Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FIKIH MUNAKAHAT KONTEMPORER

“Trend Mahar Unik di Era Kontemporer Menurut Hukum Islam”

Dosen Pengampu:
Shafra, M.Ag

Disusun Oleh:

Lukmanul Hakim : (1119035)

PRODI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

1444 H / 2023 M
PEMBAHASAN

Masalah Kehadiran Islam yang dibawa Baginda Nabi Muhammad Saw.


adalah agama yang membawa keadilan, perdamaian dan kebaikan. Kehadirannya
membawa nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Asas-asasnya mengandung
nilai universal, sempurna, elastis dan dinamis, sistematis dan bersifat ta’abbudi
dan ta’aqquli. Kesemua asas-asas ini menjadi pedoman bagi umat Islam
dimanapun berada.1 Salah satu yang diatur oleh asas Islam adalah tentang hukum
perkawinan, yang didalamnya membahas banyak aturannya secara terperinci,
diantaranya adalah tentang mahar yang telah dibahas oleh banyak para ulama
kelasik dan kontemporer. Di Negara Indonesia dalam hukum terkait mahar telah
diatur Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 30 yang menyatakan bahwa “Calon
mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah,bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. 2Mengenai jenis
mahar yang diberikan juga terjadi perbedaan pendapat. Ulama mayoritas
berpendapat bahwa mahar dapat berupa uang, jasa, atau apapun yang dapat
bermanfaat untuk masa depan.

Diskursus tentang mahar oleh para pakar tafsir juga telah banyak di
lakukan. Namun, khazanah konsep mahar tampak masih belum diungkap secara
paripurna terutama terkait ukuran minimum jumlah mahar dalam ranah
kontekstual di Indonesia sekarang. Eksistensi mahar dalam perkawinan menjadi
perdebatan unik di kalangan ulama fiqh, baik ulama klasik maupun kontemporer.
Perdebatan mereka tidak lain karena perbedaan landasan yang dipakai dalam
berijtihad terlebih dalam penentuan batas minimum pemberian mahar. Terlepas
dari itu, saat ini mahar nampaknya menjadi sebuah kewajaran atau bahkan ada
asumsi yang menganggap mahar adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan
untuk memenuhi keinginan wanita. Dan memang wanita pun juga berhak

1
Abdul Qodir Zaelani, “Konsep Ta’aqquli dan Ta’abbudi Dalam Konteks Hukum Keluarga Islam”
(Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol 6 2014), h 2
2
Pasal 30, Kompilasi Hukum Islam
menentukan jumlah mahar yang diinginkan sekaligus seorang wanita juga berhak
memberikan prasyarat selain mahar agar ia dapat dinikahi. Dan orang lain tidak
boleh menjamah mahar tersebut apalagi mempergunakannya meskipun suaminya
sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.3

Sebetulnya problematika mahar di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari


suatu pemahaman bahwa Islam sebenarnya ingin meluruskan konsep mahar agar
tidak sama dengan konsep mahar pada waktu pra Islam dahulu kala yang
dianggap melecehkan perempuan. Pemahaman terhadap mahar yang disepakati
sebagai kepemilikan ini bisa dicermati dari pandangan, misalnya, Mazhab Hanafî
yang membolehkan akad pernikahan menggunakan lafal al-tamlik (kepemilikan),
al-hibah (penyerahan), dan al-bay’ (penjualan). sebagai sebuah kesan dan
anggapan bahwa mahar sebagai pembelian terhadap perempuan. Bahkan lebih
ekstrim lagi menurut Imam Syafi’i bahwa apa saja yang membolehkan, baik
dengan harga, jual beli atau sewa menyewa maka kebolehan tersebut juga berlaku
bagi wanita dalam urusan mahar ini. 4 Kalau hasil konsepsinya dipahami dengan
demikian, maka bagaimana dalam tataran empiris, hal ini tentu saja bisa menjadi
alasan suami untuk kemudian bisa berbuat sesuka hati terhadap isteri

Selain itu di dalam KHI juga diatur tentang mahar misil, mahar yang hilang
juga tentang mahar cacat, berikut penjelasannya:

1. Mahar Misil
Mahar misil yaitu mahar yang belum ditentukan/disebutkan dalam
akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya, namun suami
terlanjur meninggal dunia. Di antara sebab adanya mahar misil ini
sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut: “Dari Ibnu Mas’ud r.a.,
bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang
perempuan. Laki-laki tersebut belum menentukan mahar juga belum
3
Abdurrahman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana 2006), h. 65
4
Mahmud Matrahi, Mukhtasar al-Muzni ‘ala al-Um, Cet. 1, Juz 9 (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah,
1994), h. 192
menyetubuhinya dan tiba-tiba meninggal dunia. Ibnu Mas’ud
menjawab:”Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sama (mahar
misil) dengan mahar isteri lainnya, tanpa harus menjalani masa iddah dan
dia mendapatkan harta warisan.” Lantas Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i
berdiri sambil berkata:”Rasulullah saw., telah memberi keputusan hukum
mengenai Barwa’ binti Wasyiq, salah seorang dari kaum kami seperti yang
egkau putuskan.” Mendengar itu, Ibnu Mas’ud merasa senang.” (HR. Abu
Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ahmad).
2. Mahar yang Hilang
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti
dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang
lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga
barang mahar yang hilang.5 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai
jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke
Pengadilan Agama.6
3. Mahar Cacat
Dalam Pasal 38 KHI mengatur terkait dengan mahar yang cacat,
yaitu sebagai berikut:
a) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang,
tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahar dianggap lunas.
b) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami
harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan mahar dianggap masih belum
dibayar

Mahar merupakan kata dalam bahasa arab yang berasal dari kata mahara-
yumahhiru mahram. Kemudian kata mahran di serap kedalam bahasa Indonesia
menjadi mahar. Dikarenakan pembayaran mahar identic dengan emas, mahar
seringkali disebut dengan maskawin. Sedangkan secara terminology, mahar
5
Pasal 36 Kompilasi Hukum Islam
6
Pasal 37 Kompilasi Hukum Islam
dipahami sebagai pembarian calon suami kepada calon isteri baik secara tunai
maupun terhutang sesuai perjanjian dalam akad pernikahan yang dilakukan.7

Adapun bentuk pemberian itu bisa berupa barang ataupun jasa. Jasa
seperti memerdekakan dan mengajar juga bisa menjadi mahar dalam pernikahan.
Mahar telah dikenal semenjak zaman jahiliyah. Pada masa jahiliah, mahar
merupakan pemberian bagi keluarga calon isteri seperti ayah atau saudara laki-
laki dari pihak Isteri. Sehingga pemberian mahar pada masa jahiliyah identik
dengan kegiatan jual beli. Dimana calon suami adalah calon pembeli, calon isteri
adalah barang yang dibeli dan ayah atau saudara laki-laki si calon isteri adalah
penjualnya. Implementasi makna mahar sendiri telah mengalami pergeseran
seiring dengan kedatangan Islam.8 Di dalam Islam, Islam merubah kewajiban
pemberian mahar bukan lagi diperuntukkan bagi keluarga calon isteri melainkan
mahar menjadi kewajiban suami untuk memberikannya kepada isteri.
Pensyariatan mahar terdapat di dalam Al-Qur’an. Di dalam pensyariatan tersebut
dijelaskan bahwa laki-laki wajib memberikan mahar kepada perempuan apabila
keduanya melakukan pernikahan. Di Antara pensyariatan mahar di dalam Al-
Qur’an yaitu: QS. Al-Nisa’: 4. Pemberian mahar dalam QS. Al-Nisa’:4
diumpamakan seperti lebah (nahl). Allah SWT berfirman Artinya: “Dan
berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” Dalam ayat tersebut, mahar di
sebut dengan shaduqat. Kata shaduqat merupakan bentuk jamak dari shadaq.
Shadaq artinya pemberian yang diberikan dengan tanpa adanya harapan agar
mendapat pengembalian. Meski mahar menjadi tanda adanya pernikahan yang sah
dan halalnya melakukan hubungan suami isteri, namun mahar tidak bisa
disamakan dengan upah atau dianggap sebagai upah bagi permpuan yang dinikahi.
meski beberapa ulama mengambil dalil dari QS, AnNisa’: 24 dan mengartikan
7
Muhammad Jafar, Hukum Hafalan Alquran dan Hadits Sebagai Mahar, (Pidie: Yayasan Penerbit
Muhammad Zaini) 2020, h. 2
8
Halimah, Konsep Mahar (Maskawin) dalam Tafsir Kontemporer, iJurnal Al-Daulah, Vol 6, no 2,
2021, h. 3.
pemberian harta bagi wanita yang dinikahi dalam ayat tersebut sebagai upah (ujur)
namun jumhur ulama sepakat bahwa mahar bukan upah melainkan kewajiban
mempelai laki-laki untuk memberikannya kepada mempelai perempuan. Mahar
biasa disebutkan dalam shighat ijab qabul pernikahan. Namun mahar tidak
termasuk dalam rukun pernikahan. Sehingga penentuan jumlahnya bisa di
tetapkan di awal sebelummelakukan ijab qabul pernikahan. Hal ini berlaku
sebagaimana pelaksanaan syarat ibadah sebelum melakukan ibadahnya. Dimana
dalam ibadah senantiasa terdapat rukun. Sedangkan syarat tidak termasuk dalam
rukun tetapi melekat padanya. Misalnya seperti ketika seseorang hendak
melakukan ibadah shalat fardhu. Ia di syaratkan dalam keadaan suci. Salah satu
cara bersuci ialah berwudlu. Tetapi berwudlu itu bukan rangkaian dari ibadah
shalat itu sendiri melainkan dikerjakan di luar shalat. sehingga mahar dapat
ditentukan nilainya pada saat belum dilangsungkan ijab qabul pernikahan.9

Mahar biasanya berupa barang yang memiliki nilai dan manfaat. Meski
tidak ada ketentuan mengenai jenis barang tertentu, namun terdapat beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar barang memenuhi kriteria mahar, yaitu: Pertama,
harta berharga. Mahar tidak berharga dianggap tidak sah. Tidak terikat dari
jumlahnya, mahar yang berharga tetap sah meski hanya sedikit. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Jabir bin
Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi tepung
gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar seorang wanita
maka halal baginya untuk menggaulinya”. Secara umum, mahar biasanya
berbentuk barang. Namun sebenarnya tidak selalu berlaku demikian. Seseorang
juga bisa menggunakan jasa sebagai mahar. Seperti telah dijelaskan dalam Firman
Allah SWT: “Dia (Nabi Syuaib) berkata: sesungguhnya akbermaksud menikahkan
kamu (Nabi Musa) dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa
kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun
maka itu suatu kebaikan dari kamu, dan aku tidak ingin menyusahkan kamu. Dan
kamu insyaallah mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-
Qashash: 27)
9
Neila Hifzi Siregar, Analisis Mahar Dalam Akad Nikah, Jurnal Al-Qanuny, Vol. 5, No. 1,2019,158.
Selain dalam kisah nabi Musa sebagaimana disebutkan dalam
ayatAlQur’an tersebut, kebolehan menggunakan jasa sebagai mahar juga pernah
dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud. Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
“Pergilah sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya maka ajarilah dia Al-
Qur’an”. Dengan demikian, mahar memang di syaratkan dalam bentuk barang
berharga, namun juga tidak ada larangan untuk menggunakan mahar berbentuk
jasa. Kedua, barang yang digunakan sebagai mahar suci dan memiliki nilai
manfaat. Dengan demikian barang yang mengandung najis dan mengandung
unsur haram seperti khamr, babi dan darah tidak bisa dijadikan mahar. Ketiga,
bukan barang ghasab. Ghasab yaitu perbuatan mengambil barang milik orang lain
tanpa izin terlebih dahulu namun memiliki niat untuk mengembalikan). Akad
pernikahan akan tetap sah meski mahar yang digunakan adalah barang hasil
ghasab. Namun mahar tersebut tidak bisa dihukumi mahar yang sah. Keempat,
bukan barang yang tidak jelas keberadaannya atau barang yang tidak dijelaskan
keadaan dan jenisnya.10 Beberapa ulama memberikan pendapat mereka mengenai
minimal jumlah mahar dalam pernikahan.

Madzhab Hanafi memeberi batasan minimal mahar yaitu 10 dirham. Nilai


tersebut setara dengan 29,75 gr emas. Sedangkan menurut madzhab Malikiah,
batas minimal mahar adalah 3 Dirham atau setara dengan 8, 925 gr emas. Lain
halnya dengan pendapat Imam Syafi’i, berdasarkan pendapat Ibnu Rusyd dalam
Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid Imam Syafi’i berpendapat bahwa
tidak ada batas minimal pemberian mahar dengan ketentuan barang yang
dijadikan mahar merupakan barang berharga dan bernilai. Pendapat tersebut juga
disepakati oleh Ishak, Abu Tsaur seta Fuqaha Madinah dari tabi’in. sedangkan
Imam malik menetapkan batas minimal mahar yaitu ¼ Dinar atau senilai dengan
itu. Meski terdapat begitu banyak pendapat mengenai minimal julah mara yang
harus diberikan, namun Islam memberikan jalan tengah dengan menganjurkan
untuk membayar mahar sesuai kemampuan dengan pertimbangan tidak terlalu
rendah dan tidak pula terlalu tinggi.Pengaturan tentang mahar sebagai syarat
perkawinan memiliki tujuan untuk menertibkan masalah mahar, menetapkan
10
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, Juz 4, 103.
kepastian hukum bahwa mahar bukan‚ rukun nikah, menetapkan etika mahar atas
asas‚ kesederhanaan dan kemudahan bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi,
status, dan gengsi, serta menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar
terbina ketentuan dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan aparat
penegak hukum.

Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan,


maslahah mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana. Islam menyajikan sistem
kehidupan yang komprehensif berdasarkan tuntunan ilahi. Karena Islam dituntut
untuk senantiasa memberi suatu solusi dari setiap masalah yang muncul dengan
seiring berkembangnya zaman dan era yang modern ini. Kaidah ini tidak
ditegaskan dalam nash, serta tidak ada satu dalilpun yang menolaknya maupun
mengakuinya. Mashlahah mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu
mashlahah dan mursalah. Kata mashlahah berasal dari kata kerja bahasa Arab
yakni, shalaha-yushluhu-shulhan/ mashlahatan yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang
berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan
suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai
baik atau bermanfaat.11 Al-Ghazali merumuskan pengertian maṡlāḥaḥ mursalaḥ
sebagai berikut: “Apa-apa maslahah yang tidak bukti baginya dari syara’ dalam
bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memperhatikannya.” Menurut ’Abd al-Wahhab Khalaf, maslahah mursalah adalah
maslahah dimanasyari’tidak mensyari’atkan hukum untuk
mewujudkannmaslahah, juga tidak terdapattdalil yang menunjukkannatas
pengakuannya atau pembatalannya.

Berdasarkan definisi di atas maka maslahah mursalah ialah menetapkan


hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun
Hadis, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia
yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan. Seperti
kaidah ushul fiqh berikut : Menolak kerusakan lebih diutamakan

11
Muhammad Rusfi, Usul al-Fiqh, h 121-122
daripadaamenarik kemaslahatan” Maslahah mursalah dianggap sebagai
pertimbangan bagi agenda kemanusiaan dalam hukum, untuk memelihara lima hal
pokok; agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Atau disebut juga sebagai sifat
yang melekat pada struktur hukum berupa upaya untuk mengambil hal positif dan
meninggalkan yang negatif bagi manusia, nyata maupun tersembunyi dalam
pandangan manusia. 12Hakikat dari mas{lah|ah mursalahhadalah sesuatu yang baik
menurut akal dengannpertimbangan dapattmewujudkan kebaikann(jalbul mas}alih
au manfa’ah) atau menghindarkan keburukan (dar’ul mafasid) bagi manusia.
Semua hal yang baik menurut akal idealnya selaras dengan tujuan syariah
(maqas}id syari’ah) dalam menetapkan hukum, walaupun tidak ada petunjuk
syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengetahuinya. Hal ini selaras dengan pendapat Asyraf Wajdi Dusuki dan
NurdiaNawāti Irwani Abdullah yang mengungkap bahwa masl{ah|ah adalah
perangkat hukum yang digunakan dalam teori hukum Islam untuk
mempromosikan kebaikan masyarakat dan mencegah kejahatan sosial atau
korupsi.61 Mas{lahah terdapat tiga macam yaitu: 1) Mas{lah|ah mu’tabarah ialah
suatu maslahat atau kebaikan yang telah diakui oleh Islam. Hal-hal yang telah
diatur dalam al-Quran dan Hadis serta sudah pasti hukumnya sehingga manusia
tinggal menjalankan peraturannya. 2) Mas{lah|ah mulghah ialah kemaslahatan
yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan ketentuan syara’. 3)
Mas{lah|ah mursalah yaitu mengakui suatu kemaslahatan karena adanya
peristiwa-peristiwa baru yang timbul setelah wafatnya Rasulullah saw. 62 Adapun
objek mas{lah|ah mursalah adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya, tetapi tidak ada satupun nas{ (alQur’an dan hadis) yang dapat
dijadikan dasarnya. Ulama bersikapssangat hati-hati dalam menggunakan
maslahah mursalah sebagai hujah, sehingga tidak mengakibatkan pembentukan
syari’at, berdasarkannnafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu,
ulama menyusun syarat-syarat maṡlāḥaḥ mursalaḥ yang dipakai sebagai dasar
pembentukan hukum. Syarat-syaratnya ada yaitu:

12
Muhammad Rusfi, Validalitas Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum, h 64.
1) Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan
hanya dugaan semata. Maksudnya ialah agar bias diwujudkan
pembentukan hukum tentang masalah yang dapat memberi
kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika maslahat itu
berdasarkan dugaan semata maka pembentukan hukum itu tidak
akan mendatangkan maslahat. Contoh dalammpersoalan larangan
bagi suami untukkmenalak istrinya, dan memberikan hakktalak
tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya
pembentukannhukum semacam ini tidakkmengandung maslahat,
bahkan hal itu dapattmengakibatkan rusaknya rumahhtangga dan
masyarakat. Hubungannsuami isteriiditegakkan atas dasar suatu
paksaan undang-undang, bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang
dan saling mencintai.13
2) Maslahah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan.
Maksudnya ialah bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan
hukum atas suatu kejadian dapat melahirkan manfaat bagi
kebanyakan orang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi satu
orang atau beberapa orang saja. Imam al-Ghazali memberi contoh
orang kafir telah membetengi diri dengan sejumlah orang dari
kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh
mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan
memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum
muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir
maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang
membentengi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan
kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau
memusnahkan musuh-musuh mereka.
3) Maslahah itu tidak boleh bertentangan dengan dalil syara’ yang
telah ada, baik dalam bentuk nash, al-Qur’an dan sunnah, maupun
ijma’ dan qiyas.

13
Chairul Umam, Ushul Fiqh I, (Bandung:Pustaka Ceria, 2000) h. 137.
4) Maslahah al-mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang
memerlukan, seandainya masalah tidak diselesaikan dengan cara
ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengannarti
harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan. 14

Imam al-Ghazali juga memberikan beberapa syarat terhadap kemaslahatan


yang dapat dijadikan hujah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:

1) Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan syara’.


2) Maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syara’.
3) Maslahah itu termasuk dalam kategori maslahah yang daruriyyat,
baik menyangkut kemashlahatan pribadi maupun kemashlahatan
orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua
orang.

Ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah al-mursalah dapat


dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan
sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan
mas{lahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas
kemaslahatan yang sifatnya masih belum jelas atau hanya prasangka, yang
sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Selama
mas{lahah tersebut mengandung manfaat secara umum dengan mempunyai akses
secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam
Alqur’an dan Hadis dan mempunyai tujuan syariat yaitu sebagaimana yang
dimaksud dalam teori maqashid syariah yaitu menjaga agama (hifz al-din),
melindungi jiwa(hifz al-nafs), melindungi akal (hifz al-aql), melindungi
kelestarian manusia (hifz al-nasl), dan melindungi harta benda (hifz al- mal).

Mahar unik dan mahar bernilai fantastis dalam perspektif fikih tetap sah
digunakan sebagai mahar selama memenuhi syarat sebagai mahar. Mahar unik
saja dengan nilai sederhana tetap sah dijadikan mahar. Karena pada dasarnya,
mahar diberikan bukan sebagai ajang pamer atau sebaliknya sebagai sebuah

14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2009) h. 337.
paksaan. Mahar diberikan demi menjaga hikmah pensyariatan mahar itu sendiri.
adapun anjuran menyederhanakan mahar bukan bererti menjadi larangan untuk
memberikan mahar dalam nilai fantastis. Melainkan memberi keringanan bagi
sebagian orang yang kurang mampu dalam finansial. Sebaliknya, pendapat ulama
mengenai batas minimal mahar yang harus diberikan laki-laki pada calon isterinya
tidak dapat menghapus hadis tentang anjuran menyederhanakan mahar. Dengan
demikian, mahar unik ataupun mahar dengan nilai fantastis sama sekali tidak
mempengaruhi keabsahan pernikahan. Beberapa orang sengaja membuat mahar
yang unik agar berkesan bagi calon mempelai wanita. Yang terpenting dari
pemberian mahar ialah rasa ihlas dan senang hati ketika memberikannya. Dengan
menyadari hikmah pemberian mahar, setidaknya seseorang dapat menentukan
kuantitas mahar secara pantas, sesuai kemampuan dan tentunya disertai niat yang
baik. Jika dilihat dari pensyariatannya, Mahar unik dan mahar bernilai fantastis
yang semakin marak, sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengkelasan bagi
perempuan. Tapi pada dasarnya, mahar diberikan dalam berbagai bentuk dan nilai
itu semata sebagai simbolisasi dimulainya tanggungjawab pemberian nafkah
sesuai kemampuan dan kepantasan. Demikianlah pemberian mahar unik dan
mahar bernilai fantastis dalam perspektif fikih munakahat. Untuk penelitian
selanjutnya mengenai permasalahan yang sama, penulis menyarankan agar
menggunakan sudut pandang lain misalnya seperti studi gender terkait isu
penghargaan terhadap perempuan yang berkaitan dengan mahar dan segala bentuk
serta nominalnya.

Anda mungkin juga menyukai