Anda di halaman 1dari 15

KEDUDUKAN SAKSI NON MUSLIM DALAM

PERADILAN AGAMA YOGYAKARTA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna memperoleh Gelar
Sarjana (Stara-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Oleh :

HAJAR HASTUTI ALI


No Mahasiswa : 05410147
Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2009
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, maka dalam

pembangunan hukum nasional di Negara Indonesia unsur hukum agama harus

benar-benar diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan yang jelas.

Sejak dahulu, para pegawai, para pejabat pemerintah dan atau para pemimpin

yang akan bekerja di Indonesia selalu dibekali dengan pengetahuan keislaman,

baik mengenai lembaganya maupun mengenai hukumnya yang tumbuh dan

berkembang di dalam masyarakat Muslim Indonesia, agar ia berhasil dalam

melaksanakan tugasnya kelak di tengah-tengah masyarakat Muslim. 1

Hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta

membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi

kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan

secara ilmiah adanya transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum

nasional, sepanjang hukum Islam itu sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam dengan kata

lain, dalam pembangunan hukum nasional, hukum Islam, di samping hukum-

hukum yang lain akan menjadi salah satu sumber bahan baku pembentukan

hukum nasional, dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasional

dan merupakan bagian dari hukum nasional yang ditunjuk oleh peraturan per-
1
H.Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Ctk.
Kesebelas, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 5
2

undang-undangan seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf

yang telah dikompilasikan (1988), hukum zakat dan sebagiannya.Untuk

menegakkan hukum Islam yang telah berlaku menjadi hukum positif itu, sejak

tahun 1882 didirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. 2

Dalam sistem peradilan di Indonesia kedudukan pengadilan agama ini

semakin kokoh, terutama setelah berlakunya Undang-undang Republik Indonesia

No 4 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 jo Undang-

undang No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Bulan Januari 1989 pemerintah menyampaikan RUU Peradilan

Agama pada DPR RI untuk disetujui. Tanggal 29 Desember 1989 RUU PA itu

disahkan oleh presiden menjadi Undang-undang Peradilan Agama dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3

Membicarakan Peradilan Agama pada hakikatnya adalah membicarakan

masalah penegakan Hukum Islam di Indonesia. Pada Pasal 2 Undang-undang

No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama diterangkan bahwa Peradilan Agama

adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang ini.

Dari definisi diatas jelas bahwa lembaga peradilan dimaksud khusus

diperuntukkan bagi umat Islam saja. Sedangkan selebihnya, bagi orang-orang

yang beragama bukan Islam seperti Kristen, Hindu dan lain-lain tidak termaksud
2
Ibid. hlm. 272
3
Ibid. hlm. 7
3

di dalamnya. Hal itu menunjukkan pula bagi umat Islam yang berperkara dapat

menyelesaikannya melalui peradilan yang hakim-hakimnya beragama Islam serta

diselesaikan menurut ajaran Islam, walaupun tidak seluruh macam perkara

merupakan wewenang Peradilan Agama. 4

Dalam era globalisasi dunia saat ini menyebabkan kehidupan masyarakat

semakin kompleks. Dalam segala segi terjadi pembauran, seperti tempat

pemukiman tidak lagi dihuni oleh penduduk muslim semata tetapi sudah

bercampur dengan penduduk yang bukan non muslim, karena itu kemungkinan

berperkara antara muslim dan non muslim tetap ada. Akibat dari kontak langsung

sering terdapat berbagai masalah yang akhirnya diselesaikan oleh Peradilan

Agama. Banyak peristiwa yang terjadi di antara orang Islam yang kebetulan

disaksikan oleh orang non muslim.

Dari hasil pra riset, yang dilakukan oleh penulis di Peradilan Agama

Yogyakarta, penulis mendapatkan data awal berdasarkan wawancara dengan

Bapak Abdul Adhim sebagai Panitera Muda Hukum di Peradilan Agama

Yogyakarta menerangkan bahwa saksi non muslim diperbolehkan menjadi saksi

dalam perkara di Peradilan Agama Yogyakarta (mayoritas adalah perkara

perceraian) namun penulis tidak dapat memperoleh data dikarenakan tidak adanya

data khusus yang menerangkan tentang perkara mana saja yang di dalamnya

terdapat saksi non muslim. Hal tersebut dikarenakan data pembuktian dengan

4
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Ctk. Pertama, Alumni,
Bandung, 1993, hlm. 6
4

saksi non muslim atau bukti-bukti lain yang berkaitan langsung dengan orang non

muslim bukanlah data yang harus dilaporkan ke Mahkamah Agung.5

Saksi di dalam Islam, pada kasus harta, saksi harus seorang muslim seperti

yang disebutkan di dalam ayat al-Qur`an yang artinya ” Dan persaksikanlah

dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu ” (Q.S.al-Baqarah :

282). Pada kasus talak dan ruju`, saksi harus seorang muslim, sebagaimana yang

disebutkan di dalam ayat al-Qur`an yang artinya ” Maka rujukilah mereka dengan

baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang

saksi yang adil diantara kamu ” (Q.S. ath-Thalaq : 2) 6

Menurut Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa

kesaksian non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka

sama maupun agama mereka berbeda. Pendapat ini didasarkan kepada firman

Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang mengemukakan bahwa orang yang

bukan Islam , bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orang-orang yang

ridho kepada kaum muslimin. Allah SWT menyifatkan mereka sebagai orang

yang suka dusta dan fasik, sedangkan orang yang demikian itu tidak dapat

dijadikan saksi.7 kesaksian itu adalah masalah kekuasaan, sedangkan orang-orang

non muslim sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa ayat 140 menerangkan

bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang non muslim berkuasa

terhadap orang-orang Islam.

5
Wawancara dilakukan di Peradilan Agama Yogyakarta pada hari senin tanggal 27
Oktober 2008 jam 14.45 WIB
6
A.A Humam Abdurrahman, Peradilan Islam: Keadilan Sesuai Fitrah Manusia, Ctk.
Pertama, Wadi Press, Ciputat, 2004, hlm. 88-89
7
H.Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm.80
5

Para ulama fiqh sepakat bahwa persyaratan dalam menerima kesaksian

dari seorang saksi yaitu harus beragama Islam, Oleh karena itu seorang non

muslim tidak diterima kesaksiannya terhadap suatu perkara yang disengketakan.

Akan tetapi para ulama fiqh sendiri berbeda pendapat tentang perkara wasiat

dalam perjalanan.Dimana tidak dimungkinkannya orang Islam dapat menyaksikan

suatu peristiwa, dikarenakan mereka berada dalam lingkungan non muslim dan

dalam keadaan musafir, pada saat itu yang bersangkutan ingin berwasiat dan

hanya disaksikan saksi non muslim, maka saksi non muslimlah yang dapat

memberikan keterangan sehingga menjadikan terangnya suatu peristiwa.

Apabila ia tidak dibenarkan memberikan kesaksiannya di Pengadilan tentu

orang Islam akan menderita rugi, seperti terjadinya percekcokan suami istri dalam

rumah tangga yang menyaksikan adalah tetangganya yang kebetulan non muslim

sedangkan saksi yang lain tidak ada. Apabila saksi non muslim tidak diterima

tentu salah satu di antara mereka akan di rugikan. Maka status keabsahan orang

non muslim dalam memberikan kesaksian dan kedudukan saksi non muslim

dalam Peradilan Agama sangat penting untuk diteliti.

Berlandaskan pada uraian di atas, saksi non muslim dalam praktek

persidangan di Peradilan Agama menjadi motif dan latar belakang penelitian ini

dengan judul ” KEDUDUKAN SAKSI NON MUSLIM DALAM PERADILAN

AGAMA (STUDI DI PERADILAN AGAMA YOGYAKARTA)” tersebut dalam

bentuk skripsi.

B. RUMUSAN MASALAH
6

1. Bagaimanakah kedudukan saksi non muslim dalam Peradilan Agama

Yogyakarta?

2. Bagaimanakah hukum orang non muslim menjadi saksi di Peradilan Agama ?

3. Apakah keterangan saksi non muslim dapat digunakan sebagai pertimbangan

putusan Pengadilan Agama ?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan saksi non muslim dalam Peradilan

Agama Yogyakarta.

2. Untuk memperoleh data dan keterangan tentang hukum orang non muslim

menjadi saksi di Peradilan Agama.

3. Untuk mengetahuin apakah keterangan saksi non muslim dapat digunakan

sebagai pertimbangan putusan Pengadilan Agama.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam suatu peradilan, ada prosedur-prosedur dan tata cara tertentu bagi

seseorang yang ingin mengajukan perkaranya ke pengadilan. Persoalan tersebut

diatur dalam suatu peraturan khusus yang disebut Hukum Acara. Di dalamnya

diatur tentang tata cara mengajukan suatu perkara ke muka badan peradilan serta

cara-cara hakim memberikan putusan.8 Dengan kata lain , Hukum Acara mengatur

bagaimana caranya seseorang mempertahankan hak-haknya, yang dimulai pada

saat mengajukan suatu perkara ke Pengadilan dan berakhir ketika hakim

8
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Ctk. Kedelapan, Balai
Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 329
7

memberikan keputusannya. Salah satu ketentuan pokok tersebut adalah

pembuktian.

Dalam hukum acara perdata saksi termasuk dalam pembuktian,

Pembuktian diperlukan oleh hakim untuk mencari kebenaran fakta dan peristiwa

yang dijadikan dalil gugat oleh penggugat dalam menuntut haknya atau mencari

kebenaran dari sanggahan tergugat. Pembuktian diperlukan bila muncul suatu

perselisihan terhadap suatu hal di muka peradilan, dimana seseorang mengaku

sesuatu sebagai haknya, sedang pihaklain menyangkal pengakuan tersebut. Jadi

pembuktian diperlukan hanya terhadap hal-hal yang di perselisahankan, untuk hal-

hal yang tidak dibantah pihak lawan tidak perlu adanya pembuktian. 9 Sebab yang

harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus

diajukan dan dibuktikan oleh para pihak.

Kesaksian adalah kepastian yang di berikan kepada hakim dipersidangan

tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan

dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil

di persidangan.10 Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa

atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang

diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksiaan.

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan

memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia

9
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm.5
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Ctk Pertama Edisi ketujuh, Liberty
Yogyakarta, Yogyakarta , 2006, hlm.166
8

lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan

tersebut.11

Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar karena keterangan yang

diberikan kepada hakim di persidangan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat

atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan. Pihak ketiga pada

umumnya melihat peristiwa yang berkepentingan sendiri. Para pihak yang

berperkara pada umumnya akan mencari kebenarannya sendiri. Betapa pentingnya

arti kesaksian sebagai alat bukti tampak dari kenyataan bahwa banyak peristiwa-

peristiwa hukum yang tidak dicatat atau tidak ada alat bukti tertulisnya. Sehingga

oleh karena itu kesaksian merupakan satu-satunya alat bukti yang tersedia.12

Pembuktian dengan saksi adalah penting sekali apalagi kebiasaan

masyarakat Indonesia sering perbuatan-perbuatan hukum yang dibuatnya itu tidak

dengan tertulis dan saksi sangat diperlukan dalam segala hal selama Undang-

Undang tak menentukan lain. Selain itu saksi bukan saja merupakan alat bukti

yang sangat penting dalam pembuktian, lebih dari itu ia dapat mengantar pada

perolehnya kebenaran.

Menurut Hukum Fiqh Islam, persaksian itu (supaya menjadi alat

pembuktian yang sah), ada persaksian yang harus mengenai hal-hal yang dilihat

dan didengar oleh saksi sendiri, yang disebut dengan persaksian atas dasar yakin,

dan adapula persaksian yang cukup hanya mengenai hal-hal yang diketahui atas

dasar persangkaan secara umum karena saksi mendengar saja, tetapi

11
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Ctk Enam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.165
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum... Op.cit, hlm.167
9

keyakinannya akan kebenarannya yang disebut dengan persaksian atas dasar dhan

atau istifadhah. Karena itu ada dua macam persaksian dalam hukum Fiqih Islam

yaitu :

a. Persaksian atas dasar yakin adalah persaksian terhadap sesuatu

perbuatan

dan terhadap sesuatu ucapan.

b. Persaksian atas dasar dhan atau istifadhah adalah persaksian

terhadap

beberapa peristiwa tertentu yang hanya dengan mendengar saja, tetapi

diyakininya kebenaran kesaksiannya itu, dengan syarat bahwa persanksian

yang diberikannya itu tidak disangkal (tidak ada mu`aradlah) dan bahwa

peristiwa yang sudah lama terjadi.13

Memberikan kesaksian dan mendatangkan kesaksian hukumnya adalah

fardhu kifayah sebab tuntutan untuk memberi atau mendatangkan kesaksian

bersifat pasti. Allah SWT berfirman yang artinya ” Dan janganlah kamu (para

saksi) menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa

hatinya ” (Q.S.al-Baqarah : 283).

Jika seseorang diminta untuk memberikan kesaksian dalam perkara

pernikahan, utang atau perkara lainnya, maka ia harus memberikan kesaksiannya,

apabila tidak ada orang yang mau memberikan kesaksian. Jika orang itu memiliki

kesaksian, kemudian ia dituntut untuk memberikan kesaksiannya, maka ia wajib

13
H.M.Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradialn Agama di Indonesia, N.V.
Bulan Bintang, Jakarta 1983, hlm.148-149
10

memberikan kesaksian. Apabila kesaksian telah diberikan, maka gugurlah

kewajiban seluruh orang. Namun, jika semuanya menolak memberikan kesaksian,

maka semuanya berdosa, bila tidak ada bahaya muncul akibat memberikan

kesaksian.

Apabila ada bahaya bagi mereka, maka mereka tidak harus memberikan

kesaksian. Ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya ” Dan janganlah

penulis dan saksi saling sulit menyulitkan ” (Q.S. al-Baqarah : 282 ) dan sabda

Nabi SAW ”Janganlah memadaratkan diri sendiri dan janganlah memadaratkan

orang lain”.

Bila tidak ada tuntutan untuk memberikan kesaksian, hal ini perlu dilihat

terlebih dahulu. Apabila kesaksian itu merupakan hak bagi Allah, maka

mendatangkan kesaksian yang ia tidak diminta untuk memberi kesaksian

hukumnya sunah. Ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Imam Muslim bahwa

Rasulullah SAW bersabda ” Perhatikan akan aku bertakan kepada kalian sebaik-

baik orang yang memberikan saksi. Yakni, orang yang memberikan kesaksian

sebelum ia ditanya ” Ini merupakan dalil bahwa orang yang memberi kesaksian

tidak boleh menyampaikan terlebih dahulu kesaksiannya sebelum dirinya diminta

untuk bersaksi.14

Seorang saksi yang tidak datang menghadap ke persidangan pada hari

yang telah ditentukan, sebagai konsekuensinya ia dihukum oleh pengadilan untuk

membayar biaya pemanggilan yang telah dikeluarkan dengan sia-sia itu.

Selanjutnya saksi tersebut akan dipanggil sekali lagi yang ongkosnya ditanggung

sendiri oleh yang bersangkutan (Pasal 140 HIR). Hal tersebut menunjukan bahwa
14
A.A Humam Abdurrahman, Peradilan Islam ... Op.cit, hlm. 74-77
11

menjadi saksi di muka persidangan merupakan suatu kewajiban bagi seseorang

malah penolaknya selain dapat dihukum membayar biaya pemanggilan,ia juga

dapat dituntut dalam perkara pidana berdasarkan Pasal 522 KUHP.15

Penggunaan saksi di Peradilan dapat terjadi dalam kedudukan saksi

sebagai syarat hukum (dalam fungsi mengatur) yakni bila kedudukan saksi

merupakan syarat untuk sahnya suatu akad, contohnya kehadiran saksi dalam

ikrar talak, atau dalam kedudukan sebagai syarat pembuktian (dalam fungsi

menyelesaikan kasus) yakni bila kedudukan saksi hanya untuk proses pembuktian

perkara, contohnya saksi dalam proses pembuktian perceraian, bisa jadi

kedudukan saksi mencakup keduanya yaitu syarat hukum dan syarat pembuktian

tapi tidak sebaliknya. Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim

dengan Muslim. Hakim wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut

syariat semata, bukan menurut aturan lain.

Untuk dapat atau tidaknya suatu kesaksian disimpulkan oleh seseorang

dikatakan sah dan diterima,tergantung terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat-

syarat yang telah ditetapkan Islam. Bila syarat itu tidak terpenuhi,maka kesaksian

yang diberikan akan sia-sia karena tidak memberikan pengaruh (manfaat)

terhadap perkaranya. Hal ini sesuai dengan pendapat para ulama yang menyatakan

bahwa ada lima syarat saksi secara garis besar dalam Islam yaitu adil, dewasa,

muslim, merdeka, dan beriktikad baik. Keseluruhan sifat-sifat ada yang

diperselisihan para ulama dan ada juga yang tidak.

15
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian… Op.cit. hlm. 31
12

E. METODE PENELITIAN

1. Obyek Penelitian

a. Kedudukan saksi non muslim dalam Peradilan Agama Yogyakarta

b. Hukum orang non muslim menjadi saksi (ditinjau dari Hukum Islam)

c. Keterangan saksi non muslim dapat digunakan sebagai pertimbangan

putusan Pengadilan Agama

2. Subyek Penelitian

Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta yang pernah menangani kasus

yang berhubungan dengan judul penelitian.

3. Nara Sumber

Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta.

4. Sumber Data

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian di

lapangan yang berupa hasil wawancara.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur hukum dan

peraturan perundang-undangan, serta sumber lainnya yang berkaitan

dengan objek penelitian yaitu berupa putusan Pengadilan Agama

Yogyakarta, dan kitab-kitab fiqih yang terkait dengan objek penelitian,

kamus dan ensiklopedia. Data ini digunakan untuk mendukung data

primer.
13

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara ( Interview)

Yaitu Tanya jawab lansung terhadap respoden yang bersangkutan

untuk memperoleh keterangan atau data. Menurut N.K Densin,

mengenai wawancara ini dikatakan sebagai “pertukaran percakapan

tatap muka,dimana yang seseorang memberikan informasi kepada

yang lainnya” 16

b. Studi Kepustakaan

Yaitu dengan menelaah buku-buku, literatur-literatur, peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini,

kemudian dianalisis dan diambil kesimpulannya.

c. Studi Dokumen

Yaitu penelitian dilakukan dengan mengkaji putusan-putusan

pengadilan.

6. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan

yuridis normatif dan metode pendekatan sosiologis. Pendekatan yuridis

normatif yaitu dengan cara menganalisa data yang diperoleh dengan

ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

sedangkan pendekatan yuridis sosiologis yaitu mendekati masalah ini dari

sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat.

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta
1984, hlm 24
14

7. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

deskiptif kualitatif, artinya data yang diperoleh dipaparkan secara

deskriptif dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan mengklasifikasikan

data penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian kemudian

disistematisasikan yang selanjutnya dijadikan dasar dalam pengambilan

kesimpulan.

Anda mungkin juga menyukai