Anda di halaman 1dari 16

KEBIJAKAN PEMBERIAN REMISI BAGI KORUPTOR TERHADAP

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI SOSIOLOGI


HUKUM

Muhammad Yaasir Syauqii


227005099
yassirpohan16@gmail.com
Kelas B Reguler 2023

Abstrak — Indonesia merupakan Negara hukum yang menjunjung tinggi perlindungan hak asasi
manusia setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Perlindungan tersebut diberikan dalam
berbagai macam bentuk, salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum
diberikan kepada setiap warga Negara dengan memberikan hak dan kedudukan yang sama
dihadapan hukum termasuk bagi setiap narapidana. Hak yang diberikan kepada seorang
narapidana termasuk narapidana tindak pidana korupsi adalah pemberian remisi. Kebijakan ini
menuai pro dan kontra di masyarakat karena dianggap tidak adil apabila seorang koruptor
diberikan pengurangan masa pidana penajara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis-sosiologis dengan menggunakan teori Perlindungan Hukum.Pertama, Syarat
pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana khusus (extraordinary crime) termasuk tindak
pidana korupsi dibedakan dengan syarat pemberian remisi terhadap tindak pidana biasa. Kedua,
penerapan equality before the law di Indonesia tidak dilaksanakan secara mutlak, tetapi
mempertimbangkan perlindungan hak-hak warga Negara dan kepentingan warga Negara yang
telah dirugikan oleh perbuatan tindak pidana korupsi.

Kata Kunci: Remisi;Tindak Pidana Korupsi

I. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Indonesia
merupakan negara hukum. Indonesia sendiri mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia (HAM) serta menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukan di
hadapan hukum dan pemerintah, sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal suatu asas
equality before the law yang berarti bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama
dihadapan hukum sehingga tidak diperbolehkan adanya diskriminasi terhadap seluruh
warga Negara Indonesia, yang artinya hak yang diperoleh suatu individu atau seseorang,
berhak pula didapatkan oleh individu lainnya sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.
Terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bidang hukum dapat ditemukan dalam
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “segala warga Negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan menjunjung dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.1
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi
Manusia , Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang telah ada dan melekat
pada diri manusia sejak mereka lahir sebgai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib
kita hormati, dan junjung tinggi serta dilindungi oleh Negara, hukum dan pemrintah, dan
setiap orang. Apabila melihat pengertian terkait HAM yang melekat pada diri setiap
orang, maka HAM itu juga melekat pada diri seorang narapidana yang menjalani
hukuman pidana penjara.
Pidana penjara merupakan pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana
yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga
Permasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata
tertib yang berlaku di dalam Lembaga Permasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu
tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.2
Pasal 12 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa pidana penjara adalah seumur hidup
atau suatu waktu tertentu, pidana penjara selama waktu tertentu satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut selama kejahatan yang di pidananya Hakim boleh memilih
pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu atau pidana penjara
selama waktu tertentu di Lembaga Pemasyarakatan. Meski demikian, perlu dipahami
bahwa narapidana sebagai warga Negara binaan lembaga Pemasyarakatan dengan Pidana
yang dijalani narapidana itu bukan berarti seluruh hak-haknya sebagai warga Negara
dicabut.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, menegaskan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. Dan suatu proses pembinaan terhadap narapidana dengan pengertian untuk
1
M. Agung Adiputra, “Kajian Hukum Terhdap pemberian Remisis Bagi Narapidana Kasus Korupsi
Dihubungkan dengan Hak Warga Binaan pemasyarakatan”, Prosiding IImu Hukum, Vol.6, No.2, 2020, hlm.709.
2
P.A.F Laminatang, dalam buku Dwidja Priyanto, Sisten Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm.71.
membangun pribadi, kecakapan dan keterampilan sebagai bekal hidup di masa yang akan
datang. Secara umum dinyatakan, bahwa yang di maksud denga sistem pemasyarakatan
adalah merupakan suatu proses pelaksanaan pembinaan narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dalam arti lain
lapas adalah istilah yang lebih berkonotasi positif, maknanya sebagai tempat narapidana
belajar kembali bermasyarakat (bersosialisasi) sekaligus tempat narapidana dibina agar
kelak setelah keluar dapat bermasyarakat secara normal.3
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan menyebutkan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan pemasyarakatan berdasarkan
pancasila yang dilaksanakan agar dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehinga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
Negara yang baik dan bertanggung jawab.4
Hak asasi yang erat kaitannya dengan para terpidana salah satunya adalah remisi,
remisi merupakan pengurangan masa pidana, remisi diatur dalam Undang- Undang
Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 14 ayat (1) menyatakan salah
satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), Remisi
merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak bisa dipisahkan dari
fasilitas pembinaan yang lainnya, dimana hakekat pembinaan adalah selain memberikan
sanksi yang bersifat punitif, juga memberikan reward sebagai salah satu dari upaya
pembinaan, agar program pembinaan dapat berjalan dan direspon oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan.5
Secara tidak langsung Pasal 14 ayat (1) ini tidak mengecualikan terhadap seluruh
narapidana untuk mendapatkan hak remisi atau pengurangan masa pidana termasuk para
terpidana kasus korupsi. Dalam upaya pemberantasan korupsi, pelaku korupsi atau yang
biasa disebut koruptor akan menerima hukuman seperti tuntutan pidana, tambahan

3
Jan Remlink, Komentar Atas pasal-pasal Terpenting dari dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia, , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hlm. 465.
4
Tolib setiady, Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia, Bandung, Alfabeta, 2010,hlm.137.
5
Mosgan Situmorang , “Aspek Hukum Pemberian Remisi Kepada Narapidana Korupsi”, Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, Vol 16, No. 4, 2016, hlm. 3
pencabutan hak-hak tertentu berupa pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat
terhadap terpidana tindak pidana korupsi.
Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada
Narapidana dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (“Anak”) yang memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam peraturan Perundang- undangan. 6 Walaupun hak remisi ini
dibatasi oleh ketentuan yang terdapat pada Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan hak
tersebut tidak serta merta dapat diberikan kepada narapidana, karena mengenai adanya
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana yang diatur oleh peraturan
pemerintah.
Pada dasarnya setiap narapidana berhak mendapat remisi asal memenuhi syarat-
syarat tertentu yang berdasarkan undang- undang. Terkait dengan remisi, ketentuan
mengenai Menteri dapat memberikan remisi kepada narapidana selain Narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan sebelumnya dirasa
cenderung ada pertentangan dengan hukum yaitu kesamaan di muka hukum itu sendiri.
Hal tersebut karena bertujuan untuk menghindari adanya bentuk diskriminasi perlakuan
atas dasar latar belakang tindak pidana.7
Di Indonesia tindak pidana korupsi (tipikor) digolongkan kedalam golongan
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, karena telah merusak, tidak saja keuangan
negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah meluluhkan pilar-pilar sosial
budaya, moral, politik, dan tatanan hukum keamanan nasional.8
Dalam upaya pemberantasan korupsi, pelaku korupsi atau yang biasa disebut
koruptor akan menerima hukuman seperti tuntutan pidana penjara, tambahan pencabutan
hak-hak tertentu berupa pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat terhadap
terpidana tindak pidana korupsi. Hal ini tentu saja menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat, sebab di satu sisi masyarakat ingin agar pelaku tindak pidana korupsi
dihukum seberatberatnya karena korupsi telah menjadi penyakit kronis yang berdampak
negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga diharapkan pemidanaan

6
Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, Pasal 1 Angka 6
7
Chaerudin, et al., Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika
Aditama, 2008, hal. 21
8
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi), Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm. 13.
dapat berjalan maksimal tanpa adanya hal-hal yang akan menguntungkan para koruptor
seperti pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Di sisi lain, hak remisi dan
pembebasan bersyarat merupakan hak setiap narapidana dan anak pidana yang dapat
diberikan oleh pemerintah, dan merupakan kewenangan pemerintah, yakni Lembaga
Pemasyarakatan.
Dalam hal ini timbul suatu gejala sosial yang menarik untuk dikaji, seperti yang
ramai dibicarakan tentang pemberian remisi kepada narapidana korupsi dianggap tidak
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Para koruptor yang telah sangat merugikan
negara dan masyarakat, seharusnya dihukum seberat-beratnya, akan tetapi pada
kenyataannya, di antara mereka dihukum ringan dan bahkan diberi remisi. Kenyataan itu
menjadikan rasa keadilan terganggu, Apalagi, banyak narapidana lain yang hanya
melakukan kesalahan kecil mereka dihukum berat. Sebaliknya, para koruptor yang
mengambil uang negara hingga milyaran rupiah ternyata dihukum ringan.
Kendati demikian yang perlu dicermati adalah Pemberian remisi yang menjadi
hak terpidana juga harus dilihat dalam konteks sifat kejahatannya, konteks sifat kejahatan
ini dapat dilihat apakah menyangkut kelangsungan kehidupan manusia atau tidak
sehingga pemberian hak remisi yang menjadi kewenangan dan tugas pemerintah tidak
melukai keadilan masyarakat dan tidak memberikan peluang bagi terpidana kasus korupsi
berlindung dibawah pembenaran hukum.
.
II. Permasalahan
Berdasarakan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dilihat bahwa dalam
penegakan hukum terhdap anak penyalahguna narkoba merupakan aspek yang sangat
vital terhadap keberlangsungan hidup anak di masa mendatang. Maka rumusan
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana kebijakan remisi
bagi narapidana kasus korupsi menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan? (2)Bagaimana pemberian remisi
kepada narapidana kasus korupsi dikaitkan dengan teori sosiologi hukum?
III. Teori
Dalam menulis tulisan ini, penulis mengambil teori sebagai pisau analisis dalam
melakukan pembahasan terhadap yang telah dipilih penulis. Teori sosiologi hukum yang
diambil antara lain adalah teori perlindungan hukum (equality before the law &
Affirmative Action), Perlindungan hukum merupakan perkembangan dari teori
perlindungan hak asasi manusia yang mengalami perkembangan pesat pasat abad ke 19.
Perlindungan hukum menurut Fitzgerald (dalam Satjipto Rahardjo) yang menyatakan
bahwa perlindungan hukum merupakan upaya untuk dapat mengorganisasikan
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat supaya tidak terjadi gesekan antar-
kepentingan dan dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh hukum.9

IV. Pembahasan
a. Kebijakan Remisi Bagi Narapidana Kasus Korupsi Di Indonesia Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Dan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
Kata remisi merupakan serapan dari bahasa asing yaitu remission yang berarti
pengampunan.10 Dalam kamus lengkap bahasa indonesia kata remisi di artikan
sebagai pengurangan jumlah (lama) hukuman yang diberikan kepada orang yang di
hukum.11 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
pasal 1 ayat 6, disebutkan secara jelas bahwa remisi adalah pengurangan masa
menjalani pidana yang di berikan kepada narapidana dan anak pidana yang
memenuhi syarat-syarat yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Remisi dalam sistem pelaksanaan pidana penjara khususnya yang menyangkut
sistem pemasyarakatan sangat penting. Hal ini menyangkut masalah pembinaan yang
dilakukan oleh para petugas LAPAS terhadap para narapidana. Untuk itu dalam
pelaksanaan sistem pidana penjara di Indonesia, remisi mempunyai kedudukan yang
sangat strategis sebab, apabila narapidana berkelakuan baik (yang merupakan inti
keberhasilan pembinaannya) maka tidak dapat diberikan remisi.
9
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi Lain Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 22.
10
Andreas Halim, Kamus Lengkap 10 Milyar, Sulita Jaya, Surabaya, 2010, hlm.227.
11
Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, Jakarta, , 2012, hlm.453.
Remisi di tempatkan sebagai motivasi bagi narapidana untuk membina siri
sendiri. Sebab, remisi tidak sebagai hukum dalam sistem pemasyarakatan, bukan
pula sebagai anugerah yang di berikan oleh pemerintah kepada narapidana tetapi
dalam sistem pemasyarakatan remisi di tempatkan sebagai hak dan kewajiban
narapidana. Artinya apabila narapidana melaksanakan kewajibannya yaitu berbuat
baik dan menaati peraturan selama menjalani masa pidana maka narapidana
mendapatkan haknya untuk di berikan remisi. Pemberian remisi selain untuk
memberikan motivasi kepada para narapidana/anak pidana agar selalu berkelakuan
baik, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain:
a. Secara psikologis pemberian potongan hukuman ini banyak pengaruhnya dalam
menekan tingkat frustasi. Boleh dikata pemberian remisi ini sebagai salah satu
katup pengaman untuk menurunkan tingkat tekanan psikologis massa, sehingga
hal ini diharapkan dapat mereduksi atau meminimalisir gangguan keamanan dan
ketertiban di dalam Lapas/Rutan berupa pelarian, perkelahian dan kerusuhan
lainnya.
b. Dengan dua kali pemberian remisi yang diberikan dalam waktu berbeda setiap
tahunnya, (remisi umum dan remisi khusus) dapat dijadikan alat untuk
mengingatkan narapidana agar selalu berkelakuan baik. Karena kalau tidak, maka
kesempatan mendapat potongan masa hukuman akan hilang (penilaian kelakuan
baik berlaku selama satu tahun). Disini pengkondisian perilaku positip dilakukan
secara berkesinambungan.
c. Dengan diberikannya remisi kepada residivis dan kemungkinan kepaa narapidana
hukuman mati dan narapidana hukuman seumur hidup, banyak memberikan
sumbangan kepada penciptaan kondisi aman di lapas/rutan. Karena seperti yang
disinyalir oleh Sanusi Has dalam bukunya Pengantar Penologi, pelarian dan
kerusuhan yang terjadi di Lapas/Rutan tidak mustahil antara lain karena ulah
provokasi narapidana jenis ini. Perlu diketahui bahwa kelompok narapidana ini,
biasanya menjadi kelompok elit dalam strata masyarakat penjara dan mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap narapidana lainnya.
d. Pemberian remisi adalah salah satu hak narapidana yang dijamin undangundang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, sepanjang narapidna berkelakuan
baik tanpa membedakan penggolongan jenis narapidana. Oleh sebab itu pelayanan
pemberian remisi adalah cerminan dari perlindungan terhadap hak asasi
manusia.12
Bentuk-Bentuk Remisi Berdasarkan ketentuan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden
RI No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dikenal jenis/bentuk-bentuk remisi yaitu:
a. Remisi umum adalah remisi yang di berikan pada hari peringatan proklamasi
kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
b. Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang
dianut oleh narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan dengan ketentuan jika
suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun,
maka yang dipilih adalah hari besar yang dimuliakan oleh penganut agama yang
bersangkutan.
c. Remisi Tambahan Remisi yang diberikan apabila narapidana atau anak pidana
yang bersangkutan selama menjalani pidana, berbuat jasa kepada negara,
melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan, atau
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga
pemasyarakatan
Remisi merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak bisa
dipisahkan dari fasilitas pembinaan yang lainnya, dimana hakekat pembinaan adalah
selain memberikan sanksi yang bersifat punitif, juga memberikan reward sebagai
salah satu dari upaya pembinaan, agar program pembinaan dapat berjalan dan
direspon oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, sedangkan tujuan dari Sistem
Pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi lagi
perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan dengan harapan kelak akan
kembali dan diterima oleh masyarakat sekitarnya sebagai warga masyarakat serta
dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainnya.
Remisi merupakan hak setiap narapidana yang memenuhi syarat berdasarkan
ketentuan Perundang-undangan. Namun dalam pelaksanaannya bila di kaitkan dengan
pemberian remisi terhadap narapidana khususnya narapidana korupsi ada anggapan
terjadi bentuk pelanggaran konstitusi yang seharusnya menjadi kewajiban dalam hal

12
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama,Bandung, hlm.131
menaati hierarki peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan bahwa
dalam sistem pemasyarakatan itu sendiri melarang adanya perlakuan dan pelayanan
diskriminatif terhadap narapidana. Sedangkan apabila mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dapat ditemui adanya perbedaan mekanisme
pemberian hak bagi beberapa narapidana dengan latar belakang tindak pidana khusus.
Terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintahan nomor 99 tahun 2012
tentang pemberian remisi untuk narapidana korupsi, sebelumnya penulis paparkan
kembali ketentuan tentang pemberian remisi yang di atur Peraturan Pemerintahan
nomor 99 tahun 2012 tentang yang berbunyi:
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi
persyaratan :
(a) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya
(b) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana korupsi; dan
(c) Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta
menyatakan ikrar:
(1)Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis
bagi Narapidana Warga Negara Indonesia,atau
(2)Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing,yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme
Di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana sebagai warga binaan
pemasyarakatan juga mempunyai hak, sebagaimana yang telah diatur dalam dalam
Pasal 14 ayat (1 ) Undang- undang No.12 tahun 1995 yaitu :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
b. Mendapatkan perawatan baik perawatan jasmani maupun perawatan rohani.
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya yang tidak
dilarang.
g. Mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu yang
lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas dan;
m. Mendapatkan hak- hak lain sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.

b. Kebijakan Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor Ditinjau Dari


Sosiologi Hukum
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, syarat pembagian remisi terbagi
menjadi dua, yang pertama adalah untuk kejahatan biasa, dan yang kedua untuk
narapidana yang melakukan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime). Syarat
pemberian remisi untuk kejatahan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (2)
dan Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, adalah:
“(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada
narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat:
a. Berkelakuan baik; dan
b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dibuktikan dengan:
a. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi.
b. Telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan
predikat baik.”
Sedangkan syarat untuk mendapatkan remisi bagi narapidana yang melakukan
kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime), yang koruptor merupakan termasuk ke
dalamnya, diatur di dalam pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yaitu:
“(1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan presekutor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi
persyaratan:
1. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana korupsi; dan
3. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh lapas
dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan
ikrar:
a. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
b. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dapat dilihat dari persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan remisi, bahwa
sebenarnya remisi berlaku bagi semua narapidana bukan saja narapidana kasus
korupsi, bahkan bagi narapidana extraordinary crime yang korupsi termasuk di
dalamnya, memiliki persyaratan yang lebih berat dibandingkan dengan persyaratan
untuk narapidana kasus kejahatan biasa.
Perlindungan hukum merupakan perkembangan dari teori perlindungan hak asasi
manusia yang mengalami perkembangan pesat pasat abad ke 19. Perlindungan
hukum menurut Fitzgerald (dalam Satjipto Rahardjo) yang menyatakan bahwa
perlindungan hukum merupakan upaya untuk dapat mengorganisasikan kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat supaya tidak terjadi gesekan antar-
kepentingan dan dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh hukum.13 Senada
dengan hal tersebut, Mukhtie A. Fadjar menegaskan bahwa perlindungan hukum
berkaitan dengan upaya untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.14 Karena,
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dapat menimbulkan masalah hukum,
terlebih lagi ketika kewajiban dijadikan sebagai primary role bagi warga negara yang
justru dilain sisi hak-hak nya justru dikebiri dan diabaikan pemenuhannya yang
justru bertentangan dengan asas hukum, yaitu ubi ius ibi remidium.
Asas perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan pada pandangan bahwa setiap
warga negara memiliki kedudukan yang sama dan sederajat di hadapan hukum
(equality before the law) sehingga tidak diperbolehkannya adanya pembedaan,
terlebih lagi adanya diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antar golongan, paham
politik tertentu, status sosial, dan sentimen-sentimen sosial kemasyarakatan lainnya.
13
Luthvi Febryka Nola, “Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI)”, Jurnal NEGARA HUKUM Vol. 7 No. 1, 2016, hlm. 40.
14
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi , “Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas”, Jurnal Pandecta Vol. 13 No. 1, 2018, hlm. 54
Oleh karena itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Paton bahwa pemberian hak
dan kedudukan yang sama dalam hukum terhadap warga negara tidak hanya
mengandung unsur perlindungan terhadap kepentingan, tetapi juga berkaitan dengan
kehendak.15 Sehingga, teori perlindungan hukum di sini juga menekankan pentingnya
negara untuk hadir dalam upayanya untuk menjaga dan melindungi warga negaranya
dari produk-produk hukum yang justru bersifat represif dan diskriminatif supaya
amanat pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang berbunyi “…….melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia……” dapat
terlaksana secara maksimal.16
Pada kenyataannya dengan data yang penulis dapat, pemberian remisi yang
diberikan pemerintah kepada para narapidana sudah diberikan sesuai syarat-syarat
yang berlaku, dan tidak seperti yang dirasakan masyarakat dimana hanya narapidana
kasus korupsi saja yang mendapat keistimewaan, dan remisi yang diterima
narapidana kasus korupsi bukanlah suatu keistimewaan, karena seperti yang
tercantum dalam Pasal 14 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) merupakan hak
setiap warga binaan pemasyarakatan, yang merupakan salah satu bukti bahwa Negara
Republik Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia adalah dengan diaturnya
hak warga binaan pemasyarakatan di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pemerintah juga sebaiknya membaca secara
lebih cermat Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 yang telah
memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi pelaksanaan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, sehingga tidak ada alasan diskriminatif dan melanggar hak
narapidana koruptor yang dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah.
Perlindungan hukum yang dilakukan dan dijalankan di Indonesia, pada praktiknya
tidak secara mutlak menerapkan asas persamaan di dalam hukum (equality before the

15
Malahayati, Amrizal, dan Muhammad Nasir. “Konsep Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Terhadap Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia”. Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE Vol. 4 No. 1. April .
hlm. 5.
16
Lebih lanjut dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea keempat.
law). Hal ini terjadi karena dalam kondisi-kondisi tertentu perlindungan hukum
justru harus dilakukan dengan pembedaan khusus yang bertujuan untuk melindungi
hak-hak dan kepentingan warga negara yang dalam istilah hukum sering disebut
sebagai affirmative action. Hal ini dilandasi oleh sebuah prinsip yang menekankan
bahwa “diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama.
Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal
yang memang berbeda”.17

V. Simpulan
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang membedakan
pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi dengan kasus lainnya, bagi narapidana
kasus tindak pidana terorisme, narkotika dan presekutor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, yang merupakan extraordinary crime, harus
memenuhi pesyaratan seperti, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk
membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, telah membayar lunas
denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi, dan telah mengikuti program
deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar, serta perbedaan syarat waktu.
Dalam hal dibedakannya atau diperketatnya syarat pemberian remisi untuk
koruptor dan pelaku tindak pidana khusus lainnya bukan sebuah diskriminasi atau
membedakan pemberian suatu hak pada warga Negara khususnya seorang narapidana,
hal tersebut di dasarkan pada teori Equality Before The Law yang tidak serta merta
dilaksanakan secara mutlak di Indonesia. Perlindungan hukum yang diberikan kepada
pelaku tindak pidana disesuaikan dengan pembedaan yang bertujuan untuk melindungi
hak-hak warga Negara lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana yang dirugikan
oleh pelaku tindak pidana tersebut sebagai bentuk dari keadilan.

17
Prinsip ini pernah termuat dalam Putusan MK No. 27/PUU-V/2007, hlm. 102.
VI. Referensi

Adiputra, M Agung. 2020. Kajian Hukum Terhdap pemberian Remisis Bagi Narapidana
Kasus Korupsi Dihubungkan dengan Hak Warga Binaan pemasyarakatan. Volume
6 Nomor 2 Prosiding IImu Hukum. Universitas Islam Bandung. Bandung.

A.F Laminatang, dalam buku Dwidja Priyanto. 2006. Sistem Pidana Penjara Di
Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Al Diab. 2014. Peran Hukum Sebagai Social Control, Social Enineering dam Social
Walfare. Volume 7 Nomor 2 Jurnal Al-Adl. IAIN Kendari. Kendari.

Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2018. Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Volume 13 Nomor 1 Jurnal Pandecta.
Universitas Negeri Semarang. Semarang

Chaerudin, et al., 2008 Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Refika Aditama. Bandung.

Febryka Nola, Luthvi. 2016. Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI). Volume 7 Nomor 1 Jurnal Negara Hukum. DPR RI. Jakarta.

Ihza Mahendra,Yusril.1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Masalah


Konstitusi Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Perss. Jakarta.

I Made Pasek Diantha. 2016.Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum. Kencana. Jakarta..

Imam Santoso Sani. 2014. Teori Pemidanaan Dan Sandera Badan Gijzeling. Penaku.
Jakarta.

Jan Remlink. Komentar Atas pasal-pasal Terpenting dari dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia. 2003. Gramedia Pustaka Utama. Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1995. Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di
Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang. Makalah. Jakarta.

Malahayati, Amrizal, dan Muhammad Nasir. 2016. Konsep Perlindungan Hukum dan
Hak Asasi Manusia Terhadap Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia. Volume 4
Nomor 1 Jurnal Hukum Tata Negara Nanggroe. Universitas Malahayati. Aceh.

M. Sholehhuddin. 2007. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya. Raja Grafindo. Jakarta.
Muntaqo, Firman. 2006. Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial dalam Praktek Berhukum
di Indonesia. Volume 2 Nomor 1 Jurnal Hukum Progresif. Universitas Diponegoro.
Semarang

Novitasari, Novi. 2021. Proses Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana


Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak. Volume 3 Nomor 1 Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia. Universitas Diponegoro. Semarang.

Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum. Prenada Media. Jakarta.

Pina, Rinawati. 2019. Tinjauan kebijakan pemberian remisi Terhadap Upaya


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Volume 5 Nomor 1 Jurnal Lex Certa.
Universitas Terbuka. Jakarta.

Prakoso, A. 2017.Kriminologi Dan Hukum Pidana, Pengertian, Aliran, Teori Dan


Perkembangannya. LaksBang PRESSindo.Yogyakarta.

Safira, Martha. 2017. Law is a Tool of Social Engineering Dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi Di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam dan perundang-Undangan
Di Indonesia. Volume 11 Nomor 1 Justia Islamica. IAIN Ponorogo. Jawa Timur.

Santiago, Faisal. 2017. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Penegak Hukum
Untuk Terciptanya Ketertiban Hukum. Volume 1 Nomor 1 Pagaruyuang Law
Journal. Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Sumatera Barat.

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penintensier Indonesia. Alfabeta.


Bandung.

Situmorang, Morgan. 2016. Aspek Hukum Pemberian Remisi Kepada Narapidana


Korupsi. Volume 16 Nomor 4 Jurnal Penelitian Hukum De Jure. Balitbangham.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai