Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam pernikahan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad nikah. Kedudukan seorang wali dalam pernikahan adalah suatu yang mesti ada
ditempat berlangsungnya pernikahan tersebut, jika tidak, maka tidak sahlah suatu pernikahan
tersebut. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara
prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Melihat kedudukan yang demikian,
prosesnya tentu agak rumit dan ketat, berbeda dengan akad jual beli atau muamalah lainnya,
akad nikah hanya dianggap sah jika dihadiri mempelai laki laki, mempelai perempuan, seorang
wali, serta dua orang saksi yang adil.1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Hadis beserta terjemahnya
2. Derajat hadis
3. Kandungan hukum dalam riwayat hadis ini
4. Analisis kontemporer terhadap hadis ini
C. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memberikan pemahaman
kepada teman-teman atau pembaca tentang hadis dan terjemahannya, derajat hadis, kandungan
hukum, serta analisis kontemporer terhadap Hadis Bulughul Maram no. 903.
BAB II
1
Sahal Mahfudz, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: Ampel Suci, 2013), h. 235.
PEMBAHASAN
Artinya: Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu’anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” Riwayat Ahmad dan Imam
empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian
menilainya hadits mursal.
Makna Mufrodat
Kecuali : ِإاَّل
2. Derajat Hadis
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits,
pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits
tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang
menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya
setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda,
demikian…”).
3. Kandungan Hukum
a) Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah
suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah.
Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Mazhab Maliki dan Hanbali yang berpendapat bahwa wali merupakan salah satu dari rukun
nikah mengatakan bahwa nikah tidak sah tanpa hadirnya wali. Akan tetapi dari pihak Malikiyah
ada yang mengatakan bahwa wali bukan termasuk rukun akan tetapi merupakan syarat, karena
ada sebelum aqad terjadi.2
Sedangkan Hanafiyah yang berpendapat bahwa wali bukan merupakan rukun nikah
menyatakan bahwa wanita yang sudah pandai boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya
wali. Akan tetapi jika perempuan tersebut bodoh, maka harus dinikahkan oleh walinya. Batasan
2
Abul Abas, Khasiyah Showi ala AS Shoghir, juz 3, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 2001), h. 321; Ad-Dasuki, Khasiyah
Dasuki ala Sharhi al-Kabir, juz 2, (Beirut : Dar al-Fikr, 2001), h. 470; Muhammad bin Muflih, al-Furu’ juz 4,
(Beirut: Alimul Kutub, 1999), h. 78.
pandai di sini tidak membedakan perawan maupun janda.3 Hanafi memberikan hak sepenuhnya
kepada perempuan mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain,
dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah pernikahan.
Pertimbangan yang rasional dan logis inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya
wali nikah bagi wanitayang hendak menikah.4
b) Pentingnya wali bagi perempuan dalam akad nikah selain karena merupakan perintah
agama, juga disebabkan karena perempuan adalah makhluk mulia yang memiliki beberapa hak
dan telah disyariatkan oleh Tuhan serta mempunyai satu kedudukan yang dapat menjaga
martabat, kemanusiaan, dan kesuciannya serta merupakan wujud cinta kasih seorang ayah atau
keluarganya kepada anak perempuannya yang akan membina rumah tangga.
c) ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa
manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan
musyawarah terlebih dahulu.
Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada
yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan
akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya.
Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan
juga pendapat Jumhur ulama.
e) Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga
tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat
masih ada.
4. Fenomena Kontemporer
1. Bagaimana perwalian kawin lari?
Jawab: Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan saat ini adalah maraknya pernikahan
kawin lari sebagai jalan pintas di mana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari
3
Zainuddin bin Ibrahim, Bahrur Raiq Sarh Kanzud daqaiq, juz 6, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), h. 357.
4
Mohd, Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),h.218220.
5
Abdurahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1986),
Cet. 1, h.48.
kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih
memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu
bahkan kepada orang ‘yang diangkat’-nya sendiri sebagai walinya,
Menurut hukum islam, perkawinan dianggap sah jika memenuhi beberapa syarat dan rukun
perkawinan. Salah satu dari rukun pernikahan adalah adanya wali. Dalam ketentuan perwalian
menurut hukum islam yang lebih berhak menikahkan wanita adalah wali nasabnya, dan
mendahulukan orang yang lebih dekat hubungannya kepada wanita tersebut. Seperti ayah, kakek,
dan jika tidak ada baru beralih ketangan saudara kandung. Dan jika mereka tidak ada juga, baru
berpindah ketangan yang lain sesuai dengan urutan yang lain.
https://media.neliti.com/media/publications/154194-ID-none.pdf
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moh. Abdul Shomad. (2015) “Nikah Tanpa Wali Dalam Perspektif Fikih Munakahah”
Ahkam, Volume 3, Nomer 1.