Anda di halaman 1dari 11

KEABSAHAN BUKTI SAKSI NON MUSLIM DALAM

BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA


Meilina Sri Suhargini1

A. Pendahuluan
Sebelum kita mempelajari keabsahan saksi non muslim di pengadilan
agama, alangkah baiknya kita mempelajari apa itu bukti saksi terlebih dahulu.
Di dalam peradilan agama, dalam proses menyelesaikan perkara itu
adannya alat bukti. Alat bukti adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam
berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar
meyakinkan hakim yang memeriksa perkara. Yang harus dibuktikan dalam
sidang adalah segala sesuatu yang didalilkan atau dibantah oleh pihak lawan.
Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang diakui, dibenarkan,
tidak dibantah pihak lawan, segala sesuatu yang dilihat oleh hakim, dan segala
sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum.2
Selain itu, di dalam pembuktian salah satunnya adalah adannya bukti
saksi. Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan
mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasannya dengan sengaja diminta
sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang
kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.3
Kemudian, para ahli hukum Islam sepakat bahwa saksi itu haruslah orang-
orang yang dapat berbicara, jika ia bisu dan tidak mampu berbicara secara
normal, maka kesaksian itu haruslah ditolak sekali pun ia dapat
mengemukakannya dengan isyarat dan isyaratnya dapat dipahami. Hukum
Islam menetapkan batas minimal saksi alat bukti adalah dua orang saksi laki-
laki atau satu orang laki-laki dua orang perempuan. Hukum menjadi saksi

1
Mahasiswa Kelas HES 5F Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah IAIN
Surakarta, NIM. 162111224.
2
Abdullah Tri Wahyudi, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-Surat Dalam Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm. 188.
3
Abdullah Tri Wahyudi, 2004, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 158.

1
adalah fardhu ‘ain. Oleh karena itu, manakala seorang dipanggil untuk
dijadikan saksi dalam suatu perkara maka ia wajib memenuhi panggilan itu.4
Kemudian, berdasarkan rumusan pasal 1 Nomor 1 RUU berbunyi: “
Peradilan ialah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama. Rumusan nomor 1 baru diusulkan rumusannya
yaitu: “Peradilan Agama adalah peradilan orang-orang yang beragama
Islam”. alasan dari RUU ini adalah agar setiap orang yang membaca undang-
undang ini sejak awal sudah mengetahui bahwa undang-undang ini khusus
untuk orang-orang yang beragama Islam.5
Berdasarkan uraian diatas, maka sudah kita ketahui bahwa pengadilan
agama adalah pengadilan yang diperuntukkan untuk mengadili orang-orang
yang beragama Islam. jika kemudian dalam berperkara di pengadilan agama
adanya saksi non muslim, kita belum mengetahui bahwa saksi dari non
muslim itu dapat diterima keabsahannya atau tidak.
Selain itu, adannya saksi non muslim diakibatkan karena adannya
pembauran antara masyarakat muslim dengan non muslim, hal ini berkaitan
dengan hubungan sosial dimasyarakat. Bila ada seseorang yang berperkara di
pengadilan agama, tentunnya orang yang dimintai sebagai saksi dan dimintai
keterangan adalah tetangganya yang mengetahui kegiatan sehari-harinnya.
Andaikan tetangganya yang dimintai saksi adalah orang non muslim, ia harus
menjadi saksi dipengadilan agama karena ia yang mengetahui kegiatan sehari-
harinnya.
Kemudian, ada dua hal yang perlu mendapat sorotan penting, yaitu
kesaksian non muslim sesama non muslim dan kesaksian non muslim terhadap
kaum muslim.
Yang menjadi permasalahan terhadap saksi non muslim dalam breacara di
pengadilan agama adalah menyangkut kejelasan sah atau tidak sebagai alat
bukti pada saat melakukan proses perkara di Pengadilan Agama dan yang
4
Abdul Manan, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, hlm. 261.
5
Wahiduddin Adams dkk, 2000, Peradilan Agama Di Indonesia Sejarah Perkembangan
Lembaga Dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, hlm. 96

2
sesuai dengan pandangan Islam agar tidak terjadi perbedaan pandangan
menyangkut keabsahan saksi non muslim di pengadilan agama.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membuat makalah yang berjudul
“Keabsahan Bukti saksi Non Muslim Dalam Berperkara Di Pengadilan
Agama”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah saksi itu dan apa syarat-syarat saki yang diajukan dalam
pemeriksaan persidangan di pengadilan agama?
2. Siapa yang tidak dapat dijadikan saksi dan siapa yang boleh
mengundurkan diri menjadi saksi?
3. Bagaimana saksi dalam hukum acara peradilan agama?
4. Mengapa kesaksian non muslim di pengadilan agama ada yang diteima
keasahannya ada juga yang ditolak keabsahannya?

C. Pembahasan
1. Definisi Saksi
Saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah berdasarkan pasal 164
HIR dan 284 Rbg. Pembuktian dengan saksi sangat diperlukan apabila
bukti dengan surat/tulisan kurang lengkap untuk menguatkan hakim pada
pendiriannya untuk memutus suatu perkara.6
Kesaksian merupakan kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu
pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.7
Keterangan saksi yang diutarakan saksi sangat berguna untuk
mewujudkan tercapainnya kebenaran. Alat bukti yang diajukan relevan
atau tidak dengan perkara yang tengah diproses menjadi kekuatan
6
Abdul Manan, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, hlm. 163.
7
Neng Nur Hayani, 2015, Hukum Acara Perdata, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 149.

3
pembuktian yang penting. Alat bukti yang diajukan harus relevan yang
menjadi kekuatan pembuktian yang mengarah pada diterima atau tidaknya
bukti tersebut. Dengan begitu, hanya keterangan saksi yang diberikan
dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat
bukti yang sah.8
Kemudian, syarat –syarat menjadi saksi yang diajukan dalam
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
a). Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamannya.
b). Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar,
diketahui dan dialami sendiri.
c). Kesaksian harus diberikan didepan persidangan dan diucapkan secara
pribadi.
d) Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan
keterangan.
e). Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat,
kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.
f). Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de
auditu)
g). Keterangan satu orang saja bukan merupakan alat bukti (unus testis
nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.9
.
2. Yang Tidak Dapat Di Jadikan Sebagai Saksi
Yang tidak dapat dijadikan sebagai saksi adalah sebagai berikut:
a). Keluaga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus
dari salah satu pihak.
b). Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.
c). Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka
telah berumur 15 (lima belas) tahun.
8
Frans Sayogie, “Pemaknaan Saksi dan Keterangan Saksi Dalam Hukum Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010”, Jurnal Al Turas, Vol. XXIII, No. 1,
Januari 2017, hlm. 117.
9
Abdullah Tri Wahyudi, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-Surat Dalam Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm. 189.

4
d). Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
Keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat didengar
keterangannya dan tidak boleh ditolak dalam perkara-perkara mengenai
kedudukan perdata antara kedua belah pihak.
Anak-anak yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar
keterangannya tanpa disumpah. Keterangan mereka hanya dipakai sebagai
penjelasan saja.
Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan
keterangan sebagai saksi adalah sebagai berkut:
a). Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar
perempuan dari salah satu pihak.
b). Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki
dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.
c). Orang yang karena jabatannya atau pekerjaanya yang diwajibkan untuk
menyimpan rahasia.10

3. Saksi Dalam Hukum Acara Peradilan Islam


Untuk mendapatkan keyakinan hakim terhadap suatu peristiwa
yang diperiksannya, maka seorang saksi harus mengetahui peristiwa dan
kejadian yang disaksikannya itu dengan melihat dan mengalami sendiri,
serta tidak boleh dengan kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa.
Jika ada saksi yang memberikan keterangan kesaksiannya
berkenaan dengan perbuatan harus dilihat secara nyata, demikian juga
dengan hal-hal yang berkenaan dengan suara maka suara tersebut haruslah
didengar sendiri secara yakin dan benar. Kesaksian itu haruslah datang
dari dua orang saksi atau satu orang saksi tetapi perlu adannya bukti yang
lain.

10
Abdullah Tri Wahyudi, 2004, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, hlm. 158-159.

5
Secara garis besar, ada lima sifat-sifat saksi yaitu: adil, dewasa,
Islam, merdeka dan bukan budak, mempunyai iktikad baik dalam
memberikan kesaksian di persidangan.
Saksinnya orang bisu tidak dapat diterima, walaupun sudah
memakai bahasa isyarat, tetapi ahli hukum Islam kontemporer berpendapat
bahwa saksi dari orang orang bisu dapat diterima karena diterjemahkan
oleh orang yang dekat dengan orag bisu tersebut ke dalam bahasa lisan
yang dapat dipahami oleh majelis hakim dan semuannya. Penerjemah itu
disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan persaksian.
Kemudian, hukum Islam menetapkan bahwa saksi harus satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan.
Apabila para saksi telah memberikan keterangan kesaksian dalam
pesidangan, kemudian mencabutnya kembali dalam majelis hakim tersebut
sebelum putusan dijatuhkan, maka kedudukan kesaksian mereka belum
ada. Tetapi jika pencabutan kesaksian itu dilakukan di dalam majelis
setelah putusan dijatuhkan, maka putusan hakim itu tidak batal dan kepada
saksi dipertanggung jawabkan putuan tersebut.
Dalam persidangan harus berhati-hati karena syarat-syarat dan
sifat-sifat dari saksi yang memberikan keterangan dalam persidangan
haruslah diperhatikan oleh majelis hakim agar tidak salah dalam
memberikan keputusan.11

4. Kesaksian Orang Non Muslim di Pengadilan Agama


Dengan adannya arus globalisasi yang semakin kompleks,
kehidupan masyarakat menjadi membaur dan tidak ada sekat dalam
berhubungan. Dalam hal ini maka terjadi kontak langsung dalam
berhubungan untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Akibat dari
kontak langsung tersebut, maka adanya masalah –masalah dan akhirnya
diselesaikan di pengadilan Agama.

11
Abdul Manan, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, hlm. 259-262.

6
Pada pasal 2 dan pasal 49 Undang-Undang No. 7 tahun 1989,
bahwa dijelaskan undang-undang ini di khususkan untuk orang muslim
yang berperkara di peradilan agama. Tetapi, seiring berkembangnya
zaman, maka undang-undang ini direvisi menjadi undang-undang No. 3
tahun 2006 tentang peradilan agama yang dalam undang-undang ini
memberikan pengertian orang non muslim mengikatkan dirinnya dalam
perjanjian yang menggunakan dasar hukum syariah juga termasuk
kompetensi pengadilan agama.12
Kemudian, mengenai saksi non muslim sebagai salah satu alat bukt
di dalam persidangan majelis hakim, dalam hal ini ada dua hal yang perlu
mendapat sorotan yaitu kesaksian non muslim terhadap sesama non
muslim dan kesaksian non muslim terhadap kaum muslim. Hal ini penting
dibicarakan karena dalam praktek Peradilan Agama sering terjadi kedua
hal tersebut dalam penyelesaian sutau perkara.
Pendapat para ulama mengenai saksi non muslim di pengadilan
Agama itu ada beberapa pendapat. Diantarannya:
a. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
kesaksian non muslim sesama non muslim tidak dapat diterima secara
mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda.
Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah Surah Al-Baqarah ayat
282 yang mengemukakan: “bahwa orang yang bukan Islam, bukanlah
orang yang bersifat adil dan bukan dari orang-orang yang ridho
kepada kaum muslimin”. Menerima kesaksian dari non muslim berarti
memaksa hakim untuk menghukum dengan kesaksian yang dusta ,
sedangkan orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian dari
orang kafir.
b. Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa kesaksian
antara non muslim dapat diterima, baik ia seagama maupun berbeda

12
Anto Mutriady Lubis, “Kedudukan Saksi Non Muslim Dalam Pandangan Islam dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Sebagai Alat Bukti Berperkara di Pengadilan
Agama”, Doktrina: Jurnal Of Law, Vol. 1, No. 2, Oktober 2018, hlm. 146.

7
agama. Misal agama yahudi dengan nasrani maka dapat diterima
persaksiannya.
c. Sebagian para pakar hukum Islam menerima kesaksian orang-orang
non muslim sesama orang non muslim asalkan mereka menganut
agama yang sama, dan menolak apabila agama yang mereka anut
berbeda. Misal agama nasrani dengan nasrani dapat diterima
persaksiannya karena sama agama, tetapi kalau berbeda agama maka
tidak diterima persaksiannya.
d. Para ahli hukum Islam sepakat, bahwa kesaksian orang-orang non
muslim terhadap orang Islam tidak diperkenankan secara mutlak.
Mereka berpendapat bahwa kesaksian itu adalah masalah kekuasaan,
sedangkan orang-orang non muslim tidak berkuasa atas orang-orang
Islam sebagaimana tersebut dalam surah An-Nisa ayat 140
mengemukakan: “bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi
orang-orang non muslim berkuasa terhadap orang-orang Islam.
e. Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i menolak kesaksian
orang-orang non muslim secara mutlak, kecuali dalam hal yang sangat
darurat seperti kesaksian dokter non muslim terhadap suatu peristiwa
dan kejadian.
f. Ibnu Qayyim berpendapat bahwa menolak secara mutlak kesaksian
orang-orang non muslim kepada orang muslim yaitu karena bahwa
masalah persaksian yang penting adalah saksi-saksi tersebut dapat
mengungkapkan tabir yang menutup kebenaran, orang-orang yang
dapat mengungkapkan kebenaran itu adakalannya dari orang-orang
yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat dijamin kepercayaanya.
Hal ini yang menyebabkan negara-negara Islam memakai saksi non
globalisasi sehingga tidak ada sekat dalam dunia, sehingga kehidupan
masyarakat dapat membaur satu sama lain.13

13
Abdul Manan, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, hlm. 262-264.

8
Allah SWT telah mengizinkan kesaksian orang-orang non Islam
terhadap orang-orang Islam dalam perkara yang menyangkut keduniawiian
seperti menyangkut jual beli, hutang-piutang dan lain sebagainnya. Dan
akibat hubungan hukum itu tela terjadi pelanggaran diantara mereka, dan
terjadi sengketa. Dan saat itu tidak ada seorang muslim pun yang
mengetahui dan menyaksikan secara langsung perbuatan yang melanggar
tersebut.14

D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut diatas, maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pasal 164 HIR dan 284 Rbg menyatakan bahwa saksi merupakan alat
bukti yang sah. Saksi harus sesuai dengan proses perkara yang sedang
berlangsung supaya saksi dapat diterima secara sah dipengadilan.
Kemudian, syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan
persidangan yaitu: saksi harus disumpah, segala yang didengar, dilihat
diketahui dan dialami sendiri, saksi harus menerangkan sebab-sebab
terjadinnya perkara dan bukan merupakan pendapat, perkiraan dari saksi.
2. Kemudian, yang tidak dapat dijadikan saksi adalah yang masih
mempunyai hubungan keluarga semenda, anak dibawah umur dan orang
gila. Jika dalam hubungan perdata, maka saksi dari keluarga dapat
diterima. Sementara saksi dari anak dibawah umur hanya sebagai penjelas.
3. Saksi dalam hukum acara peradilan adalah saksi yang mempunyai lima
sifat yaitu: adil, dewasa, Islam, merdeka dan bukan budak dan mempunyai
iktikad baik dalam memberikan kesaksian di persidangan. Kemudian,
hukum Islam menetapkan bahwa saksi harus satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan. Dalam pesidangan, harus memperhatikan keterangan
dari saksi secara hati-hati karena supaya majelis hakim agar tidak salah

14
Ibnu Qayyim Al Juziyah, Agustus 2017, Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm.307-308.

9
dalam memberikan keputusan. Sebab semuannya yang terlibat akan
ditpertanggungjawabkan di akhirat.
4. Dalam menyelesaikan perkara dipengadilan agama, dengan adannya saksi
non muslim, maka ada dua hal yang perlu dikaji, yaitu: kesaksian orang
non muslim dengan non muslim dan kesaksian orang non muslim dengan
orang muslim. Yang berpendapat bahwa kesaksian orang non muslim
dengan non muslim tidak diterima secara mutlak adalah pendapat dari
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Kemudian menurut Imam
Hanifah mengatakan bahwa kesaksian antara orang non muslim dapat
diterima. Kemudian, para ahli hukum Islam sepakat bahwa kesaksian
orang non muslim dengan orang Islam tidak diperkenankan secara mutlak.
Namun, di era globalisasi, terdapat masyarakat yang majemuk dimana
terjadi pembauran dalam kehidupan masyarakat. Hal ini bisa terjadi jika
antara orang muslim dan non muslim misalnya sebagai tetangga. Banyak
peristiwa orang muslim yang kebetulan disaksikan oleh non muslim,
apabila ia tidak dibenarkan memberikan kesaksian di pengadilan aagama
tentu orang muslim akan menderita rugi, seperti terjadinnya cekcok antara
suami istri dalam rumah tangga yang menyaksikan adalah tetangganyya
yang kebetulan non muslim, sedangkan saksi lain tidak ada. Mengenai
tentang kehadiran saksi non muslim di Pengadilan Agama sebagai dasar
Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara, maka diharapkan hakim
dalam memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadannya tidak begitu
menolak perkara tersebut dengan alasan saksi tidak ada atau saksi yang
ada adalan beragama non Islam. kehadiran saksi non muslim untuk
menyaksikan suatu peristiwa patut dikaji lebih mendalam, sehingga para
pencari keadilan tidak merasa dirugikan dalam permasalahan yang
diajukan kepada pengadilan agama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Wahiduddin dkk, 2000, Peradilan Agama Di Indonesia Sejarah


Perkembangan Lembaga Dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya,
Cetakan ke- 2, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam.
Al Juziyah, Ibnu Qayyim, Agustus 2017, Hukum Acara Peradilan Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lubis, Anto Mutriady, “Kedudukan Saksi Non Muslim Dalam Pandangan Islam
dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Sebagai Alat Bukti
Berperkara di Pengadilan Agama”, Doktrina: Jurnal Of Law, Vol. 1, No.
2, Oktober 2018.
Manan, Abdul, 2001, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah.
Hayani, Neng Nur, 2015, Hukum Acara Perdata, Bandung: Pustaka Setia.
Sayogie, Frans, “Pemaknaan Saksi dan Keterangan Saksi Dalam Hukum Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010”, Jurnal Al
Turas, Vol. XXIII, No. 1, Januari 2017.
Wahyudi, Abdullah Tri, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta:
Pustaka Pelajar.
Wahyudi , Abdullah Tri, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi
Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama,
Bandung: Mandarmaju.

11

Anda mungkin juga menyukai