Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat, berfungsi sebagai

sarana untuk menciptakan kehidupan yang damai, aman dan sejahtera dalam

suasana cinta dan kasih sayang di antara para anggotanya.1 Keluarga juga

merupakan komunitas terkecil dalam kerangka sosial yang mencakup suami istri

sebagai sumber daya yang penting bagi kelahiran anak dan generasi penerus.

Keluarga yang dimaksud terdiri dari suami istri yang dibentuk oleh perkawinan

yang sah baik secara agama maupun secara nasional, yang terdaftar menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No. 1 Tahun 1974, pasal 2

mengatur bahwa pencatatan perkawinan dilakukan untuk orang-orang yang

melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu. Selain

Islam, dilakukan oleh pegawai kantor catatan sipil, sebagaimana diatur dalam

berbagai undang-undang yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan”.2

Dalam Islam, perkawinan bukan hanya sekedar akad antara dua pihak,

seperti halnya perkawinan dalam budaya modern atau dalam beberapa budaya

Barat, baik akad itu tertulis, dicatat, maupun diucapkan. Namun, pernikahan

dalam Islam adalah perjanjian antara dua keluarga, yang disaksikan oleh dua orang

1
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender Edisi Revisi (Malang: UIN
Maliki Press, 2013), 33.
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademik Presindo,
2010), 114.

1
2

saksi adil dan wali istri.3 Pasangan suami istri yang tepat akan menciptakan rumah

yang dipenuhi kedamaian, cinta, dan kasih sayang. Hal ini diupayakan dengan

mencari calon suami atau istri yang baik menurut agama dan Islam menganjurkan

umat Islam untuk mencari calon istri yang selaras dengan agama yang sama. jika

suami istri berbeda agama dan kepercayaan, maka akan mudah menimbulkan

konflik, menimbulkan perselisihan, dan permusuhan dalam keluarga.

Para Ulama ketika menjawab pertanyaan tentang perkawinan beda agama

memiliki beberapa pendapat yang berbeda-beda, ada golongan yang membolehkan

dan juga golongan yang melarang perkawinan beda agama. Perbedaan pemikiran

ini muncul karena dalil atau argumentasi mengenai perkawinan beda agama masih

perlu digali lebih dalam dan detail. Artinya belum ada kepastian hukum yang jelas,

sehingga diperlukan ijtihad dalam hukum yang membolehkan dan yang melarang.

4Bagi kelompok yang melarang nikah beda agama seperti Umar bin Khattab, dalil

yang dijadikan dasar larangan nikah beda agama mengacu pada QS. al-

Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan larangan pernikahan antara muslim dan

kafir dan QS. al-Baqarah ayat 221 yang menyatakan larangan menikah dengan

orang musyrik. Kedua dalil ini digunakan sebagai dasar untuk menolak

kemungkinan pernikahan beda agama.

Adapun golongan kedua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu

Mundzir serta Ulama' Mazhab mengatakan bahwa seorang muslim diperbolehkan

3
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016), 40
4
Ibrahim Hosein, Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan (Jakarta: Pustaka Firdaus
2003), 289.
3

menikahi wanita Ahl al-Kitab berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 dan

dikhususkan oleh surat al-Maidah ayat 5. Perbedaan pendapat di kalangan ulama

menunjukkan bahwa menggunakan dalil yang sama dalam pembahasan suatu

masalah hukum akan menghasilkan produk hukum yang berbeda apabila dalil

tersebut dipahami oleh orang yang berbeda. Maka metode penggalian hukum yang

dilakukan untuk menentukan suatu hukum merupakan kunci yang sangat penting

untuk memunculkan suatu produk hukum.

Wahbah az-Zuhaili adalah seorang ulama kontemporer yang pandangannya

sejalan dengan perkembangan zaman, meskipun Wahbah az-Zuhaili memiliki

pandangan tersendiri, namun tetap menjaga hirarki yang ada dalam hukum Islam,

sehingga pendapatnya dapat dipertanggung jawabkan. Bisa dipastikan selain hafal

Al Quran, Wahbah az-Zuhaili lebih dominan di bidang fikih, terbukti dari tulisan-

tulisannya yang mendominasi kasus hukum. Dalam persoalan perkawinan beda

agama, Wahbah az-Zuhaili memaparkan beberapa pendapat ulama yang digunakan

sebagai perbandingan untuk menggali produk yang sahih, yaitu pendapat ulama

yang secara tegas mengharamkan perkawinan beda agama dan mengecualikan

menikahi wanita Ahl Al-Kitab. Meskipun dalam perkawinan beda agama Wahbah

az-Zuhaili mengambil dua pandangan ulama yang berbeda, namun ia tetap

menentukan pendapat mana yang dianggapnya lebih kuat (rajih) dengan

menggunakan metode penggalian hukum yang sesuai. permasalahan perkawinan

beda agama.5

5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, vol.7 (Dar al-Fikr, Damaskus, 1985),
147.
4

Isu pernikahan beda agama saat ini menjadi isu nyata yang perlu

didiskusikan. Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia menyatakan

bahwa perkawinan beda agama tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan

ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal

2 Ayat 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 M. yang menyatakan Perkawinan

adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu.6 Walaupun ketentuan tersebut telah diabadikan dalam

peraturan perundang-undangan, namun tidak menutup kemungkinan adanya

perkawinan beda agama karena keragaman agama dan kepercayaan yang ada di

Indonesia.

Perbedaan pandangan antara ulama kontemporer Wahbah Az-Zuhaili

dengan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beda agama telah

mendorong peneliti tertarik untuk mengkaji pemikiran Wahbah Az-Zuhaili

tentang metode penggalian hukumnya dan relevansi pemikirannya dengan undang-

undang yang berlaku di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pendapat dan metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili tentang

nikah terhadap perempuan beda agama?

6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta :Akademik Presindo,
2010), 123.
5

2. Bagaimana relevansi pemikiran Wahbah Az-Zuhaili dalam masalah nikah

beda agama dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dijelaskan tujuan umum dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pendapat dan istinbath hukum Wahbah Az-Zuhaili tentang

nikah terhadap perempuan beda agama.

2. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Wahbah Az-Zuhaili dalam masalah

nikah beda agama dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974.

D. Manfaat

Adapun dalam penelitian ini ada dua manfaat yang diperoleh yaitu

manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangsih dan kontribusi pada Fakultas Syari’ah khususnya

program studi hukum keluarga di bidang Fikih Munakahat

b. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menerapkan

pandangan menurut Wahbah az-Zuhaili tentang Nikah beda agama

c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bahan referensi bagi para

peneliti di bidang Fikih Munakahat, dan Pendidikan Keagamaan.


6

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memotivasi diri dan pedoman

hidup bermasyarakat, beribadah kepada Allah SWT dan wasilah agar

menjadi hamba yang beruntung di dunia dan akhirat.

b. Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat memenuhi tugas guna

memperoleh gelar S.H pada Fakultas Syariah IAIFA Kediri.

E. Definisi Operasional

1. Analisis

Analisis adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi

dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke

dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain.7

2. Pemikiran

Pemikiran berasal dari kata pikir atau berpikir yang berarti proses yang

melibatkan operasi-operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi dan

penalaran.8

7
Dewi Kurniasih, Teknik Analisa (Bandung : Alfabeta, 2021), 2.
8
Richards I. Arends, Leraning To Teaching (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), 43.
7

3. Wahbah Az-Zuhaili

Wahbah bin Musthofa Az-Zuhaili adalah salah satu sosok ulama’ ahli

fikih dari Suriah. Lahir pada bulan Maret tahun 1932 M./ 1351 H. di daerah

Dair Atiyah, Damaskus, Suriah. Beliau menempuh pendidikan di Universitas

‘Ainu asy-Syams Damaskus dan Universitas Al-Azhar Kairo. Di antara karya

beliau adalah : Tafsir Munir, Al-Fiqhu Al-Islamy Wa Adillatuhu, Ushul Al-

Fiqhi Al-Islamy.9

4. Nikah Beda Agama

Pernikahan beda agama atau bisa disebut juga pernikahan antar agama

adalah pernikahan yang dilakukan antara laki-laki muslim dengan perempuan

non muslim atau sebaliknya. Adapun fokus penelitian ini adalah Pernikahan

antara laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitab yaitu wanita yang

beragama Yahudi atau Nasrani.10

5. UU no. 1 Tahun 1974

Adalah Undang-Undang tentang perkawinan yang berlaku di

Indonesia.

F. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan hukum pernikahan

beda agama dalam pernikahan diantaranya:

9
Dr. Badi’ As Sayyid Al Lahham, Wahbah Az Zuhaily (Damaskus: Dar al-Qolam, 2001),
11.
10
Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu, vol.7 (Dar al-Fikr, Damaskus, 1985),
153.
8

1. Khoiratul Fauziyah, (2018) KONSEP KAFA’AH DALAM MENIKAH

MENURUT HADITS NABI (Kajian Ma’ani Al-Hadith Dalam Sunan Al-

Kabir Karya Al-Baihaqy No. Indeks 13.769) penelitian ini menyimpulkan

konsep kafa'ah dalam pernikahan yang dimaksud Nabi SAW. yaitu

kesetaraan atau sama dalam derajat dan martabat antara suami dan istri.

Kesamaan ini terwujud dalam berbagai hal, kecuali agama karena semua

hamba pada hakekatnya sama di hadapan Tuhannya kecuali takwanya.11

Berbeda dengan penelitian ini, penulis akan membahas tentang hukum

nikah dengan orang yang berbeda agama menurut Wahbah az-Zuhaili.

2. Rahma Nurlinda Sari, (2018) PERNIKAHAN BEDA AGAMA di

INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HAM. hasil

penelitian ini bahwa perkawinan beda agama menurut hukum Islam tidak

diperbolehkan atau dilarang karena menyangkut perbedaan keyakinan,

kepercayaan dan keimanan sedangkan hak asasi manusia juga melarang

perkawinan antar agama karena semua hak dan kebebasan yang tercantum

dalam deklarasi tunduk pada hukum Islam, satu-satunya ukuran yang

berkaitan dengan hak asasi manusia adalah hukum Islam. Berlawanan

dengan penelitian tersebut, penulis akan membahas tentang hukum

perkawinan orang yang berbeda agama menurut Wahbah az-Zuhaili.12

11
Khoiratul Fauziyah, “Konsep Kafa’ah Dalam Menikah Menurut Hadits Nabi : Kajian
Ma’ani Al-Hadith Dalam Sunan Al-Kabir Karya Al-Baihaqy No. Indeks 13.769”, (Skripsi, UIN
Sunan Ampel, Surabaya, 2018), 110.
12
Rahma Nurlinda Sari, “Pernikahan Beda Agama Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum
Islam Dan HAM”, (Skripsi, UIN Raden Intan, Lampung, 2018), 93.
9

3. Dede Rihana, (2017) PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF Al-

QURAN (Kajian sosio historis terhadap QS. Al- Mumtahanah /60:10) hasil

penelitian ini ditemukan bahwa munculnya perkawinan beda agama yang

dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW diorientasikan sebagai sarana

dakwah Islam dan mengandung aspek sosial dimana perkawinan beda

agama merupakan bentuk perlindungan yang lemah. Khususnya wanita

tertindas. berbeda dengan penelitian tersebut, penulis akan membahas

hukum perkawinan yang berbeda agama menurut Wahbah az-Zuhaili.13

G. Landasan Teori

1. Pengertian Nikah

Perkawinan atau disebut pernikahan dalam bahasa Arab diistilahkan

dengan an-nikah.14 an-Nikah memiliki arti al-wat’u dan ad-dammu wa at-

tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-dammu wa al-jam’u yang

memiliki arti bersetubuh, berkumpul dan akad.15 Bahkan perkawinan dalam

kitab-kitab fikih klasik disebut dengan dua kata nikah dan zawaj.16

13
Dede Rihana, “Pernikahan Beda Agama Perspektif Al-Quran : Kajian sosio historis
terhadap QS. Al- Mumtahanah /60:10”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), 42.
14
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, 1973), 468.
15
Amir Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media,2004), 38.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2006), 35.
10

Dalam pengertian majaz, pernikahan disebut akad, dimana akad adalah

sarana yang diperbolehkannya persetubuhan.17 Karena nikah adalah akad,

maka nikah diartikan sebagai akad yang sangat kuat untuk memenuhi

perintah Allah dan melakukannya adalah ibadah. Dengan kata lain,

perkawinan (pernikahan) dalam pengertian asalnya adalah hubungan seksual,

sedangkan dalam pengertian majazi atau hukum, perkawinan (nikah) adalah

suatu akad atau perjanjian yang menjadikan hubungan seksual antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan menjadi halal atau sah.18

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan sila pertama

Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan memiliki hubungan

yang sangat erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan

hanya unsur material, fisik/jasmani, tetapi juga faktor batin/spiritual yang

sangat penting.

2. Rukun dan Syarat Nikah

Menurut jumhur ulama, rukun adalah hal-hal yang harus dipenuhi agar

terwujud hakekatnya, baik yang di dalamnya maupun yang di luarnya. Dan

syarat adalah sesuatu yang harus ada, tapi bukanlah bagian dari hakekat.19

17
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah ,vol.4 (t.t : Dar alFikr, t.th),
2.
18
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu analisis dari UU No. 1 Tahun 1974
dan kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), 1
19
Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damskus: Dear AlFikr, 1980), 36
11

Pandangan ulama' tentang rukun nikah adalah sebagai berikut:

a. Menurut Jumhur Ulama, rukun nikah ada empat, yaitu ijab kabul

(shighat), mempelai pria, mempelai wanita dan wali.

b. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ada sepuluh hal dalam pernikahan, yaitu

calon suami istri halal untuk menikah (tidak ada yang menghalangi satu

sama lain untuk menikah), ijab dan qabul (shighat), saksi, tidak ada

paksaan (kehendak pribadi), kejelasan pasangan yang melakukan

upacara pernikahan, calon suami dan calon istri tidak menunaikan

ibadah haji/umroh, adanya mahar, akad nikah tidak dirahasiakan, tidak

ada penyakit berbahaya antara dua pasutri, dan ada wali nikah.

c. Menurut sebagian Fuqaha',20 syarat sah perkawinan meliputi

terpenuhinya seluruh rukun nikah, terpenuhinya seluruh syarat nikah,

dan tidak melanggar larangan nikah yang diberlakukan oleh syara'.

Selanjutnya secara garis besar bahwa syarat sahnya perkawinan dapat

dibagi menjadi dua,21 yakni :

a. Calon mempelai wanita halal dinikahi oleh laki-laki yang ingin

menikahinya. Artinya, wanita yang dinikahi bukanlah wanita yang

diharamkan menikah, baik haram dinikahi sementara atau selamanya.

b. Akad nikah disaksikan oleh para saksi, dalam hal ini saksi yang

menghadiri pernikahan haruslah dua orang laki-laki yang beragama

20
Ibrahim Mayert dan Abd al-Halim Hasan, Pengantar Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta : Garuda, 1984), 333.
21
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakat, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2003), 49-
50.
12

Islam, dewasa, berakal, melihat, mendengar dan mengerti akad nikah.

Jadi orang yang tuli, yang tidur dan yang mabuk tidak bisa menjadi

saksi.

Adapun syarat perkawinan, diantaranya:

a. Suami, syaratnya: Bukan mahram dari calon istri, Tidak ada

paksaan dan sukarela, Laki-laki (suami) jelas, Tidak sedang

berihram

b. Istri, syaratnya: Tidak ada halangan syara', yaitu belum menikah,

bukan mahrom, dan tidak dalam masa iddah, merdeka, bebas dari

paksaan atau atas kehendak bebasnya, Perempuannya (istri) yang

jelas, tidak sedang ihram dan Islam.

c. Wali, syaratnya: laki-laki, Melihat dan Mendengar, baligh, tidak

ada paksaan, berakal sehat, tidak berihram

d. Saksi, syaratnya: laki-laki, Adil, baligh, Bisa melihat dan

mendengar, Akal, Tidak berihram, Tidak ada paksaan, Mengerti

bahasa yang diucapkan dalam Ijab Kabul.

e. Shigat , syaratnya: Shighat harus dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh orang yang terlibat dalam akad, shighot harus

jelas dan lengkap, Syahadat harus berkesinambungan.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkawinan (akad

nikah) yang tidak memenuhi syarat dan rukun akan berakibat batal dan

tidak sah.
13

3. Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama atau bisa disebut juga pernikahan antar

agama adalah pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan

yang masing-masing berbeda agama. Pernikahan antara laki-laki atau

perempuan muslim dengan laki-laki atau perempuam non muslim.

Permikahan antar agama ini kadangkala disebut “pernikahan campuran”

(mix marriage). Di dalam al-Qur’an terdapat tiga ayat yang secara tekstual

membicarakan pernikahan beda agama, antara orang Islam dengan bukan

muslim. Pertama, surah al-Baqarah (2): 221, mengenai larangan orang

muslim menikah dengan orang musyrik. Kedua, surah al-Mumtahanah (60):

10, mengenai larangan orang Islam menikah dengan orang kafir. Ketiga,

surah al-Maidah (5): 5, mengenai larangan wanita muslimat menikah dengan

laki-laki Ahl al-Kitab dan kebolehan lelaki orang muslim menikah dengan

wanita Ahl al-Kitab.

Ada 3 pembahasan dalam nikah beda agama22 :

a. Muslim menikahi non muslim yang musyrik

Para ulama’ sepakat seorang muslim baik laki-laki ataupun perempuan

tidak boleh menikah dengan non muslim yang musyrik yaitu orang yang

tidak memiliki kitab samawi seperti majusi, atheis, budha dll.

22
Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, vol. 7, (Damskus: Dear AlFikr,
1980), 153.
14

b. Wanita muslimah menikahi laki-laki non muslim

Ulama juga sepakat wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-

laki non muslim, baik dari kalangan musyrik maupun ahl al-kitab.

c. Laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitab

Menurut Jumhur Ulama’, hukum laki-laki muslim menikah dengan

wanita ahl al-kitab adalah boleh, dan Sebagian ulama’ berpendapat tidak

boleh.

4. Pernikahan menurut Undang-Undang

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 ada

beberapa poin tentang perkawinan :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.

3. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

4. Perkawinan dilarang , yaitu antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke

atas;
15

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua

dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang;

f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.23

H. Metodologi Penelitian

Metode adalah tindakan yang dapat membantu untuk melakukan

penelitian dengan hasil yang lebih baik. Pada dasarnya penelitian yang penulis

gunakan adalah metode kualitatif.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka. Hal ini

dilakukan secara khusus dengan mengkaji naskah-naskah, dokumen, baik

yang berbentuk fikih maupun sumber-sumber lain yang relevan dengan topik

23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Jakarta
: yayasan Peduli Anak Negeri, t.t.
16

yang diteliti. Sedangkan jenis penelitiannya adalah kualitatif, karena secara

teknis lebih menitikberatkan pada penelitian tekstual.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini terfokus pada pendapat Wahbah Az Zuhaili dalam kitab-

kitabnya tentang pernikahan muslim dengan non muslim terkhusus wanita

Ahl al-kitab. Dan menilai relevansinya dengan peraturan pernikahan yang

berlaku di Indonesia yaitu UU no. 1 tahun 1974

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu

diambil. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer dan sekunder.

a. Sumber primer

Sumber primer berasal dari pendapat Wahbah Az-Zuhaili dalam

kitab-kitabnya. Diantaranya adalah Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu,

Tafsir Munir, dll.

b. Sumber sekunder

Sumber teks atau tertulis merupakan bahan sekunder dan

pelengkap yang dapat dibedakan menjadi buku, arsip, dokumen pribadi,

dan dokumen resmi. data diperoleh dengan studi dari literatur-literatur

yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat baik dalam buku,

artikel, maupun di media sosial. Dalam penelitian ini, penulis

mengumpulkan data sekunder dari kitab-kitab fikih dan kitab lainnya,

literatur ilmiah, karya ilmiah dan pendapat para ahli sesuai dengan topik

penelitian.
17

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan

data dengan teknik mengklasifikasikan dokumen tertulis yang berkaitan

dengan masalah penelitian, baik berupa catatan, transkrip, buku, jurnal

ilmiah, website, dll.

5. Teknik pengecekan keabsahan data

Dalam penelitian ini, triangulasi adalah salah satu alat penguji data

yakni pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang di luar

data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data

tersebut. Triangulasi ini dilakukan dengan cara membandingkan apa yang

dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi dan

mengadakan perbincangan dengan banyak pihak untuk mencapai pemahaman

tentang suatu hal.

6. Teknik analisis data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Penelitian

deskrptif ini tertuju pada pemecahan masalah yang dihubungkan dengan

pendapat fuqoha dalam kitab fiqh dan undang-undang di Indonesia.

Hubungannya dengan tulisan ini bahwa metode analisis deskriptif yang

dimaksudkan untuk menggambarkan pendapat Wahbah Az Zuhaili tentang

Pernikahan Beda Agama.


18

I. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran tentang penulisan dalam skripsi ini penulis

menggunakan sistematika penulisan, dimana setiap bab memiliki kesatuan yang

utuh yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain serta merupakan

gambaran singkat mengenai pokok pokok pembahasan. Dalam pembahasan skripsi

penulis memaparkan ke dalam empat bab, dimana setiap bab terbagi dalam

beberapa sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

definisi konseptual, penelitian terdahulu, landasan teori, metode

penelitian dan sistematika pembahasan yang bertujuan untuk

mempermudah pembaca dalam membaca dan memahami

penelitian ini.

BAB II Bab ini berisi landasan teori atau kajian pustaka yang membahas

tinjauan umum tentang pernikahan beda agama dalam hukum

islam, dalam bab ini akan dibahas pengertian nikah, syarat, rukun

dan tujuan pernikahan, hukum pernikahan beda agama, dan nikah

beda agama menurut UU.


19

BAB III Bab ini merupakan pembahasan dan hasil penelitian yang berisi

biografi, geneologi keilmuan Wahbah Az Zuhaili, pendapat

Wahbah Az Zuhaili tentang nikah beda agama dan Analisis

metode Istinbath yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dalam

menggali hukum nikah beda agama serta relevansi pemikiran

beliau dengan UU no. 1 tahun 1974

BAB IV Bab ini merupakan penutup yang berarti kesimpulan, dan saran

Anda mungkin juga menyukai