Anda di halaman 1dari 13

PERLINDUNGAN HUKUM

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Kata perlindungan menurut kamus umum bahasa Indonesia berarti tempat

berlindung atau perbuatan meindungi, seperti memberi perlindungan kepada

orang-orang yang lemah.1

Menurut Soeroso, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh

yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat

yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa

dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Adapun

pengertian hukum menurut Abdulkadir Muhammad ialah segala peraturan tertulis

dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.2

Perlindungan hukum adalah penyempitan makna dari kata perlindungan,

yakni dalam hal perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang merupakan

tindakan dan upaya untuk melindungi hak serta kewajiban masyarakat dari segala

perbuatan yang tidak sewenang-wenang, demi menciptakan keadilan, ketertiban,

dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat.3

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-

subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Negara hukum pada dasarnya

1
W.J.S Poerdawarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cetakan V, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), hlm. 600.
2
Prof. DR. H. Zainal Asikin, S.H., S.U., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015), hlm. 14.
3
Prof. Dr. Teguh Praseto, SH, M.Si, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa
Media, 2010), hlm. 2.

1
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan

pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu :

a) Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b) Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.4

B. Tujuan Perlindungan Hukum

Di dalam rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana 1968 dapat dijumpai gagasan tentang maksud tujuan pemidanaan

dalam rumusan sebagai berikut, “Maksud tujuan pemidanaan ialah :

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,

masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda0noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

4
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-
hukum.html, diakses pada Minggu, 07 Mei 2017, pukul 09:58 WIB.

2
4. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia”.5

Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan perlindungan hukum (adanya

pidana) biasa disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu adalah Reformation,

Restraint, dan Restributiom, sedangkan 1 D adalah Deterrence,yang terdiri atas

individual deterrence dan geneneral deterrence. (pencegahan khusus dan

pencegahan umum).

Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi menjadi orang baik

dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasigkan pelanggar dari

masyarakat, sehingga masyarakat akan jauh lebih aman. Restribution ialah

pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Deterrence

berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun

orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan

kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.6

Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, tujuan hukum utama

adalah keadilan yang meliputi distributif (didasarkan pada prestasi), komunikatif

(didasarkan pada jasa), vindikatif (kejahatan harus setimpal dengan hukumannya),

kreatif (harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif), dan legalis (keadilan

yg ingin dicapai oleh undang-undang).

Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechtidee) dalam

negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum

berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus

5
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 27.
6
DR. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 28-29.

3
memperhatikan 4 unsur, yaitu, kepastian hukum (rechtssicherkeit), kemanfaatan

hukum (zeweckmassigkeit), keadilan hukum (gerechtigkeit), jaminan hukum

(doelmatigkeit).7

Hukum berfungsi sebagai alat pengatur tata tertib masyarakat yang

menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin, meliputi ketertiban

ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi, serta melindungi kepentingan

manusia. Hukum harus dilaksanakan secara professional dan hukum yang telah

dilanggar harus ditegakkan melalui penegakan hukum, sehingga kebijakan politik

yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara mampu memenuhi

hak-hak dari masing-masing individu masyarakat.8

C. Pengertian dan Jenis-jenis Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang juga

sering disebut jus poenale meliputi:

1. Perintah dan larangan, yang atas pelangggarannya atau pengabaiannya

telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh bada-badan negara yang

berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh

setiap orang;

2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa

dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu;

hukum penentiair atau hukum sanksi;

7
Prof. DR. H. Zainal Asikin, S.H., S.U., Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 77-79.
8
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S. H., Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hlm.
173.

4
3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-

peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu

Di samping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang

lazim pula disebutjus puniendi, yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang

penyidikan lanjutan penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana.9

2. Jenis-Jenis Hukum Pidana

a) Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus (ius commune dan ius

speciale)

Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan

terhadap setiap orang pada umumnya sedangkan hukm pidana khusus

diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja, misalnya anggota-anggota angkatan

perang atau anggota-anggota angkatan bersenjata, ataupun merupakan hukum

pidana yang mengatur tentang delik-delik tertentu saja, misalanya Hukum Fiskal

(Pajak), Hukum Pidana Ekonomi, dan sebagainya.

b) Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tak tertulis

Hukum pidana tertulis meliputi KUH Pidana dan KUHPidana yang

merupakan kodifikasi hukum pidana materiel dan hukum pidana formeel (hukum

acara pidana) termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan hukum

pidana yang statusnya lebih daripada undang-undang dalam arti formil, termasuk

perundang-undangan pidana daerah-daerah (local).

Hukum pidana tak terulis ialah sebagian besar Hukum Adat Pidana, yang

berdasarkan pasal 5 ayat 3 Undang- undang Darurat No. 1 tahun 1951 (L.N. 1951

9
Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H., Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hlm. 1.

5
No. 9) masih berlaku di bekas daerah Swapraja dan bekas pengadilan Adat, yang

akan diuraikan secara ringkas kemudian.

c) Hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional

Menurut Enschede dan Heijder, hukum pidana nasional ialah hukum

pidana yang ketentuan-ketentuannya berasal dari negara itu sendiri, sedangkan

hukum pidana internasional ialah hukum pidana nasional juga, tetapi ketentuan-

ketentuannya berasal dari dunia internasional. Contoh di Indonesia ialah ketentuan

yang terdapat pada pasal 4 KUH Pidana sub 2, yang mengandung prinsip

universalitas atau Wereldsrrafrecht, yaitu hukum pidana dunia yang mengancam

pidana bagi orang (termasuk orang asing) yang melakukan di luar Indonesia delik

mengenai mata uang.10

D. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Bambang Poernomo, perbuatan pidana adalah suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah

yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa

hukum pidana.

Perbuatan pidana merupakan pengertian yang abstrak dari peristiwa-

peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana

haruslah sebagai suatu pengertian yang bersifat ilmiah yang harus ditentukan

dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai dalam

kehidupan masyarakat.11

10
Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H., Hukum Pidana 1, hlm. 18-23.
11
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm. 121.

6
Menurut Alf Ross, concept of punishment bertolak pada dua syarat atau

tujuan, yaitu:

1. Pidana ditujukan pada pengenaa penderitaan terhadap orang yang

bersangkutan (punishment is aimed at inflicting suffering upon he

person upon whom it is imposed); dan

2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan

si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action

for which it is imposed).12

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Perbuatan pidana (delik) dapat dibedakan atas pelbagai pembagian

tertentu, seperti berikut ini:

a) Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen).

b) Delik material dan delik formal (materiele en formelede licten), Delik

material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang

timbul dari perbuatan itu. sedangkan delik formal ialah suatu perbuatan

yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar

ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang

bersangkutan.

c) Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiedelictena).

Delik komisi ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan, di sini orang

orang melakukan perbuatan aktif dengan melanggar larangan,

sedangkan delik omisi dilakukan dengan membiarkan atau

mengabaikan.
12
Prof. Dr. Teguh Praseto, SH, M.Si, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, hlm. 24-25.

7
d) Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (Zelfstandige en

voorgezette delicten).

e) Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende and voortdurende delicten).

Delik selesai terjadi dengann malakukan suatu atau beberapa

pperbuatan tertentu, sedangkan delik yang berlangsung terus terjadi

karena meneruskan suatu keadaan yang dilarang.

f) Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde

delicten). Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan

lebih dari satu perbuatan untuk terjadinya delik itu.

g) Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde

delicten). Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua

bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana,

misalnya dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan

kematian.

h) Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleuse en culpose

delicten). Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja,

karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

i) Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune

delicten). Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang

ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak

langsung.

j) Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en

commune delicten). Delik propria ialah delik yang hanya dapat

8
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, seperti

delik jabatan.

k) Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan umum yang dililndungi,

seperti delik terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik

kesusilaan, delik terhadap harta benda dan lain-lain.

l) Untuk Indonesia, Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara PIdana

Psal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik

ekonomi, korupsi, subversi dan lain-lain.13

E. Faktor Penghambat dalam Perlindungan Hukum

Menurut Clive Walker, faktor kegagalan dalam menegakkan keadilan atau

yang menghambat suatu proses penegakan hukum antara lain terjadi manakala

negara melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa atau terpidana, baik karena:

pertama, prose hukum yang tidka mencukupi; atau kedua, hukum yang diterapkan

kepada mereka; atau ketiga, tidak adanya pembenaran atas hukuman yang

diberikan; atau keempat, perlakuan terhadap tersangka tidak seimbang dengan

hak-hak orang lain yang hendak dilindungi; atau kelima, ketika hak-hak orang lain

tidak dilindungi secara aktif oleh negara dari para pelaku kejahatan; atau keenam,

hukum negara itu sendiri.14

Memahami perlindungan hukum dalam kaitannya dengan Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pemahaman sistem

peradilan yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum. Artinya, penegakan

13
DR. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm. 104-110.
14
Dr. O.C. Kaligis, S.H., M.H., Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, (Bandung: P.T. Alumni, 2006), hlm. 13.

9
Hukum Pidana antara lain dapat diwujudkan melalui Sistem Peradilan Pidana

yang sesuai dengan kebijakan kriminal.

Langkah perlindungan yang diberikan di Indonesia lebih bersifat reaktif

daripada proaktif, yakni hanya ditujukan kepada mereka yang telah mengalami

atau menjadi korban kejahatan dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib

untuk diproses lebih lanjut. Perumusan kebijakan kriminal tidak boleh lepas dari

kebijakan sosial, perlu diperhatikan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana di suatu negara, yaitu :

a) Perundang-undangan yang lemah dan belum tunduk pada suatu pola

perencanaan yang baku, baik dalam perumusan tindak pidana,

pertanggungjawaban pidana maupun sanksi yang diancamkan.

Kelemahan perundang-undangan tersebut di samping mempersulit

penegakan hukum, juga dapat menimbulkan kesan adanya kriminalisasi

yang berlebihan (over criminalization).

b) Clearance rate, yang sering terganggu dengan banyaknya kejahatan

yang tidak dilaporkan dengan pelbagai alasan.di beberapa negara,

termasuk Indonesia, pelaku kejahatan yang berada di luar Sistem

Peradilan Pidana (pelaku kejahatan yang tidak dilaporkan) lebih banyak

daripada yang dilaporkan. Di kota besar seperti Jakarta, banyak pelaku

pelanggaran lalu lintas yang tidak diajukan ke pengadilan. Dalam

praktiknya, untuk menghindari sanksi hukum, mereka membayar uang

suap kepada oknum polisi yang menindak pelanggaran tersebut.

10
c) Conviction rate, tingkat keberhasilan penuntutan masih rendah

walaupun menyangkut perkara yang meresahkan masyarakat. Hal ini

dapat mengurangi wibawa penegakan hukum.

d) Speedy trial, kecepatan menangani perkara seringdikatakan

mempengaruhi efektivitas tujuan pemidanaan. Dari segi tujuan

pemidanaan, [enyelesaian kasus yang cepat akan membawa efek

pencegahan yang lebih baik.

e) Disparitas pemidanaan atau fluktuasi pemidanaan (disparity of

sentencing/fluncuation of sentencing) sering dianggap mengganggu

kinerja Sistem Peradilan Pidana. Hal ini dianggap salah satu faktor yang

mempenagtuhi motivasi narapidana untuk menjadi lebih jahat atau

setidak-tidkanya dari baik menjadi jahat, karena merasakan dirinya

sebagai korban ketidakadilan dalam peradilan pidana.

f) Rate of alternative sentencing yang rendah. Salah satu karakteristik

hukum pidana yang berperikemanusiaan adalah tingkat penerapan yang

tinggi dari alternatif pidana kemerdekaan. Di Indonesia, alternatif

pemidanaan sangat kurang. Bahkan, terdapat kecenderungan Sistem

Peradilan Pidana dijalankan untuk mencari ‘tumbal’ semata. Seolah-

olah jika seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka kemudian

ditahan, aparat penegak hukum telah berhasil dalam tugasnya dan

penegakan hukum sudah berjalan dengan baik. Akibat dari tujuan

pencarian ‘tumbal’ itu, seseorang yan dituduh sebagai pelaku tindak

11
pidana kehilangan hak-haknya sebagai manusia dan kehilangan hak

hukumnya.

g) Perhatian yang tidak memadai terhadap korban kejahatan sesuai dengan

standar interasional yang berlaku, padahal peranan aktif saksi korban

sangat membantu pencegahan kejahatan.15

DAFTAR PUSTAKA

Poerdawarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan V, Jakarta: Balai

Pustaka, 1976.

Asikin, Zainal, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Praseto, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media,

2010.

http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-

hukum.html, diakses pada 07 Mei 2017.

Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012.

Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

15
Dr. O.C. Kaligis, S.H., M.H., Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, hlm.157-161.

12
Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, Bandung: P.T. Alumni, 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai