan yang kuat bagi upaya penelitian mereka sendiri, sehingga

memungkinkan mereka memperluas sumber daya dan referensi untuk melakukan

penelitian yang menyeluruh dan terinformasi. Dengan menggabungkan temuan

dan wawasan dari literatur yang ada, penulis dapat meningkatkan kredibilitas dan

kedalaman penelitian mereka sekaligus berkontribusi pada dialog yang sedang

berlangsung dalam bidang studi mereka. Proses berulang dalam membangun

keilmuan masa lalu tidak hanya memperkaya karya penulis sendiri tetapi juga
10

menumbuhkan rasa kesinambungan dan kemajuan dalam komunitas akademis.

Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah dilakukan terdahulu yang

memiliki kesamaan dan keterkaitannya dengan judul penelitian yang dilakukan

penulis, yaitu:

a. Ahmad Fauzi dalam penelitiannnya yang berjudul Analisis Yuridis Terhadap

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No 15 Tahun 2020 Tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada tahun 2022

berasal dari Universitas Islam Malang, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui protokol dan tata cara penyelesaian perkara hukum sesuai dengan

pedoman yang dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 2020, yang khusus mengatur tentang penghentian

penuntutan melalui penerapan prinsip keadilan restoratif. Dengan mengkaji

berbagai aspek dan seluk-beluk proses ini, penelitian ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman komprehensif tentang bagaimana keadilan restoratif

dapat dimanfaatkan secara efektif dalam sistem hukum Indonesia untuk

menghasilkan resolusi dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Melalui

analisis mendalam terhadap peraturan tersebut dan implikasinya, penelitian ini

berupaya untuk berkontribusi terhadap kemajuan praktik keadilan restoratif di

Indonesia dan berpotensi menjadi referensi untuk perbaikan sistem peradilan

pidana di masa depan.7 Tujuan penulis dalam penelitian ini berbeda dengan

tujuan penulis, yaitu bertujuan untuk mengkaji kelayakan pengimplementasian

restorative justice pada kasus pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.


7
Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No
15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Malang, 2022.
11

Ahmad Fauzi melakukan penelitiannya dengan menggunakan metode

penelitian yuridis normatif, yaitu menganalisis peraturan perundang-

undangan, melakukan studi kasus, dan menggunakan pendekatan konseptual.

Di sisi lain, penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris, yang

melibatkan pengumpulan dan analisis data dari situasi kehidupan nyata.

b. Anindita Tresa Valerina dalam penelitiannya yang judulnya Implementasi

Restorative Justice Pada Tindak Pidana Pencurian Terhadap Peraturan

Kejaksaan (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 Di Kejaksaan Negeri Semarang

Perspektif Hukum Pidana Islam hasil karya mahasiswa Fakultas Syari'ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Tahun 2022. Hasil

pengkajian ini dapat disimpulkan bahwasanya Penerapan restorative justice

terhadap tindak pidana pencurian sesuai Kebijakan Jaksa Nomor 12 Tahun

2020 saat ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Kota Semarang. Namun, terdapat

kesenjangan antara kerangka teoritis undang-undang tersebut dan penerapan

praktisnya. Dalam kerangka jarĩmah ḥudũd, pencurian jarĩmah merupakan

salah satu jenis kejahatan yang berpotensi diselesaikan lewat iṣlȃḥ

(rekonsiliasi) apabila belum dilaporkan secara resmi kepada pihak yang

berwajib. Dengan kata lain, keadilan restoratif dapat diterapkan dalam kasus

pencurian yang memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak adanya laporan

resmi dari polisi, tidak terpenuhinya syarat hukuman amputasi tangan, dan

kesediaan korban untuk memaafkan pelaku.8 Penelitian yang dilakukan Indah

8
Anindita T. Valerina, Implementasi Restorative Justice pada Tindak Pidana Pencurian
terhadap Peraturan Kejaksaan (PERJA) Nomor 15 tahun 2020 di Kejaksaan Negeri Semarang
Perspektif Hukum Pidana Islam, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo,
Semarang, 2022.
12

Anindita Tresa Valerina fokus menganalisis hukum pidana Islam dalam

kaitannya dengan restorative justice spesifiknya pada kasus pencurian,

sedangkan penelitian penulis mendalami penerapan restorative justice pada

kasus pencurian di lingkungan Kejaksaan melalui tinjauan hukum pidana.

Kedua studi ini menawarkan perspektif dan wawasan yang unik mengenai

permasalahan ini, menampilkan pendekatan dan metodologi yang berbeda

dalam mengeksplorasi titik temu antara hukum pidana dan keadilan restoratif

dalam konteks tindak pidana pencurian.

c. Risky Irwansyah tahun 2014 dalam penelitiannya yang berjudul Tinjauan

Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Perkara Anak

Nakal Di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Tujuan dari

pengkajian ini adalah guna mengkaji pemanfaatan prinsip-prinsip keadilan

restoratif dalam menangani kenakalan remaja di Polrestabes Makassar, serta

mengidentifikasi berbagai faktor yang menghambat efektivitas penerapan

prinsip-prinsip tersebut dalam kasus-kasus tersebut. Hasil dari pengkajian ini

menerangkan bahwasanya Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam

penanganan kasus anak nakal di Polrestabes Makassar menunjukkan

bahwasanya masih ada ruang untuk perbaikan dalam pendekatan polisi

terhadap situasi tersebut. Tampaknya pendekatan yang ada saat ini belum

sepenuhnya mencakup model keadilan restoratif, yang bertujuan untuk

melibatkan semua pihak terkait dalam mencari penyelesaian yang adil dan

fokus pada pemulihan individu dan komunitas yang terkena dampak,

dibandingkan mencari retribusi. Penting bagi polisi di Polrestabes Makassar


13

untuk meningkatkan upaya mereka dalam menerapkan praktik keadilan

restoratif agar dapat secara efektif menangani kasus-kasus yang melibatkan

anak-anak nakal.9 Tujuan penulis melakukan penelitian ini berbeda dengan

tujuan yang dimaksudkan yaitu menentukan pemanfaatan restorative justice

dalam kasus pencurian di Kejaksaan. Secara khusus tujuannya adalah untuk

mengevaluasi efektivitas penerapan restorative justice dalam menangani kasus

pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe. Kajian ini berupaya mendalami

lebih dalam pengimplementasian restorative justice dalam ranah tindak pidana

pencurian, dengan fokus memahami dampak dan dampaknya dalam konteks

spesifik Kejaksaan. Dengan mengkaji efektivitas pendekatan ini dalam

menangani kasus pencurian, kita dapat memperoleh wawasan berharga untuk

menginformasikan praktik dan kebijakan di bidang peradilan pidana di masa

depan.

I. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Restorative Justice

Restorative Justice merupakan pendekatan yang relatif baru dan mendapat

perhatian sebagai paradigma penyelesaian perkara pidana. Namun, penting untuk

dicatat bahwa konsep ini sebenarnya telah tertanam dalam budaya banyak

masyarakat jauh sebelum bentuk hukuman tradisional ditetapkan. Hal ini terutama

terlihat di Indonesia, yang mayoritas penduduknya tinggal di daerah non-

perkotaan dan menganut kepercayaan non-sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai

9
Risky Irwansyah, Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Restorative Justice
Dalam Perkara Anak Nakal Di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.
14

sosial dalam konteks ini menekankan pentingnya hubungan personal, toleransi,

persatuan komunal, dan penghindaran konflik.10

Salah satu contoh masyarakat yang menganut prinsip keadilan restoratif

adalah masyarakat Aceh. Dalam masyarakat ini terdapat sistem peradilan adat

yang dikenal dengan nama Pengadilan Perdamaian Adat yang sejalan dengan

konsep keadilan restoratif. Dalam sistem peradilan tradisional Aceh, prinsip

penyelesaian damai atau kerukunan, yang disebut sebagai “uleue bek mate

ranteng ek patah” yang diterjemahkan dalam bahasa lokal Aceh, mempunyai arti

penting dan diterapkan secara aktif.11 Asas keadilan adat ini menekankan pada

tujuan membina keharmonisan dan stabilitas dalam masyarakat melalui

terjalinnya keseimbangan dan ketentraman. Tujuan utamanya adalah untuk

memastikan bahwa semua anggota masyarakat diperlakukan secara adil dan adil,

sehingga meningkatkan rasa persatuan dan kohesi di antara individu. Dengan

menjunjung prinsip ini, peradilan adat berupaya menjaga lingkungan yang damai

dan tertib sehingga konflik dapat diselesaikan dan hubungan terpelihara secara

harmonis. Melalui kepatuhan terhadap prinsip panduan inilah keadilan adat dapat

secara efektif berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan kohesi sosial dan

memupuk saling pengertian di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.12

10
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan Perubahan),
Cetakan ke-4, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2014, hlm. 153.
11
UNDP Indonesia, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil
dan Akuntabel, Jakarta: UNDP Indonesia, 2008, hlm. 7.
12
Ibid, hlm. 8.
15

Berbeda dengan sistem pidana tradisional yang ada, pendekatan keadilan

restoratif lebih menekankan pada keterlibatan aktif pelaku, korban, dan

masyarakat secara keseluruhan dalam upaya penyelesaian perkara pidana..13

Tony Marshall mendefinisikan Restorative Justice sebagai berikut: "

Restorative Justice is a collaborative approach to addressing the harm caused by

a violation, where all affected parties come together to discuss and determine the

best course of action to repair the harm and move forward in a positive and

constructive way. This process allows for open communication and understanding

between the parties involved, aiming to create fairer and more equitable outcomes

for everyone involved. By focusing on healing and reconciliation, Restorative

Justice seeks to promote accountability, empathy, and long-term solutions that not

only benefit individuals directly impacted by abuse, but also society as a

whole.".14 Keadilan Restoratif adalah pendekatan kolaboratif untuk mengatasi

kerugian yang disebabkan oleh suatu pelanggaran, dimana semua pihak yang

terkena dampak berkumpul untuk berdiskusi dan menentukan tindakan terbaik

untuk memperbaiki kerugian dan bergerak maju dengan cara yang positif dan

konstruktif. Proses ini memungkinkan adanya komunikasi terbuka dan

pemahaman di antara pihak-pihak yang terlibat, yang bertujuan untuk

menciptakan hasil yang lebih adil dan merata bagi semua orang yang terlibat.

Dengan berfokus pada penyembuhan dan rekonsiliasi, Keadilan Restoratif

berupaya untuk mendorong akuntabilitas, empati, dan solusi jangka panjang yang

13
Edi. R. Herwanto, Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana
Bernilai Filsafat Pancasila, Laduny Alifatama, Lampung, 2021, hlm. 4.
14
Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office, Research
Development and Statistics Directorate. 1999.
16

tidak hanya menguntungkan individu yang terkena dampak langsung pelanggaran,

namun juga masyarakat secara keseluruhan.

Sedangkan Helshinki mengatakan “Restorative justice is a guiding

principle that aims to repair harm by engaging all affected individuals in open

and voluntary conversations. This approach seeks to address conflict in new and

constructive ways and also focuses on rehabilitation for those involved.

Ultimately, the goal is to foster understanding and healing through dialogue and

alternative methods of conflict resolution.".15 Keadilan restoratif adalah prinsip

panduan yang bertujuan untuk memperbaiki dampak buruk dengan melibatkan

semua individu yang terkena dampak dalam percakapan terbuka dan sukarela.

Pendekatan ini berupaya mengatasi konflik dengan cara yang baru dan konstruktif

dan juga berfokus pada rehabilitasi bagi mereka yang terlibat. Pada akhirnya,

tujuannya adalah untuk menumbuhkan pemahaman dan penyembuhan melalui

dialog dan metode alternatif penyelesaian konflik.".

Liebmann secara sederhana mengartikan Keadilan Restoratif adalah

pendekatan mendasar dalam sistem hukum yang berupaya mengatasi kerugian

yang disebabkan oleh kejahatan dengan berfokus pada kebutuhan korban, pelaku,

dan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong penyembuhan dan

rekonsiliasi, sekaligus berupaya mencegah pelanggaran di masa depan dan

menciptakan masyarakat yang lebih aman bagi semua individu yang terlibat.16

15
Helsinki, Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the Discrepancy,
European Institute for Crime Prevention and Control, affiliated with the United Nations (HEUNI),
2007, hlm. 139.
16
Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers, 2007, hlm. 25.
17

Dari beberapa makna diatas bisa disimpulkan bahwasanya Keadilan

restoratif adalah proses kolaboratif yang melibatkan pelaku, korban, dan

masyarakat untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik dan kerugian. Pendekatan

ini dianggap efektif dalam sistem peradilan pidana Indonesia karena mendorong

rehabilitasi pelanggar dan memastikan berfungsinya lembaga pemasyarakatan di

seluruh negeri. Dengan memprioritaskan kebutuhan korban dan pelaku, keadilan

restoratif bertujuan untuk mencegah perilaku kriminal di masa depan dan

mendorong penyembuhan dan rekonsiliasi di antara semua pihak yang terlibat.

2. Prinsip-Prinsip Restorative Justice

Restorative justice memiliki beberapa prinsip yang berlaku secara

universal yang melekat dalam konsep pendekatan restorative justice dalam

penyelesaian tindak pidana, antara lain sebagai berikut :

a. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Di semua sistem peradilan pidana di seluruh dunia, individu yang diduga

melakukan kejahatan selalu diberikan hak untuk mendapat informasi

tentang tindakan perlindungan tertentu sebelum mereka menjalani

penuntutan atau hukuman. Konsep proses hukum berfungsi sebagai sarana

untuk melindungi individu dan memastikan keseimbangan yang adil antara

kewenangan Negara untuk menahan, mengadili, dan melaksanakan

hukuman bagi mereka yang terbukti bersalah. Pendekatan Restorative

Justice dalam pelaksanaannya juga bertujuan untuk memberikan

perlindungan terhadap tersangka terkait dengan proses hukum. Meskipun

demikian, proses pemulihan memerlukan pengakuan bersalah, sehingga


18

menimbulkan pertanyaan sejauh mana informed consent dan penyerahan

hak secara sukarela dapat menjadi titik awal yang adil untuk mencapai

penyelesaian yang adil.17

b. Perlindungan yang Setara

Ketika menangani tindak pidana dengan menggunakan pendekatan

Restoratif, keadilan harus dicapai melalui pemahaman bersama tentang

prinsip-prinsip dan tujuan keadilan, tanpa memandang faktor-faktor seperti

etnis, gender, agama, kebangsaan, dan status sosial. Proses ini

menekankan pentingnya saling menghormati dan berkolaborasi dalam

mencari penyelesaian dan akuntabilitas. Penting untuk mengedepankan

inklusivitas dan kesetaraan dalam upaya mencapai keadilan bagi semua

individu yang terlibat dalam proses keadilan restoratif. 18 Menurut Wright,

ada tiga cara untuk mengkompensasi ketidaksetaraan yang dapat

diimplementasikan, antara lain :

a) Dalam konteks proses restoratif, mediator memainkan peran penting

dalam memberikan bantuan dan dukungan kepada individu yang

mungkin dianggap lebih lemah atau kurang mahir dalam

mengartikulasikan perasaan, pikiran, dan emosi mereka secara

efektif. Dengan terlibat secara aktif dengan para peserta, mediator

memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri mereka dengan

lebih baik, memastikan suara mereka didengar dan perspektif

mereka dipahami sepenuhnya dalam sesi mediasi. Fasilitasi


17
Rufinus Hotmalana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.127.
18
Ibid, hlm. 128.
19

komunikasi ini tidak hanya memberdayakan individu-individu

tersebut tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan

yang lebih inklusif dan adil bagi semua pihak yang terlibat dalam

proses restorasi.

b) Penasihat hukum memiliki kemampuan untuk menasihati individu

yang tidak memiliki kemampuan bernegosiasi secara efektif agar

tidak menyetujui kontrak yang tidak seimbang atau dibuat melalui

cara yang tidak adil. Mereka dapat memberikan panduan tentang

cara menghadapi situasi tersebut dan memastikan bahwa klien

mereka terlindungi dari potensi bahaya atau eksploitasi. Selain itu,

penasihat hukum dapat menawarkan strategi untuk mengatasi

permasalahan ini dan mencari penyelesaian yang lebih adil. Secara

keseluruhan, penasihat hukum memainkan peran penting dalam

mengadvokasi keadilan dan keadilan dalam perjanjian dan transaksi

hukum.

c) Dalam beberapa situasi, kasus mungkin dianggap tidak cocok untuk

metode penyelesaian informal karena faktor-faktor seperti tuan

tanah atau pemilik penginapan yang mencoba menyelesaikan

perselisihan dengan banyak penyewa untuk melemahkan daya tawar

kolektif para penyewa. Hal ini dapat dianggap tidak pantas,

terutama ketika pemilik penginapan menggunakan wewenangnya

untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil dalam negosiasi.


20

c. Hak-Hak Korban

Ketika menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif untuk mengatasi

permasalahan, sangat penting untuk memprioritaskan hak-hak korban

karena mereka adalah individu yang terkena dampak langsung dari situasi

tersebut dan harus diberikan peran yang berarti dalam proses penyelesaian.

Sayangnya, dalam sistem peradilan pidana yang lebih luas, terlihat bahwa

para korban tidak menerima perlindungan yang adil dari pihak berwenang,

sehingga kekhawatiran mereka seringkali diabaikan. Sekalipun

kekhawatiran mereka diakui, hal ini cenderung semata-mata untuk

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh sistem administrasi atau

manajemen peradilan pidana, dan tidak benar-benar memenuhi kebutuhan

mereka.19

d. Praduga Tak Bersalah

Selama proses restorasi, hak tersangka untuk dianggap tidak bersalah

mungkin terancam jika mereka memilih untuk tidak mengakui

kesalahannya dan memilih untuk melanjutkan ke pengadilan formal di

mana mereka harus dibuktikan tidak bersalah. Dalam kasus ini, tersangka

juga mempunyai opsi untuk mengajukan banding ke pengadilan dan segala

kesepakatan yang dibuat selama proses restorasi dapat dianggap tidak

mengikat.20

e. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum

19
Ibid, hlm. 205.
20
Ibid, hlm. 212.
21

Dalam proses restorasi, advokat dan penasehat hukum mempunyai peran

strategis yang sangat penting dalam memberikan edukasi kepada tersangka

mengenai hak dan tanggung jawabnya, serta menjamin hak tersangka

untuk menerima bantuan. Sepanjang setiap tahap proses restorasi informal,

penasihat hukum dapat memberikan informasi berharga kepada tersangka

sehubungan dengan hak dan kewajiban mereka. Informasi ini berfungsi

sebagai faktor penting untuk direnungkan oleh tersangka ketika

mengambil keputusan.21

3. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana mempunyai arti penting dalam bidang ilmu hukum, karena

merupakan istilah-istilah yang sengaja dibuat untuk mengaitkan sifat-sifat tertentu

pada peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam hukum pidana. Perbuatan-

perbuatan tersebut mempunyai sifat abstrak yang melekat, terlepas dari peristiwa-

peristiwa nyata yang terjadi dalam wilayah hukum pidana. Oleh karena itu,

menjadi penting untuk memberikan konotasi ilmiah terhadap tindak pidana,

memastikan definisi yang tepat dan memungkinkan pembedaan istilah-istilah

tersebut dari istilah-istilah umum yang digunakan dalam wacana publik kita

sehari-hari.

Konsep tindak pidana berasal dari istilah Belanda strafbaarfeit dalam

sistem hukumnya, yang terdiri dari tiga komponen: straf yang berarti pidana atau

hukum, baar yang berarti dapat atau dapat, dan feit yang berarti tindakan,

21
Ibid, hlm. 213.
22

peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan. Istilah ini mencakup gagasan tentang

perbuatan melawan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum.22

Istilah "strafbaarfeit" mengacu pada suatu kejadian atau perilaku yang

dianggap dapat dihukum berdasarkan hukum. Sebaliknya, dalam bahasa lain,

seperti bahasa Inggris, suatu pelanggaran biasa disebut sebagai “delik”, yang

berarti suatu tindakan yang pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Menariknya, terjemahan kata delik dalam bahasa Belanda adalah “strafbaarfeit”,

namun ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengalami

beragam penafsiran oleh para ahli hukum, sehingga berpotensi mengalami

perubahan makna..23 Ada beberapa definisi mengenai strafbaarfeit maupun delik

yang dikemukan para ahli diantaranya adalah:

a. Dalam karyanya yang komprehensif tentang hukum pidana, Andi Hamzah

mendalami konsep delik, yaitu setiap perbuatan atau perbuatan yang dilarang

oleh undang-undang dan mempunyai potensi pidana, khususnya dalam ranah

hukum pidana. Definisi ini menyoroti peran penting sistem hukum dalam

mengatur perilaku dan menjaga ketertiban sosial. Dengan menguraikan batas-

batas perilaku yang dapat diterima dan menetapkan konsekuensi atas

pelanggaran, hukum berupaya mencegah individu melakukan aktivitas yang

merugikan atau melanggar hukum. Pada akhirnya, memahami sifat

pelanggaran sangat penting untuk menegakkan keadilan dan menjamin

keselamatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.24

22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Grafindo, Jakarta, 2007, hlm.67.
23
Fitri Wahyuni, Dasar-dasar Hukum pidana di Indonesia, PT Nusantara Persada Utama,
Tangerang Selatan, 2017, hlm. 36.
24
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 72.
23

b. Pengertian strafbaarfeit menurut Pompe mencakup segala perbuatan yang

bertentangan dengan norma yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan

gangguan ketertiban hukum. Perbuatan ini dapat dilakukan baik secara sengaja

maupun tidak sengaja oleh seseorang, dan untuk menjaga berfungsinya sistem

hukum, maka sangatlah penting untuk memberikan hukuman kepada

pelakunya.25

c. Menurut S.R. Sianturi, suatu tindak pidana dikatakan tindak pidana apabila

menyangkut unsur-unsur tertentu seperti tempat, waktu, dan keadaan

terjadinya. Perbuatan tersebut dianggap dilarang atau diwajibkan oleh

peraturan perundang-undangan sehingga dapat diancam pidana menurut

undang-undang. Selain itu, hal ini ditandai dengan pelanggaran terhadap

undang-undang yang telah ditetapkan dan pelaksanaan yang salah oleh

individu yang memikul tanggung jawab atas tindakannya.26

Dari berbagai sumber diatas dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana

adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma dan hukum masyarakat yang

telah ditetapkan, sehingga menimbulkan potensi hukuman atau akibat yang

ditetapkan oleh peraturan hukum. Jenis pelanggaran ini biasanya menimbulkan

sanksi atau hukuman sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.

3.1 Pengertian Tindak Pidana Pencurian

25
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 34.
26
Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni,
Jakarta, 1982, hlm. 297.
24

Sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

yang dimaksud dengan “mencuri” adalah perbuatan merampas atau memperoleh

barang milik orang lain tanpa persetujuannya atau melanggar hukum, yang

biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di sisi lain, "pencurian"

mencakup konsep yang lebih luas tentang proses, teknik, atau tindakan sistematis

yang terlibat dalam tindakan mencuri.

Tindakan pencurian merupakan kejahatan yang berulang di masyarakat

kita, sedemikian rupa sehingga dapat dilihat sebagai kekuatan yang mengganggu

yang mampu merusak keamanan dan stabilitas masyarakat kita secara

keseluruhan. Pengertian Tindak Pidana Pencurian menurut pasal 362 KUHP

(Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) berbunyi:

“Barangsiapa secara tidak sah memperoleh suatu barang yang seluruhnya

atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk secara melawan hukum

mempertahankan hak milik atas barang tersebut, akan dikenakan tindakan

hukuman atas tindak pidana pencurian. Tindakan tersebut dapat berupa pidana

penjara paling lama lima tahun atau denda uang paling banyak Rp900,00.”.27

Mencuri dapat diartikan sebagai tindakan melanggar hukum berupa

perampasan barang punya orang lain tanpa persetujuan orang tersebut atau

melanggar hukum. Oleh karena itu, apabila seseorang melakukan perbuatan

pencurian maka dianggap telah melakukan suatu pelanggaran menurut Pasal 362

KUHP yang secara tegas melarang perbuatan tersebut.

3.2 Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

27
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1946, hlm. 249.
25

Menurut Pasal 362 KUHP, pencurian secara hukum diartikan sebagai

perbuatan memperoleh dan menahan secara tidak sah suatu barang yang

seluruhnya atau sebagiannya dimiliki orang lain. Dari rumusan tersebut dapat

diuraikan beberapa unsur tindak pidana pencurian adalah sebagai berikut:

a. Salah satu unsur pokok tindak pidana pencurian adalah perbuatan

memperoleh barang. Istilah "mengambil" dalam arti yang paling sempit

mengacu pada menggerakkan tangan dan jari secara fisik, menggenggam

suatu benda, dan memindahkannya ke lokasi lain. Namun, konsep

pencurian juga mencakup situasi di mana individu secara tidak sah

memperoleh barang cair, seperti bir, dengan menggunakan keran untuk

mengalirkannya ke dalam wadah yang terletak di bawahnya. Selain itu,

dengan kemajuan teknologi, pencurian dapat dilakukan dengan cara

mengalihkan daya listrik melalui kabel ke tujuan selain yang dimaksudkan.

b. Tindakan mengambil alih properti milik orang lain, properti ini dapat

berupa barang fisik atau aset tidak berwujud yang memiliki nilai. Selain

mengambil sesuatu secara fisik, pencurian juga menyangkut aspek bahwa

barang tersebut bukan milik orang yang mengambilnya. Ini bisa berupa

perorangan atau badan hukum. Pada dasarnya, pencurian melibatkan klaim

kepemilikan yang salah atas sesuatu yang menjadi hak milik pihak lain.

c. Ketika mencoba untuk memperoleh sesuatu secara melawan hukum,

tindakan pencurian tersebut perlu melibatkan kepemilikan barang tersebut

yang melanggar hukum. Wirjono Prodjodikoro berpendapat terdapat

kontradiksi mendasar antara kepemilikan barang dan aktivitas ilegal.


26

Kepemilikan menyiratkan kepatuhan terhadap hukum, karena setiap

pemilik sah suatu barang diakui berdasarkan peraturan hukum.

3.3 Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian

Hukum pidana Indonesia secara luas mengatur berbagai bentuk pencurian

dalam pasal 362 hingga 367 KUHP. Pasal 362 secara khusus mendefinisikan

pencurian adalah perbuatan dengan sengaja memperoleh penguasaan atas suatu

barang, baik seluruhnya maupun sebagian, yang menjadi hak punya orang lain,

tanpa setuju atau izin yang resmi. Tindak pidana ini mencakup niat jahat untuk

menahan atau mengendalikan harta curian secara melawan hukum. Sesuai

ketentuan yang disebutkan dalam KUHP, orang yang dinyatakan bersalah

melakukan pencurian dapat menghadapi konsekuensi yang berat, termasuk

kemungkinan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda uang yang cukup

besar hingga sembilan ratus rupiah.28 Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHP,

maka unsur-unsur pencurian biasa adalah :

1. Mengambil

2. Suatu barang

3. Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain

4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum

Sesuai pasal 363 KUHP tentang pencurian berat, tindak pidana ini disebut

juga pencurian khusus atau pencurian yang memenuhi syarat (gequalificeerde

deifstal) karena sifatnya yang khas sehingga memerlukan hukuman yang lebih

berat. Intinya, pencurian berat mencakup pencurian yang dilakukan dengan cara
28
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pdana, Bumi Aksara, Jakarta, 2016, hlm.
128.
27

tertentu yang memperburuk tingkat kejahatan, sehingga menimbulkan

konsekuensi yang lebih parah bagi pelakunya.Pencurian dalam bentuk pemberatan

diterangkan sebagai berikut:

a) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. Pencurian ternak

2. Pencurian dianggap sebagai pelanggaran berat bila terjadi di tengah

bencana alam seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, gempa laut,

letusan gunung berapi, kapal karam, atau ketika kapal terdampar di laut.

Hal ini juga dapat dihukum jika terjadi pada saat kecelakaan kereta api,

kerusuhan, pemberontakan, atau ketika ada ancaman perang. Situasi-

situasi ini semakin memperparah tingkat pencurian karena sering kali

melibatkan kekacauan, hilangnya nyawa, dan kehancuran yang meluas,

sehingga menjadikan tindakan mengambil keuntungan dari orang lain

pada masa-masa rentan seperti ini menjadi semakin tercela.

3. Pencurian yang terjadi pada malam hari di dalam rumah atau halaman

tertutup, yang dilakukan oleh seseorang yang kehadirannya di dalam

bangunan tersebut tidak diketahui atau tidak diinginkan oleh penghuni

sah properti tersebut.

4. Pencurian kolaboratif, yang melibatkan sekelompok orang yang terdiri

dari dua orang atau lebih, adalah tindakan terlarang di mana para pelaku

bekerja sama untuk secara melawan hukum mengambil alih barang atau

properti orang lain. Bentuk aktivitas kriminal ini biasanya memerlukan

upaya terkoordinasi, di mana setiap anggota kemitraan berkontribusi


28

terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pencurian. Dengan

menggabungkan kekuatan, individu-individu ini bertujuan untuk

memaksimalkan peluang mereka mendapatkan aset atau barang

berharga sekaligus meminimalkan risiko tertangkap atau teridentifikasi.

Tindakan pencurian yang dilakukan melalui kemitraan dapat berkisar

dari insiden pengutilan skala kecil hingga skema yang kompleks dan

terorganisir yang menargetkan barang atau perusahaan bernilai tinggi.

Sifat kolaboratif dari perilaku kriminal ini sering kali memungkinkan

adanya pembagian tugas dan tanggung jawab, memastikan setiap

peserta memainkan peran spesifik yang berkontribusi terhadap

keberhasilan operasi terlarang secara keseluruhan. Selain itu,

keterlibatan banyak individu juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk

memberikan dukungan, bantuan, dan pengawasan selama terjadinya

pencurian, sehingga semakin meningkatkan peluang keberhasilan

pelarian. Namun, penting untuk dicatat bahwa melakukan pencurian

secara berkelompok tidak hanya ilegal tetapi juga membawa

konsekuensi hukum yang berat, karena otoritas penegak hukum

berdedikasi untuk menangkap dan mengadili mereka yang terlibat

dalam kegiatan kriminal tersebut. Dengan demikian, perbuatan

pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-

sama merupakan suatu usaha terlarang yang mengancam kesejahteraan

dan keamanan masyarakat sehingga memerlukan tindakan kewaspadaan

untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan tersebut.


29

5. Tindakan pencurian, khususnya yang bertujuan untuk mendapatkan

akses tanpa izin ke suatu lokasi di mana kejahatan terjadi atau untuk

mendapatkan barang curian, dilakukan melalui berbagai cara seperti

menghancurkan, memotong, atau memanjat penghalang secara paksa,

atau alternatifnya dengan menggunakan taktik yang menipu seperti

memanfaatkan kunci palsu, surat perintah palsu, atau pakaian dinas

palsu.

b) Pada hal pencurian sebagaimana dimaksud pada angka 3 disertai dengan

salah satu keadaan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan 5, maka

pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.29

Bentuk pencurian lainnya disebut pencurian ringan, yaitu pencurian dengan

faktor-faktor yang meringankan sehingga mengurangi beratnya kejahatan.

Menurut Pasal 364 KUHP, pencurian ringan meliputi perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 362 dan 363 angka 4, serta perbuatan dalam Pasal 363

angka 5 yang tidak terjadi di dalam rumah atau pekarangan tertutup yang menyatu

dengan rumah, serta menyangkut barang-barang bernilai. kurang dari dua puluh

lima rupiah. Pelanggar pencurian ringan dapat diancam dengan pidana penjara

paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah

untuk pencurian kecil-kecilan.

Sebagaimana diatur dalam pasal 365 KUHP tentang pencurian yang

disertai tindak kekerasan, disebutkan secara tegas bahwa siapa pun yang

dinyatakan bersalah melakukan pencurian, bila perbuatan itu didahului, disertai,

29
P.A.F, Lamintang & Francicus Theojunior Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 192.
30

atau diikuti dengan tindak kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang lain

dengan maksud khusus untuk mempersiapkan atau memfasilitasi pencurian, atau

dalam hal ditangkap dalam perbuatan itu, dengan tujuan membantu pelarian

seseorang atau peserta lain, atau untuk mempertahankan kepemilikan atas barang

curian, akan dikenakan: hukuman penjara paling lama sembilan tahun.30

Menurut Pasal 366 KUHP, apabila seseorang melakukan salah satu

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362, 363, dan 365, dapat dikenakan

pidana pencurian. Lebih lanjut, sesuai Pasal 35 ayat (1) KUHP, akibat dari

pemidanaan tersebut dapat berupa pencabutan hak tertentu. Ketentuan ini

memastikan bahwa individu yang melakukan pencurian akan menghadapi dampak

yang berat, termasuk potensi hilangnya hak istimewa tertentu yang diberikan oleh

undang-undang.31

Pasal 367 KUHP khusus mengatur tentang pencurian dalam keluarga, baik

yang pelaku maupun korban mempunyai hubungan darah. Ketentuan ini berkaitan

dengan situasi di mana pasangan mencuri atau membantu pencurian harta benda

pasangannya. Dalam kasus seperti ini, hukum mengakui dinamika dan hubungan

unik dalam sebuah keluarga yang dapat menyebabkan terjadinya pencurian di

antara pasangan.

J. Metode Penelitian

A. Jenis, pendekatan dan Sifat Penelitian

1. Jenis Penelitian

30
Ibid, hlm. 130.
31
Rigen Mas R.A, Pencurian Antar Orang Yang Punya Hubungan Keluarga Tertentu
Sebagai Delik Aduan Relatif Menurut Pasal 367 Ayat (2 KUHP), Jurnal Lex Privatum, Vol. 8 No.
4, Oktober 2020, hlm. 240.
31

Dalam pengkajian ini penulis memakai jenis pengkajian yuridis

empiris atau disebut juga dengan penelitian yuridis sosiologis, yaitu

peneliti berinteraksi secara aktif dengan individu-individu yang menjadi

subjek penelitian. Jenis penelitian hukum ini melibatkan peneliti yang

terjun langsung ke lapangan, mengumpulkan data primer dari sumber yang

berwenang dan melakukan wawancara untuk mengumpulkan informasi

langsung. Metodologi langsung ini memungkinkan pemahaman yang lebih

mendalam tentang pokok bahasan dan memungkinkan peneliti

membangun hubungan yang bermakna dengan orang yang diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang melibatkan

pengumpulan data deskriptif melalui observasi komunikasi tertulis dan

verbal individu. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih

mendalam atas subjek yang dipelajari dengan menangkap perkataan dan

tindakan mereka secara rinci.32 Penelitian kualitatif bertujuan untuk

memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi terkini penerapan

Restorative Justice dalam perkara pencurian di wilayah hukum Kejaksaan

Negeri Lhokseumawe.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini tergolong analisis deskriptif, yang mengandung arti

bahwa tujuan utamanya adalah untuk menawarkan pemahaman yang

32
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004,
hlm 13.
32

komprehensif tentang objek yang diteliti dengan memanfaatkan data yang

tersedia. Selain itu, hal ini melibatkan pemeriksaan menyeluruh terhadap

undang-undang dan peraturan yang relevan, kemudian

menghubungkannya dengan teori hukum dan penerapan praktis untuk

mengatasi masalah spesifik yang sedang dipelajari.33

B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Dalam pengkajian ini penulis melaksanakan pengkajian di

lingkungan Kejaksaan kota Lhokseumawe. Penelitian dilakukan di lokasi

khusus ini karena Kejaksaan mampu memberikan informasi berharga yang

penting untuk pengembangan proposal ini.

2. Populasi Penelitian

Populasi merujuk pada seluruh unsur atau individu yang menjadi

subjek penelitian, dengan tujuan membuat generalisasi dan menarik

kesimpulan tentang keseluruhan kelompok.

3. Sampel Penelitian

Sampel mewakili sebagian dari total populasi dan atribut uniknya.

Ketika berhadapan dengan populasi yang besar, tidak praktis untuk

mempelajari setiap individu atau objek yang ada di dalamnya, sehingga

sampel dipilih untuk mewakili populasi secara keseluruhan.

33
Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta 1994, hlm
97.
33

Strategi pengambilan sampel yang di pakai dipengkajian ini yaitu

purposive sampling, yang melibatkan pemilihan individu yang memenuhi

kriteria tertentu dan diyakini memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk

memberikan wawasan berharga terhadap masalah penelitian. Individu-

individu ini dipilih untuk mewakili populasi yang lebih luas yang diteliti.

Subyek penelitian, yang disebut informan, dipilih karena keakraban

mereka dengan konteks penelitian dan kemampuan mereka untuk

memberikan informasi rinci tentang situasi yang diselidiki. 34 Informan

dalam penelitian ini adalah Jaksa Pidana Umum Kejaksaan Negeri

Lhokseumawe.

C. Sumber Data Penelitian

Jenis data yang penulis pakai di tulisan ini terdiri atas 2 macam yaitu:

a. Data primer mengacu pada informasi yang penulis kumpulkan

secara langsung melalui wawancara dengan individu yang bekerja

di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.

b. Data sekunder mengacu pada informasi yang dikumpulkan oleh

penulis dari berbagai sumber literatur yang berkaitan dengan

subjek atau permasalahan yang sedang dibahas. Sumber-sumber ini

dapat mencakup buku, surat kabar, majalah, jurnal akademis,

makalah penelitian, dan wawasan dari para profesional hukum.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, penulis melakukan cara sebagai berikut:

34
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2008,
hlm. 188.
34

a. Studi lapangan (field research) Tujuan utama dari studi lapangan ini

adalah untuk mengumpulkan informasi yang komprehensif dan relevan

mengenai topik penelitian spesifik yang sedang diselidiki di lokasi yang

dipilih. Studi lapangan terutama dilakukan dengan melakukan wawancara

terhadap berbagai informan untuk menggali wawasan dan data mengenai

penerapan Restorative Justice dalam kasus pencurian di Kejaksaan Negeri

Lhokseumawe. Dengan melakukan penelitian ini, para peneliti bertujuan

untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai penerapan praktis

dan kemanjuran Restorative Justice dalam menangani kejahatan terkait

pencurian di yurisdiksi tertentu.

b. Penelitian Kepustakaan (Library research), melibatkan pendalaman diri

dalam banyak sumber tertulis seperti undang-undang, buku, jurnal hukum,

dan bahan lainnya untuk mengumpulkan informasi dan mendukung

penulisan. Proses ini memerlukan pembacaan dan pemahaman menyeluruh

terhadap konten yang diperoleh dari berbagai sumber di perpustakaan.

E. Analisis Data

Untuk mentransformasikan data yang diperoleh menjadi suatu karya

ilmiah atau tesis yang komprehensif dan terorganisir, penulis melalui

berbagai tahapan pengolahan data. Tahapan ini melibatkan pendekatan

kualitatif untuk memastikan bahwa hasil disajikan secara deskriptif,

sehingga memudahkan pembaca untuk memahami dan menafsirkan.

K. Jadwal Penelitian
35

Jadwal penelitian adalah target waktu yang dibutuhkan peneliti dalam

melakukan penelitian yaitu dapat dilihat sebagi berikut:

No Jadwal Penelitian Waktu

1 Persiapan Penelitian 15 Hari

2 Pengumpulan Data 25 Hari

3 Pengolahan Data 30 Hari

4 Analisis Data 30 Hari

5 Penulisan Skripsi 30 Hari

Jumlah 130 Hari


OUTLINE SKRIPSI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
D. Penelitian Terdahulu

BAB II: GAMBARAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE


A. Pengertian Restorative Justice
B. Prinsip-prinsip Restorative Justice
C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
D. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
E. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian

BAB III: METODE PENELITIAN


A. Jenis, Pendekatan dan Sifat Penelitian
B. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian
C. Sumber Data
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Analisis Data

BAB IV: PELAKSANAAN SISTEM RESTORATIVE JUSTICE


TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DI
KEJAKSAAN NEGERI LHOKSEUMAWE
A. Proses Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana
Pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe
B. Efektivitas Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak
Pidana Pencurian di Kejaksaan Negeri Lhokseumawe

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Basrowi dan Suwandi, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta,


Jakarta.

Chazawi, Adami. 2007, Pelajaran Hukum Pidana, Grafindo, Jakarta.

Hamzah, Andi. 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Helsinki, 2007, Restorative Justice Theory and Practice: Addressing the


Discrepancy, European Institute for Crime Prevention and Control,
affiliated with the United Nations (HEUNI).

Herwanto, Edi R. 2021, Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum


Pidana Bernilai Filsafat Pancasila, Laduny Alifatama, Lampung.

Hotmalana, R. 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan


Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

Lamintang, P.A.F. dan Francicus Theojunior L. 2016, Dasar-dasar Hukum


Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Lev, Daniel S. 2014, Hukum dan Politik di Indonesia (Kesinambungan dan


Perubahan) Cetakan ke-4, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Liebmann, M. 2007, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia:


Jessica Kingsley Publishers,

Marshall, Tony F. 1999, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office,


Research Development and Statistics Directorate.

Moeljatno, 2016, Kitab Undang-Undang Hukum Pdana, Bumi Aksara, Jakarta.

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.

Moleong, L.J. 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sianturi, S.R. 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,


Jakarta.
Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta.

Soesilo, R. 1946, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor.

Sriwidodo, J. 2000, Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Kepel


Press, Yogyakarta.

UNDP Indonesia, 2008, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk Peradilan Adat
yang Adil dan Akuntabel, Jakarta: UNDP Indonesia.

Wahyuni, Fitri. 2017, Dasar-dasar Hukum pidana di Indondesia, PT Nusantara


Persada Utama.

B. Skripsi, Jurnal dan Artikel

Andriany, A. dan Ciptono, 2022, Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencurian


Yang Dilakukan Oleh Tenaga Kerja, Jurnal PETITA, Vol. 4 No.1.

Fauzi, A. 2022, Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Kejaksaan Republik


Indonesia No 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Islam Malang, Malang.

Irwansyah, R. 2014, Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Restorative


Justice Dalam Perkara Anak Nakal Di Kepolisian Resort Kota Besar
(Polrestabes) Makassar, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Mas, Rigen. 2020, Pencurian Antar Orang Yang Punya Hubungan Keluarga
Tertentu Sebagai Delik Aduan Relatif Menurut Pasal 367 Ayat (2
KUHP), Jurnal Lex Privatum, Vol. 8 No. 4.

Mubarak, Z. 2023, Pelaku Pembobolan Gudang Disdikbud Aceh Utara Diringkus,


https://aceh.tribunnews.com/amp/2023/05/10/pelaku-pembobolan-
gudang-disdikbud-aceh-utara-diringkus.

Setyadi, A. 2023, Kepergok Nyuri di Rumah TNI Pemuda di Lhokseumawe


Ditangkap,https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d
6713126/kepergok-nyuri-di-rumah-tni-pemuda-di-lhokseumawe
ditangkap/amp.
Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI,
Kepada Kepolisian RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI,
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI,
tentang Penangananan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, pada
tanggal 22 Desember 2009.

Valerina, A.T. 2022, Implementasi Restorative Justice pada Tindak Pidana


Pencurian terhadap Peraturan Kejaksaan (PERJA) Nomor 15 tahun 2020
di Kejaksaan Negeri Semarang Perspektif Hukum Pidana Islam, Skripsi,
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai