Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG


NOMOR1 TAHUN 1974 TENTANG PERNIKAHAN
(Studi Kasus Putusan PN Bandung no 495/pdt p/2021/PN Bdg)

Usulan Penelitian
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti Seminar
Proposal Penelitian
Oleh :
Yayan Abdul Rohman
41033300181136

Pembimbing :
Ahmad Jamaludin, S.H,. M.H.
Fitri Wahyuni, SH., M.KN., MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan

Rahmat dan Ridho-nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian skripsi ini

dengan judul ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI

INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR1 TAHUN

1974 TENTANG PERNIKAHAN (Studi Kasus Putusan PN Bandung no

495/pdt p/2021/PN Bdg)

Pada proposal penelitian skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan

yang disebabkan oleh adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang

dimiliki oleh penulis, sehingga penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam

penulisan proposal penelitian skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dalam

penyajian materi, namun dengan adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak

yaitu berupa bimbingan, nasehat-nasehat, petunjuk-petunjuk, dan pemberian data-

data yang dibutuhkan dalam proposal penelitian skripsi ini, maka kesulitan tersebut

dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, perkenankan Penulis menyampaikan rasa terimakasih

kepada para Dosen Pembimbing pada penulisan proposal penelitian skripsi ini,

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan serta

dorongan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………… iii
A. Latar Belakang………………………………………………..... 1

B. Identifikasi Masalah……………………………………………. 4

C. Tujuan Penelitian………………………………………………. 4

D. Manfaat Penelitian………………………………………………5

E. Kerangka Pemikiran ……………………………………………5

F. Metode Penelitian………………………………………………14

G. Sistematika Penulisan…………………………………………..17

DAFTAR ISI……………………………………………………………19

iii
ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI
INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR1 TAHUN 1974 TENTANG PERNIKAHAN
(Studi Kasus Putusan PN Bandung no 495/pdt p/2021/PN Bdg)

A. Latar Belakang

Praktik perkawinan beda agama dalam masyarakat muslim menjadi

kontroversial, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia dengan karakteristik

masyarakat majemuk yang hidup berdampingan, tingginya tingkat migrasi

penduduk, ditambah dengan kemajuan teknologi komunikasi yang

mempermudah interaksi tanpa mengenal jarak menyebabkan perkawinan beda

agama menjadi sulit dihindari.1

Perkawinan beda agama telah menjadi perdebatan sejak lama yang

terlihat dalam berbagai literatur hukum Islam. Di kalangan para ulama

perdebatan berawal dari perbedaan dalam menafsirkan konteks Q.S al-Baqarah:

221 dan Q.S al-Maidah: 5 tentang siapa yang dimaksud kafir dan ahli kitab

dalam kedua ayat tersebut dan apakah larangan dalam ayat tersebut masih

bersifat relevan dengan kondisi umat saat ini.2

Dalam konteks hukum positif, negara menyerahkan parameter sah atau

tidak sahnya sebuah perkawinan kepada agama masing-masing. Hal ini

1
Achmad Nurcholish, Memoar Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, (Yogyakarta
: LKIS, 2004), h. 6.
2
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Tangerang : Lentera Hati, 2015), h. 105.

1
tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: (1) “Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu” (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku” 4 Kemudian diperjelas dengan Pasal 8

huruf f UU tersebut bahwa “Perkawinan dilarang antara dua orang yang

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku

dilarang kawin.”

Komplasi Hukum Islam sebagai aturan turunan dari UU Perkawinan

mengatur larangan perkawinan beda agama antara muslim dan nonmuslim

secara tegas yang tertuang dalam Pasal 40 huruf c yaitu: “Dilarang

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan

karena keadaan tertentu: c. seorang perempuan yang tidak beragama Islam” dan

Pasal 44 “Seorang perempuan Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Larangan ini diperkuat

dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005

Tentang Perkawinan Beda Agama.3 Oleh karena itu, perkawinan beda agama

dianggap tidak sah oleh hukum Islam yang disepakati oleh ulama Indonesia dan

tidak dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama.

3
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan
Beda Agama

2
Namun, adanya larangan tersebut belum mampu untuk menghentikan

praktik perkawinan beda agama di Indonesia yang dipandang sebagai

kebutuhan masyarakat saat ini. Karena pada praktiknya perkawinan beda

agama tetap dapat dilakukan dengan upaya penyeludupan hukum. Setidaknya

ada empat cara menurut Prof. Wahyono Darmabrata, yang populer ditempuh

pasangan beda agama agar perkawinannya dapat dilangsungkan yang diakui

oleh negara:4

Pertama, meminta penetapan pengadilan. Atas dasar penetapan itulah

calon pasangan dapat melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.

Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama

diantaranya adalah : Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986, 5dan

Putusan PN Bandung no 495/pdt p/2021/PN Bdg.

Kedua, perkawinan dilakukan menurut agama masing-masing. Cara ini

ditempuh karena tidak memaksa salah satu pasangan meninggalkan agamanya,

namun perkawinan tetap dipandang sah menurut agama masing-masing dengan

melakukan dua kali prosesi perkawinan yaitu menurut agama calon suami dan

istri.

Ketiga, penundukan sementara pada salah satu hukum agama. Dengan

cara ini salah satu pihak berpindah agama sementara sebagai bentuk

4
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta
Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaanya, (Jakarta : CV. Gitama Jaya, 2003), h. 102
5
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 perihal Permohonan Izin Pernikahan Beda
Agama antara AVGP (Islam) dan APHN (Kristen)

3
penundukan hukum kemudian kembali memeluk agamanya setelah

perkawinannya dianggap sah dan teradministrasi oleh negara.

Keempat, menikah di negara yang melegalkan perkawinan beda agama

dan mencatatkan pernikahnnya di Kantor Catatan Sipil setelah kembali ke

Indonesia.

Berdaskan latar belakang tersebut penulis mengangkat dujul

ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR1 TAHUN 1974

TENTANG PERNIKAHAN (Studi Kasus Putusan PN Bandung no

495/pdt p/2021/PN Bdg)

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkawinan beda agama dalam perspektif hukum Islam?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan penetapan

mengabulkan atau menolak izin perkawinan beda agama di Pengadilan

Negeri Bandung ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mengkaji aturan hukum islam di Indonesia dalam

mengatur perkawinan beda agama.

4
2. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

memberikan penetapan putusan pernikan beda agama yang terjadi di

Pengadilan Negeri Bandung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari sisi

teoritis maupun praktis:

1. Manfaat Teoritis Penulis berharap bahwa melalui penelitian ini dapat

memberikan pengetahuan bagi perkembangan Ilmu Hukum dalam bidang

Hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan beda agama.

2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai

bahan referensi bagi kepentingan akademis dan sebagai tambahan bahan

kepustakaan, khususnya bagi yang berminat meneliti mengenai Hukum

Dasar dan Hukum Islam.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

a. Hak Asasi Manusia

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

5
manusia. am peristiwa hukum akan menimbulkan akibat hukum berupa

hak dan kewajiban.

Meutut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengakui bahwa perkawinan merupakan perbuatan hukum

yang dilindungi Undang-Undang sebagai hak asasi yang dimiliki oleh

setiap warga negara, hal tersebut temuat tegas dalam Pasal 28B ayat(1).

Aturan dasar tersebut diperkuat dengan keberadaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang hadir sebagai jawaban

dalam memenuhi kebutuhan terhadap kepastian hukum tentang

perkawinan di Indonesia. Kehadiran Undang-Undang Perkawinan

(UUP) ternyata tidak secara utuh menjelaskan berbagai fenomena

perkawinan yang terjadi di Indonesia, seperti halnya perkawinan yang

dilakukan oleh pasangan dengan agama yang berbeda. Hanya saja pada

Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan sahnya perkawinan, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu. Fenomena inilah yang banyak timbul polemik serta pandangan pro

dan kontra.

Aspek lain yang tidak dapat dikesampingkan adanya hak asasi

manusia yang telah diakui dunia, Indonesia sendiri memberikan payung

hukum bagi hak istimewa tersebut melalui Undang-Undang 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam aturan tersebut Pasal 22

6
menjelaskan bahwa setiap orang memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.6

b. Perkawinan Beda Agama Menurut Fuqaha

Fuqaha sepakat bahwa perkawinan seorang perempuan

muslimah dengan pria non muslim baik ahlul kitab atau musyrik tidak

sah. karena akan dikhawatirkan ada pelanggaran-pelanggaran etika

akidah, karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa istri wajib tunduk

pada suami7. Sedangkan perkawinan pria muslim dengan wanita beda

agama terjadi perbedaan pendapat dikalangan fuqaha Antara lain:

1) Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah berpendapat tentang perkawinan antar

beda agama terdiri dari dua hal. Yaitu :

a) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim

(musyrik) hukumnya adalah haram mutlak.

b) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab

(Yahudi dan Nasrani), hukumnya mubah (boleh).8 Menurut

mazhab Hanafi yang dimaksud dengan ahlu al-kitab adalah siapa

saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah

6
Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya., perkawinan beda agama
dalam perspektif hak asasi manusia di Indonesia, Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 2, No. 1 –
Februari 2021, Hal. 16-21
7
M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Ahkam, terj (Semarang: Pustaka Rizki Putra,.1991), 205
8
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As-Syaukani, Fathu al-Qadir al-Jami' Baina Fannai alRiwayah
wa al-Dirayah Min 'Ilmi al-Tafsir (Beirut: Darul Ma’rifah, 1428 H / 2007 M), juz III, 228

7
diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya

kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya

kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh

dikawini9. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu

al-kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi

boleh hukumnya.

c) Menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang

ada di Daar al-Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan

membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid (kerusakan-

kerusakan) yang besar.

d) Perkawinan dengan wanita ahlu al-kitab zimmi hukumnya

makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlu al-kitab

dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan

daging babi. 10

2) Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkawinan beda agama

mempunyai dua pendapat yaitu:

a) Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh baik dzimmiyah

(wanitawanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri

9
Sihabuddin bin Muhammad as-Shna’ni, Bada’i Ash-Shana’i (Lebanon: Darul Ma’arif Arabiyah, t.th),
Juz II, 270
10
Az-Zailaiy, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, t.th), Juz II, 109

8
yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun

makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar (Ibnu Abdil Barr,

t.th: 543). Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang

kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan

meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.

b) Menikah dengan kitabiyah hukumnya boleh karena ayat tersebut

tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab

Maliki ini menggunakan pendektan Sad al-Zarai’ (menutup jalan

yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan

kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama,

maka diharamkan.11

3) Mazhab Syafi’i

berpendapat bahwa perkawinan beda agama adalah boleh

Yaitu menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi termasuk golongan

wanita ahlu al-kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita

Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak

termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan

Nasrani.12 Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :

11
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th), juz II
12
Muhammad Syamsuddin bin Ahmad Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-muhtaj (Beirut – Lebanon:
Darul Ma'rifat, 1997 M), Juz III, 187

9
a) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk

bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.

b) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah

ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan

Nasrani bangsa Israel.Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi

dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut

sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasul, yaitu

semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang

yang menganut Yahudi dan Nasran sesudah Al-Qur’an

diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-

kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum

tersebut.13

4) Mazhab Hambali

Mazhab Hambali mengemukakan bahwa perkawinan beda

agama haram apabila wanita-wanita musyrik, akan tetapi boleh

menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini lebih cenderung

mendukung pendapat Imam Syafi’i. Tetapi mazhab Hambali tidak

membatasi tentang ahlul kitab, menurut pedapat mazhab ini bahwa

yang termasuk ahlual-kitab adalah yang menganut agama Yahudi

13
Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin (Cairo: Darul Maarif, 1327 H),
Juz VII, 132

10
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi

Rasul.14

Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak

menyediakan aturan yang membolehkan pernikahan beda agama.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan dengan orang

musyrik haram beda agama adalah haram. Menikahi wanita Ahl al-

Kitab bagi pria muslim terdapat dua pandangan ulama, pertama,

halal hukumnya, jika wanita Ahl al-Kitab adalah wanita-wanita

yang merdeka dan menjaga kehormatan dirinya (tidak berzina). Hal

ini berdasarkan QS. Al-Maidah (5) ayat 5; kedua, haram hukumnya

jika wanita ahl al-Kitab tersebut ternyata akidahnya telah berubah,

yakni mengakui trinitas atau mengatakan Uzer dan Isa sebagai anak

Tuhan. Dalam posisi demikian wanita Ahl al-Kitab itu telah

tergolong sebagai orang-orang musyrik. Hal ini sesuai dengan

firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 221.

Namun pada prinsipnya penulis menyatakan bahwa

berdasarkan fakta yang ada ditengah-tengah kehidupan modern

sekarang ini, kehalalan menikahi wanita Ahl alkitab itu hanya

ditujukan bagi pria muslim yang kuat imannya, mampu

14
Taqwiyudin Ibnu Najjar, Syarh Muntaha Al-Iradaat (Lebanon, Maktabah Aalamiyah, 1276 H), Juz
III

11
menampakkan kesempurnaan Islam, keluhuran budi pekerti secara

Islami dan mampu menjalankan misi dakwah, sehingga wanita Ahl

al-Kitab tersebut tertarik dengan ajaran Islam dan sekaligus

memeluk Islam dengan penuh kesadaran. Tetapi jika imannya lemah

dan khuwatir akan terkikis keimanan serta berakibat murtad, maka

haram hukumnya menikahi wanita Ahl al-Kitab. Hal ini sesuai

dengan konsep li sad al-zari`ah.

2. Kerangka Konsepsual

Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditemukan

beberapa pemahaman dalam Pasal 1 sebagai berikut, perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yg Maha Esa. Sedangkan menurut islam,

Perkawinan disebut “Nikah” yang berarti melakukan suatu akad atau

perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar

sukarela dan keridhoan kedua belah pihak, untuk mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih saying dan

ketentraman dengan cara-cara yang di ridhoi oleh Allah.15

15
Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, Cetakan Kedua,
(Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 1986), hal 8

12
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian

perkawinan tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur

yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu

merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan

perempuan. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian

jual beli ataupun sewa menyewa tetapi perjanjian dalam nikah adalah

merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara laki laki dan

perempuan. Suci disini dilhat dari segi keagamaannya dari suatu

perkawinan. Kalau kita bandingkan rumusan menurut hukum islam diatas

dengan rumusan dalam pasal 1 UU Perkawinan mengenai pengertian dari

perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsipiil.16

Perkawinan Beda agama adalah pekawinan Antara dua orang yang

berbeeda agama dan keyakinan dengan masing-masing tetap

mempertahankan agama dan kepercayaan yang dianutnya17. Setiap orang

yang akan melakukan perkawinan harus memberitahukannya kepada

pegawai pencatat perkawinan. Pemberitahuan tersebut dilakukan harus

secara lisan oleh salah seorang atau kedua calon mempelai atau orang

tuanya atau walinya atau diwakilkan kepada orang lain. Dalam hal

pemberitahuan diwakilkan kepada orang lain, maka orang yang

16
Ibid., hal 9.
17
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Pertama, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hal 35.

13
bersangkutan harus ditunjuk dengan kuasa khusus.18 Kemudian mengenai

pelaksanaan perkawinan, yaitu salah satu pihak beralih agamanya

mengikuti agama pasangannya, dan tunduk pada hukum agama barunya

tersebut. Perkawinan hanya dilakukan di kantor catatan sipil.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek

penelitian secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan

bahasa pada suatu konteks.19

2. Pendekatan Penelitian.

Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah metode Penelitian Hukum Normatif (Yuridis Normatif)

Penelitian Hukum Normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku sebagai pijakan normatif. Pendekatan yang digunakan adalah

melalui pendekatan dokumen karena penelitian ini merupakan penelitian

18
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta, PT. Media
Sarana Press, 1986), hal 35
19
Lexy J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h. 6.

14
kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan

dengan melihat dan menelaah berbagai ketentuan undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dan relevan dengan perjanjian kerja waktu

tertentu yang menjadi objek penelitian ini atau dengan perkataan lain

melihat hukum dari aspek normatif yang di fokuskan pada Undang-Undang

Perkawinan dan Kompilasi hukum Islam.

Oleh karena itu penulis akan mengkaji terlebih dahulu peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan beda agama di

Indonesia.

3. Sumber Data

a) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

lapangan.20 Dalam penelitian ini, data primer merupakan data langsung

dari pelaku perkawinan beda agama antara Jefri Indraputra yang

beragama Islam dan Stefani Emilia yang beragama Katolik tersebut.

b) Data sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil

penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau

bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian.21

Secara yuridis sumber dalam penelitian ini adalah Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor

20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986) h. 51.
21
Mukti Fajar, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar 2015), h. 156.

15
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Fatwa MUI Nomor

4/MUNASVII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Selain itu

sumber penelitian juga berupa buku, dokumen, jurnal dan internet yang

berkaitan dengan legalitas perkawinan beda agama.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini berupa

studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder,

didapatkan melalui berbagai literatur meliputi peraturan perundang-

undangan, buku-buku, dokumen, jurnal dan intenet yang berkaitan dengan

legalitas perkawinan beda agama. Sedangkan Studi Lapangan berupa

observasi dan interview terhadap pengurus Yayasan Harmoni Mitra

Madania dan pelaku yang melakukan perkawinan beda agama di yayasan

tersebut.

5. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan Universitas Islam Nusantara ( UNINUS ) Bandung Jalan

Soekarno-Hatta No. 530, Kota Bandung.

16
b. Perpusatakaan Dispusipda Jabar, jalan Kawaluyaan Indah III No. 4

Jatisari,

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan dan pembahasan skripsi ini lebih sistematis dan terarah

maka penulisan ini disusun dalam beberapa bab yang dapat dijelaskan sebagai

berikut:

Bab I Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penelitian , Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan

Sitematika Pembahasan

Bab Landasan Teori tentang Tinjauan umum tentang perkawinan, perkawinan

beda agama menurut hukum positif di Indonesia, perkawinan beda agama

menurut Hukum Islam, dan problematika beda agama.

Bab III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Praktek Perkawinan Beda Agama di Indonesia

B. Aturan Hukum Islam di Indonesia dalam Mengatur dan Menyikapi

Perkawinan Beda Agama

Bab IV ANALISIS YURIDIS PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI

INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR1 TAHUN

1974 TENTANG PERNIKAHAN (Studi Kasus Putusan PN Bandung no

495/pdt p/2021/PN Bdg)

17
Bab V merupakan bab terakhir dari pembahasan yang berupa penutup yang

mencakup kesimpulan, saran.

18
Daftar Pustaka
A. Buku
Achmad Nurcholish, Memoar Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda
Agama, (Yogyakarta : LKIS, 2004),
Az-Zailaiy, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, t.th),
Juz II,
Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin (Cairo: Darul Maarif,
1327 H), Juz VII,
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid (Beirut: Maktabah Ilmiyah,
t.th), juz II
Lexy J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Tangerang : Lentera Hati, 2015),
M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Ahkam, terj (Semarang: Pustaka Rizki Putra,.1991),
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As-Syaukani, Fathu al-Qadir al-Jami' Baina
Fannai alRiwayah wa al-Dirayah Min 'Ilmi al-Tafsir (Beirut: Darul Ma’rifah, 1428
H / 2007 M), juz III,
Muhammad Syamsuddin bin Ahmad Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-muhtaj (Beirut
– Lebanon: Darul Ma'rifat, 1997 M), Juz III,
Mukti Fajar, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar 2015),
Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan,
Cetakan Kedua, (Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 1986),
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Cetakan Pertama,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta, PT.
Media Sarana Press, 1986),
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986)
Sihabuddin bin Muhammad as-Shna’ni, Bada’i Ash-Shana’i (Lebanon: Darul Ma’arif
Arabiyah, t.th), Juz II,

19
B. Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan

Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

C. Sumber Lain

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang


Perkawinan Beda Agama

Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, I Wayan Arthanaya.,


perkawinan beda agama dalam perspektif hak asasi manusia di Indonesia,
Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 2, No. 1 –Februari 2021, Hal. 16-21

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 perihal Permohonan Izin


Pernikahan Beda Agama antara AVGP (Islam) dan APHN (Kristen)

Putusan PN Bandung no 495/pdt p/2021/PN Bdg

20

Anda mungkin juga menyukai