Anda di halaman 1dari 17

Presentasi ke-3

NIKAH SIRRI & NIKAH MUTAH :


Definisi, Dalil, Hukum & Implikasinya

Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA


TARIF NIKAH SIRRI
Kata Sirri berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya,
rahasia (secret marriage). Menurut terminologi fiqh Maliki,
Nikah sirri, ialah: Nikah yang atas pesan suami, para saksi
merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya, sekalipun
keluarga setempat
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan
bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan
tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.
Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini
bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri yakni nikah yang
dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait
dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua
mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan
akad tersebut kepada orang lain.
NIKAH SIRRI MENURUT FIQH
Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua:
Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali
dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi.
Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati
untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan
seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil.
Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan
saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifh (perzinaan) atau ittikhdzul-
akhdn (menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas
nafsu).




Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang

mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya [al- Nis`/4:25].
Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun
yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi,
mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan
pernikahan ini dari telinga masyarakat. Jumhur ulama memandang
pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu
perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka
sudah bukan rahasia lagi. Dilarang, karena adanya perintah Rasul Saw
untuk walimah dan menghilangkan unsur yang berpotensi mengundang
keragu-raguan dan tuduhan tidak benar. Sedangkan kalangan ulama
Malikiyah menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena
maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah
TERMINOLOGI NIKAH SIRRI DI INDONESIA
Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah sirri ada
beberapa versi:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam),
namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan
negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak
perempuan.
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun
secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak
disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim
Indonesia yaitu pernikahan yang sah namun tidak didaftarkan
ke KUA. Dalam konteks ini terminologi yang tepat adalah
Nikah Sirri = Zawaj Urfi = Nikah dibawah tangan.
ZAWAJ URFI
Disebut nikah urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat
dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak
masa Nabi Saw dan para sahabat, dimana mereka tidak perlu
untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan
dalam hati mereka.
Nikah urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan
pernikahan resmi yang sulit digugat.
Faktor-faktor pendorong nikah urfi:
a. Problem Poligami.
b. Undang-undang usia.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap.
d. Faktor Harta/Mahar yang tinggi.
e. Faktor Agama. Sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk
memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat
dalam suatu pernikahan resmi.
EFEK NIKAH SIRRI
Diantara efek pernikahan sirri bagi anak & istri:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila
ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri,
hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat,
tidak bisa di pengadilan agama.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mtsqan
ghaldha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status,
seperti akta kelahiran. Sebab untuk memperoleh akta kelahiran,
disyaratkan adanya akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal,
seperti tunjangan jasa raharja. Apabila suami sebagai PNS,
maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan
dan tunjangan pensiun suami
6. Anak & istri terancam tidak mendapat hak waris,
karena tidak ada bukti administrasi pernikahan.
MANFAAT PENCATATAN (AKTA) NIKAH
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak
berupa nasab, nafkah, warisan dsb. Catatan resmi ini merupakan
bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tsb.
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya
ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara
mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi
dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada.
Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang
bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih
berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan
merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan
yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat
dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa
saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku
telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk
menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan
hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
DALIL PELARANGAN NIKAH SIRRI
Apabila pemerintah memandang adanya undang-undang
keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah
undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya. QS. al-Nisa: 59






Kaidah fiqh:

Pencatatan perkawinan menjadi suatu keharusan yang
dilakukan karena membawa kemaslahatan yang lebih besar
bagi umat Islam. Ada kaidah fiqh
(menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan). Ulama
ushul fiqh mengklaim bahwa apabila ada aturan hukum yang
dibuat manusia nyata maslahatnya dan tidak bertentangan
dengan nash, ia dapat disebut bagian dari hukum itu sendiri.
KESIMPULAN HUKUM NIKAH SIRRI
Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang
dan tidak sah menurut hukum Islam, karena ada unsur sirri
(dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran
Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat
mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan
keluarganya. Nikah sirri juga tidak sah menurut hukum
positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum
munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan
pencatatan nikahnya oleh KUA.
Nikah dibawah tangan hukumnya sah menurut hukum Islam
sepanjang tidak motif sirri, karena telah memenuhi
ketentuan syariah yang benar. Nikah dibawah tangan tidak
sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi
peraturan UU yang berlaku dalam hukum perkawinan.
Nikah urfi banyak mengandung persoalan (mafsadat/
mudharat). Sehingga dalam perspektif syariat,
nikah urfi, walau sah secara fiqh, tetapi perlu
dihindari.
NIKAH MUTAH
Mutah identik dengan kata tamattu yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Secara istilah, mutah berarti seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam
waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah
atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya
jika meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mutah itu.
Nikah Mutah disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu`aqqat).
Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mutah karena laki-lakinya
bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam
nikah mutah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya
mahar yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik
dan eksplisit.
Tujuan nikah mutah adalah kenikmatan seksual (istimta), sehingga
berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-
nasl). Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-
hari (nafaqah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia
lakukan dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu,
pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk
mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual.
HUKUM NIKAH MUTAH
Pada awal perjalanan Islam, nikah mutah memang dihalalkan,






Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri
lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami
melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita
dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu
Abdullah membacakan ayat tsb. (HR. BukhariMuslim).
Hadits dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Akwa berkata: Pernah
kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasul Saw



Telah diizinkan bagi kalian nikah mutah maka sekarang mutahlah.
Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan
Rasul Saw untuk menikah mutah. Para ulama berselisih
pendapat kapan diharamkannya nikah mutah tersebut.
Pendapat yang lebih rajih bahwa nikah mutah
diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
HUKUM NIKAH MUTAH
al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:











yang benar dalam masalah nikah mutah ini adalah bahwa pernah
dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni
dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan
ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika
fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu
diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah
mutah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh
dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa
sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa
peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah.
Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan
(rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
HUKUM NIKAH MUTAH
Ada pendapat yang membolehkan nikah mutah ini berdasarkan
fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah
direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri.


:

) (! : .


.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabiin bahwa nikah mutah
hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat
Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas
membolehkan nikah mutah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika
dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan
tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merevisi pendapatnya tersebut.
Ia berkata: inna lillahi wainna ilaihi rajiun, demi Allah saya tidak memfatwakan
seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan.
Saya tidak menghalalkan nikah mutah kecuali ketika dalam keadaan dharurat,
sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan
dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi dalam keadaan dharurat. Nikah
Pandangan Kaum Syiah (Itsna Asyariyah )
Dasar legitimasi kaum Syiah terhadap nikah muthah adalah al-
Quran surat an-Nisa ayat 24:
Dalam Tarikh al-Fiqh al-Jafari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah
bertanya kepada Ibn Abbas tentang nikah muthah, Ibn Abbas
menerangkan, nikah itu diperbolehkan, menurut Ibn Abbas,
lengkapnya ayat itu adalah (terdapat tambahan ) :
) (

Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas Ibn Masud, Ubay
Ibn Kaab, dan Said Ibn Zubair.
Kaum Syiah berpendirian bahwa praktek nikah muthah terdapat
pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode
Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah muthah
dilarang.
TUJUAN NIKAH
Syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi
para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak
dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para
wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri,
juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik
(muasyarah bil maruf), dan ketika suami meninggal ia juga
dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah
mutah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu,
sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan
sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam
nikah mutah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai
hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah
mutah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran
Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah
mutah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh
karenanya nikah mutah ini dilarang oleh Islam.
DALIL HARAMNYA NIKAH MUTAH
pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat
kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sbb.

:




:








) )

Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa r.a. berkata: Rasulullah
s.a.w. memperbolehkan nikah mutah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika
ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya














)
)
Diriwayatkan dari Rabi bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w.
bersabda: wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
nikah mutah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari
Nikah Misyar
Nikah Misyar banyak ditemui di beberapa negara di Timur
Tengah, seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Makna
kawin misyar adalah lewat dan tidak lama-lama bermukim.
Biasanya terjadi pada istri kedua atau seterusnya, dimana
seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah
atau bersama laki-laki di rumahnya. Tujuan kawin jenis ini
agar suami terbebas dari kewajiban menafkahi istri serta
memberinya tempat tinggal seperti halnya terhadap istri
pertama.
Kawin misyar terkadang tidak tercatat (seperti urfi), dan
terkadang tercatat dengan disertai bukti. Biasanya pihak
wanita ber-tanazul (keringanan tidak menuntut sebagian
haknya) terutama menyangkut materi, kecuali dalam nafkah
batin.

Anda mungkin juga menyukai