Anda di halaman 1dari 25

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Arifah Mefi Balushi


Bimo Adinugroho
Ervina Kalinda
Fadhil Wafi
Farhan Nurtiansyah
Rara Dewi Larasati
Rizka Aulia
Rizki Akbar
Tasya Nurulita Fatimah

Saksi

Dalam Pernikahan

Saksi?
Orang yang mempertanggungjawabkan
kesaksiannya dan mengemukakannya,
karena dia menyaksikan sesuatu
(peristiwa) yang lain tidak
menyaksikannya

Saksi dalam
Pernikahan?
Orang yang menyaksikan secara langsung
akad pernikahan supaya tidak
menimbulkan salah paham dari orang
lain.

Sah
Tidak
Pernikahan
Jika tidak ada saksi dalam
pernikahan tersebut. (madzhab
Hanafi, Syafii, dan Hanbali)

Syarat Saksi dalam Pernikahan


1. Berakal
2.Baligh
Orang gila tidak dapatAnak-anak tidak dapat
dijadikan saksi.
menjadi saksi, walaupun
sudah mumaiyyis
(menjelang baligh),
karena kesaksiannya
menerima dan
menghormati pernikahan
itu belum pantas. Kedua
syarat tersebut diatas
dispakati oleh fukaha dan
kedua syarat itu dapat
dijadikan satu, yaitu
kedua saksi harus
mukallaf.

3.Mendengar dan
Memahami Ucapan Ijab
Qabul
Saksi harus mendengar dan
memahami ucapan ijab
qabul, antara wali dan calon
pengantin laki-laki.
Tujuannya agar jika terjadi
kesalahan dalam
pengucapan, itu bisa
diperbaiki

Syarat Saksi dalam Pernikahan


4.Laki-laki
Laki-laki merupakan
persyaratan saksi dalam
akad nikah. Seorang banci
juga tidak boleh menjadi
saksi dalam pernikahan

5.Bilangan Jumlah Saksi


Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang
termasyur: kesaksian seorang wanita
saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat
lainnya mengatakan: kesaksian
dengan dua orang wanita dapat
diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian
perempuan, kecuali empat orang.

Syarat Saksi dalam Pernikahan


6. Adil
Saksi harus orang
yang adil walaupun
kita hanya dapat
melihat lahiriyah nya
saja. Demikian
pendapat para jumhur
ulama. Selain
hanafiyah. saksi juga
harus orang yang
tidak fasik.

7. Islam
Dua orang saksi itu harus
muslim, menurut
kesepakatan para ulama.
Namun menurut
Hanafiyah, ahli kitab pun
boleh menjadi saksi
seperti kasus, seorang
muslim kawin dengan
wanita kitabiyah.

8. Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi
harus orang yang dapat
melihat. Sedangkan jumhur
ulama, dapat menerima
kesaksian orang yang buta
asal dia dapat mendengar
dengan baik ijab qabul itu
dan dapat membedakan
suaa wali dan calon
pengantin laki-laki.

Syarat Saksi dalam Pernikahan


Salah satu dari 2 orang saksi bukan satu-satunya wali
pengantin wanita. Contohnya, ayah yang akan
menikahkan anak perempuannya menyuruh orang lain
untuk mewakili akad ijabnya sehingga si ayah tidak
boleh menjadi saksi dalam pernikahan tersebut.
Jika pengantin wanita memiliki beberapa saudara pria,
salah satu dari saudaranya tersebut bisa menjadi wali,
sedangkan saudaranya yang lain menjadi saksi.

Dasar Hukum


:
( )
Dari ibnu Abbas r.a. katanya, Rasulullah
SAW.bersabda, pelacur yaitu perempuanperempuan yang mengawinkan dirinya tanpa
saksi. (H.R. Tirmidzi)




Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali
dan dua orang saksi. (H.R. Daruqutni).

( )
Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua
orang saksi adil. (HR. Ahmad ).



Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari
walinya dan dua orang saksi yang adil, maka
pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah
mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar
untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan
adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai
wali.

Saksi Nikah Menurut Ulama


Fuqaha

Imam Syafii

Imam Syafii dengan keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah adalah orang yang harus
menyaksikan akad pernikahan secara langsung, sesuai dengan KHI pasal 26 yang berbunyi: saksi
harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada
waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan, bahkan saksi termasuk rukun yang harus dilaksanakan
dalam sebuah pernikahan.
Adapun syarat-syaratnya ialah:
a.

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki.

b.

Muslim.

c.

Baligh.

d.

Berakal.

e.

Melihat dan mendengar.

Selain syarat saksi diatas juga menurut Imam Syafii banyak sekali hikmah dengan adanya saksi
dalam akad nikah diantaranya: untuk kemaslahatan kedua belah pihakdan masyarakat, untuk
menjaga kesalahpahaman dan lain sebagainya.

Saksi Nikah Menurut Ulama


Fuqaha

Imam Hanafi dan


Imam Hambali

Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat sama bahwa
saksi dalam nikah adalah termasuk pada rukun sebagaimana yang diungkapkan oleh
Imam Syafii dan menurut KHI pasal 24 ayat 1 yang berbunyi : saksi dalam
perkawinan merupakan pelaksanaan akad nikah. Akan tetapi menurut mereka boleh
juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dengan dalil Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 282:
....jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya...
Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil. Kecuali
orang tuli, orang yang sedang tidur dan mabuk. Jadi pada dasarnya pernikahan
barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi termasuk pada nikah
sirri sebagaimana yang sudah dikemukakan diatas.

Saksi Nikah Menurut Ulama


Fuqaha

Imam Maliki

Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi
perkawinan, yang artinya: Dari Imran bin Huseein,dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda:Tidak sah
perkawinan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Penuturan Ahmad bin Hambal dalam
riwayat anaknya Abdullah.
Malik menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi. Imam Malik dan ulama hadits lainnya
dalam

meneliti

hadits

yang

mengungkapkan

imperative

adanya

saksi

dalam

perkawinan

menggunakan pendekatan pembahasan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah,
karena kalimat nafiy laa ilaaha dalam hadits diatas menunjukkan makna kesempurnaan (lil itmam)
bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits
yang mengemukakan adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dhoif.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya saksi dalam perkawinan
bukan merupakan dalil qathiy, tapi hanya dimasudkan sad al-Dzariah. Dan menurut saksi tidak wajib
dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut diilankan sebelumdukhul dan saksi bukanlah syarat
sah perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih shahih,
diantaranya: Diterima dari Imam Malik ibn al-Mundzir, dia berkata sesungguhnya Nabi SAW. Telah
membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya tanpa adanya saksi. (HR. Al-Bukhari).

Saksi Nikah Menurut


Kompilasi Hukum
Islam (KHI)

Pasal 24
1.

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

2.

Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil,
baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Ketentuan pasal 25 ini juga
merupakan pendapat madzhab Syafii. Hanya saja, menurut pendapat yang lebih sahih, seorang saksi
harus juga tidak tuna netra (tidak buta). Kesaksian didalam pernikahan adalah berdasarkan ucapan
(bukan penglihatan seperti tindak pidana). Maka kesaksiannya tetap sah sebagaimana kesaksian di
dalam muamalah.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta mendatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan karena selain termasuk pada
salah satu rukun nikah juga mejadi syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi, mengenai rukun dan
syarat saksi itu sendiri bahkan mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi.

Saksi dalam Nikah Sirri

Perihal nikah sirri berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a. Umar yang terperanjat tatkala diberitahu
bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Lantas Umar berkata yang artinya Ini kawin gelap (sirri) dan aku tidak membenarkan dan
andaikata saat itu aku hadir tentu akan kurajam (HR Malik). Pengertian kawin siri dalam persepsi Umar
tersebut didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi lakilaki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi. Kalau jumlah saksi belum
lengkap, meskipun sudah ada yang datang, maka perkawinan semacam ini menurut Umar dipandang
sebagai nikah sirri.
Para ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi`i berpendapat bahwa nikah
siri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal). Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para
saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar
berbeda pendapat. Abu Hanifah dan Syafi`i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah siri karena fungsi
saksi itu sendiri adalah pengumuman. Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman
khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan
meskipun minta dirahasiakan. Sebab, menurutnya, tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang.
Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama
sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya perkawinan.

Sedangkan dalam prakteknya di masyarakat indonesia, kawin sirri adalah perkawinan yang tidak
disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau dicatat di
KUA. Padahal mencatatkan perkawinan sangat penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak ketika terjadi
hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan itu sendiri.
Namun ironisnya, di dalam masyarakat kini, walaupun Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan sudah diberlakukan, praktik perkawinan (sirri) yang melanggar undang-undang ini terus saja
berlangsung. Bahkan ada kecenderungan dalam masyarakat Islam, kawin siri dipandang sebagai perkawinan
yang sah menurut agama. Dalam perkembangannya, kawin siri dipandang sebagai perkawinan yang sah
menurut agama. Bahkan, modin atau kyai sebagai pelaksananya yang mengukuhkan perkawinan sirri.
Perkawinan yang tanpa dicatatkan oleh PPN maka menurut syariat tetap sah karena pencatatan
tersebut hanyalah syarat administratif saja sehingga menurut negara mempunyai hukum yang kuat, karena
standar sah ditentukan oleh norma agama, namun tentu saja pernikahan tersebut mempunyai efek negatif
terutama mengenai kepastian dan kekuatan hukum pernikahan itu sendiri.
Dari penjelasan tersebut, kiranya dimasukkannya dua orang saksi menjadi rukun nikah oleh ulama itu
bertujuan untuk memperkuat status pernikahan dan status seseorang supaya jangan diabaikan. Pendapat
inilah yang banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia yang sudah berjalan lama dan pengawasan
pelaksanaannya di Indonesia dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

THANKS
!
Any questions?

Anda mungkin juga menyukai