Anda di halaman 1dari 11

Peran dan Fungsi Saksi dalam Perkawinan

Oleh: Ahmad Muchtar Naseh

1. Pendahuluan

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, rumah
tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam
membina masyarakat.1 Namun, untuk memulai rumah tangga seyogyanya bagi seorang yang
beragama islam untuk melakukan pernikahan terlebih dahulu. Sebab, perkawinan merupakan
suatu acara yang sakral dalam kehidupan manusia.

Di samping itu perlu dibahas sedikit terkait dengan undang-undang perkawinan yang
ada di negara Indonesia tercinta. Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 itu terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal itu dengan
jelas dinyatakan pada Pasal (1) bahwa :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa”.2

Ucapan terhadap kesaksian dalam pernikahan, hal sebagaimana al-Syafii


meriwayatkan hadis dari Hasan dari Nabi Muhammad Saw berkata: ‫ا نكاح إا بوي وشاهدي عدل‬.
Kemudian diuatarakan pula bahwa kesaksian dalam pernikahan itu hukumnya wajib. Akan
tetapi dalam hal ini Daud tidak sepakat dengan apa yang diutarakan oleh al-Syafii bahwa
kesaksian dalam pernikahan itu wajib.3

Ada sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah terkait
dengan status saksi sebagaimana disebutkan dalam kitab Nail al-Author dan Fath al-Aziz yang
berbunyi:

‫ خاطب ووي وشاهدين‬،‫ا نكاح إا بأربعة‬

Artinya: tidak dianggap nikah seseorang tanpa empat perkara; laki-laki yang
meminang wanita, wali, dan dua saksi.4 (HR. al-Baihaqi)

1
Abdu at-Tawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Saw, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet.
I, h. 6
2
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah) , (Jakarta: Penerbit Pedoman
Ilmu jaya, 1993), cet. I, h. 32
3
Al-Mawardi (450 H), Al-Hawi fi Fiqh al-Syafii, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), cet. I, vol. IX, h.
57
4
Abdul Karim al-Rafi’i, Fath al-Aziz fi Syarh al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol. 26, h. 3, Lihat Pula
Muhammad Ali al-Syaukani, Nailu al-Author Syarh Muntaqo al-Akhbar, (Mesir: Maktabah al-Islamiyah, t.t.),
vol. 363, h. 10
2. Pembahasan
a. Pengertian
1) Menurut Bahasa
Saksi merupakan definisi dari kata berbahasa arab yang berbunyi syahid. Dan
lafadz syahid merupakan derivasi dari kata syahadah. Adapun kata syahid menurut
Ali al-Azdi memiliki makna al-Hadir (yang ada)5. Adapun lafadz syahida itu
merupakan wazan ke empat menurut ilmu sharaf yaitu lafadz fa’ila-yaf’alu. Dan
lafadz asli syahida merupakan dari kata syin, ha, dan dal. Ini mengindikasikan
bahwa lafadz tersebut memiliki arti hudur (ada), ilm (mengetahui), dan i’lam
(informasi/memberi tahu). Di samping itu pula, syahadah mengumpulkan dasar-
dasar yang telah disebutkan seperti hudur, ilm, dan i’lam. Dikatakan pula bahwa
lafadz ‫شهد – يشهد – شهادة‬.6
Menurut Ismail bin Hammad al-Jauhari dalam kitabnya Mu’jam al-Shihhah
bahwa lafadz syahida atau syahadah itu memmiliki makna khabarun qathiun
(berita yang pasti). Sebagai contoh; syahida al-Rajulu ‘ala Kaza (seseorang
bersaksi terhadap sesuatu), dikatakan pula syahda al-Rajulu¸ dibaca sukun (mati)
huruf ha’ dari lafadz syahada berarti untuk meringankan bacaan.7

2) Menurut Istilah

Pengertian saksi menurut para ulama:8

Salam Madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut:

‫ا شهادة عبارة عن إخبار صدق ي جلس احكم بلفظ ا شهادة إثبات حق ى الغر‬

Artinya: “Kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di


depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.”
Ibnul Hammam mengemukakan sebagai berikut:

‫إخبار صدق إثبات حق بلفظ ا شهادة ي جلس القضاء‬

Artinya: “Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan


ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.”
Dari beberapa definisi tadi dapat diambil kesimpulan bahwa saksi menurut
istilah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap apa yang ia saksikan, dan
memberitahukan keterangan sebagaimana mestinya.

5
Ali bin Hasan al-Hinai al-Azdy, Mu’jam Al-Munjid fi al-Lughah, (t.t.: t.c., t.t.), h. 91
6
Ibn Faris, Mu’jam Maqoyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), vol. 3, h. 221
7
Ismail bin hammad al-Jauhari, Mu’jam al-Shihhah Qamus ‘Araby ‘Araby, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005),
cet.I, h. 567
8
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet. IV, h. 106
b. Dasar hukum saksi
1) Menurut Al-Quran
Tidak ditemukan nash di dalam al-Quran terkait dengan saksi dalam akad
nikah. Akan tetapi, ditemukan dua nash ayat al-Quran yang mengindikasikan
terkait dengan saksi dalam pernikahan:
a) Akad-akad yang berhubungan dengan harta yang bersifat umum, sebagaimana
firman Allah Swt:

.‫فأشهدوا إذا تبايعتم‬

Artinya: “Maka saksikanlah kalian tatkala kalian saling melakukan jual-


beli”.9

b) Dalam dua keadaan yaitu thalaq dan rujuk, sebagaimana firman Allah Swt:
.‫وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا ا شهادة ه‬
Artinya: “Saksikanlan bagi orang yang memiliki keadilan diantara kalian,
serta tegakkanlah bukti bagi kalian karena Allah Swt.10

Pernyataan disini tidak bermaksud untuk memperdebatkan perkara yang


datang dari dua ayat tersebut. Apakah hukum tersebut merupakan perkara yang
wajib atau perkara yang sunnah? Akan tetapi maksud pernyataan saksi disini
sebagai berikut: peraturan dalam ayat al-Quran yang pertama tadi dijelaskan
bahwa syariat itu termasuk dalam konteks saksi dalam hukum jual-beli yang
bertujuan untuk menjaga hak-hak, dan menjaga dari kerusakan ataupun
kehilangan harta. Dari situlah berawal disyariatkannya saksi dalam akad nikah
–yaitu akad atas barang-barang bukan pada harta- dari penjelasan bab pertama.

2) Menurut Hadis
Sabda Nabi Muhammad Saw:11

‫ أا أخركم خر ا شهداء؟ هو‬:‫عن زيد ابن خا اجهي ري اه عنه أن اني ص اه عليه وسلم قال‬
‫ رواه سلم‬.‫ا ي يأي با شهادة قبل أن يسأها‬

9
Surah al-Baqarah: 282
10
Surah al-Thalaq: 3
11
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet. IV, h. 109
Artinya: “Dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a. bahwasanya Nabi Saw., bersabda:
apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? Ialah orang
yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya.”

‫ ى‬:‫ قال‬،‫ ترى ا شمس؟ قال نعم‬:‫وعن ابن عباس ري اه عنهما أن اني ص اه عليه وسلم قال رجل‬
)‫ (رواه ابيهي واحاكم‬.‫مثلها فاشهد أودع‬

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Nabi Saw., bersabda kepada
orang laki-laki (yang bertanya): engkau lihatlah Matahari? Orang itu menjawab;
Ya. Nabi berkata, seperti itulah, maka jadilah engkau saksi atau tinggalkan (sama
sekali)”.
c. Syarat-syarat saksi

Menurut Sayyid Sabiq di dalam kitabnya fiqh al-sunnah bahwa yang disyaratkan
dalam kesaksian itu adalah sebagai berikut: berakal, baligh, mendengar ucapan kedua
belah pihak yang melaksanakan akad sekaligus memahami maksud dalam akad nikah.12

Untuk diterima kesaksian menjadi saksi, seorang saksi harus memenuhi beberapa
syarat. Dibawah ini akan dikemukakan syarat-syarat saksi:13

1) Islam
Islam adalah syarat untuk dapat diterima kesaksian saksi. Dalam hal ini, imam
Taqiyuddin mengutarakan: “maka saksi tidak dapat diterima dan orang kafir zalim
atau kafir harbi, baik kesaksiannya terhadap muslim maupun terhadap kafir. 14
Di samping itu ada sebuah riwayat:
.‫اتقبل شهادة أهل دين ى غر دين أهلهم إا امسلمون فإنهم عدول ى أنفسهم وى غرهم‬
Artinya: “tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap
mereka yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang islam karena
mereka itu adalah orang-orang yang adil baik terhadap dirinya ataupun orang lain.

2) Baligh
Baligh merupakan syarat untuk diterimanya saksi. Sebagaiman firman Allah
Swt.
‫واستشهدوا شهيدين من رجالكم‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki di
antaramu.”15

12
Sayyid Sabiq (1420 H), Fiqh al-Sunnah, (t.c.: t.t., t.t), vol. II, h. 58
13
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet. IV, h. 111
14
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap ... cet. IV, h. 111
15
Surah al-Baqarah: 282
3) Berakal
Menurut Syeikh Wahbab al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu bahwa tidak sah kesaksian orang gila terhadap pernikahan. Alasannya
adalah tidak terealisasikannya tujuan dari pada kesaksian itu sendiri. Pada dasarnya
tujuan dari kesaksian itu sendiri ada mengumumkan, memantapkan pernikahan
untuk kehidupan masa yang akan datang tatkala terjadi perselisihan dan
pengingkaran.16
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi sebagaimana sabda Nabi Muhammad
Saw:
‫ رفع القلم عن ثاثة‬:‫ أن رسول اه ص اه عليه وسلم قال‬:‫عن اششة وع وغرهما ري اه عنهم‬
.‫ وعن ا صي حى يكر‬،‫ وعن امبت حى يرأ‬،‫عن انائم حى يستيقظ‬
Artinya: “Dari Aisyah, Ali, dan selain dari keduanya semoga Allah meridhoi
mereka. Rasulullah Saw bersabda: diangkatnya pena (bebas dari hukuman) itu
ada tiga perkara, yaitu: orang yang tidur sampai ia sadar, orang yang diuji sampai
dibebaskan, dan anak kecil sampai ia dewasa. 17

4) Adil
Adil menurut imam Imam Syafi’i adalah orang yang shaleh orang yang tidak
fasiq. Prof. Mahmud Yunus mengutip pendapat Ibnu Sam’ani bahwa adil itu harus
mencakupi empat syarat: a. Memelihara perbuatan taat (amal shaleh) dan menjauhi
perbuatan maksiat (dosa), b. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji, c.
Tidak mengerjakan yang halal yang dapat merusakkan muru’ah (kesopanan), tidak
meng’itikadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara’.18
Dalam umumnya pernikahan, Allah menekankan pentingnya keadilan dalam
pengertian al-adl. Sebagaimana firman Allah Swt :
.‫وإن خفتم أا تعد وا فواحدة‬
Artinya: “jikalau kalian takut berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.”19

Pengunaan kata ta- diluu yang berakar kata al-adl berarti makna adil dalam
pernikahan itu bukan dimaknakan sekadar keadilan distribusi, penggiliran isteri
saja. Namun lebih menunjukkan bahwa pernikahan merupakan penyatuan
komitmen kedua mempelai. Yaitu , komitmen untuk menolak
penindasan/eskploitasi dimanapun ia berada. Karena itu sekali lagi, pernikahan
bukan sekadar hubungan antar kedua mempelai. Sebab, komitmen itu bersifat

16
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr, t.t.), vol. IX, h. 6562
17
Al-Mubarakfuri (1353 H), Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, (al-Madinah al-
Munawwaroh: al-Maktabah al-Salafiyah, 1963), cet. II, vol. III, h. 298
18
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. I, h. 52
19
Surah al-Nisa: 3
umum dan berujung pada penagakkan keadilan di kalangan masyarakat secara
luas.02

5) Dapat berbicara
Dalam hal ini, sudah barang tentu seorang saksi harus dapat berbicara.
Kesaksian orang yang tidak bisa berbicara jelaslah yang demikian ini akan dapat
menimbulkan keraguan. Oleh karenanya, apabila tidak bisa berbicara, maka
kesaksiannya tidak dapat diterima, sekalipun ia dapat menggunakan dengan isyarat
dan isyaratnya itu dapat dipahami, kecuali bila ia menuliskan kesaksiannya itu.21

6) Ingatannya Baik
Kesaksian orang yang kemampuan daya ingatnya sudah tidak normal, pelupa,
dan sering tersalah, jelaslah tidak dapat diterima kesaksiannya. Kesaksian orang
yang demikian ini diragukan kebenarannya, sebab akan banyak sekali yang ini yang
mempengaruhi ketelitiannya, baik dalam mengingat maupun dalam menggunakan
kesaksiannya. Oleh karena itu, kesaksiannya tidak dapat diterima.22

7) Bersih dari Tuduhan


Bila terjadi suatu kecurigaan atau tuduhan yang dilakukan oleh orang-orang di
lingkungan sekitarnya, bahkan bisa jadi dari aparat keamanan yang ditujukan
kepada sepasang suami isteri yang sah (tuduhan semacam kumpul kebo) maka
keberadaan dua orang saksi sangat menetukan untuk menjelaskan bahwa meraka
memang benar-benar sudah melangsungkan akad nikah.23

Di samping itu ada syarat-syarat saksi menurut beberapa imam madzhab:24

Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi
adalah:

a. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi


b. Baligh, tidak sah saksi anak-anak
c. Merdeka, bukan hamba sahaya atau budak
d. Islam
e. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak

Imam Hanbali mengutarakan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut:

a. Dua orang laki-laki yang baligh, berakal, dan adil

20
Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001), cet.
II, h. 53-54
21
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet. IV, h. 113-114
22
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap . . . cet. IV, h. 113-114
23
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Penerbit Darussalam,
2004), cet.I, h.58
24
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet.IV, h. 127
b. Keduanya beragama isla, dapat berbicara dan mendengar
c. Keduanya bukan berasal dari satu keturunan kedua mempelai

Imam al-Syafi’i menegaskan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut ini:

a. Dua orang saksi


b. Berakal
c. Baligh
d. Islam
e. Mendengar
f. Adil

Abu Hanifah, Syafii dan Malik telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat nikah. Dan
mereka berbeda dalam hal apakah saksi dalam pernikahan itu termasuk syarat sempurna yang
diperintahkan ketika memasuki pernikahan atau sebagai syarat sah yang diperintahkan ketika
akad? Dan mereka bersepakat bahwa saksi tidak diperbolehkan dalam nikah sir (secara diam-
diam). Mereka berbeda pendapat tatkala dua saksi itu telah bersaksi dan berwasiat dengan
cara menyimpan rahasia, ketika itu terjadi maka problematikanya adalah apakah
persaksiannya itu dikategorikan sebagai rahasia (secara diam-diam) atau tidak?Imam Malik
berargumen, sasksi tersebut itu rahasia dan merusak. Akan tetapi Abu Hanifah dan al-Syafii
mengatakan itu bukan rahasia.25

Sebab berbedanya mereka adalah apakah saksi itu merupakan bagian dari hukum
syariat atau hanya sebagai tujuan untuk menutupi perantara (saddu al-Dzariah) perbedaan atau
pengingkaran? Adapun orang yang beranggapan bahwa saksi merupakan hukum syariat maka
konsekuensinya adalah saksi merupakan bagian dari syarat sah pernikahan. Kemudian jikalau
ada orang yang yakin terhadap hukum syariat maka konsekuensinya pula adalah saksi
merupakan bagian dari syarat sempurna.

Adapun dasar dalam konteks ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas yang
berbunyi:

.‫ ا نكاح إا بشاهدي عدل ووي رشد‬:‫روى عن ابن عباس‬

Artinya: “Nikah itu dianggap sah ataupun sempurna sebab adanya dua saksi yang adil
dan wali yang baik.”26
Tidak ada perselisihan hadis tersebut dikalangan sahabat. Kebanyakan manusia
berpandangan bahwa kasus ini masuk dalam bab Ijma’ (kesepakatan) padahal pandangan
tersebut lemah. Hadis ini telah diriwayatkan secara marfu’ menurut al-Daruquthni. Telah
disebutkan pula menurut al-Daruquthni bahwa sanadnya ada perawi yang tidak diketahui
(majahil), Abu Hanifah mengokohkan pernikahan dengan dua saksi yang fasiq, karena ia
berargumentasi bahwa yang dimaksud dengan saksi (syahadah) itu dengan pengumuman

25
Ibn Rusyd al-Qurthuby, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, (Mesir; Maktabah al-Bab al-Halby,
1950 M), cet. II, h. 17
26
Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Baari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t,) vol. 89, h. 447
(i’lan) saja. Al-Syafii berpandangan bahwa saksi mengandung dua definisi; yaitu pengumuman
(I’lan) dan penerimaan (qobul). Untuk itu adil harus ada di dalam i’lan dan qobul. Imam Malik
tidak memasukkan pengumuman (i’lan) bagi saksi tatkala dua saksi berwasiat untuk
menyimpan rahasia (kitman).

Adapun sebab-sebab perbedaan para ulama apakah status hukum saksi itu terjadi
tatkala nama itu disembunyikan atau tidak?adapun dasar dalam syarat mengumumkan itu
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Tirmizi, al-Baihaqi dalam sunannya
yang berbunyi:

‫َ م َ َ َ قَالَ م‬ َُ َ‫َ م‬ َ
َ ‫اأنم‬ ُ ‫يَ مب ُن َميم‬ َ َََ‫َ ََ َ ُ م ُ َ ُ َ َ م‬ َ ‫َحد َثنَا أَ م‬
َ ‫ْ ُد مب ُن‬
‫اس ِم ب م ِن ُم مد عن اشِشة‬
ِ ‫ارى ع ِن الق‬
ِ ‫ص‬ ‫ون‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ع‬ ِ ‫ا‬‫ن‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫أ‬ ‫ون‬ ‫ار‬‫ه‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫يد‬‫ز‬ِ ‫ي‬ ‫ا‬‫ن‬ ‫ث‬ ‫د‬ ‫ح‬ ‫يع‬
‫م‬ ‫ن‬
ِ ‫م‬
ُ ‫م‬ ََ ُ ‫َ م‬ َ َ ‫م‬ ُ ُ َ ‫م‬ َ َ َ َ ُ ‫م‬ َ ُ َُ َ َ
.» ‫وف‬
ِ ‫اْبوا علي ِه بِا ف‬ َ ِ
ِ ‫اج ِد و‬ِ ‫ « أع ِلنوا هذا انَح واجعلوه ِِ ا مس‬-‫ص اه عليه وسلم‬- ‫اه‬ ِ ‫قال رسول‬

Artinya: “telah diceritakan kepada kami dari Ahmad bin Mani’, dari Yazid bin Burhan,
dari Isa bin Maimun al-Anshari, dari Qosim bin Muhammad, dari Aisyah ra berkata;
Rasulullah Saw bersabda: “umumkanlah oleh kalian nikah ini, jadikanlah nikah tersebut dalam
masjid, serta ramaikanlah pernikahan tersebut dengan gendang.” (HR. Al-Tirmizi, Ibn Majah,
dan Al-Baihaqi).27
Di samping itu ada alasan lain sebagaimana Al-Syafii beralasan untuk mensyaratkan
laki-laki dalam kesaksian pernikahan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: ‫انكاح إابوي‬
‫وشاهدي عدل‬. Menurut ia, lafadz syahidain itu terjadi bagi laki-laki. Adapun al-Hanafi menjawab
tentang hal ini bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan bagi saksi dalam
pernikahan. Menurut al-Hanafi lafadz syahidain itu mengindikasikan kemutlakan saksi
(general term), sekaligus memutuskan pandangan tentang menyifati laki-laki ataupun
perempuan. Perlu diketahui bahwa kesaksian merupakan bagian karomah, dan orang fasik itu
merupakan bagian dari kehinaan. Menurut pengarang kitab tuhfah al-Ahwadzi bahwa yang
jelas itu ungkapan al-Syafii.28

Berbeda dengan halnya saksi bagi orang yang tidak bisa melihat (buta), diperbolehkan
saksi orang yang buta menurut al-Qosim bin Muhammad, al-hasan, Ibn Sirin, Zuhri, dan
Atho’. Menurut al-Sya’bi bahwa persaksian orang buta itu diperbolehkan dengan syarat orang
tersebut harus berakal.29

Kemudian adalah bagaimana pemahaman terkait dengan saksi dalam konteks yang
berbeda. Apakah terlaksana kesaksian pekerja barang-barang yang memiliki aib seperti tukang
bekam, penjagal, tukang sapu, dan selainnya dalam pernikahan?ada dua jawaban terkait

27
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.t.), vol. IV, h. 373, lihat pula al-
Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), vol. XXXVII, h. 156, Ibn
Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol. VI, h. 90
28
Abu al-‘ala al-Mubarakfuri, Tuhfatul al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, (al-Madinah al-Munawwaroh:
al-Maktabah al-Salafiyah, 1963), vol.VII, h. 237
29
Ibn Baththal al-Qurtubi, Syarh Ibn Baththal, (Saudi: Maktabh al-Rusyd, 2003), vol. 15, h. 34
dengan hal tersebut. Kemudian apakah boleh diterima kesaksian mereka dalam semua hak?
Kedua penjelasan ini akan diuraikan menurut bidangnya masing-masing.

Jikalau terlaksana akad nikah melalui kesaksian kedua anak salah satu pasangan kedua
mempelai, atau kesaksian seorang anaknya saja, atau kesaksian musuh salah satu pasangan
pengantin maka sah nikahnya. Alasannya adalah karena tetap atau stabilnya pernikahan
melalui kesaksian keduanya, yaitu tatkala anak-anak bersaksi terhadap kedua orang tuanya,
“orang yang tidak baik (kezaliman)” bersaksi terhadap kedua musuhnya. Sesungguhnya akad
nikah melalui kesaksian kedua anak suami istri, atau satu anak laki-laki dari pria ataupun
perempuan, atau kakek dari pihak laki-laki atau perempuan, atau musuh bagi kedua pasangan
tersebut maka dalam kaitan ini ada dua pandangan terkait problem tersebut; pertama, tetap
terlaksana karena keduanya merupakan penghuni saksi dalam pernikahan secara garis besar.
Kedua, tidak terlaksana dengan alasan tidak tetap kesaksian keduanya sebab satu keadaaan
dari beberapa keadaan, menurut kelompok orang-orang Khurasan.30

d. Fungsi saksi
Ada beberapa fungsi saksi menurut Tihami dan Sohari Sahrani sebagai
berikut:31
1) Membantu hakim dalam menundukkan dan memutuskan perkara
2) Mendorong terwujudnya sifat jujur
3) Untuk menegakkan keadilan
4) Saksi sebagai salah satu alat bukti.

e. Hikmah saksi
Hikmah disyaratkannya saksi dalam pernikahan itu untuk menjelaskan penting
dan urgennya saksi dalam pernikahan, jelasnya keberadaan saksi diantara manusia
untuk menolak keraguan dan tuduhan dari pernikahan itu sendiri. Di samping
kesaksian dalam perkawinan itu untuk membedakan antara yang halal dan haram,
keadaan halal itu jelas, dan keadaan haram itu tertutup biasanya. Melalui kesaksian,
akan menjadi nyata kepercaan terhadap urusan perkawinan dan kehati-hatian dalam
menetapkan perkawinan tatkala dibutuhkan.32

3. Penutup

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa saksi merupakan unsur yang
sangat penting dalam acara yang sangat sakral yaitu pernikahan. Meskipun terdapat perbedaan
dikalangan ulama terhadap status saksi. Ada beberapa alasan yang harus dipenuhi dan
diselesaikan baik secara internal saksi tersebut (bersifat fisik dan non fisik), eksternal
(lingkungan, dan lain-lain).

30
al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), vol. 16, h. 201
31
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2004), cet.IV, h. 115-121
32
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr, t t.), cet. XII, vol. IX, h. 6561
Menurut Sayyid Sabiq di dalam kitabnya fiqh al-sunnah bahwa syarat saksi sebagai
berikut: berakal, baligh, mendengar ucapan kedua belah pihak yang melaksanakan akad
sekaligus memahami maksud dalam akad nikah.

Untuk diterima kesaksian menjadi saksi, seorang saksi harus memenuhi beberapa syarat.
Dibawah ini akan dikemukakan syarat-syarat saksi: islam, baligh, berakal, adil, dapat
berbicara, ingatannya baik, dan bersih dari tuduhan.

Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi
adalah berakal yaitu orang gila tidak sah menjadi saksi, baligh atau tidak sah saksi anak-anak,
merdeka yaitu bukan hamba sahaya atau budak, islam, keduanya mendengar ucapan ijab dan
kabul dari kedua belah pihak.

Imam Hanbali mengutarakan syarat saksi sebagai berikut; Pertama, dua orang laki-laki
yang baligh, berakal, dan adil. Kedua, dua orang tersebut beragama islam, dapat berbicara dan
mendengar. Ketiga, kedua orang saksi bukan berasal dari satu keturunan kedua mempelai.

Imam al-Syafi’i menegaskan akan syarat saksi yaitu dua orang saksi, berakal, baligh,
islam, mendengar, adil.

Ada beberapa fungsi saksi menurut Tihami dan Sohari Sahrani sebagai berikut membantu
hakim dalam menundukkan dan memutuskan perkara, mendorong terwujudnya sifat jujur,
untuk menegakkan keadilan, dan saksi sebagai salah satu alat bukti.

Demikianlah makalah ini telah kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat untuk
penulis dan pembaca semua. Masukan dan kritik yang membangun sangat disarankan sekali
agar dapat menambah ilmu, wawasan dan khazanah kita semua. Amin,,

DAFTAR PUSTAKA

al-Quran al-Karim
al-Asqallani, Ibn Hajar, Fath al-Baari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, vol.
89, t.t.
al-Azdy, Ali bin Hasan al-Hinai, Mu’jam Al-Munjid fi al-Lughah, t.t.: t.c., t.t.
al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, vol.
XXXVII, 1994
al-Jauhari, Ismail bin hammad, Mu’jam al-Shihhah Qamus ‘Araby ‘Araby, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, cet.I, 2005
al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqh al-Syafii, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. I, vol. IX,
1994

al-Mubarakfuri, Abu al-‘ala, Tuhfatul al-Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, al-Madinah


al-Munawwaroh: al-Maktabah al-Salafiyah, vol.VII, 1963
al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Beirut: Dar al-Fikr, vol. 16, t.t.
al-Qurtubi, Ibn Baththal Syarh Ibn Baththal, Saudi: Maktabh al-Rusyd, vol. 15, 2003
al-Rafi’i, Abdul Karim, Fath al-Aziz fi Syarh al-Wajiz, Beirut: Dar al-Fikr, vol. XXVI,
t.t.
al-Syaukani, Muhammad Ali, Nailu al-Author Syarh Muntaqo al-Akhbar, Mesir:
Maktabah al-Islamiyah, vol. X, t.t.
al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, vol. IV, t.t.
al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syiria: Dar al-Fikr, cet. XII, vol.
IX, t t.
Asmawi, Mohammad Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Penerbit Darussalam, cet.I, 2004
Bakry, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), Jakarta:
Penerbit Pedoman Ilmu jaya, cet. I, 1993
Djaya, Ashad Kusuma, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, Yogyakarta: Kreasi
Wacana, cet. II, 2001
Faris, Ibn, Mu’jam Maqoyis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, vol. 3, 1979
Haikal, Abdu at-Tawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah Saw, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, cet. I, 1993
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I,
1995
Majah, Ibn Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, vol. VI, t.t.
Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Mesir; Maktabah al-Bab al-
Halby, cet. II, 1950
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, t.c.: t.t., vol. II, t.t.
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, cet. IV, 2004

Anda mungkin juga menyukai