Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata hubungan kontrak atau
keperdataan biasa akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah, sehingga perlu diatur
dengan persyaratan dan rukun tertentu yang harus dipenuhi agar tujuan
disyariatkannya pernikahan dapat tercapai. Dalam sebuah pernikahan, hadirnya
dua orang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi. Karena aqad nikah adalah
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang saksi.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi
berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits:

ِ ‫الَ نِ َكاح ِإالَ بويِل و ش‬


‫اه َد ْي َع ْد ٍل‬ َ َ ٍّ َ َ

“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang
adil’.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari saksi pernikahan ?
2. Apa dasar hukum dalam saksi pernikahan ?
3. Apa syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan ?
4. Apa hikmah adanya saksi dalam pernikahan ?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Saksi Nikah


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg melihat
atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam peraturan
perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian
saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.
Sedangkan dalam pengertiannya Saksi nikah adalah orang yang
menyaksikan secara langsung akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah
paham dari orang lain. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera
secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana
muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.
Dalam rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:

       


         
            
 

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka


dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar.” (QS. At-Thalaq:2)
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada
peristiwa rujuk yakni ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak
suami ingin kembali kepada istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan
pernikahan tersebut dengan cara membiarkan masa tenggang itu berlalu atau
habis.
Dalam hal ini Allah SWT menyuruh dua orang saksi yang adil. Seperti
kita ketahui cerai dan rujuk adalah masalah hukum ikatan akibat adanya hukum
perkawinan, namun Allah SWT tidak menyuruh kita menghadirkan saksi dalam
perkawinan melalui firmannya. Imam Abu Hanifah,Syafi’i, dan Maliki
mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat
apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang
3

dituntut. Sebelum pasangan suami istri “bercampur” (berhubungan seks) atau


syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah
dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang
pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk
menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta
untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi’I dan Abu Hanifah menilainya
sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian
membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis
mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau
semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan
pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-
MujtahidDalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan
yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang
tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan
seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang
disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar
hukum Islam Syafi’i dan Abu Hanifah.
Namun dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian
dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat
mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan
setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan
hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak
bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran. Selain ada
wali, nikah juga memerlukan dua orang saksi. Wali menikahkan (mengijabkan)
dan saksi menyaksikan pernikahan itu.

B. Dasar Hukum Saksi Nikah


Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah
itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli
yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli
sebagaimana tersebut didalam Al-Qur’an bukan merupakan bagian dari syarat-
syarat yang wajib dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Qur’an
tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu,
tentu lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu
syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas
keturunan. Mempersaksikan ini boleh dilakukan setelah ijab-kabul untuk
menghindari perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab-kabul tidak
4

dihadiri para saksi, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka
nikahnya batal. Perhatikan sabda Rasulullah SAW:
‫ البخا يا الال تى ينكحن انفسهن‬:‫عن ابن عبا س ان رسول اهلل عليه صلى اهلل عليه وسلم قال‬
) ‫خبري بينة ( رواه الرتمذى‬
Dari ibnu Abbas r.a. katanya, “Rasulullah SAW.bersabda, “ pelacur yaitu
perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.” (H.R. Tirmidzi)
Juga hadits lain yang menceritakan dari Aisyah:
ِ ‫الَ نِ َكاح ِإالَ بويِل و ش‬
‫اه َد ْي َع ْد ٍل‬ َ َ ٍّ َ َ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” (H.R.
Daruqutni).
Sabda Rasulullah SAW:
)‫ال نكا ح اال بو يل و شا هد ى عدل(رواه امحد‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil.” (HR. Ahmad ).
Sebuah pernikahan tidak syah bila tidak disaksikan oleh saksi yang
memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas
diharamkan dalam islam. Dalilnya secara syarih disebutkan oleh khalifah umar.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra.ditanya
tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan
seorang wanita. Maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirr, aku tidak
membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.” (HR. Malik Al-
Muwqaththo).
Rasulullah SAW bersabda:
‫اميا امراة نكحت خبري اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل هبا فلها املهرˏ وان‬
‫اشتجروا فالسلطان ويل من ال ويل له‬
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi
yang ‘adil, maka pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah
mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar untuknya. Dan bila mereka
berselisih, maka sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”

C. Syarat-syarat Saksi Nikah


Mirip dengan syarat sebagai wali, untuk bisa dijadikan sebagai saksi,
maka seseorang harus memiliki kriteria antara lain:
1. ‘Adalah
Ini adalah syarat yang mutlaq dalam sebuah persaksian pernikahan.
Sebab dalilnya menyebutkan bahwa saksi itu harus adil sebagaimana teks
hadits. Yang dimaksud ‘Adalah (adil) adalah orang yang bebas dari dosa-
dosa besar seperti zina,syirik, durhaka kepada orang tua, minum khamar dan
5

sejenisnya. Selain itu seorang yang adil adalah orang yang menjauhi
perbuatan dosa-dosa kecil secara ghalibnya. Termasuk orang yang makan
riba (rentenir) dan yang sering bertransaksi dengan akad-akad ribawi,
dianggap tidak adil dan tentunya tidak syah sebagai seorang saksi.
2. Minimal dua orang
Jumlah ini adalah minimal yang harus ada. Bila hanya ada satu orang,
maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang syah. Sebab
demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 orang saksi yang
adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi
lebih banyak, sebab nilai ‘adalah dimasa sekarang ini sudah sangat kecil dan
berkurang.
3. Beragama Islam
Kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya kafir
atau dua-duanya, maka akad itu tidak syah.
4. Berakal
5. Sudah Baligh
6. Merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak,
hukumnya sah sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-
masalah lain, karena dalam alquran maupun hadits tidak ada keterangan
yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta
amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
7. Laki-laki
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak syah. Bahkan meski
dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan,
kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan
dua wanita. Golongan Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-
laki. aqad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata:
“Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan
persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq. Aqad nikah
bukanlahsatu perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk
kebendaan, dan biasanya yang menghindari adalah kaum laki-laki. karena itu
tidak sah aqad nikah dengan saksi dua orang perempuan, seperti halnya
dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang
perempuan”. Namun madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah
wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi laki-laki seperti yang
disebutkan dalam Al-Qur’an:
6

...... jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya..... (Q.S. al-baqarah: 282).

D. Saksi-saksi Menurut Ulama’ Fuqaha’


1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dengan keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah
adalah orang yang harus menyaksikan akad pernikahan secara langsung,
sesuai dengan KHI pasal 26 yang berbunyi: “saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah
pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan”, bahkan saksi termasuk
rukun yang harus dilaksanakan dalam sebuah pernikahan.
Adapun syarat-syaratnya ialah :
a. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki.
b. Muslim
c. Baligh
d. Berakal
e. Melihat dan mendengar
Jadi jelas bahwa dalam hal ini imam syafi’i mengharuskan adanya saksi
dalam setiap akad pernikahan, karena tanpa adanya saksi maka pernikahan
aitu tidak sah. sesuai dengan dalil syara’ yang disebutkan oleh khalifah
Umar ra. Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra. Ditanya
tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan
seorang wanita. Maka beliau berkata: “ini adalah nikah sirri, aku tidak
membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.”
(riwayat Malik dalam Al-Mutawatho’).
Dalam hadits ini dikatakan bahwa nikah sirri (nikah tanpa saksi) adalah
haram dan tidak boleh dilakukan, maka kalau seorang melakukan akad nikah
tanpa ada dua orang saksi, maka pernikahannya tidak sah.
Selain syarat saksi diatas juga menurut Imam Syafi’i banyak sekali hikmah
dengan adanya saksi dalam akad nikah diantaranya: untuk kemaslahatan
kedua belah pihakdan masyarakat, untuk menjaga kesalahpahaman dan lain
sebagainya. Misalnya salah seorang ada yang mengingkari, hal itu dapat
dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga apabila terjadi kecurigaan
masyarakat maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap
Adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri.

2. Imam Hanafi dan Imam Hanbali


7

Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat
sama bahwa saksi dalam nikah adalah termasuk pada rukun sebagaimana
yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i dan menurut KHI pasal 24 ayat 1 yang
berbunyi : “saksi dalam perkawinan merupakan pelaksanaan akad nikah.”
Akan tetapi menurut mereka boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan, dengan dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:

“....jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya...”
Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil.
Kecuali orang tuli, orang yang sedang tidur dan mabuk. Jadi pada dasarnya
pernikahan barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi
termasuk pada nikah sirri sebagaimana yang sudah dikemukakan diatas.

3. Imam Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan
pendapat Malik bin Anas tentang kedudukan saksi dalam akad nikah,
terlebih dahulu kita simak sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi
perkawinan, yang artinya: “Dari Imran bin Huseein,dari Nabi SAW. Beliau
pernah bersabda:’Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua orang
saksi yang adil’. Penuturan Ahmad bin Hambal dalam riwayat anaknya
Abdullah.”
Kedudukan hadits tersebut menurut at-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh al-
Daruquthni dan al-Baihaqi adalah hadits hasan, karena dalam isnadnya ada
perawi yang dikategorikan matruk yaitu Abdullah bin Mahrus. Demikian
juga Malik menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi’. Imam Malik
dan ulama hadits lainnya dalam meneliti hadits yang mengungkapkan
imperative adanya saksi dalam perkawinan menggunakan pendekatan
pembahasan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena
kalimat nafiy “laa ilaaha” dalam hadits diatas menunjukkan makna
kesempurnaan (lil itmam) bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam
Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan
adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dho’if.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya
saksi dalam perkawinan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya
dimasudkan sad al-Dzari’ah. Dan menurut saksi tidak wajib dalam akad
nikah, tetapi perkawinan tersebut dii’lankan sebelum dukhul dan saksi
bukanlah syarat sah perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik,
yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya: “Diterima dari
8

Imam Malik ibn al-Mundzir, dia berkata “sesungguhnya Nabi SAW. Telah
membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi.” (HR.
Al-Bukhari).

E. Saksi Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Setelah KHI membahas ketentuan wali dalam pernikahan, KHI beranjak
pada permasalahan saksi nikah yang mana ia sebagai salah satu dari rukun nikah
seperti yang telah diterangkan. Dalam hal ini, pasal 24 KHI menyatakan:
Pasal 24
1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Ketentuan pasal 24 ini adalah ketetapan yang disepakati madzhab syafi’i
menegaskan bahwa sebuah pernikahan bisa sah apabila disaksikan oleh dua
orang yang adil.
Ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibn Hibban didalam kitab
shahihnya:
‫ وماكان من نكاح على‬,‫ ال نكاح اال بويل وشا هدي عدل‬: ‫عن عا ئشة رضي اهلل تعاىل عنها‬
‫ فا ن تشاحوا فالسلطان ويل من ال ويل له‬,‫غري ذلك فهو باطل‬.
Komplikasi Hukum Islam meneruskan ketentuan bagi saksi nikah
dengan pasal 25 sebagai berikut:
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-
laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Ketentuan pasal 25 ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Hanya
saja, menurut pendapat yang lebih sahih, seorang saksi harus juga tidak tuna
netra (tidak buta). Ini dapat dilihat di dalam kitab al-Iqna’ yang mengatakan:
‫ومما تركه من شروط الشاهدين السمع والبصر والضبط‬.
Secara spesifik kitab tersebut menentukan penglihatan sebagai salah satu
syarat. Akan tetapi, ternyata KHI telah meninggalkan ketentuan tidak tuna netra
(boleh seorang tuna netra menjadi saksi nikah) karena berpengangan pada
pendapat ‫ مقا بل اآل صح‬dalam madzhab Syafi’i, dan pendapat mayoritas ulama.
Alasan pendapat ini adalah sebuah kesaksian orang yang tuna netra bisa sah
apabila ia mendengar kata-kata kedua orang yang berakad, dan dapat
membedakan suara keduanya yang tidak memiliki keraguan sama sekali, karena
tuna netra adalah orang yang cakap sebagai saksi.
Kesaksian didalam pernikahan adalah berdasarkan ucapan (bukan
penglihatan seperti tindak pidana). Maka kesaksiannya tetap sah sebagaimana
kesaksian di dalam muamalah.
9

Ketentuan terakhir bagi saksi nikah yang diatur oleh KHI adalah pasal 26
sebagai berikut:
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
mendatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung
akad nikah dapatlah difahami dan memang sudah ditetapkan di dalam madzhab
Syafi’i. Akan tetapi, ketentuan pasal 26 yang menyebutkan “serta mendatangani
akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan” perlu unntuk
dibahas lebih dalam menurut tinjauan fiqih.
Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan
karena selain termasuk pada salah satu rukun nikah juga mejadi syarat sahnya
pernikahan. Akan tetapi, mengenai rukun dan syarat saksi itu sendiri bahkan
mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi.
Dalam pasal 17 (1) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa :
“sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.”
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 11 (2) telah menyatakan bahwa :
“Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
ditandatangi pula oleh wali Nikah atau yang mewakilinya”.

F. Aspek-aspek Filosofis Kedudukan Saksi Dalam Pernikahan


1. Hikmah Adanya Saksi Nikah Dalam Pernikahan
Perkawinan adalah merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibuat
oleh manusia, walaupun begitu akad nikah bukanlah suatu perjanjian
kebendaan bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan. Saksi mempunyai arti
penting yaitu sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan
perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak.
Bahkan dalam pengertian akad nikah, keberadaan saksi juga disebutkan
bahwa akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul
yang diucapkan oleh mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua orang
saksi.
Saksi nikah selain merupakan rukun nikah juda dimaksudkan untuk
mengantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi dikemudian hari, apabila
salah satu suami atau istri rerlibat perselisihan dan diajukan perkaranya ke
pengadilan, saksi yang menyaksikan dapat memberi keterangan sehubungan
dengan pemeriksaan perkaranya. Sehingga selain saksi harus hadir dan
10

menyaksikan sendiri secara langsung ijab qabul tersebut, ia juga dimintai


tandatangannya dalam akta nikah pada waktu dan di tempat ijab qabul
tersebut diselenggarakan.
Fungsi lain kehadiran saksi dalam akad nikah menurut abu hanifah
adalah informasi (I’lan) telah dilangsungkannya sebuah akad nikah.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan abu dawud “Umumkan akad nikah
kalian dan tabuhlah rebana (HR Abu Dawud)
Adapun perlunya saksi dalam pernikahan antara lain dengan alasan
sebagi berikut:
a. untuk memelihara kehormatan hubungan suami istri dari tuduhan
kecurigaan pihak yang berwajib dan masyarakat.
b. untuk memperkuat ikatan pernikahan dan keturunannya.

2. Nikah Siri Dan Kaitannya Dengan Saksi Nikah


Perihal nikah sirri berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a. Umar yang
terperanjat tatkala diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak
dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Lantas Umar berkata yang artinya ” Ini kawin gelap (sirri) dan aku tidak
membenarkan dan andaikata saat itu aku hadir tentu akan kurajam (HR
Malik). Pengertian kawin siri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh
adanya kasus perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi
laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum
terpenuhi. Kalau jumlah saksi belum lengkap, meskipun sudah ada yang
datang, maka perkawinan semacam ini menurut Umar dipandang sebagai
nikah sirri.
Para ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan
Syafi`i berpendapat bahwa nikah siri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus
difasakh (batal). Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para saksi dipesan
oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan,
ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu
pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak
sahnya perkawinan adalah pengumuman.
Keberadaan saksi selain merupakan unsur pelengkap juga merupakan
unsur vital dalam menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Maka
perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan
yang tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi`i, dan Ibnu
Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah. Abu Hanifah
dan Syafi`i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah siri karena fungsi
saksi itu sendiri adalah pengumuman. Karena itu kalau sudah disaksikan
tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu
11

melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan


meskipun minta dirahasiakan. Sebab, menurutnya, tidak ada lagi rahasia
kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian
bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa
fungsi saksi adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya
perkawinan.
Sedangkan dalam prakteknya di masyarakat indonesia, kawin sirri adalah
perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan di
depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau dicatat di KUA. Padahal
mencatatkan perkawinan sangat penting, terutama untuk mendapatkan hak-
hak ketika terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan itu sendiri.
Bila ada yang menyebut Islam tak mengatur pencatatan untuk
perkawinan, hal itu tak benar. Harus dipahami pula bahwa perhatian Islam
sangat besar. Bahkan pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli pun
dilakukan. Apa lagi menyangkut soal perkawinan. “Bila untuk urusan
muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan (QS al-Baqarah; 282),
apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan
melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan pengasuhan anak dan hak
waris.
Namun ironisnya, di dalam masyarakat kini, walaupun Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah diberlakukan, praktik
perkawinan (sirri) yang melanggar undang-undang ini terus saja
berlangsung. Bahkan ada kecenderungan dalam masyarakat Islam, kawin siri
dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama. Dalam
perkembangannya, kawin siri dipandang sebagai perkawinan yang sah
menurut agama. Bahkan, modin atau kyai sebagai pelaksananya yang
mengukuhkan perkawinan sirri.
Dalam pandangan Islam, perkawinan sirri dilaksanakan sekedar untuk
memenuhi ketentuan mutlak sebagai sahnya akad nikah yang ditandai
dengan adanya Calon pengantin laki-laki dan perempuan, Wali pengantin
perempuan, dua orang saksi, Ijab dan Qobul. Keempat hal tersebut
merupakan syarat sebagai rukun atau syarat wajib nikah. Umumnya, dalam
sebuah perkawinan yang lazim, selain itu juga terdapat sunah nikah yang
perlu dilakukan sebagai, di antaranya khutbah nikah, pengumuman
perkawinan dengan penyelenggaraan walimah/perayaan menyebutkan mahar
atau mas kawin. Jika demikian, maka dalam proses kawin siri yang
dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja. Sementara sunah nikah
tak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang
disebut waliyah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui
12

pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Keadaan


demikian disebut dengan sunyi atau rahasia atau siri.
Perkawinan yang tanpa dicatatkan oleh PPN maka menurut syariat tetap
sah karena pencatatan tersebut hanyalah syarat administratif saja sehingga
menurut negara mempunyai hukum yang kuat, karena standar sah ditentukan
oleh norma agama, namun tentu saja pernikahan tersebut mempunyai efek
negatif terutama mengenai kepastian dan kekuatan hukum pernikahan itu
sendiri.
Dari penjelasan diatas, kiranya dimasukkannya dua orang saksi menjadi
rukun nikah oleh ulama itu bertujuan untuk memperkuat status pernikahan
dan status seseorang supaya jangan diabaikan. Pendapat inilah yang banyak
dipergunakan oleh masyarakat Indonesia yang sudah berjalan lama dan
pengawasan pelaksanaannya di Indonesia dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Tatkala produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan
untuk kemaslahatan rakyat, maka produk itu menjadi produk syariat juga.
Adanya kaidah yang menyatakan: “keputusan pemerintah mengikat dan
menghilangkan perselisihan” serta kaidah “keputusan pemerintah terhadap
rakyatnya ditetapkan untuk kemaslahatan“.

BAB III
KESIMPULAN
13

Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan.
Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah
walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan
syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad
nikah itu termasuk rukun pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet. 1999. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV. Pustaka Setia.


14

Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitab Al Fiqh Ala Al-Mazahib Al Arba’ah, Maktabah Al


Tijariyah Kubra, Juz 4.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Ghazali, Abd Rahman. Fiqh Munakahat.Bogor:Kencana,2003.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, Semarang, Usaha Keluarga, tth.


Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Fathul Qarib, Daarul Fikri, Surabaya, tth.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, Kurnia Esa, Jakarta, 1985. Rifa’I,Moh. Ilmu Fiqih
Islam Lengkap. Semarang:Toha Putra,1978.

Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 1998.

Syarif At-Thubani,Muhammad. Mabadi’ Al Fiqhiyyah, Juz 4, PT. At-Ta’lim, Kediri,


tth.
Sabiq,Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Juz 6, Kairo, Maktabah Al-Adab, tth.
Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al-Malibary, Isryadul Ibad, terjemah oleh; H. Mahrus Ali,
Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
Sabiq,Sayyid.Fikih Sunnah 6.Bandung:Alma’arif,1980.Cetakan Pertama.

Rusyd,Ibnu.Biddayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Jilid 2.Bandung: Trigenda


Karya,1996

Anda mungkin juga menyukai