Anda di halaman 1dari 12

Hibah Terhadap Ahli Waris

Disusun Oleh :

Burhan: 16350001
Fathurrahman: 16350002
Rani lasmi: 16350005
Intan Nurul Karimah: 16350006
Qurratu A'yuni Siregar: 16350013
Busran Qadri: 16350021

Dosen pengampu :
Drs. Supriatna, M.Si.

Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah HKI. Kontemporer

PROGRAM STUDI AL AHWAL AS SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan penduduk yang mayoritas beragama
Islam. Selain itu, pemeluk agama Islam di Indonesia menjadi yang paling
banyak di dunia. Penyebaran muslim hampir merata dari ujung barat sabang
sampai ke ujung timur di Papua. Muslim juga sudah merasuk kedalam sebagian
besar suku yang ada di Indonesia. Umat Islam dalam melakukan kegiatan
sehari-hari memiliki pedoman utama, yaitu al-Quran dan Sunah. Semua aspek
kehidupan dari mulai tata cara beribadah kepada Allah sampai tata cara
bermuamalah sesama manusia telah diatur dan diterangkan secara terperinci.
Sehingga semua perbuatan yang dilakuakn oleh seorang muslim harus sesuai
dengan al-Quran dan Sunnah.
Hukum Islam menjadi hukum yang dianut oleh umat muslim di seluruh
dunia. Dengan sifatnya yang universal, hukum Islam juga harus dianut oleh
muslim yang berada di Indonesia. Semua perbuatan yang sesuai dengan
tuntunan hukum Islam maka akan mendapat pahala, dan apabila ada yang
melanggar maka akan mendapat hukuman yang sesuai dengan ketentuan yang
ada.
Salah satu cabang dari hukum Islam adalah hukum keluarga yang
merupakan hukum privat yang membahas hukum perorangan. Hukum keluarga
memiliki berbagai cabang hukum dibawahnya, diantaranya adalah hukum
kewarisan. Hukum kewarisan merupakan salah satu persoalan yang penting
dalam Islam. Penyebannya adalah pembahasan yang terperinci, kongkrit, dan
realistis dalam teks-teks al-Quran sehingga kebanyakan ulama klasik
beranggapan bahwa hukum kewarisan tidak dapat dirubah. Sementara itu para
ulama kontemporer beranggapan bahwa hal-hal yang bukan prinsipal bisa
ditafsirkan sesuai keadaan dan zaman yang ada.1
Al-Quran mengajarkan hukum kewarisan yang bercorak patrilinear.
Karena sistem kekeluargaan orang arab yang bernasabkan pada ayah.
Sedangkan di Indonesia terdapat banyak fariasi dalam hukum kewarisan,
karena terdapat tiga sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat, yaitu,
1
. Abdul Ghofur Anshori, Fislafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin
(Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 15

2
patrilenear, matrilinear, dan bilateral.2
Suburnya fariasi kewarisan Islam di Indonesia disebabkan oleh sifat
netral muslim Indonesia yang tidak berpihak pada mazhab tertentu sehingga
membuka peluang ijtihad.3 Berbeda dengan negara-negara timur tengah yang
hanya memilih satu mazhab dalam menetapkan hukum. Dengan sikap netral
ini, fariasi kewarisan di Indonesia tidak dapat disalahkan selama masih sesuai
dengan al-Quran dan Sunnah.
Dalam perkembangan hukum waris, terdapat praktik masyarakat yang
berbeda dari konsep awal hukum waris Islam. Secara umum warisan dibagikan
setelah pewaris meninggal. Namun, ada beberapa praktik kewarisan di dalam
masyarakat yang mana harta waris dibagikan sebelum pewaris meninggal.
Salah satu alasan kenapa harta waris dibagi sebelum meninggal adalah
minimnya pengetahuan masyarakat tentang hukum waris.4 Keawaman
masyarakat ini ditakutkan akan menjadi penyebab perselisihan dalam keluarga.
Dalam kasus lain, masyarakat membagikan warisan sebelum pewaris
meninggal disebabkan ahli waris sudah menikah.
Munawir Sjadzali juga mengamini bahwa praktik hibah sebagai
pengganti pewarisan sudah ada sejak lama. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa
praktek ini muncul akibat sudah mulai terkikisnya kepercayaan masyarakat
tentang konsep keadilan dalam hukum waris antara anak laki-laki dan
perempuan yang diskriminatif.5 Anak laki-laki mendapatkan dua bagian
sedangkan anak perempuan mendapatkan satu bagian dalam pembagian waris
secara Islam.
Melihat fakta di atas, terdapat ketidak sinkronan antara praktek
masyarakat dan aturan dalam hukum Islam. Sehingga menimbulkan
permasalahan yang menarik untuk dibahas. Maka dalam penulisan ini akan
dibahas tentang hibah terhadap ahli waris.

2
. Muchit A. Karim. Ed, Problematika Hukum Kewarisan Kontemporer (Jakarta: Kementrian Agama
RI badan litbang dan diklat puslitbang kehidupan agamaan, 2012), hlm 315
3
. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Isalam di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama
RI cetakan 1, 2011), hlm. 12.
4
. Muchit A. Karim. Ed, Problematika Hukum Kewarisan Kontemporer, hlm 316
5
. Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 8.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hibah?
2. Apa pengertian waris?
3. Apa hubungan hibah dengan waris?
4. Bagaimana hukum pemberian hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum
Islam ?
C. Tujuan Kepenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hibah
2. Untk mengetahui pengertian warisan
3. Untuk mengetahui hubungan hibah dengan warisan
4. Untuk mengetahui hukum pemberian hibah dari orang tua kepada anaknya
yang diperhitungkan sebagai warisan menurut pasal 211 Kompilasi Hukum
Islam

4
BAB II
PEMBASAN
A. Pengertian Hibah
Secara etimologi, kata hibah adalah bentuk mashdar dari kata

wahaba digunakan dalam Al-Qur‟an beserta kata derivatnya sebanyak 25

kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah

berarti memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8,

Maryam, 19:5, 49, 50, 53).16 Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah"

ini merupakan mashdar dari kata ( ‫ ) وهب‬yang berarti pemberian.6

Secara istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui

transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan

jelas ketika pemberi masih hidup.7 Dalam perspektif formulasi Kompilasi

Hukum Islam hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan

tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk

dimiliki (Pasal 171 huruf g KHI).8 Dari definisi diatas dapat disimpulkan

bahwa hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika

masih hidup tanpa adanya suatu paksaan.

B. Pengertian Warisan
Dalam sistem hukum Islam, kata waris merupakan kata yang

diambil dari bahasa Arab ) ‫ ورث‬- ‫ ( ورثا – يرث‬yang artinya mewarisi).9

Jika dikaitkan dengan kondisi yang berkembang di masyarakat

Indonesia, istilah waris dapat diartikan sebagai suatu perpindahan

6
. Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1584.
7
. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
hlm. 375.
8
. Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, kewarisan dan
Perwakafan), (Bandung: CV. NUANSA AULIA, 2013), hlm. 52.

9
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, hlm. 1550.

5
berbagai hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang telah

meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.10

Sedangkan pengertian hukum waris secara terminologi adalah

hukum yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi, orang-

orang yang tidak mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli

waris serta cara pembagiannya.11 Dalam redaksi yang lain, Muhammad

Muhyiddin Abdul Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah

hukum yang mengatur tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah

meninggalnya pewaris karena adanya sebab dan syarat tertentu.12

C. Hubungan Hibah Dengan Waris


Telah dikemukakan perbedaan pendapat tentang status hukum

orang tua melebihkan hibah kepada salah satu anaknya, tidak kepada

yang lain. Menurut Ahmad Rofiq, yang terpenting dalam pemberian

hibah adalah dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-

anak yang ada. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian

hibah orang tua terhadap anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Boleh jadi, pola pembagian demikian, oleh sementara pendapat dianggap

sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi soal warisan. Disatu

sisi menghendaki hukum waris Islam dilaksanakan, namun realisasinya

telah ditempuh cara hibah, justru pewaris sebelum meninggal dunia.13

Kadang-kadang hibah diberikan kepada sebagian ahli waris diikuti

dengan perjanjian bahwa apabila ia sudah menerima hibah dalam jumlah

10
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 81
11
TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet.2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
hlm. 6.
12
Muhammad Muhyiddin „Abdul Hamid, Ahkam al-Mawariis fi al-Islamiyati, (Dar al-Kitab al-„Araby,
Cet. Ke-I, 1984), hlm. 5.
13
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013),
hlm. 380-382

6
tertentu, ia berjanji tidak akan meminta bagian warisan kelak jika si

pemberi meninggal. Perlu diidentifikasi agar jelas, apakah hibah yang

diberikan seseorang kepada anak-anaknya itu dianggap sebagai warisan,

ataukah sebagai hibah biasa. Keduanya memiliki implikasi hukum yang

berbeda. Pertama, apabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan,

sangat tergantung kepada kesepakatan anak-anak yang lain. Kedua,

apabila pemberian itu dinyatakan sebagai hibah saja, maka pembagiannya

harus rata.14

D. Hukum Pemberian Hibah dari Orang Tua kepada Anaknya Dapat

Diperhitungkan Sebagai Warisan Menurut Pasal 211 Kompilasi

Hukum Islam

Dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan tentang tata cara

melakukan ibadah, perkawinan, kewarisan, perjanjian-perjanjian

mu’amalah, hidup bernegara yang mencakup kepidanaan,

ketatanegaraan, hubungan antar Negara dan sebagainya.15 Adapun

beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan Islam oleh sebagian

masyarakat Islam Indonesia sudah banyak ditinggalkan, baik secara

langsung maupun tidak langsung.16 Secara tidak langsung, hal ini dapat

dilihat dengan keberadaan lembaga hibah yang kemudian digunakan

sebagai media alternatif pembagian waris. Terlebih pada perkembangan

berikutnya, aturan-aturan tersebut direalisasikan dengan bahasa-bahasa

yang mudah untuk dimengerti dalam bentuk pasal-pasal tertentu, yang

14
Ibid., hlm 381-382.

15
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Yogyakarta: Nur Cahaya,
1987), hlm. 2.

16
Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 154.

7
dalam hal ini adalah pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

berbunyi “Hibah dari orang tua terhadap anaknya dapat diperhitungkan

sebagai warisan”.17

Ketentuan hibah diatur dalam buku II dan bab V Wasiat pasal

210-214. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur mengenai rukun hibah,

yaitu pemberi hibah (wahib), barang yang dihibahkan (mauhub), dan

penerima hibah (mauhub lah), namun pembahasannya terlalu singkat.

Ada beberapa hal yang diusulkan penulis mengenai ketentuan hibah ini:

a. Tata cara hibah hendaknya disamakan dengan tata cara melakukan

wasiat dengan mengakomodir orang-orang yang tidak bisa menulis

dan tidak bisa berbicara.

b. Hibah kepada anak harus adil, artinya tidak membedakan kuantitas

barang yang dihibahkan antara anak laki-laki dan anak perempuan.

c. Mengenai hibah yang dilakukan ketika sakit keras (pasal 213)

diperlakukan sebagai wasiat, artinya tidak per meminta persetujuan

ahli waris, kecuali hibah kepada orang lain yang melebihi sepertiga.

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) sesungguhnya

merupakan respon pemerintah terhadap timbulnya berbagai keresahan di

masyarakat akibat beragamnya keputusan pengadilan agama untuk kasus

yang sama. Keberagaman itu merupakan konsekuensi logis dari

beragamnya sumber pengambilan hukum, berupa kitab-kitab fikih yang

dipakai oleh para hakim agama dalam memutuskan suatu perkara. Karena

itu, muncul suatu gagasan mengenai perlunya suatu hukum positif yang

dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan bagi para Hakim

17
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, kewarisan dan
Perwakafan), (Bandung: CV. NUANSA AULIA, 2013), hlm. 52.

8
Agama sekaligus langkah awal untuk mewujudkan kodifikasi hukum

nasional.18 Oleh karena itu, kehadiran KHI dipandang sangat efektif

digunakan oleh para Hakim Agama, pejabat KUA, dan masyarakat sebagai

sumber dan landasan hukum dalam berbagai putusan peradilan agama.

Efektifitas itu terjadi karena KHI berbahasa Indonesia dan menggunakan

bahasa yang jelas dan pasti untuk sebuah keputusan hukum. Berbeda jauh

dengan kitab fikih yang dahulu digunakan oleh para hakim agama, yang

hanya mampu dipahami oleh orang yang memiliki kemampuan bahasa

Arab yang baik dan juga materi hukum Islam kitab fikih selalu

menyediakan banyak alternatif hukum yang membuat para hakim merasa

tidak pasti.19

Dalam kehidupan masyarakat yang selalu berubah (change) dan

berkembang (development) muncul berbagai praktik yang tidak selalu utuh

berpegang pada hukum (baca: ayat) kewarisan saja untuk membagi harta

warisan. Hal ini dapat terlihat dengan praktik kewarisan pada masyarakat-

masyarakat yang cenderung tidak mengikuti kaidah 2:1 dengan alasan

keadilan yang didasarkan pada peranan antara laki-laki dengan perempuan,

sebagaimana banyaknya perempuan yang diera sekarang ini menjadi tulang

punggung keluarga, seperti di masyarakat Surakarta, khususnya di

kalangan pengusaha batik, tulang punggung keluarga adalah isteri.20 Dan

terdapat cukup banyak ulama Indonesia yang enggan mengikuti hukum

waris Islam, tetapi juga tidak mau dikatakan melanggar faraid. Mereka

mencari jalan keluar dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak

18
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial Itu!, (Jakarata: Grahacipta, 2005), hlm. 2-3.
19
Ibid.
20
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 7-8

9
mereka dengan bagian sama besar antara anak laki-laki dan perempuan

semasa mereka hidup sebagai hibah.21

Pada dasarnya pembentukan aturan tidak akan terlepas dari nilai-

nilai hukum yang melatarbelakanginya. Gustav Radbruch, sebagaimana

yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, berpendapat bahwa hukum itu

bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Kendatipun ketiganya selalu ada dan mendasari kehidupan hukum, tetapi

tidak berarti, bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan

yang harmonis.22 Oleh karena itu, perumusan pasal 211 KHI merupakan

cerminan untuk mencoba mengharmoniskan ketiga nilai dasar tersebut

(kepastian, keadilan, dan kemaslahahan) dalam suatu praktik yang

dilakukan oleh masyarakat serta tidak melupakan nilai dasar ketakwaan

terhadap ajaran Tuhan yang tertuang di dalam nash. Maka disepakatilah

pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk kemaslahahan umat.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwasanya

hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih

hidup tanpa adanya suatu paksaan. Muhammad Muhyiddin Abdul


21
Ibid., hlm. 62.
22
Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum,
(Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 80-81.

10
Hamid mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum yang

mengatur tentang kepemilikan seseorang atas sesuatu setelah

meninggalnya pewaris karena adanya sebab dan syarat tertentu. Perlu

diidentifikasi agar jelas, apakah hibah yang diberikan seseorang kepada

anak-anaknya itu dianggap sebagai warisan, ataukah sebagai hibah

biasa. Keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Pertama,

apabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan, sangat tergantung

kepada kesepakatan anak-anak yang lain. Kedua, apabila pemberian itu

dinyatakan sebagai hibah saja, maka pembagiannya harus rata. pasal

211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Hibah dari orang

tua terhadap anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.

perumusan pasal 211 KHI merupakan cerminan untuk mencoba

mengharmoniskan ketiga nilai dasar tersebut (kepastian, keadilan, dan

kemaslahahan) dalam suatu praktik yang dilakukan oleh masyarakat

serta tidak melupakan nilai dasar ketakwaan terhadap ajaran Tuhan

yang tertuang di dalam nash. Maka disepakatilah pasal 211 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) untuk kemaslahahan umat.

DAFTAR PUSTAKA

Anshon, Abdul Ghofur. 2010. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep


Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press.
Karim, Muchit A. 2012. Problematika Hukum Kewarisan Kontemporer.
Jakarta: Kementrian Agama RI.
Habiburrahman. 2010. Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesi.
Jakarta: Kementrian Agama RI.

11
Sjadzali, Munawwir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Pramadina.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Almunawwir Arab-
Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progeressif.
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2013. Kompilasi Hukum Islam (Hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan). Bandung: CV Nuansa Aulia
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok Ilmu Waris. Semarang: Mujahidin.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1997. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
Muhammad Muhyiddin, Abdul Hamid. 1984. Ahkam al-Muwarris fi al-
Islamiyah.
Basyir, Ahmad Azhar. 1987. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Yogyakarta:
Nur Cahaya.
Mubarok, Jaih. 2005. Ijtihad Kemausiaan di Indonesia. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Muhammad Zain, Mukhtar Alshodiq. 2005. Membangun Keluarga
Humanis, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversi itu.
Jakarta: Grahacipta.
Raharjo Satjipto. 2008. Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas.

12

Anda mungkin juga menyukai