Anda di halaman 1dari 5

1

DERAJAT SYAHADAH AL-ISTIFADHAH DAN TESTIMONIUM DE AUDITU


Oleh Drs. Abdul Malik

A. PENDAHULUAN

Syarat materil saksi sebagai alat bukti berdasarkan pasal 171 HIR pasal 1907 KUH
Perdata, keterangan yang diberikan harus berasal pada sumber pengetahuan yang jelas.
Sumber pengetahuan yang diberikan hukum yaitu merupakan pengalaman, penglihatan
dan pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan
dengan pokok perkara yang disengketakan oleh para pihak.

Pada persinsipnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu pada hukum


acara pada umumnya, kecuali yang diatur secara khusus, yaitu memeriksa perkara
sengketa perkawinan, perkara yang diajukan para pencari keadilan sering kali terhambat
dalam masalah pembuktian dengan saksi-saksi, baik dari sisi formil maupun materil,
sering pula dijumpai bahwa dari sisi formilnya telah memenuhi, akan tetapi materilnya
terkadang menjadi persoalan, seperti syahadah al-istifadhah maupun testimonium de
auditu. Untuk pembahasannya terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian syahadah
al-Istifadhah dan testimonium de auditu.

Dalam kamus Al-Munawair, arti kata syahadah ialah Al-Iqraru (‫ )االقرار‬yakni


kesaksian. Sedang al-istifadhah ialah tersebar atau tersiar luas, sementara Ibnu Qoyyim
memberikan penegertian al-istifadhah ialah sebagai suatu reputasi atau kemasyhuran
yang diperbincangkan banyak orang, karena reputasi itu benar masyhur. Dalam khazanah
peradilan islam yang dimaksud dengan syahadah al-istifadhah ialah kesaksian
berdasarkan pengetahuan yang bersumber pada berita yang sudah demikian luas tersiar.

Mahkamah Agung memberikan pengertian sebagai suatu kesaksian dari orang yang
tidak mengetahui sendiri, mengalami sendiri atau mendengar sendiri proses terjadinya
wakaf suatu benda, tetapi orang itu dan orang lain yang banyak jumlahnya hanya tahu
bahwa barang itu sudah sejak lama digunakan untuk kepentingan umum yang bersifat
keagamaan/ibadah sedang orang banyak menganggap benda itu adalah wakap.

Sementara pengertian testimonium de auditu dalam buku II adalah keterangan yang


diperoleh saksi dari orang lain tidak didengar atau dialami sendiri. Dari pengertian
tersebut syahadah al-istifadhah dengan testimonium de auditu mempunyai kemiripan.
lebih luas Murphy memberikan pengertian yang sama antara testiminium de auditu
dengan hearsay witness dalam coomon low yaitu keterangan yang diberikan sesorang
yang berisi pernyataan orang lain baik secara verbal, tertulis atau dengan cara lain, dan
keterangan yang demikian tidak dapat diterima(inadminissible).

Akan tetapi yang menajdi persoalannya adalah penerapan dalam perkara apakah
semua perkara perdata, apakah syahadah al-istifadhah, testimonium de auditu maupun
hearsay witness dalam common law itu termasuk alat bukti yang memenuhi syarat bagi
suatu kesaksian dalam hukum acara perdata Agama atau tidak?. Dan bagaimana pendapat
para ahli hukum serta bagaimana pula dalam penerapannya.

B. PENDAPAT AHLI HUKUM TENTANG SYAHADAH AL-ISTIFADHAH DAN


TESTIMONIUM DE AUDITU.

Untuk persoalan status keperdataan seseorang (al-nasab wal-wiladah) para ulama


telah sepakat dibolehkan menggunakan syahadah al-istifadhah, mislanya ulama
Hanabilah membolehkan pengunaaan syhadah al-istifadhah dalam bidang seperti
2

perkawinan, hak-hak pribadi, wakaf dan kematian, dengan alasan karena persoalan
tersebut terhalang mendapatkan informasi factual atau sebab-sebab lainnya secara
langsung, sehingga jalan satu-satunya adalah dengan cara menganalogikan dengan status
keperdataan.

Ibnu Qoyim lebih tegas lagi mengatakan bahwa hakim boleh memutus perkara
berdasarkan syahadah al-istifadhah, karena kesaksian tersebut merupakan bukti yang
sangat kuat, kesaksian ini pula sebagai salah satu kiat untuk mendapatkan informasi/fakta
yang akurat sehingga dengan fakta itu dapat menepis kemungkinan adanya tuduhan
kecurangan baik bagi saksi maupun hakim oleh karena itu syahadah al-istifadhah ini
lebih kuat nilainya dari pada kesaksian dua oran saksi yang memenuh syarat formal dan
material.

Sedangkan pembuktian dengan kesaksian testimonium de auditu para ahli dan pakar
hukum terjadi silang pendapat sebagian mereka mengatakan permasalahan semacam ini
tidak ada harganya sama sekali, sebab keterangan saksi semacam itu tidak bersumber dari
pengetahuan sendiri, tetapi bersumber dari penuturan orang lain kepadanya. Sebagaian
lagi mengatakan pembuktian dengan saksi testimonium de auditu boleh saja dijadikan
dasar oleh hakim untuk memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya, asalkan
persaksian itu saling berhubungan antara satu alat bukti dengan alat bukti yang lain.
Jangkaun kebolehan mempergunakan alat bukti kesaksian itu sangat luas, karena dapat
meliputi segala macam sengketa perdata.

Mukti Arto menyebutkan pada dasarnya tidak ada larangan mendengarkan


kesaksian mereka, dalam hal ini beliau memepersamakan kesaksian testimonum de auditu
dengan syahadah Al-istifadhah. Nilai pembuktian testimunium de auditu dapat
dipergunakan untuk menyusun bukti persangkaan(vermoedem). Hal ini sejalan dengan
buku II Revisi 2010 Testimonium de auditu adalah keterangan yang diperoleh saksi dari
orang lain, tidak didengar atau dialami sendiri. Kesaksian de auditu dapat dipergunakan
sebagai sumber persangkaan.

C. DERAJAT SYAHADAH AL-ISTIFADHAH DAN TESTIMONIUM DE AUDITU

Secara umum ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan bukti
kesaksian, yang berupa persyaratan formal maupun material, persyaratan ini bersifat
kumulatif bukan alternatif, syarat formil adalah;
1. Saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk menjadi saksi.
2. Saksi memberikan keterangan di persidangan.
3. Saksi mengucapkan sumpah.
4. Ada penegasan dari saksi, ia menggunakan hakanya sebagai saksi.
5. Saksi diperiksa satu persatu
Adapun syarat materialnya adalah.
1. Keterangan saksi berdasarkan alas an dan pengetahuan.
2. Fakta yang diterangkan atas dasar penglihatan, pendengaran dan pengalaman saksi
sendiri.
3. Keterangan bersesuaian dengan keterangan saksi lainnya.

Akan tetapi saksi al-istifadahah dan saksi de auditu pada suatu ketika sangat
diperlukan untuk mengungkap dan mendapatkan kebenaran dalam beberapa
kasus/perkara. Untuk mendapatkan informasi yang benar dalam suatu kasus, agar
kesaksian testimonium de auditu dapat diterma sebagai alat bukti. Menurut Murphy perlu
diatur keadaan yang bersifat eksepsional sebagai salah satu alasan dapat dibenarkan
common law, apabila saksi utama mengalami melihat dan mendengar sendiri meninggal
dunia dan sebelum meninggal menjelaskan kepada orang lain, sebagaimana kesaksian
3

seperti ini telah dibenarkan dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No.239
K/Sip/1973, salah satu pertimbangannya sebagai berikut:

Bahwa keterangan saksi-saksi diatas pada umumnya adalah menurut pesan, tetapi
haruslah pula dipertimbangkan bahwa hampir semua kejadian atau perbuatan atau
peristiwa yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan
turun temurun sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu
dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang sehingga dalam hal demikian
pesan turun temurun itu yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut
pengetahuan Hakim Majelis sendiri pesan seperti itu oleh masyarakat Batak umumnya
dianggap berlaku dan benar:
- dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari sisapa pesan itu diterma dan
orang yant memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan tersebut.
- oleh karena itu dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut.

Dalam hal ini Mahkamah Agung dapat menerima kesaksian testimonium de auditu
secara eksepsional sebagai alat bukti yang telah memenuhi syarat material bila saksi
tersebut telah disumpah. Keterangan itu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri
yang telah mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan alat bukti lain, apabila
saksi de auditu disampaikan orang banyak.

Menurut Murfy yang dikutip Yahya Harahap sebagai perbandaingan Civil Evidence
Act 1968 di Inggris. Permasalahan pokok alat bukti hearsey menurut ketentuan ini
bukanlah mengenai diterima atau tidaknya ia (admissibility) sebagai alat bukti. Namun
yang menjadi permasalahan pokok adalah sejauh manakah nilai kekuatan pembuktian
yang melekat padanya. Dan Yahya Harahap sendiri berpendapat tidak begitu penting
untuk memperdebatkan apakah testimonium de auditu dapat diakui atau tidak sebagai alat
bukti, dan bukan saatnya lagi secara otomatis menolak dan mengatakannya tidak sah
sebagai alat bukti.Dapat diterima dulu baru mempertimbangkan apakah ada eksepsional
untuk menerimanya. Jika ada baru mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai
pembuktian yang melekat pada keterangan saksi de auditu tersebut

Memperhatikan yurisprudensi dua putusan MA.No.239 K/Sip/1973, tanggal 25


Nopember 1975, nampaknya telah tepat menempatkan testimonium de uditu sebagai alat
bukti dan perlu di konstruksi sebagai persangkaan, karena peristiwa tersebut terdapat
unsur pesan secara turun temurun yang yang dibenarkan secara adat daerah tertentu.
Sedangkan putusan kedua No. 308 K/Sip/1959, tanggal 11 Nopember 1959 menuruy
putusan tersebut adalah bahwa testimonium de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai
alat bukti langsung, tetapi kesaksian itu dapat diterapkan sebagai alat bukti persangkaan
(vemoedem) dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu:,
oleh karenanya pemakalah sependapat bahwa testimonium de auditu dapat dikontruksi
sebagai persangkaan hakim hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang.

Pemahaman Mahkamah Agung dalam yurisprudensi tersebut diatas nampaknya ada


kemiripan dengan pengertian syahadah Al-Istifadhah yang dikemukakan Ibu Qoyyim,
antara lain unsurnya kemasyhuran, beritanya tersebar luas.penggunaan kesaksian
tersebut dalam fiqih adalah merupakan rukhshoh, dalam pembuktian, artinya larangan
penggunaan saksi de auditu yang secara umum dikecualikan dengan illat tidak adanya
saksi utama, dimana perkara tersebut perlu adanya kepastian hukum.

Tetapi khusus untuk jenis sengketa perwakafan tertentu di lingkungan Peradilan


Agama, Syahadah al-istifadhah bukan hanya bernlai sebagai bukti persangkaan, tetapi
jauh lebih tinggi dari itu, karena bernilai sabagi alat bukti yang memenuhi syarat formal
dan material. Demikian juga dalam masalah perkawinan yaitu isbat nikah yang
pernikahannya dilaksanakan sebelum berlakuknya undang-undang No. 1 tahun 1974
4

tentang perkawinan dapat dipertimbangkan kesaksian al-istifadhah dan testimonium de


auditu dengan alasan bahwa pelaksanaan wakaf dan pernikahan sebelum berlakunya
undang-undang tersebut jauh kemungkinan berulang-ulangnya perbuatan wakaf dan
nikah .
Demikian juga kesaksian de auditu akan berubah dejatarnya menjadi kesaksian yang
dapat diterima, apabila dikonstruksi sebagai persangkaan dengan dimaksudkan tidak
menyingkirkan secara total aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat
bukti, tidak dimaksudkan menghapus atau meniadakan aturan umum yang sudah ada,
namun secara kasuistis hakim dapat mengkonstruksi kesaksian de auditu sebagai alat
bukti persangkaan, asalkan hal itu dipertimbangkan dengan obyektif dan rasional,
berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung putusan No.308 k/Pdt/1959, testimonium
de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi kesaksian itu dapat
diterapkan sebagai alat bukti persangkaan (vermoedem) dan persangkaan itu dijadikan
untuk membuktikan sesuatu.

D. PENUTUP

Untuk menguak jalan bagi terciptanya law standars yang baku demi terbinanya
unified legal frame work dan unified legal opinion melalui putusan pengadilan Agama
yang menjelma menjadi yurisprudensi. Selain itu memang kalau syahadah al-istifadhah
dan testimonium de auditu dapat berperan dalam penegakan hukum yang berasaskan
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dan kejujuran, rasanya tidak ada salahnya
kalau penerapannya dapat dielaborasi kepada perkara perdata, wakap dan isbat nikah atau
perdata lainnya.

Sekiranya itu dapat terwujud, tidak mustahil syahadahah al-istifadah dan testimonium
de auditu menjadi living law dalam praktek Peradilan Agama. Dalam pasal 28 Undang-
undang Kekuasan Kehakiman telah diamantkan kepada para hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan-bukan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai undang-undang yang
hidup dalam masyarakat, dengan tujuan agar putusan hakim itu sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat.Demikian gagasan Mahkamah Agung dalam penerapan
Syahadah al-Istifadhah di bidang perwakafan ini sebagai suatu upaya konkretisasi
ketentuan dimaksud.

Disinilah terpikul beban sekaligus tantangan dan panggilan kepada hakim guna
berijtihad melalui media judge made law untuk mencermati penerapan Syahadah al-
istifadhah. Rangsangan ini telah dituturkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam salah satu
sabdanya: Bila Hakim berijtihad dan ijtihadnya itu benar, ia mendapat nilai ganda, tetapi
bila ijtihad itu salah, ia masih tetap mendapat nilai, yakni nilai dari upaya ijtihad.

DATAR PUSTAKA

1.Abdul Karim Zidan, Nodhomul Qadha fis-syari’atil islamiyah, 1984.

2. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, At-turuqul Hukmiyah Fissiyasatisya-


syar’iyyah,1977.

3. M. Yahya Harahaf, Hukum Acara Perdata, 2008.

4. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata,2007.

6. Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan


Peradilan Agama, 2008.
5

7. Abdul Manan, Berbagai Masalah Hukum Acara Dalam Peraktek Peradilan


Agama, 2008.

8. Mahkamah Agung, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis


Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010.

9. K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, 1981.

Anda mungkin juga menyukai