BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam Islam tidaklah semata-mata hubungan kontrak atau
keperdataan biasa akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah, sehingga perlu diatur
dengan persyaratan dan rukun tertentu yang harus dipenuhi agar tujuan
disyariatkannya pernikahan dapat tercapai. Dalam sebuah pernikahan, hadirnya
dua orang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi. Karena aqad nikah adalah
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang saksi.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi
berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits:
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang
adil’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari saksi pernikahan ?
2. Apa dasar hukum dalam saksi pernikahan ?
3. Apa syarat-syarat menjadi saksi dalam pernikahan ?
4. Apa hikmah adanya saksi dalam pernikahan ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
dihadiri para saksi, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka
nikahnya batal. Perhatikan sabda Rasulullah SAW:
البخا يا الال تى ينكحن انفسهن:عن ابن عبا س ان رسول اهلل عليه صلى اهلل عليه وسلم قال
) خبري بينة ( رواه الرتمذى
Dari ibnu Abbas r.a. katanya, “Rasulullah SAW.bersabda, “ pelacur yaitu
perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.” (H.R. Tirmidzi)
Juga hadits lain yang menceritakan dari Aisyah:
ِ الَ نِ َكاح ِإالَ بويِل و ش
اه َد ْي َع ْد ٍل َ َ ٍّ َ َ
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” (H.R.
Daruqutni).
Sabda Rasulullah SAW:
)ال نكا ح اال بو يل و شا هد ى عدل(رواه امحد
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil.” (HR. Ahmad ).
Sebuah pernikahan tidak syah bila tidak disaksikan oleh saksi yang
memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas
diharamkan dalam islam. Dalilnya secara syarih disebutkan oleh khalifah umar.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra.ditanya
tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan
seorang wanita. Maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirr, aku tidak
membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.” (HR. Malik Al-
Muwqaththo).
Rasulullah SAW bersabda:
اميا امراة نكحت خبري اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل هبا فلها املهرˏ وان
اشتجروا فالسلطان ويل من ال ويل له
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi
yang ‘adil, maka pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah
mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar untuknya. Dan bila mereka
berselisih, maka sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”
sejenisnya. Selain itu seorang yang adil adalah orang yang menjauhi
perbuatan dosa-dosa kecil secara ghalibnya. Termasuk orang yang makan
riba (rentenir) dan yang sering bertransaksi dengan akad-akad ribawi,
dianggap tidak adil dan tentunya tidak syah sebagai seorang saksi.
2. Minimal dua orang
Jumlah ini adalah minimal yang harus ada. Bila hanya ada satu orang,
maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang syah. Sebab
demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 orang saksi yang
adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi
lebih banyak, sebab nilai ‘adalah dimasa sekarang ini sudah sangat kecil dan
berkurang.
3. Beragama Islam
Kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya kafir
atau dua-duanya, maka akad itu tidak syah.
4. Berakal
5. Sudah Baligh
6. Merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak,
hukumnya sah sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-
masalah lain, karena dalam alquran maupun hadits tidak ada keterangan
yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta
amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
7. Laki-laki
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak syah. Bahkan meski
dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan,
kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan
dua wanita. Golongan Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-
laki. aqad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata:
“Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan
persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq. Aqad nikah
bukanlahsatu perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk
kebendaan, dan biasanya yang menghindari adalah kaum laki-laki. karena itu
tidak sah aqad nikah dengan saksi dua orang perempuan, seperti halnya
dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang
perempuan”. Namun madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah
wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi laki-laki seperti yang
disebutkan dalam Al-Qur’an:
6
...... jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya..... (Q.S. al-baqarah: 282).
Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat
sama bahwa saksi dalam nikah adalah termasuk pada rukun sebagaimana
yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i dan menurut KHI pasal 24 ayat 1 yang
berbunyi : “saksi dalam perkawinan merupakan pelaksanaan akad nikah.”
Akan tetapi menurut mereka boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan, dengan dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
“....jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya...”
Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil.
Kecuali orang tuli, orang yang sedang tidur dan mabuk. Jadi pada dasarnya
pernikahan barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi
termasuk pada nikah sirri sebagaimana yang sudah dikemukakan diatas.
3. Imam Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan
pendapat Malik bin Anas tentang kedudukan saksi dalam akad nikah,
terlebih dahulu kita simak sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi
perkawinan, yang artinya: “Dari Imran bin Huseein,dari Nabi SAW. Beliau
pernah bersabda:’Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua orang
saksi yang adil’. Penuturan Ahmad bin Hambal dalam riwayat anaknya
Abdullah.”
Kedudukan hadits tersebut menurut at-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh al-
Daruquthni dan al-Baihaqi adalah hadits hasan, karena dalam isnadnya ada
perawi yang dikategorikan matruk yaitu Abdullah bin Mahrus. Demikian
juga Malik menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi’. Imam Malik
dan ulama hadits lainnya dalam meneliti hadits yang mengungkapkan
imperative adanya saksi dalam perkawinan menggunakan pendekatan
pembahasan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena
kalimat nafiy “laa ilaaha” dalam hadits diatas menunjukkan makna
kesempurnaan (lil itmam) bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam
Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan
adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dho’if.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya
saksi dalam perkawinan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya
dimasudkan sad al-Dzari’ah. Dan menurut saksi tidak wajib dalam akad
nikah, tetapi perkawinan tersebut dii’lankan sebelum dukhul dan saksi
bukanlah syarat sah perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik,
yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih, diantaranya: “Diterima dari
8
Imam Malik ibn al-Mundzir, dia berkata “sesungguhnya Nabi SAW. Telah
membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi.” (HR.
Al-Bukhari).
Ketentuan terakhir bagi saksi nikah yang diatur oleh KHI adalah pasal 26
sebagai berikut:
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
mendatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung
akad nikah dapatlah difahami dan memang sudah ditetapkan di dalam madzhab
Syafi’i. Akan tetapi, ketentuan pasal 26 yang menyebutkan “serta mendatangani
akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan” perlu unntuk
dibahas lebih dalam menurut tinjauan fiqih.
Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan
karena selain termasuk pada salah satu rukun nikah juga mejadi syarat sahnya
pernikahan. Akan tetapi, mengenai rukun dan syarat saksi itu sendiri bahkan
mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi.
Dalam pasal 17 (1) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa :
“sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.”
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 11 (2) telah menyatakan bahwa :
“Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
ditandatangi pula oleh wali Nikah atau yang mewakilinya”.
BAB III
KESIMPULAN
13
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan.
Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah
walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan
syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad
nikah itu termasuk rukun pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 1998.