JUDUL MAKALAH:
MAHAR DAN WALIMAH
DosenPembimbing:
Dr. MUALIMAH, M. Ag
Disusun Oleh:
Kelompok 1
SONI (21922029)
ZUMAIDAH ()
M.MAULANA ()
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH
KENDARI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap pernikahan pasti ada mahar dan selalu dibarengi dengan walimatul ursy
atau acara pernikahan. Mahar merupakan suatu yang wajib diberikan oleh seorang
calon suami kepada seorang calon istri. Sedangkan acara resepsi pernikahan
(walimah) sudah dianggap lumrah dan membudidaya dikalangan masyarakat
dimanapun berada. Hanya saja cara dan pelaksanaannya berbeda sesuai dengan
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat itu sendiri. Namun, tujuan dari walimah
itu sama saja yaitu sebagai rasa syukur atas kebahagiaan yang keluarga kedua
mempelai rasakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAHAR
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah
atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan
ralat para saksi.
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu
ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima atau tidak disalahkan.
Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka
tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (Q.S An-Nisa: 20)
2. Syarat-Syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Harta/ bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi
apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b) Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan
khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik
orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar
dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sh mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan
jenisnya.
3. Kadar (ukuran) Mahar
Imam Syafi’i, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari
kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut
Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas
terendahnya. Imam malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu
paling sedikit ¼ dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa
dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah
sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang
mengatakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini kata Ibn Rusyd ada dua hal, yaitu:
Dalam fiqh Islam mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan
kepada istri, hanya suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinya pada
saat suksesnya akad pernikahan. Akan tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah
tunai seluruhnya atau diutangkan seluruhnya atau dibayar tunai sebagian dan
diutangkan sebagian. Baik penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo
yang lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari
dua masa, yakni meninggal atau talak atau dikredit bulanan atau tahunan,
semuanya bergantung pada kesepakatan. Jika mahar disebutkan secara mutlak dan
keduanya tidak ada kesepakatan apakah tunai atau diutangkan, keputusannya
dikembalikan kepada uruf pernikahan negeri itu.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka
berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau
perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli,
mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan
alas an bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
5. Macam-Macam Mahar
a. Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar
dan besarnya ketika akad nikah, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu
akad nikah.
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat
sebelum ataupun sesudah ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur
(sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh
dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat status social, kecantikan dan
sebagainya.
Bila terjadi mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila
tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat
dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
B. WALIMAH
َ صلََّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َش ْى ٍء ِم ْن نِ َسائِ ِه َما اَوْ لَ َم َعلَى َز ْين
َب اَوْ لَ َم بِ َشا ٍة َ ِ َمااَوْ لَ َم َرسُوْ ُل هللا: س قَا َل
ٍ َع َْن اَن
}{رواه البخارى ومسلم
ِ َصلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْم َراَ ٍة ِم ْن نِ َسائِ ِه َما اَوْ لَ َم َعلَى زَ ْين
ب َو َج َع َل يَ ْب َعثُنِى فَا َ ْد ُعوْ ا َ ِ َما اَوْ لَ َم َرسُوْ ُل هللا: ٌال اَنَس
َ َق
}اط َع َمهُ ْم ُخ ْب ًزا َولَحْ ًما َحتَى َشبِعُوْ ا {الحديث ْ َاس فَ َّلَهُ الن
Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadits Nabi SAW,
sebagai berikut: ْ اِ َذا ُد ِع َي اَ َح ُد ُك ْم اِلَى َولِ ْي َم ٍة فَ ْليَاء: ال
َ َصلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق
َ ِع َِن ا ْب ِن ُع َم َر اَ َّن َرسُوْ َل هللا
}تِهَا {رواه البخارى
Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda, “Jika salah
seorang di antaramu diundang kewalimahan, hendaklah ia datangi.” (HR.
Bukhari)
َصى هللاَ َو َرسُوْ لَهُ {رواه َ َو َم ْن تَ َر: صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
َ ك ال َّد ْع َوةَ فَقَ ْد ع َ ِع َْن اَبِى هُ َر ْي َرةَ اَ َّن َرسُوْ َل هللا
البخارى
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda, “Barang
siapa meninggalkan undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
ُ ع لَقَبِ ْل
ت َ ْت َولَوْ اُ ْه ِد
َّ َي اِل
ٌ ي ِذ َرا ُ لَوْ ُد ِعي: صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
ٍ ْت اِلَى ُك َر
ُ اع الَ َ َجب َ َُو َع ْنهُ اَنَّه
} البخارى{رواه
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda,” Andaikata aku
diundang untuk makan kambing, niscaya saya datangi, Dan andaikata aku
dihadiahi kaki depan kambing, niscaya aku terima.” (HR. Bukhari)
ْ يَا اَ ِخ ْي ِا ْذهَب: تْ َت اُ ِّمى اُ ُّم ُسلَي ٍْم َح ْيسًا فَ َج َعلَ ْتهُ فِى تَوْ ٍرفَقَال ْ صنَ َع
َ َ فَ َدخَ َل بِا َ ْهلِ ِه ف.م.ى ص َّ ِ تَ َز َّوجْ النَّب: ٌال اَنَس
َ َق
ُ ت َم ْن َس َّمى َو َم ْن لَقِي
ْت ُ ْع فُالَ نًا َو َم ْن لَقِيْتَ فَ َدعَو ُ اُ ْد: ثُ َّم قَا َل, ُض ْعهَ : ْت بِ ِه فَقَا َل ُ فَ َذهَب.م.بِ ِه اِلَى َرسُوْ َل هللاِ ص
}{رواه مسلم
Artinya: “Anas berkata, “Nabi SAW, menikah lalu masuk bersama istrinya.
Kemudian ibuku membuat kue untuk Ummu Salamah, lalu menempatkannya pada
bejana. Lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah SAW,
lalu aku bawa kepada beliau, maka sabdanya, “Letakkanlah.” Kemudian sabdanya
lagi, “Undanglah si Anu dan si Anu, dan orang-orang yang kau temui”. Lalu saya
undang orang-orang yang disebutkan dan saya temui.”(HR. Muslim)
Ada yang berpendapat bahwa hokum menghadiri undangan adalah wajib kifayah.
Dan ada juga yang berpendapat hukumnya sunnah. Akan tetapi, pendapat
pertamalah yang lebih jelas. Adapun hokum mendatangi undangan selain
walimah, menurut jumhur ulama adalah sunnah muakad. Sebagian golongan
Syafi’I berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat
ini dari jumhur sahabat dan tabi’in, karena hadis-hadis di atas memberikan
pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan maupun
walinya.
Secara rinci undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
KESIMPULAN
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Amzah: Jakarta, 2009), hlm
175