Anda di halaman 1dari 21

KONSEP KALALAH DALAH HUKUM WARIS ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok


Mata Kuliah: Fikih Kontemporer
Dosen Pengampu: Muhibbussabry, Lc, MA
(Logo)
Disusun oleh:
Sem. V/Siyasah
Nadiya Asvina (NIM)
PROGRAM STUDI FIKIH SIYASAH FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN 2022/2023

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
KONSEP KALALAH DALAH HUKUM WARIS ISLAM
Disusun oleh: Nadiya Asvina
Abstrak

6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002
8
Andi Nuzul, Upaya Kodifikasi Hukum Kewarisan Secara Bilateral dengan pola
Diferensiasi dalam Masyarakat Pluralis,Vol 22,Mimbar Hukum, 2010, hal 465 - 481
PENDAHULUAN

Latar belakang
Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada
Allah SWT saja, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah waris. dalam hukum
waris Islam, setiap pribadi apakah dia laki-laki atau perempuan berhak
memiliki harta benda (Basyir 1990)1. Pelaksanaan hukum kewarisan
sangat erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan. Bentuk
kekeluargaan berdiri pada pangkal sistem keturunan yang pada
pokoknya ada tiga macam sistem keturunan yaitu patrilineal,
matrilineal, dan parental atau bilateral. Persoalan kalalah dalam
konteks kewarisan tidak terlepas dari pembicaraan tentang status
saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris dari
seseorang yang meninggal. Saudara berhak memperoleh harta
warisan sesuai dengan furudnya selama tidak ada walad. Kata walad
yang disebutkan disini berhubungan dengan persyaratan seorang
pewaris menjadi kalalah. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa
seorang pewaris dinamakan kalalah bila tidak meninggalkan walad.
Kalalah adalah seseorang yang meninggal dan tidak punya anak
(walad) dan orang tua (walid). (Suganda 2020)2
Pemaknaan kalalah sebagai seorang yang meninggal tidak punya
orang tua dan anak, menurut jumhur ulama’ mengandung pengertian
bahwa orang tua yang dimaksud cuma terbatas terhadap bapak saja
dan tidak termasuk ibu. Dari pengertian ini, perselisihan pendapat
nampak berkenaan apakah kakek dari pihak bapak terhitung
mempunyai kedudukan seperti bapak ketika si bapak telah meninggal
lebih-lebih dahulu lebih-lebih didalam perihal membatasi saudara
menerima bagian waris atau tidak. Disisi lain Jumhur ulama
mengemukakan rancangan kalalah yang berlainan terhadap ayat 12
dan ayat 176 surah al-Nisa’ yang tentu saja terjadi ketidak konsistenan
penerapan definisi kalalah diatas (Bachri 2022)3.
Mayoritas ulama Suni mengartikan walad dengan anak laki-laki
sehingga makna kalâlah adalah orang yang meninggal dalam keadaan
tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Adapun Syiah
1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
Imâmiyyah mengartikan kata walad dengan anak laki-laki dan
perempuan sehingga kalâlah diartikan dengan orang yang meninggal
yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan serta
orang tua (ayah dan ibu). Sa’ad merupakan hadis yang sangat populer
di kalangan mayoritas ulama dan sering dikutip sebagai dalil bahwa
Begitu pula dengan Hadis Ibn Mas’ûd yang memberikan hak waris
kepada saudara perempuan ketika bersama dengan anak
perempuan. Dalam hadis ini saudara perempuan berhak menghabiskan
sisa harta. Dalam Hadis ini terlihat bahwa anak perempuan tidak dapat
menghijab saudara perempuan atau saudara laki-laki sehingga walad
yang mempengaruhi kewarisan kalâlah itu adalah anak laki-laki
saja. Arab sehingga kalau dikatakan walad maka maksudnya adalah
anak laki-laki (Willya 2014)4.
Pemilikan dan pemanfaatan harta dalam Islam dibangun atas beberapa
prinsip dasar yang tidak dapat dilupakan oleh setiap orang. Prinsip-
prinsip tersebut disebutkan dalam Alquran secara kongkrit. Di antara
prinsip-prinsip dimaksud adalah: 1) pemilik mutlak harta adalah Allah
SWT, sementara kepemilikan yang ada pada manusia hanyalah
bersifat relatif, yaitu sebatas pengelolaan dan pemanfaatannya semata
(Q.S.Al-Hadid 57: 2-7). Kedua, harta merupakan perhiasan hidup bagi
manusia yang dapat digunakan dengan baik, namun tidak boleh
berlebihan (Q.S. Ali-Imran 13:14). Ketiga, harta menjadi salah satu
ujian keimanan yang harus diwaspadai oleh manusia (Q.S. Al-Anfal
8:28). Keempat, harta sebagai bekal ibadah (Q.S. At-Taubah 9:41 &
60). Kelima, harta dapat menjadi penyelamat dari azab Allah SWT.
(Q.S. Ash-Shaf 61: 10-13). (DR. EMK. ALIDAR 2020)5

Rumusan masalah
1. Bagaimana Konsep Kalalah dalam Kewarisan menurut hukum
waris islam.
2. Bagaimana Implementasi Konsep Kalalah dalam Kewarisan
Istri
Kerangka teori

4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
PEMBAHASAN

A. Hukum Waris Islam


Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraiḍ. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah
ditentukan dalam al-Qur‟ān. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan
akibat-akibat yang tidak menguntungkan (Rofiq 2002)6.
Dalam bahasa Arab berpindahnya suatu hal dari seseorang kepada
orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miiraś.
Sedangkan arti Al-miiraś menurut arti yang dikenal para ulama ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang tetap hidup, baik yang ditinggalkan itu berwujud harta
(uang), tanah atau apa saja yang berwujud hak milik legal menurut
syar‟i. Dalam konteks yang lebih umum, warisan bisa diartikan
sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup (Rofiq 2002)7.
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal
dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan
hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.
Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy
mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian
penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya (Nuzul
2010)8.
Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya , di samping
ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Hal yang demikian itu
tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur
syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan
Rasul-nya yang sangat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in
disguise bagi umat manusia.
Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum
dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak. Tetapi ada dua
1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni (M. Andrie Rizki
Perdana 2012)9 :
1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam
melakukan ijtihad berbeda 2.
2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad
juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab
atau aliran dalam hukum fikih Islam, termasuk hukum waris. Khalifah
al-Mansur mendukung gagasan tersebut.
B. Dasar Hukum Waris Kalālah
1. Hadis
Dasar Hukum kalālah dalam hadis adalah sebagai berikut:

Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abd bin Humaid; telah


menceritakan kepadaku Zakariya bin 'Adi; telah mengabarkan kepada
kami 'Ubaidullah bin 'Amr dari 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil
dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata; Istri Sa'ad bin Rabi' datang
kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa sallam beserta kedua putrinya,
dia berkata, "Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putrinya Sa'ad bin
Rabi' yang telah syahid pada perang Uhud bersamamu dan
sesungguhnya pamannya mengambil seluruh hartanya dan tidak
menyisakan sedikitpun untuk keduanya dan tentunya keduanya tidak
dapat dinikahkan kecuali jika memiliki uang." Maka beliau menjawab:
"Semoga Allah memutuskan dalam perkara ini." Setelah itu, turunlah
ayat waris, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus
4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
seseorang kepada paman keduanya dengan perintah: "Berikanlah
kepada kedua putri Sa'ad dua pertiga harta, dan berilah ibu mereka
seperdelapan, lalu harta yang tersisa menjadi milikmu." Berkata Abu
Isa: Ini merupakan hadits hasan Shahih tidak kami ketahui kecuali dari
haditsnya Abdulah bin Muhammad bin 'Aqil dan Syarik juga telah
meriwayatkannya dari Abdulah bin Muhammad bin 'Aqil. ( HR.
Tirmidzi - 2018)1.
2. Al-Qur’an
Dalam al-Qur‟ān, kata kalālah muncul dua kali. Semuanya dalam
surat an-Nisā‟, yaitu (Hakim 2015)11:
Pertama, kalālah QS. An-Nisā‟ ayat 12:

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istrinya, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika istriistrimu tidak mempunyyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutanghutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari‟at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun” (Qs. al-Nisa‟[4]: 12).
Kedua, QS. An-Nisā‟ ayat 176:

Artinya:“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah).


Katakanlah,“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah (yaitu),
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS.an-
Nisā‟ [4]:12).
C. Waris Kalālah Dalam Perspektif Ulama Klasik
1. Pengertian Kalālah
Kata Kalālah berasal dari bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara
bahasa berarti letih atau lemah. Kata kalalah ini pada asalnya
digunakan untuk menunjuk pada sesuatu yang melingkarinya, yang
tidak berujung ke atas dan ke bawah seperti kata “iklil” yang berarti
mahkota, karena ia melingkari kepala. Seseorang dapat disebut
kalalah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak
dan ayah). Kerabat garis sisi disebut kalalah karena berada
disekelilingnya bukan di atas atau di bawah. Kata kalalah kemudian
dipergunakan untuk seseorang yang tidak punya ayah dan anak
(Suganda 2020)12.
Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada
pendapat beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu
(Prayogi 2018)13:
1) Orang yang tidak mempunyai anak dan orang tua.
2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan kerabat.
3) Orang yang meninggal.
4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang tua dan saudara
Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah.
Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut
dengan kalâlah ayah.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., disebutkan bahwa Umar
berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW. setelah membaca
hamdalah dan memuji Allah, ia berkata:

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
Artinya: “Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman
khamar (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; biji gandum,
gandum, kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang
menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin
sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada
kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang
masuk dalam kategori riba”.
Mayoritas pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak; ada juga yang
memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja, ada
lagi yang berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan
masih banyak pendapat lain. Dan ada juga yang berpendapat bahwa
kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain kedua ibu bapak dan anak.
2. Hukum Waris Kalālah menurut Imam Syafi'i
Konsep kewarisan menurut Imam Syafi'i sama dengan ulama Sunni,
yang pembagiannya sebagai berikut yang dibagi menjadi beberapa:
a. Dzu Al-Fara'id
Dzu al-fara'id adalah ahli waris yang mendapatkan bagian waris yang
telah ditentukan dan dalam keadaan ditentukan pula secara pasti oleh
al-Qur'an, al-Sunnah, dan Ijma‘. Menurut al-Qur'an surat al-Nisa' ayat
11, 12, dan 176 adalah ahli waris yang mendapat saham tertentu
berjumlah (9) sembilan orang, sedangkan yang lainnya menurut
jumhur ulama' merupakan tambahan dari hasil ijtihad, seperti kata
"walad". Perinciannya sebagai berikut (Prayogi 2018)13:
1) Surat al-Nisa' ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak
perempuan, ayah, dan ibu.
2) Surat al-Nisa' ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara
lakilaki seibu dan saudara perempuan seibu.
4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
3) Surah al-Nisa' ayat 176, ahli waris itu adalah saudara
perempuan sekandung dan seayah.
Dzu al-fara'id secara keseluruhan terdiri dari sepuluh ahli waris, yang
digolongkan dalam ashab al-nasabiyah , yaitu; ibu, nenek, anak
perempuan, bintu al-ibni , saudara perempuan , walad al-umm , ayah
bersama anak laki-laki atau ibnu al-ibni , kakek sahih dan ashab al-
furud al-sababiyah , yaitu; suami dan istri (Prayogi 2018)14.
b. Ashabah
Ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak
bapak kerena menguatkan dan melindungi atau kelompok yang kuat,
sebagaimana kata ‘usbatun dalam surat Yusuf ayat 14. Kalangan
ulama fara'id lebih masyhur dengan mengartikan orang yang
menguasai harta waris kerena ia menjadi ahli waris tunggal.
Pengertian lain 'ahli ‘ashabah adalah mereka yang tali hubungan
kerabatnya dengan yang meninggal tidak bersambung dengan jenis
perempuan, baik itu bersambungan langsung tanpa kerabat sela
ataupun disambungkan dengan kerabat seorang, dua orang, dan
seterusnya.
Ashabah menjadi tiga bagian (an-nur.ac.id 2022)15:
Pertama Ashabah bi al-Nafsi, yaitu semua orang laki-laki yang
pertalian nasabnya kepada pewaris tidak terselingi oleh perempuan.
Mereka adalah:
1) Far’un waris muzakkar, yaitu anak turun dari garis laki-laki
sampai ke bawah,
2) Ayah, kakek dan seterusnya ke atas,
3) Para saudara laki-laki pewaris sebagai keluarga dekat baik
seayah dan sekandung termasuk keturunan mereka, namun
hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk sebab mereka termasuk 'ashab al-furud,
4) Arah paman, mencangkup paman (saudara laki-laki ayah)
kandung maupun seayah, termasuk keturunan mereka, dan
seterusnya.

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
Kedua Ashabah Bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan,
saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama
saudara laki-laki mereka masing-masing. Berikut keterangan lebih
lanjut terkait beberapa perempuan yang menjadi ashabah dengan
sebab orang lain (an-nur.ac.id 2022)16:
1) Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ‘ashabah
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik
saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
3) Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya
yang perempuan menjadi ‘ashabah.
4) Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ‘ashabah.
Ketentuan pembagian harta waris dalam ashabah bil ghair, “bagian
pihak laki-laki (anak, cucu, saudara laki-laki) dua kali lipat bagian
pihak perempuan (anak, cucu, saudara perempuan)”.
Ketiga ‘Ashabah Ma’algha’ir (‘ashabah bersama orang lain) yaitu ahli
waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris
perempuan Mereka adalah (an-nur.ac.id 2022)17:
1) Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau cucu
perempuan dari anak laki-
2) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak
perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak
laki - laki.
Dengan demikian ‘ashabah adalah sisa kecil dari harta peninggalan si
mayyit dan ini berdasarkan pada sabda Nabi saw. yaitu dari Ibnu
Abbas menurut riwayat Bukhari sebagaimana dalam bab dua, oleh
Imam Syafi'i sendiri, istilah 'aula rajulin zakarin' tidak terbatas kepada
lelaki saja tetapi juga meliputi perempuan, demikian juga pengertian
‘Ashabah tidak terbatas kepada laki-laki saja tetapi termasuk
perempuan.
Dalam mazhab Syafi'i dikenal juga al-Hujub (penghalang waris) yang
Hujub Hirman, yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
waris seseorang, yaitu ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin
terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap
mendapatkan hak waris, yaitu: anak kandung laki-laki, anak kandung
perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati
meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya
harus mendapatkan warisan (Prayogi 2018)18.
3. Waris Kalālah menurut Suni
a. Kalâlah dalam Pandangan Suni
Dalam Alquran ditemukan kata ”walad” sekitar tiga puluh tiga kali
dalam bentuk mufrad (singular) dan sekitar dua puluh tiga kali dalam
bentuk jamak. Ulama telah sepakat dalam memahami kata walad yang
enam kali disebutkan dalam Q.s. al-Nisâ’[4]: 11 dan 12 serta satu kali
kata awlâd adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan
demikian, walad yang dapat mengurangi hak ibu dari sepertiga
menjadi seperenam, hak suami dari seperdua menjadi seperempat. dan
hak istri dari seperempat menjadi seperdelapan adalah anak laki-laki
dan anak perempuan. Begitu pula yang menetapkan ayah mendapat
seperenam waktu tidak ada walad maksudnya adalah anak laki-laki
dan anak perempuan (Willya 2014)19.
Namun dalam memahami kata walad yang disebutkan dua kali dalam
ayat 176 ulama tidak sepakat. Kata walad disebutkan di sini
sehubungan dengan persyaratan seseorang pewaris menjadi kalâlah.
Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris disebut kalâlah bila
tidak meninggalkan walad. Hal ini berarti keberadaan walad
menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima warisan. Umar
berpendapat kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak
berdasarkan Q.s. al-Nisâ’[4]: 176 tetapi kemudian pendapat ‘Umar
dikritik oleh Abû Bakr yang memahami kalâlah berdasarkan
pemahaman yang sudah ada di kalangan orang Arab yaitu anak
lakilaki dan ayah. Kuat dugaan ‘Umar merasa bahwa kalâlah adalah
orang yang tidak mempunyai anak tetapi masih mempunyai orang tua
seperti yang ditunjukkan oleh zahir Q.s. al-Nisâ’[4]: 176.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kalâlah dalam
pandangan Suni adalah orang yang meninggal dan tidak meninggalkan
1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
anak laki-laki serta ayah. Konsekuensinya adalah apabila seseorang
meninggal dalam keadaan kalâlah maka saudara akan mendapat
warisan meskipun anak perempuan ada. Karena menurut mayoritas
Ulama Suni, anak perempuan tidak mempengaruhi atau menghijab
saudara dalam keadaan pewaris kalâlah.
D. Hukum Waris Kalâlah dalam Kewarisan Istri
1. Pengertian Waris Istri
Waris istri adalah hak-hak waris yang wajib ditunaikan setelah suami
meninggal dan akan diterima oleh seorang istri setelah suaminya
meninggal dunia. Kedudukan istri yang ditinggalkan mati oleh
suaminya, patut mendapat perhatian serta diperlukan secara hukum
dalam lingkungan hukum. Dalam kewarisan istri memiliki syarat dan
ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur‟an, antara lain masih dalam
hubungan pernikahan yang sah (Fitri 2020)20.
Pernikahan adalah kumpulnya dua orang laki-laki dan perempuan
yang bukan mahram dalam sebuah ikatan yang sah. Dalam hubungan
pernikahan yang sah dapat menyebabkan hukum yang secara lahir dan
batin dijalankan dengan seksama hingga salah satu dari suami atau
istri meninggal dan menyebabkan kewarisan. Di Indonesia hukum
kewarisan dalam kompilasi hukum Islam pasal 171 hukum kewarisan
adalam hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa saja yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing (Abdurrahman
2007)21.
Sesuai dengan firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 12 :

4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)” (Fitri
2020)22 .

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa suami dan istri saling
mewarisi, serta keturunanya berhak mendapatkan warisan sesuai
pembagiannya masing-masing yang telah ditetapkan kadarnya oleh
syariat Islam. Dalam hukum suami istri tersebut dapat saling
mewarisi, apabila hubungan perkawinan mereka memenuhi dua
syarat.
a. Perkawinan yang sah menurut syariat Islam
b. Masih terikat hubungan perkawinan, yakni hubungan
perkawinan masih berlangsung samapi saat kematian salah satu
pihak suami atau istri, tidak dalam keadaan bercerai.
Hadis yang berkaitan dengan pembagian waris terdapat pada HR.
Muttafaq „Alaih No. 906 yang artinya:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Rasullah Saw bersabda:
Serahkanlah warisan-warisan itu kepada ahlinya, adapun sisanya, bagi
ahli waris laki-laki yang terdekat”(Fitri 2020)23.
Hadis di atas menjelaskan mengenai pembagian warisan untuk ahli
waris yang terdekat , selebihnya merupakan milik laki-laki yang
paling dekat. Dalam pembagiannya Al-Qur‟an dan as-Sunnah telah
memberikan tata cara dan pembagian yang telah ditentukan ukurannya
kepada masing-masing sebagai ahli waris yang ditinggalkan.
2. Sistem Waris Kalâlah dalam Kewarisan Istri
Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang pada akhirnya akan
mengalami akibat hukum dari peristiwa perkawinan yang dilakukan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang suami akan
diminta atau secara naluriah memberikan hak dan kewajiban kepada
istri, dan sebaliknya. Dalam pelaksanaan kewarisan ini terdapat
syarat-syarat pelaksanaan hukum kewarisan Islam, sebagai berikut
(Faqih 2017)24:
a. Kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta.
b. Kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia.
c. Diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris
Kepastiaan meninggalnya seseorang yang mempunyai harta dan
kepastian hidupnya ahli waris pada saat meninggalnya pewaris
4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
menunjukan bahwa perpindahan hak atas harta dalam bentuk
kewarisan tergantung seluruhnya pada saat yang pasti. Oleh karena itu
Penetapan pemilik harta meinggal dan ahli waris hidup sebagai syarat
mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam hukum islam, berarti
hukum kewarisan bertujuan untuk meyelesaikan secara tuntas masalah
warisan orang yang meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak
yang hidup dalam kandungan sebagai ahli waris menunjukkan bahwa
hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik dalam
menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin timbul dalam
kasus kewarisan. Maka perkawinan dapat dikatakan sah apabila sesuai
dengan rukun dan syarat perkawinan yang telah diatur dalam hukum
Islam. Tahun 1974 tentang perkawinan.
Seorang istri mendapat ¼ (satu perempat) harta. yaitu istri yang
ditinggal meninggal oleh suaminya dan tidak mempunyai anak atau
keturunan (Kalâlah). “Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak.” (QS. an-Nisa (4)
: 12). Dengan Demikian firman Allah tersebut juga menegaskan,
bahwa jika istri seorang yang ditinggal meninggal oleh suaminya
makanya mendapat bagian ¼ dari hartnya.
Berikut contoh dan cara pembagian waris kalâlah dalam kewarisan
istri menurut Damrah Khair dalam bukunya yang berjudul “Masalah
Kalâlah” (Fitri 2020)25 :
1) Seorang suami meninggal dengan tidak berketurunan,
sedangkan ia meninggalkan seorang istri (janda) dan dua orang
saudara seibu. Hal ini menurut Mazhab Syafi‟i telah terjadi
kala>lah dan pembagiannya adalah istri ¼ = 3/12 (QS. an-Nisa;
12), dua saudara seibu 1/3 = 4/12 (QS. anNisa; 12) masih ada
sisa bagi sebesar 5/12 yang harus diraddkan kepada dua orang
saudara seibu sehingga menjadi 9/12.
2) Seorang suami mati dengan tidak berketurunan, tetapi
meninggalkan ahli waris seorang istri, seorang ibu dan dua
orang saudara laki-laki dan perempuan. Menurut Mazhab
Syafi‟i keadaan tesebut telah tejadi kala>lah karena tidak ada
anak laki-laki dan ayah, dan pembagiannya istri ¼ = 3/12 (QS.
1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
an-Nisa; 12), ibu 1/6 = 2/12 (QS. an-Nisa; 11) dan dua orang
saudara memperoleh 7/12 (saudara laki-laki 2/3 x 7/12 = 14/36
saudara perempuan 1/3 x 7/12 = 7/36) hal ini sesuai dengan QS.
an-Nisa; 176.8 .

4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
KESIMPULAN

1 halaman, spasi 1,5

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127
DAFTAR PUSTAKA

Bibliografi

Abdurrahman. 2007. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,. Jakarta:


Akademika Pressido.
2022. an-nur.ac.id. 22 November. Diakses Desember 21, 2022.
https://an-nur.ac.id/ashabah-pengertian-dan-pembagiannya/.
Bachri, Syabbul. 2022. “PERBANDINGAN PENERAPAN KONSEP
KALALAH DALAM PEMIKIRAN HUKUM WARIS
ISLAM.” at-turas: Jurnal Studi Keislaman 127.
Basyir, A. A. 1990. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Bag: Penerbitan
FE.
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum. 2020. STATUS HARTA
KALALAH DAN PENGELOLAANNYA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM. Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh.
Faqih, Umar Haris Sanjaya & Aunur Rahim. 2017. HUKUM
PERKAWINAN ISLAM. Yogyakarta: GAMA MEDIA .
Fitri, Anisa. 2020. “IMPLEMENTASI KONSEP KALA<LAH
DALAM KEWARISAN.” Skripsi 39.
Fitri, Anisa. 2020. “IMPLEMENTASI KONSEP KALA<LAH
DALAM KEWARISAN ISTRI PADA MASYARAKAT
MUSLIM .” Skripsi 40.
Hakim, M. Lutfi. 2015. “KEADILAN KEWARISAN ISLAM
TERHADAP BAGIAN WARIS 2:1 ANTARA LAKI-LAKI
DENGAN PEREMPUAN PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
ISLAM.” 5.
M. Andrie Rizki Perdana, Beni, Sami Dodo. 2012. “HUKUM WARIS
ISLAM DI INDONESIA.” Academia Edu 3.
Nuzul, Andi. 2010. “UPAYA KODIFIKASI HUKUM KEWARISAN
SECARA BILATERAL DENGAN POLA DIFERENSIASI

4
Evra Willya, KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN DAN PENAFSIRANNYA
MENURUT SUNI DAN SYIAH IMÂMIYYAH, Vol 4, Ahkam, 2014, hlm 2
5
DR. EMK. ALIDAR, S.Ag., M. Hum, Status Harta Kalalah dan Pengelolaannya dalam
Persfektif hukum Islam,Aceh, Dinas Syariat Islam, 2020
DALAM MASYARAKAT PLURALIS.” MIMBAR HUKUM
465 - 481.
Prayogi, M. Guntur Ageng. 2018. “KALALAH MENURUT IMAM
SYAFI’I DAN HAZAIRIN SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM DI
INDONESIA.” Tesis 20.
Rofiq, Ahmad. 2002. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Suganda, Ahmad. 2020. “Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris.” At-
Tatbiq: Jurnal Ahwal al-Syakhsiyyah (JAS) Volume 04 edisi 1
2.
Willya, Evra. 2014. “KONSEP KALÂLAH DALAM ALQURAN
DAN PENAFSIRANNYA MENURUT SUNI DAN SYIAH
IMÂMIYYAH.” Ahkam 2.

1
A,A. Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,FE, 1990
2
Ahmad Suganda, Konsep Kalālah dalam Fiqih Waris, vol 04, At-Tatbiq: Jurnal Ahwal
al-Syakhsiyyah (JAS), 2020, hlm 2
3
Syabbul Bachri, Perbandingan penerapan konsep kalalah dalam pemikiran hukum
waris islam, Vol 9, At-Turāṡ: Jurnal Studi Keislaman, 2022, hlm 127

Anda mungkin juga menyukai