Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Disusun Oleh:
Kelompok 10
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan nikamat iman, nikmat sehat serta hidayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan tanpa ada suatu
halangan apapun. Dan tak lupa sholawat serta salam tetap tercurah limpahkan
kepada junjungan baginda agung Nabi Muhammad SAW yang selalu dinanti-
nantikan syafa’atnya kelak di yaumil qiyamah.
Tak lupa juga mengucap rasa syukur dan terimakasih kepada dosen
pengampu pada mata kuliah “Fiqih Munakahat” yang telah memberikan tugas
ini sehingga kami dapat membuat dan menghasilkan makalah ini. Makalah ini
dibuat diharapkan supaya dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan
kami sesuai dengan bidang studi yang sedang kami tempuh sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Meskipun makalah ini telah disusun dengan secara maksimal, akan tetapi
kami sebagai penulis memahami bahwa sebagai manusia bisa menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................5
A. Kesimpulan..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini, maka
keberadaannya di bumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup
manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah
bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari
perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan
ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di
antaranya adalah masalah sighat akad nikah, wali nikah, saksi dan mahar
(maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari
pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Keberadaan saksi dan kehadirannya adalah bagian dari rukun nikah
yang harus ada. Walau demikian, tentang saksi dalam nikah ini masih ada
yang menyebutnya sebagai “saksi”, sebagaimana tertuang dalam UU NO.
1 TH 1974 Tentang Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI
), namun dalam hadist terdapat kata “adil” bagi para saksi yang
dipersyaratkan. Penuangan kata ‘adil’ terdapat dalam kitab-kitab fikih
sunni atau beberapa ulama generasi kemudian yang paling tidak
menggunakan kaidah yang sama dengan pendahulunya ( imam madzhab
atau madzhab mu’tabar; Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi ).
iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Saksi
Dalam hukum Islam alat bukti saksi disebut syāhid (saksi laki-laki)
atau syāhidah (saksi wanita), yang terambil dari kata musyāhadah yang
artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan saksi adalah
manusia hidup. Kebanyakan ahli hukum Islam (jumhur fuqaha)
menyamakan kesaksian (syahādah) dengan bayyinah. Yang dimaksud
dengan syahādah adalah keterangan orang yang dapat dipercaya di depan
sidang pengadilan dengan lafal kesaksian untuk menetapkan hak atas
orang lain. Oleh karena itu, dalam pengertian kesaksian dapat pula
dimaksudkan kesaksian yang didasarkan atas hasil pendengaran, seperti
kesaksian atas kematian.
Saksi secara etimologi merupakan bahasa arab yang bersal dari
kata ھدDD شھادة –یشھد – شyang berarti berita pasti.1 Sementara itu dalam
kajian Fiqih saksi (kesaksian) itu diambil dari kata ( مشاھدةbahasa Arab)
yang memiliki arti melihat dengan mata kepala, dikarenakan dalam lafadz
( شھدorang yang menyaksikan) itu memberitahukan apa yang disaksikan
dan dilihatnya. Yang mempunyai makna pemberitahuan seseorang tentang
apa yang dia ketahui dengan lafadz “Asyhadu” (aku menyaksikan atau
akau telah menykasikannya).2
Berikut merupakan pengertian saksi menurut beberapa tokoh:
a. Muhammad Idris Al-Marbawi: saksi adalah orang melihat dengan mata
sendiri.3
b. W.J.S.Poedarwaminta: saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa
Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengatur”.4
1
Louis Ma’luf Al-Yussu’i, Al-Munjid fi al-lughah Wa al-‘Alam, 17 (Beirut: Daar al-
Masyriq, 1986), 406.
2
Louis Ma’luf Al-Yussu’i, 15.
3
Idris Al-Marbawi, Kamus al-Marbawi (Mesir: Mustafa al-Babilal Halaby, t.t.), 128.
4
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, t.t.),
825.
v
Dari pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan, dapat
dipahami bahwa saksi menurut bahasa adalah orang yang hadir
menyasikan dan menginformasikan suatu peristiwa yang telah dilihat
dengan mata kepala sendiri.
Definisisaksisecara istilah dikemukakan oleh Muhammad Ibnu
Ismail Al-Kahlani dalam kitab subulus salam sebagai berikut:
Saksi adalah orang yang mempertagungjawabkan kesakasian dan
mengemukakannya,kerena dia menyaksikan sesuatu yang orang
lain tidak menyaksikannya.5
5
Muhammad Ibnu Ismail Al-Kahlani, Subulus Salam, Jilid II (Semarang: PT. Toha Putra
Maktabah Wa matba’ah, t.t.), 126.
6
Muhammad Ali, Fiqih Munakahat, 5 ed. (Metro: Laduny Alifatama, 2022), 112.
7
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 99.
vi
B. Syarat-Syarat Saksi
Mengenai syarat-syarat saksi dalam pernikahan, para ahli fikih
cukup hati-hati dan teliti meskipun masih terdapat perbedaan pendapat di
antara mereka,karena mereka mempunyai argumen serta alasan masing-
masing.Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan syarat-syarat
tersebut menurut para ahli fikih,diantaranya:
1. Syekh Ibrahim al-Bajuri berpendapat dalam kitab karyanya
yaitu Al- Bajuri. Beliau mematok enam syarat bagi orang yang
akan menjadi saksi dalam sebuah pernikahan. Yaitu harus
beragama Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, dan
adil.8
2. Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqih al-Islam Wa
Adilatuhu mematok sejumlah syarat saksi nikah. Yaitu harus
berakal sehat, baligh, berjumlah dua orang laki-laki, merdeka,
adil, Islam, serta melihat dan mendengar saksi pembicaraan
orang yang berakad.9
3. Abu Zahrah mengemukakan dalam kitabnya al-Ahwal al-
Syakhsyiyyah tentang syarat-syarat saksi dalam perkawinan
adalah yang artinya: Dan disyaratkan pada saksi yaitu, dua
orang laki-laki atau satu orang laki-laki dua orang perempuan
sebagaimana disyaratkan saksi itu merdeka, balig,
berakal ,mendengar ucapan orang yang berakad dan
memahaminya .Islam apabila calon suami-istri muslim dan
tidak disyaratkan melihat dan adil menurut golongan
Hanafiah.10
4. Sayyid Sabiq menjelaskan dalam kitabnya Fiqih Sunnah
bahwa: Disyaratkan pada saksi berakal, balig, mendengar
8
Ibrahim al-Bajuri, Al-Bajuri, Juz ke 1 (Bandung: Dahlan, t.t.), 102.
9
Wahabah al-Zuhaili, Al-Fiqih al-Islam Wa Adilatuhu, Juz ke 7 (Beirut: Dar al Fikri, t.t.),
73–74.
10
Muhammad Abu Zaharah, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah (Mesir: Dar al Fikri, 1957), 61.
vii
perkataan orang yang berakad serta memahami tentang maksud
akad perkawinan.11
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Mendengar dan memahami ucapan orang yang berakad
g. Adil
Untuk lebih jelasnya , berikut definisi satu per satu dari syarat
syarat saksi:
1. Islam
Prinsip utama yang disepakati oleh para ulama fiqih dalam
persyaratan saksi dalam perkawinan adalah Islam, oleh karena itu tidak sah
saksi orang yang non muslim menjadi saksi, apabila yang melangsungkan
perkawinan adalah sama-sama muslim, karena masalah kesaksian dalam
perkawinan masalah kewenagan dan tidak kewenangan terhadap orang
non muslim terhadap orang Islam. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan
dalam kitabnya yang artinya:
Islam syarat pada perkawinan orang muslim karena yang
dipandang menyiarkan perkawinan itu di kalangan mereka dan
kesaksian tersebut merupakan kewalian (kewenangan) dan tidak
ada kewenangan bagi orang non muslim masalah yang berkenaan
dengan hukum Islam dan karena akad perkawinan merupakan
masalah agama maka mestilah orang yang hadir menyaksikan
ketika akad berlangsung dari ahli ibadah yang muslim.12
11
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, t.t. Judul Asli Fiqh sunnah. alih bahasa: Muhammad
Tholib. PT Al-Ma’arif. 1980, Jilid ke-2, h. 48
12
Muhammad Abu Zaharah, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, 62.
viii
Dari pernyataan tersebut dapat di pahami bahwa yang menjadi
saksi terhadap non muslim dengan orang muslim yang menyangkut hukum
keluarga tidak dibolehkan secara mutlak, kecuali dalam masalah
keperdataan yang bisa diterima kesaksian non muslim, seperti jual beli dan
wasiat tatkala bepergian. Sebagai mana dalam al-Qur’an surat Al-Maidah
ayat: 106.
2. Baligh
Saksi dalam akad nikah haruslah orang yang sudah baligh
(dewasa),karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan
berfikir dan bertindak secara sadar dan baik. Oleh karena itu anak kecil
yang menjadi saksi tidak dapat diterima disebabkan belum mampunya
anak kecil tersebut untuk bertindak hukum dan mempertanggung
jawabkan perbuatan yang mereka lakukan, sebagaimana hadis Nabi SAW:
َو َعِن، َو َعِن الَّص ِغِري َح ىَّت ْحَيَتِلَم، َعِن الَّناِئِم َح ىَّت َيْس َتْيِق َظ: ُر ِفَع اْلَق َلُم َعْن َثَالَثٍة: َعْن َعاِئَشَة َعِن الَّنِّىِب صلى اهلل عليه وسلم َقاَل
ِق ِن
اْلَم ْج ُنو َح ىَّت َيْع َل
3. Berakal
Para ulama sepakat menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah atau
peristiwa lainnya haruslah orang yang memiliki akal sehat sehingga ia
dapat mengetahui kewajiban-kewajibannya yang harus dilaksanakan dan
dapat juga mengetahui larangan-larangan yang harus ditinggalkannya serta
dapat pula membedakan mana perbuatan yang mendatangkan manfaat dan
ix
mudarat bagi dirinya. Oleh karena itu orang gila atau kurang waras yang
menjadi saksi maka tidak dapat diterima dalam akad nikah dan peristiwa
lainnya, sebab mereka dipandang sebagaiorang yang tidak mampu
bertindak hukum sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang
telah penulis dijelaskan diatas.
4. Merdeka
Kebanyakan ulama diantaranya Abu Hanifah dan Asy-Ayafi’i
mengisyaratkan bahwa orang yang menjadi saksi adalah orang yang
merdeka walaupun dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ada ditemui
keterangan seorang budak untuk menjadi saksi dalam akad nikah.Adapun
sebab disyaratkan para saksi nikah harus orang yang merdeka adalah
karena akad nikah yang merupakan akad yang paling tinggi dan nilai yang
mulia,maka seharusnyalah yang menghadirinya sebagai saksi adalah orang
yang merdeka tidak boleh budak(hamba sahaya). Jadi seorang budak tidak
diberi kebebasan untuk bertindak hukum atas namanya sebab seorang
budak berada dibawah kekuasaan tuannya.
Ibnu Rusyd mengemukakan dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid
mengenai merdeka, Jumhur Fuqaha’ Anshar mengisyaratkan dalam
penerimaan saksi. Seolah mereka berpendapat bahwa kehambaan itu
merupakan salah satu bekas kekafiran dan oleh karenanya harus penolakan
menjadi saksi.13
5. Laki-laki
Orang yang bertindak sebagai saksi dalam perkawinan disyaratkan
dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dua orang perempuan.maka tidak
sah yang menjadi saksi itu dua orang perempuan saja karena saksi
perempuan saja tidak diperbolehkan,sebagaimana sabda Rasulullah SAW
yang artinya: Dari Zuhri, telah berlaku ketentuan dari Rasulullah Saw,
bahwa tidak boleh menjadi saksi seorang perempuan dalam dalam masalah
13
Ibn Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: Ghazali Sa’id A. Zaidun,
Judul Asli: “Bidayatul Al-Mujtahid” (Jakarta: Pustaka Amanah, 1995), 316.
x
hudud,dan tidak boleh dalam masalah pernikah dan juga masalah thalak”.
(HR.Abu ‘Ubaid).
Menurut hadis di atas bahwa ketentuan yang pernah ditetapkan
oleh Rasulullah SAW adalah bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi
dalam hal yang berkaitan dalam pernikahan. Walaupun demikian para
ulama berbeda pendapat tentang akad nikah dengan saksi seorang laki-laki
dan dua orang perempuan, ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya
tidak sah dan ada yang berpendapat bahwa nikahnya sah mengenai
perbedaan pendapat tersebut sayyid Sabiq menjelaskan bahwa: “Golongan
Syafi’i dan Hambali mensyaratkan para saksi haruslah laki-laki.14
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa saksi dua orang laki-laki
atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan sudah
memadai”.Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an sebagai
berikut:
َو اْسَتْش ِهُد ْو ا َش ِهْيَد ْيِن ِم ْن ِّر َج اِلُك ْۚم َفِاْن َّلْم َيُك ْو َنا َر ُج َلْيِن َفَر ُجٌل َّواْمَر َاٰت ِن ِمَّم ْن َتْر َض ْو َن ِم َن الُّش َهَۤد اِء َاْن
َتِض َّل ِاْح ٰد ىُهَم ا َفُتَذِّك َر ِاْح ٰد ىُهَم ا اُاْلْخ ٰر
14
Ibn Rusyd, 317.
15
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan (Semarang: PT. Toha Putra, t.t.), 37.
xi
dibutuhkan untuk memberikan keterangan bahwa pernikahan tersebut
benar-benar telah berlangsung. Maka dari itu tidak mungkin orang tuli bisa
memberitahukannya sementara ia sendiri tidak bisa mendengarkan
pernyataan masing-masing.16
7. Adil
Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat adil bagi saksi, ada yang
mensyaratkan dan ada pula yang tidak mensyaratkannya. Dalam hal ini
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan yang artinya: “Abu Hanifah dan
para sahabatnya tidak mensyaratkan adil pada para saksi nikah. Syafi’i dan
Ahmad dalam suatu riwayat mensyaratkan adil para saksi nikah”.17
xii
1. Imam Hanafi
Mazhab ini mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada
pada seorang saksi adalah:
a) Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi;
b) Baligh, tidak sah saksi anak-anak;
c) Merdeka, bukan hamba sahaya;
d) Islam;
e) Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua
belah pihak.
2. Imam Hambali
Imam Hambali mengatakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:
a) Dua orang laki-laki yang baligh, berakal, dan adil;
b) Keduanya beragama Islam, dapat berbicara dan mendengar;
c) Keduanya bukan berasal dari satu keturunan kedua
mempelai;
3. Imam Syafi`i
a) Dua orang saksi;
b) Berakal;
c) Baligh;
d) Islam;
e) Mendengar;
f) Adil.
4. Imam Malik
a) Cakap berbuat hukum (berakal sehat dan balig);18
18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid IV (Jakarta: PT. Intermasa, 1997),
1334.
xiii
b) Dua laki-laki;19
c) Merdeka;20
d) Adil (tidak fasiq);
e) Muslim.21
BAB III
PENUTUP
19
Badran Abu al-`Ainan Badran, al-Fiqh al-Muqaranli al-Ahwal al-Syakhsiyyah baina
alMazahibi al-Arba‟ah al-Sunniyyah wa al-Mazhabal-Ja‟fari wa al-Qanun, juz I (Beirut: Dar al-
Nahdlohal-Arabiyyah, t.t.), 24.
20
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1331.
21
Alauddin Abi Bakar, Badai‟al-Sanai‟ fi Tartibi al-Syarai‟, juz III (Beirut: Dar al-
Kutub al- Alamiyyah, 1997), 402.
xiv
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
xv
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid IV. Jakarta: PT. Intermasa,
1997.
Alauddin Abi Bakar. Badai‟al-Sanai‟ fi Tartibi al-Syarai‟, juz III. Beirut: Dar
al-Kutub al- Alamiyyah, 1997.
Badran Abu al-`Ainan Badran. al-Fiqh al-Muqaranli al-Ahwal al-Syakhsiyyah
baina alMazahibi al-Arba‟ah al-Sunniyyah wa al-Mazhabal-Ja‟fari wa al-
Qanun, juz I. Beirut: Dar al-Nahdlohal-Arabiyyah, t.t.
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahan. Semarang: PT. Toha Putra, t.t.
Ibn Rusyd. Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: Ghazali Sa’id A.
Zaidun, Judul Asli: “Bidayatul Al-Mujtahid.” Jakarta: Pustaka Amanah,
1995.
Ibrahim al-Bajuri. Al-Bajuri. Juz ke 1. Bandung: Dahlan, t.t.
Idris Al-Marbawi. Kamus al-Marbawi. Mesir: Mustafa al-Babilal Halaby, t.t.
Louis Ma’luf Al-Yussu’i. Al-Munjid fi al-lughah Wa al-‘Alam. 17. Beirut: Daar
al- Masyriq, 1986.
M. Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
Muhammad Abu Zaharah. al-Ahwal al-Syakhsyiyyah. Mesir: Dar al Fikri, 1957.
Muhammad Ali. Fiqih Munakahat. 5 ed. Metro: Laduny Alifatama, 2022.
Muhammad Ibnu Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Jilid II. Semarang: PT. Toha
Putra Maktabah Wa matba’ah, t.t.
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah, t.t.
Slamet Abidin dan Aminudin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Wahabah al-Zuhaili. Al-Fiqih al-Islam Wa Adilatuhu. Juz ke 7. Beirut: Dar al
Fikri, t.t.
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
t.t.
xvi