Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SAKSI DALAM PERNIKAHAN


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu: Yono, S. H. I., M. H. I

Disusun oleh kelompok 2:

Asmidah 221105011499

Syavina Khairunnisa I. 221105011525

KELAS 3E

FAKUKTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

TAHUN AJARAN 2023/2024


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................... i
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
BAB II........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
A. Pengertian saksi dalam perkawinan ........................................................................... 2
B. Kedudukan saksi dalam perkawinan .......................................................................... 2
C. Pandangan Ulama mengenai kedudukan saksi nikah ............................................... 3
D. Saksi beda agama .......................................................................................................... 4
E. Saksi Perempuan dan menurut pandangan ulama mazhab tentang kesaksian ..... 5
BAB III ...................................................................................................................................... 7
KESIMPULAN .......................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 8

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya
dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu,
manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain
untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah
pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri. Agama Islam juga telah
mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah,
wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari
pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat
tercapai tanpa suatu halangan apapun. Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk
memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi
sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam
nikah sertahal-hal yang berkaitan dengannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian saksi dalam perkawinan?
2. Bagaimana kedudukan saksi dalam perkawinan?
3. Bagaimana pandangan Ulama mengenai kedudukan saksi nikah?
4. Bagaimana jika saksi beda agama?
5. Bagaimana tentang saksi perempuan dan menurut pandangan Ulama Madzhab tentang
kesaksian?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian saksi dalam perkawinan


Saksi menurut bahasa arab yang bersal dari kata ‫ يشهد – شهادة‬- ‫ شهد‬yang berarti berita
pasti.1 Dalam kajian fiqih istilah kesaksian di ambil dari kata ‫ مشاهدة‬yang artinya melihat
dengan mata kepala, karena lafaz ‫( شهد‬orang yang menyaksikan) itu memberitahukan apa
yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa
yang dia ketahui dengan lafaz ‫“ ا شهد‬aku menyaksikan atau akau telah menyaksikannya”.
Pengertian saksi secara bahasa yang dikemukakan beberapa ulama sebagai berikut:
a. Menurut Muhammad Idris Al-Marbawi, saksi adalah orang melihat dengan mata
sendiri”.2
b. W.J.S. Poedarwaminta mengemukakan bahwa saksi adalah sebuah kata benda dalam
bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengatur”.3
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa, saksi menurut bahasa adalah orang yang
hadir menyasikan dan menginformasikan suatu peristiwa yang telah dilihat dengan mata
kepala sendiri. Definisi saksi secara istilah dikemukakan oleh Muhammad Ibnu Ismail Al-
Kahlani dalam kitab subulus salam sebagai berikut:
‫عن غَي ِر ِه‬ َ ‫ش َهادَةِ َوم َؤ ِديَ َها ِِلَنَّه مشَاهِد ِل َما غ‬
َ ‫َاب‬ َّ ‫شاهِد َحامِ ل ال‬
َّ ‫َوال‬

Artinya: Saksi adalah orang yang mempertagungjawabkan kesakasian dan


mengemukakannya, kerena dia menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak
menyaksikannya.
Dari definisi saksi seperti yang dikemukakan diatas, penulis dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saksi menurut istilah adalah orang yang benar-
benar melihat atau mengetahui suatu peristiwa yang orang lain tidak mengetahuinya,
kemudian mempertanggungjawabkan kesaksian tersebut kepada pihak yang berwenang
dengan tujuan untuk menegakkan hak seseorang.
B. Kedudukan saksi dalam perkawinan
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan terdahulu bahwa saksi adalah salah satu hal
yang penting dalam akad nikah. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam
menempatkan posisi saksi dalam nikah, apakah saksi itu sebagai rukun atau syarat dalam
nikah. Imam Malik berprinsip tidak wajib menghadirkan saksi dikala akad nikah di
langsungkan, kehadiran saksi dikala akad nikah tidak di fardukan, Imam Malik tidak
mensyaratkan saksi, beliau mensyaratkan pengumuman. Dari prinsip Imam Malik
tersebut dapat dipahami bahwa saksi bagi Imam Malik tidak diwajibkan, (tidak termasuk
syarat nikah) dan yang disyaratkan adalah pengumuman nikah. Menurut ulama
Hanafiyah, kedudukan saksi dalam akad nikah merupakan unsur yang sangat penting

1
Louis Ma’luf al-yussu’i, al-Munjid fi al-lughah Wa al-‘Alam, Cet Ke-17 (Beirut: Daar al- Masyriq,1986), h.406
2
Idris Al-Marbawi, Kamus al-Marbawi, (Mesir: Mustafa al-Babilal Halaby, t.Th), Juz.ke-1, h. 128
3
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 825

2
bahkan mereka menempatkan saksi sebagai unsur mutlak dalam akad perkawinan. Sebab
menurut golongan Hanafiyah kehadiran saksi merupakan salah satu syarat sahnya suatu
perkawinan. Akibatnya perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi pernikahan
menjadi batal. Akad pernikahan juga sudah semestinya disaksikan oleh dua orang saksi
demi terwujudnya Kepastian hukum serta menghindari Sanggahan dari pihak-pihak yang
berakad di belakang hari (Syarifuddin 2007, 84). Ulama mazhab empat sepakat
bahwasanya wali menjadi syarat sahnya pernikahan, maka tidak sah dua saksi selain wali.
Dengan dalil:

َ ‫ َوشَا ِهدَي‬،ٍّ‫لَ نِكَا َح ِإلَّ بِ َولِي‬


‫عد ٍّل‬
Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil (al-Zuhaili t.th,63). Akan
tetapi dalam literatur lain ditemukan perbedaan sebagai berikut:
a. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menempatkan sksi sebagai rukun dalam
pernikahan.
b. Ulama Hanafiyah menempatkan saksi sebagai syarat (al-Humam 1970 250).
c. Ulama Malikiyyah menurut riwayatnya Ahmad tidak memasukkan saksi dalam
rukun dan syarat (al-Zuhaili t.th,63).
Jika tidak mendatangkan dua saksi maka pernikahannya rusak dengan bentuk tolaq
bain, karena akad pernikahannya adalah akad yang sah. Karena jika tidak mewajibkan
menghadirkan saksi secara Mutlaq akan membuka jalan perzinaan (alJaziri, al-Fiqh ala
Madhahib al-Arba’ah, Vol. 4 2004, 23).
C. Pandangan Ulama mengenai kedudukan saksi nikah
Jumhur ulama terdiri dari ulama Syafi’I, Hanabilah menempatkan kedudukan saksi
dalam pernikahan sebagai rukun dalam pernikawinan. Sedangkan ulama Hanafiyah dan
Zahiriyah menempatkan kedudukan saksi sebagai syarat pernikahan. Menurut ulama
malikiyah tidak ada keharusan mendatangkan saksi dalam waktu akad nikah, yang
diperlukan adalah mengumumkannya namun di syaratkan adanya kesaksian melalui
pengumuman itu sebelum dukhul di lakukan.
Berbeda dengan ulama Syiah Imamiyah, bagi mereka tidak ada keharusan adanya
saksi waktu berlangsungnya akad pernikahan bahkan akad tetap dapat berlangsung tanpa
adanya saksi, keberadaan saksi bagi mereka adalah sunnah. Imam Abu Hanifah, Syafi’I
dan Maliki sepakat bahwa saksi termasuk syarat nikah, akan tetapi mereka berbeda
pendapat apakah itu termasuk syarat kesempurnaan yang hal itu diperintahkan ketika
hendak menggauli istri atau syarat sah yang diperintahkan ketika melakukan akad nikah.
Namun mereka sepakat tidak boleh melakukan pernikahan taanpa ada wali dan dua orang
saksi dalam suatu pernikahan berlandaskan pada hadist Nabi Muhammad SAW:

َ ‫ َوشَا ِهدَي‬،ٍّ‫لَ نِكَا َح ِإلَّ ِب َولِي‬


‫عد ٍّل‬
“pernikahan tidak sah kecuali ada wali dan (dihadiri oleh) dua orang saksi yang adil”
(HR. Ahmad).

3
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang dua saksi yang
pernikahannya di lakukan secara sirri (rahasia). Keberadaan harus menghadiri upacara
pernikahan sehingga akad nikah yang Diucapkan itu benar-benar sah. Kesepakatan para
ulama ini, terutama kalangan Ulama salaf, berdasarkan pada kesahihan hadist diatas.
Syafi’I berpendapat bahwa Hadist di atas munqati tetapi mayoritas ulama hadist
menerimanya, dan Syafi i Sendiri menganggap hadist ini adalah hadist shahih.
Dalam kitab Nail Al-Authaar, Syaukani berpendapat bahwa hadist yang menjadi dasar
dalam menetapkan keharusan akan kehadiran dua orang saksi dalam suatu akad
pernikahan adalah hadist dhai’f, tetapi hadist itu saling menguatkan satu sama lainnya.
Kehadiran saksi menurut Imam Malik pada saat akad nikah, tidak wajib (fardhu),
tetapi cukup dengan pemberitahuan (pengumuman) kepada orang banyak, bahwa akad
nikah tersebut telah berlangsung seperti mengadakan resepsi Perkawinan atau acara lain,
namun Malikiyah tetap mengatakan perlu melakukan pemberitahuan sebelum suami
melakukan dukhul (persetubuhan). Demikian Menurut Imam Malik dengan hadist Nabi
Saw yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Aisyah Kehadiran saksi menurut Imam
Malik pada saat akad nikah, tidak wajib (fardhu), tetapi cukup dengan pemberitahuan
(pengumuman) kepada orang banyak, bahwa akad nikah tersebut telah berlangsung
seperti mengadakan resepsi perkawinan atau acara lain, namun Malikiyah tetap
mengatakan perlu melakukan pemberitahuan sebelum suami melakukan dukhul
(persetubuhan). Demikian menurut Imam Malik dengan hadist Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Aisyah: yang artinya;
“beritahukanlah (siarkanlah) akad nikah itu dan untuknya tabuhlah gendang”
Keberadaan dua orang saksi untuk kelangsungan pernikahan terdapat kandungan
hikmah yang sangat besar bagi kemaslahatan kedua belah pihak dan untuk menciptakan
ketertiban dalam pergaulan hidup sehari hari di masyarakat Luas. Bila terjadi suatu
kecurigaan dan tuduhan yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungan sekitarnya,
bahkan bisa jadi dari aparat keamanan, yang ditujukan kepada sepasang suami yang sah
(tuduhan semacam kumpul kebo) maka keberadaan dua orang saksi sangat menentukan
untuk menjelaskan bahwa mereka Benar-benar telah melangsungkan pernikahan.
D. Saksi beda agama
Secara garis besar perkawinan memiliki 2 peran baik secara horizontal maupun secara
vertikal. Peran perkawinan secara horizontal yaitu menghubungkan tali silaturahmi antara
dua keluarga dengan ikatan perkawinan, dengan tujuan membangun rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmah. Sedangkan peran perkawinan secara vertikal adalah
menjalankan kewajiban seorang hambakepada Allah dalam rangka menyempurnakan
setengah dari agamanya, serta menjalankan sunnah dari nabinya.
Untuk itu, saksi haruslah memiliki kualitas yang dibutuhkan sebagaimana syarat-
syarat yang ada dalam aturan-aturan yang sudah tertulis. Saksi sendiri memiliki 2 fungsi
dalam perkawinan. Yang pertama adalah sebagai perantara yangakan memberitahu
banyak orang bahwa perkawinan antara pihak A dengan pihak B sudah dilaksanakan. Dan
fungsi yang kedua adalah sebagai jaminan perwakilan banyak orang bahwa pernikahan

4
tersebut terlaksana dengan benar dan sah hukumnya. Dalam KHI pasal 14 menyebutkan
bahwasanya “untuk melaksanakan perkawinan harus ada; calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi dan ijab qabul.
Para Ulama tentunya memberikan syarat khusus bagi kedua orang saksi yaitu harus
beragama Islam sebagaimana di tegaskan dalam KHI pasal 25 “yang dapat ditunjuk
menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang laki -laki muslim, adil, berakal, baligh,
tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Berikut adalah beberapa pendapat
dari 4 mazhab tentang syarat-syarat saksi dalam perkawinan, yaitu:
1. Ulama Hanafiyyah; dua orang saksi (terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang
perempuan), berakal, baligh, merdeka, beragama Islam, bisa mendengar.
2. Ulama Malikiyyah tidak mempunyai syarat-syarat apapun tentang saksi.
3. Ulama Syafi’iyyah; dua orang saksi, laki-laki, merdeka, tidak fasiq (buta, tuli,dan
bisu), adil.
4. Ulama Hanbaliyyah; dua orang saksi, laki-laki, berakal, adil, dapat berbicara,
dapat mendengar, selain dari orang tua dan anak.
Pada syarat-syarat yang sudah di tuliskan di atas tidak ada satu pun yang
menyebutkan bahwa saksi boleh di lakukan oleh orang yang agamanya non Islam.
Dikarenakan jika saksi beragama non Islam maka pernikahan yang dilakukan dapat
dikatakan tidak sah.
E. Saksi Perempuan dan menurut pandangan ulama mazhab tentang kesaksian
Saksi merupakan salah satu bagian penting yang harus ada dan hadir dalam majelis
pernikahan. Saksi tersebut bertugas memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-
benar dilakukan oleh kedua pihak yang berakad dan menyatakan dengan tegas sah atau
tidaknya ijab qabul yang diucapkannya.
Adanya saksi dalam perkawinan ini akan dapat dijadikan sebagai alat bukti akan dapat
menghilangkan keraguan dan juga dengan keyakinan masyarakat terhadap telah
berlangsungnya akad nikah, Selama ini saksi nikah umumnya dua orang lelaki. Lantas,
sebenarnya bolehkah perempuan menjadi saksi nikah, ini penjelasan ulama 4 mazhab,
juga hukum di Indonesia. Saksi merupakan salah satu bagian penting yang harus ada dan
hadir dalam majelis pernikahan. Saksi tersebut bertugas memberikan kesaksian bahwa
perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh kedua pihak yang beraqad dan menyatakan
dengan tegas sah atau tidaknya ijab qabul yang diucapkannya.
Menurut ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hambali, salah satu syarat
untuk menjadi saksi nikah adalah harus berjenis kelamin laki-laki. Adapun Perempuan
tidak boleh dan tidak sah untuk menjadi saksi nikah.
Oleh karena itu, jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi nikah, atau satu laki-
laki dan dua perempuan, maka nikah tersebut dinilai tidak sah karena belummemenuhi
syarat persaksian, yaitu zukurah atau semua saksi harus laki-laki.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Azzuhaili dalam kitab al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu berikut;

5
"(Syarat saksi nikah) harus laki-laki. Kebanyakan ulama, selain ulama Hanafiyah,
mengharuskan dua saksi nikah harus terdiri dua orang laki-laki. Karena itu, akad nikah
tidak sah jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi, atau satu laki-laki dan dua
perempuan. Hal ini karena akad nikah sangat penting untuk diperhatikan”.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dua perempuan boleh menjadi saksi nikah asal
masih ada satu saksi laki-laki. Jika yang menjadi saksi nikah adalah satu laki-laki dan dua
perempuan, maka nikah tersebut sudah dinilai sah. Adapun jika semuanya perempuan,
maka tidak sah. Hal ini karena dua perempuan bisa menggantikan satu laki-laki dalam
persaksian, termasuk dalam nikah.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah surah al-Baqarah
ayat 282 berikut;
"Jika tak ada dua orang laki-laki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya."
Dalam kitab al-Ghayah Syarh al-Hidayah disebutkan sebagaimana berikut;
"Nikah kaum Muslim tidak sah kecuali dengan hadirnya dua saksi yang merdeka,
baligh, Muslim, hadirya saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, baik mereka adil atau
tidak”.
Namun demikian, pada implementasinya, kesaksian wanita dalam pernikahan tidak
pernah dijumpai karena Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkannya.

6
BAB III

KESIMPULAN

Mengenai dalil yang dikemukakan oleh beberapa imam mazhab diatas, setelah
didiskusikan pemakalah menyimpulkan bahwa beberapa dalil yang disebutkan oleh ulama
mazhab diataas tidak ada yang bermasalah.
Terjadinya perbedaan penafsiran diatas murni dilandaskan atas berbedanya sudut
pandang yang dimilki oleh para ulama. Namun jika dikaji pendapatnya, maka kesimpulan
yang dapat pemakalah berikan adalah jadi didalam sebuah perkawinan yang merupakan salah
satu bentuk perjanjian yang dibuat oleh manusia, saksi itu mempunyai arti dan peran yang
penting yaitu sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan
tersebut. Juga mencegah pengingkaran dari salah satu pihak.
Saksi nikah selain merupakan rukun nikah juga dimaksudkan untuk mengantisipasi
kemungkinan yang bakal terjadi dikemudian hari, apabila salah satu suami atau istri terlibat
perselisihan dan diajukan perkaranya ke pengadilan, saksi yang menyaksikan dapat
memberikan keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya. Sehingga selain saksi
harus hadir dan menyaksikan sendiri secara langsung ijab qabul tersebut, ia juga dimintai
tanda tangan nya dalam akta nikah pada waktu dan ditempat ijiab qabul tersebut
diselenggarakan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Banjari, S. M. (2005). Kitab Al - Nikah. Banjarmasin: Comdes

Jaziri, A. A. (1929). Al - FIqhu 'Ala Mazahibil 'Arbaah. Mesir: Maktabah Al - Jariyah.

Ludin, A. (2022). Kedudukan Saksi Non Muslim Dalam Perkawinan Menurut Peraturan
Perundang - undangan Di Indonesia. Jurnal Hukum Islam.

Sabiq, S. (t.thn.). Figh Al - Sunnah. Kairo: Fath Al - Alam Al - 'Arabi.

Umar, A. R. (1986). Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Islam. Jakarta: Pustaka Al-
Husna.

Anda mungkin juga menyukai