Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“Tata Cara Beracara & Alat Bukti/Upaya Pembuktian Dalam Peradilan Islam”

Diajukan sebagai tugas mata kuliah Hukum Peradilan Islam

Dosen Pengampu :
H. M. Imdadur Rohman, M. Hi

Disusun oleh :

Emerald Manggar Brillianty (C73218033)

Yusuf Nofrianto Pratama (C73218060)

Amri Hikari (C93218065)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan begitu
besar Rahmatnya, sehingga makalah yang berjudul “Tata Cara Beracara & Alat Bukti/Upaya
Pembuktian Dalam Peradilan Islam” dapat terselesaikan.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritikan maupun saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini, sebab
makalah ini merupakan sebuah media belajar bagi mahasiswa.
Kami menyadari bahwa makalah ini akan sulit terselesaikan tanpa adanya peran dari
berbagai pihak yang telah memberikan bantuannya untuk menuntaskan makalah ini. Akhir
kata semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca dan memperluas serta menambah
hasanah dunia pendidikan, khususnya bagi kami selaku penulis.

Sidoarjo, 10 Desember 2020


Penyusun
Kelompok 10

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembuktian merupakan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh hakim
yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan. Dalam hukum baik positif maupun islam pembuktian merupakan sentral
pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi
suatu proses, cara dan perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar salahnya terdakwa
terhadap suatu perkaradalam sidang pengadilan.1
Oleh karenanya maka pembuktia tidak bisa ditinggalkan dan sangat menentukan
kebenaran yang sedang dicari oleh hakim dengan kata lain bahwa benar atau salahnya suatu
permasalahan perlu dibuktikan terlebih dahulu. Urgensi pembuktian ini adalah untuk
menghindari dari kemungkinan-kemungkinan salah dalam memberikan penilaian.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata cara beracara dalam hukum peradilan islam?
2. Apa sajakah alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian dalam hukum
peradilan islam?
3. Bagaimana upaya pembuktian yang dapat dilakukan dalam hukum peradilan islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar dapat mengerti dan memahami mengenai tata cara beracara dalam hukum
peradilan islam.
2. Agar dapat mengerti dan memahami mengenai macam-macam alat bukti yang dapat
dipergunakan dalam hukum peradilan islam.
3. Agar dapat mengerti dan memahami mengenai upaya pembuktian yang dapat
dilakukan dalam hukum peradilan islam.

1
https://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%2011.pdf, Diakses pada tanggal 11 Desember 2020.
2
Sulaikhan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), hlm. 135.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tata Cara Beracara Dalam Hukum Peradilan Islam

Dalam islam tata cara beracara hukum peradilan islam menurut fiqh sebagai berikut:

 Adanya pengakuan dari pelaku (iqrar)

Semua ulama hukum mengatakan ikrar merupakan dalil atau dasar utama bagi penetapan
hukuman. Rasulullah sendiri mendasarkan hukuman atas pengakuan langsung dari ma’iz
(pelaku) dan pengakuan seorang yang tertuduh. Kekuatan pengakuan sebagai dasar
pengambilan keputusan hukum memang tidak diperselisihkan lagi, kecuali tentang jumlah
pengakuan yang diucapkan tertuduh.

Tentang bilangan pengakuan yang mengharuskan dijatuhkannya hukuman, menurut


Imam Malik dan Syafii satu kali pengakuan sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman. Abu
Hanifah beserta para pengikutnya dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa hukuman baru
dapat dijatuhkan dengan pengakuan empat kali diucapkan di tempat yang berbeda-beda.3

 Adanya kesaksian

Menuduh orang lain merupakan perbuatan yang efeknya buruk sekali bagi seseorang.
Oleh karena sebab itu lah islam menetapkan syarat-syarat untuk diterima atau tidaknya
tuduhan sehingga tidak mudah untuk melakukannya. Adapun syarat sah kesaksian dalam
hukum peradilan islam adalah sebagai berikut:4

 Saksi haruslah orang yang sudah baligh/cukup umur.


 Saksi haruslah berakal/sehat akal dan tidak gila.
 Orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil.
 Orang yang menjadi saksi haruslah orang islam.
 Orang yang menjadi saksi hendaknya mengetahui secara jelas dan detail.dalam
memberikan kesaksian, saksi harus menggunakan kata-kata yang jelas (tidak berbelit)
dan bukan dengan kata sindiran.

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1996), hlm. 110.
4
Abuddin Nata, Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta: Kencana, Cet. II, 2006), hlm. 88-89.

4
 Dalam memberikan kesaksian, para saksi haruslah berada dalam satu majelis bukan
dalam keadaan yang terpisah tempat ataupun waktu dengan saksi lainnya.

2. Alat Bukti Dalam Hukum Peradilan Islam

Bukti dalam hal ini adalah hujjah atau alasan yang kuat untuk memperoleh kejelasan
perkara dan melahirkan kebenaran. Pembuktian dalam hukum islam disebut al-Bayyinah.5
Adapun pengistilahan lainnya yaitu ad-Dalil dan al-Burhan. 6 Menurut Ibnu Qoyyim
mengartikan bayyinah adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan perkara.

Menurut fuqaha alat bukti ada tujuh macam, yaitu:

a. Iqrar (pengakuan)

Ikrar atau pengakuan menurut bahasa ialah menetapkan dan mengakui suatu hak dengan
tidak mengingkari. Menurut istilah fuqaha pengakuan ialah menggambarkan suatu hak bagi
orang lain. Dasar hukum pengakuan yang di dalamnya memberikan pengerrtian bahwa orang
yang berhutang itu mengakui dirinya sendiri bahwa memang benar memiliki hutang oleh
sebab itu dalam pengakuannya tidak boleh berbohong.7

Untuk mengantisipasi terjadinya pengakuan yang dibuat-buat, maka seseorang yang


memberikan pengakuan adalah orang yang berakal dan dewasa. Oleh karenanya tidak sah
pengakuan orang gila atau pengakuan anak-anak. Selain itu pengakuan atas dasar pemaksaan
atau intimidasi juga tidak dibenarkan.

Pengakuan adalah alat bukti yang terbatas berlaku bagi yang memberi pengakuan itu
saja, tidak dapat mengenai diri orang lain, walaupun dipandang sebagai alat bukti yang paling
kuat. Pengakuan itu meliputi pernyataan akan kebenaran dari tuntutan hubungan hukum dan
peristiwa.8

b. Shahadah (kesaksian)

Menurut syarah kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan yang keluar yang
diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain

5
Abd. Halim Talli, Asas Peradilan Dalam Risalah Al-Qada (Makassar: Alaudin Press University, 2015), hlm. 68
6
Hadi Daeng Mapuna, Hukum Acara Peradilan Agama, (Makassar: Alaudin Press University, 2013), hlm. 122.
7
H. Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, hlm. 93.
8
Ibid., hlm. 96.

5
karena beritanya telah tersebar.9 Dalam memberikan kesaksian, seseorang dituntut untuk
memberikan kesaksiannya senyatanya tanpa menyembunyikan sedikitpun.

Meskipun hukum memebrikan saksi itu wajib, akan tetapi tidak semua orang berhak
memberikan kesaksiannya. Seseorang yang berhak memberikan kesaksian menurut Ahmad
Fathi Bahansyi harus dapat memenuhi syarat dalam menunaikan kesaksiannya, yaitu:

 Berakal sewaktu memberikan kesaksian.


 Saksi itu dapat melihat.

Ini sebagian pendapat para fuqaha, namun menurut Asy-Syafii syarat dapat melihat tidak
menjadi syarat sah kesaksian.10

c. Yamin/Qosamah (sumpah)

Menurut ahli fiqh sumpah (yamin) ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan
atau diucapkan dengan nama Allah, dengan mengingat jika memberikan keterangan yang
tidak benar akan memperoleh siksa-Nya.

d. Nukul (menolak sumpah)

Mengenai alat bukti penolakan sumpah (nukul) ternyata dikalangan para ulama masih
diperselisihkan, apakah termasuk alat bukti atau tidak. Menurut mahzab Hanafi penolakan
sumpah dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Penolakan itu bila mana telah mencapai tiga
kali, untuk itu hakim sudah dapat memutuskan perkara. Sedangkan mahzab Syafii dan Malik
penolakan sumpah tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tetapi tergugat menolak
bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penggugat bersumpah maka ia dimenangkan,
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa penolakan sumpah dapat dijadikan sebagai alat bukti dan
dasar pertimbangan memutuskan perkara.

e. Qarinah (persangkaan/petunjuk-petunjuk)

Qarinah secara bahasa diambil dari kata “muqaronah” yang berarti “mushohabah”
(penyertaan/petunjuk). Petunjuk tersebut kadang kuat atau lemah tergantung penyertaan.
Ukuran dalam menetapkan ialah kepada kuat pikiran, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Secara
istilah qorinah diartikan dengan tanda-tanda yang merupakan hasil kesimpulan hakim dalam

10
Ahmad Fathi Bahansyi, Nasyriyatul Isbat Fil Fiqhil Jina’i al-Islami, alih bahasa Usman Hasyim dan Ibnu
Rachman, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hlm. 1-4.

6
menangani berbagai kasus melalui ijtihad. Tanda-tanda tersebut yang dapat menimbulkan
keyakinan. Qarinah terbagi menjadi dua yaitu:11

 Qarinah qonuniyyah yaitu qarina yang ditentukan oleh Undang-Undang.


 Qarinah qodloiyyah yaitu qarinah yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah
memeriksa perkara.

Meskipun qarinah merupakan alat bukti namun tidak semua qarinah dapat dijadikan
sebagai alat bukti. Roihan A. Rasyid memberikan kriteria qarinah yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti. Menurutnya qarinah harus jelas dan meyakinkan sehingga tidak bisa
dibantah lagi oleh manusia normal atau berakal. Kriteria lainnya adalah semua qarinah yang
tidak bertentangan dengan hukum islam. Qarinah tersebut merupakan qarinah wadh’ihah dan
dapat dijadikan dasar pemutus walaupun hanya atas dasar satu qarinah wadh’ihah saja tanpa
di dukung oleh bukti lainnya.

f. Ilmu Pengetahuan Hakim

Dalam islam alat bukti pengetahuan hakim terdapat dua ketentuan:

i. Seorang hakim tidak boleh memutus perkara berdasarkan pengetahuannya, bilamana


pengetahuan yang diperolehnya dari luar dalam kapasitasnya sebagai manusia
umumnya. Seperti ia menyaksikan terjadinya peristiwa itu kemudian diperkirakan,
atau dia mendengar dari sebagian orang.
ii. Seorang hakim boleh memutuskan berdasarkan pengetahuannya, bilamana
pengetahuan yang di dapat dalam kapasitasnya sebagai hakim dari periksaan yang
diambil dalam dakwaan. Seperti dia mendengar keterangan para saksi dalam sidang,
kemudian dia pergi ke tempat terjadinya perkara yang disidangkan.12

g. Bukti berdasarkan indikasi yang tampak (surat, tulisan, dsb)

Dalam hukum islam bukti tulisan adalah akta yang kuat sebagai alat bukti di pengadilan
dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak.13 Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
mengenai bukti tulisan ada tiga bentuk yaitu:

11
H. Anshorrudin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, hlm. 88-89.
12
Ahmad Fathi Bahansyi, Nasyriyatul Isbat Fil Fiqhil Jina’i al-Islami, alih bahasa Usman Hasyim dan Ibnu
Rachman, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hlm. 101.
13
Ibid., hlm. 84.

7
 Bukti tulisan di dalamnya oleh hakim dinilai telah terdapat hal yang bisa menjadikan
dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan terhadap seseorang.
 Bukti tertulis tersebut tidak dipandang sebagai bukti yang sah.
 Bukti tulisan tersebut dipandang bukti yang sah apabila di dapati arsipnya.14

3. Upaya Pembuktian Dalam Hukum Peradilan Islam

Untuk mengetahui keadaan-keadaan yang berhubungan dengan gugatan atau hujjah yang
menguatkan gugatan dalam hal ini sebagian besar para fuqaha sepakat antara lain Ibnu abidin
memberikan batasan dua cara yakni gugatan (dakwaan) dan bukti (hujjah).

Berdasarkan sejarah islam, tindakan yang dilakukan Rasulullah dalam menyelesaikan


perkara, akan tetapi untuk menumbukan kesadaran hukum dari para pihak yang berperkara.
Karena itu, dalam menyelesaikan perkara Rasulullah senantiasa melakukannya dengan
pertimbangan ijtihad, bukan berdasarkan turunnya wahyu. Demikian pula putusan yang
diambil yaitu berdasarkan pada bukti-bukti otentik dan bukan didasarkan pada hakikat
masalah. Dengan kata lain Rasulullah tidak hanya berpegang teguh kepada fakta hukum yang
sebenarnya tampak, tetapi juga pengakuan tulus dari para pihak untuk sejujurnya menyatakan
dan menyampaikan duduk perkaranya yang benar.15

14
H. Anshorrudin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, hlm. 84.
15
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 51.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam islam tata cara beracara hukum peradilan islam menurut fiqh sebagai berikut:
 Adanya pengakuan dari pelaku (iqrar)
Semua ulama hukum mengatakan ikrar merupakan dalil atau dasar utama bagi
penetapan hukuman. Rasulullah sendiri mendasarkan hukuman atas pengakuan
langsung dari ma’iz (pelaku) dan pengakuan seorang yang tertuduh.
 Adanya kesaksian
Islam menetapkan syarat-syarat untuk diterima atau tidaknya tuduhan sehingga
tidak mudah untuk melakukannya. Adapun syarat sah kesaksian dalam hukum
peradilan islam adalah sebagai berikut:
 Saksi haruslah orang yang sudah baligh/cukup umur.
 Saksi haruslah berakal/sehat akal dan tidak gila.
 Orang yang menjadi saksi itu haruslah orang yang adil.
 Orang yang menjadi saksi haruslah orang islam.
 Orang yang menjadi saksi hendaknya mengetahui secara jelas dan
detail.dalam memberikan kesaksian, saksi harus menggunakan kata-kata
yang jelas (tidak berbelit) dan bukan dengan kata sindiran.
 Dalam memberikan kesaksian, para saksi haruslah berada dalam satu
majelis bukan dalam keadaan yang terpisah tempat ataupun waktu dengan
saksi lainnya.
2. Menurut fuqaha alat bukti ada tujuh macam, yaitu:
a. Iqrar (pengakuan)
b. Shahadah (kesaksian)
c. Yamin/Qosamah (sumpah)
d. Nukul (menolak sumpah)
e. Qarinah (persangkaan/petunjuk-petunjuk)
f. Ilmu Pengetahuan Hakim
g. Bukti berdasarkan indikasi yang tampak (surat, tulisan, dsb)
3. Sebagian besar para fuqaha sepakat antara lain Ibnu abidin memberikan batasan dua
cara yakni gugatan (dakwaan) dan bukti (hujjah). Demikian putusan yang diambil
yaitu berdasarkan pada bukti-bukti otentik dan bukan didasarkan pada hakikat

9
masalah. Dengan kata lain tidak hanya berpegang teguh kepada fakta hukum yang
sebenarnya tampak, tetapi juga pengakuan tulus dari para pihak untuk sejujurnya
menyatakan dan menyampaikan duduk perkaranya yang benar.

B. Daftar Pustaka

1. https://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%2011.pdf, Diakses pada tanggal


11 Desember 2020.
2. Lubis, Sulaikhan. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

3. Sabiq, Sayyid. 1996. Fiqih Sunnah. Bandung: PT. Al-Maarif.


4. Nata, Abuddin. 2006. Masail al-Fiqhiyah. Cet. II. Jakarta: Kencana.
5. Talli, Abd. Halim. 2015. Asas Peradilan Dalam Risalah Al-Qada. Makassar:
Alaudin Press University.

6. Mapuna, Hadi Daeng. 2013. Hukum Acara Peradilan Agama. Makassar: Alaudin
Press University.
7. Anshoruddin, H. 2010. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan
Hukum Positif. Jakarta: Rineka Cipta.
8. Bahansyi, Ahmad Fathi. 1984. Nasyriyatul Isbat Fil Fiqhil Jina’i al-Islami. Alih
bahasa Usman Hasyim dan Ibnu Rachman. Yogyakarta: Andi Offset.
9. Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia
Indonesia.

10

Anda mungkin juga menyukai