Anda di halaman 1dari 13

MATA KULIAH FIQH MUAMALAH

JUDUL MAKALAH:
MAHAR DAN WALIMAH

DosenPembimbing:
Dr. MUALIMAH, M. Ag
 
Disusun Oleh:
Kelompok 1
SONI (21922029)
ZUMAIDAH ()
M.MAULANA ()
 
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH
KENDARI
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap pernikahan pasti ada mahar dan selalu dibarengi dengan walimatul ursy
atau acara pernikahan. Mahar merupakan suatu yang wajib diberikan oleh seorang
calon suami kepada seorang calon istri. Sedangkan acara resepsi pernikahan
(walimah) sudah dianggap lumrah dan membudidaya dikalangan masyarakat
dimanapun berada. Hanya saja cara dan pelaksanaannya berbeda sesuai dengan
adat istiadat atau kebiasaan masyarakat itu sendiri. Namun, tujuan dari walimah
itu sama saja yaitu sebagai rasa syukur atas kebahagiaan yang keluarga kedua
mempelai rasakan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. MAHAR

1. Pengertian Mahar dan Hukumnya

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar


ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakakn, mengajar, dll).

Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah
atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan
ralat para saksi.

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita


dengan member hak kepadanya, di antaranya adlah hak untuk menerima mahar
(maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan
kepada wanita laon atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lai
tidak boleh menjamah apalagi menggunkannya, meskipu oleh suaminya sendiri,
kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri. Allah SWT berfirman:

Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian yang wajib, tetapi apabila istri itu dengan sukarela menyerahkannya
kepada kamu, makanlah pemberiannya itu dengan senang dan baik-baik. (Q.S
An-Nisa: 4)

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib


diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai
seluruh anggota badannya.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu
ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima atau tidak disalahkan.
Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka
tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (Q.S An-Nisa: 20)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Bagaiman kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu


telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S An-Nisa:
21)

Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik


mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.

2. Syarat-Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a) Harta/ bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi
apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b) Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar dengan
khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik
orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar
dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sh mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan
jenisnya.
3. Kadar (ukuran) Mahar

Syariat Islam tidak membatasi kadar maskawin yang diberikan suami


kepada istrinya. Agama menyerahkannya kepada masyarakat untuk
menetapkannya menurut adat yang berlaku di kalangan mereka, menurut
kemampuan. Nash Al-Quran dan hadits hanya menetapkan bahwa maskawin itu
harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya.

Imam Syafi’i, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari
kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut
Imam Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas
terendahnya. Imam malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu
paling sedikit ¼ dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa
dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah
sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang
mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini kata Ibn Rusyd ada dua hal, yaitu:

1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai


salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan
menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam
jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada
ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan
mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka
perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi
adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar,
maka mahar itu mirip dengan ibadah.
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan mahr dengan mafhum hadits yang tidak menhendaki
adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan
adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.

Mereka berpendapat bahwa sabda Rasulullah SAW, “ carilah, walaupun


hanya cincin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai ratasan
terendahnya. Karena jika memang ada batasan terendahnya tentu beliau
menjelaskannya.

4. Memberi Mahar dengan Kontan dan Hutang

Dalam fiqh Islam mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan
kepada istri, hanya suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinya pada
saat suksesnya akad pernikahan. Akan tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah
tunai seluruhnya atau diutangkan seluruhnya atau dibayar tunai sebagian dan
diutangkan sebagian. Baik penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo
yang lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari
dua masa, yakni meninggal atau talak atau dikredit bulanan atau tahunan,
semuanya bergantung pada kesepakatan. Jika mahar disebutkan secara mutlak dan
keduanya tidak ada kesepakatan apakah tunai atau diutangkan, keputusannya
dikembalikan kepada uruf pernikahan negeri itu.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (hutang) terdapat dua


perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Segolongan ahli fiqh berpendapat
bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan.

Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda


pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka
manakala akan menggauli istri. Dan di antara fuqaha yang membolehkan
penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu
terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga
yang membolehkan karena atau perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’I.
perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dpaat disamakan
dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.

Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli, mereka
berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau
perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli,
mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan
alas an bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
5. Macam-Macam Mahar

a. Mahar musamma

Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar
dan besarnya ketika akad nikah, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu
akad nikah.

Ulama fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus


diberikan secara penuh apabila:

1. Telah bercampur (bersenggama).


2. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah


bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu,
seperti ternyata istri mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau
hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur,
hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT: “ Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu. (Q.S An-Nisa: 237)”

b. Mahar mitsil (sepadan)

Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat
sebelum ataupun sesudah ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur
(sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh
dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat status social, kecantikan dan
sebagainya.

Bila terjadi mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila
tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat
dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:

1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika


berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan
istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

B. WALIMAH

1.1 Pengertian Walimah

Walimah ‫ الوليمة‬artinya Al-ja’mu = kumpul, sebab antara suami dan istri


َ ‫ اَ ْل‬artinya makanan
berkumpul. Walimah ‫ الوليمة‬berasal dari kata Arab: ‫ولِ َم‬CCC
pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta
perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau
lainnya. Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya,
atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Bisa juga
diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

1.2 Kedudukan Hukum

1. Dasar Hukum Walimah

Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah


mua’kad. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah SAW.

َ ‫صلََّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َش ْى ٍء ِم ْن نِ َسائِ ِه َما اَوْ لَ َم َعلَى َز ْين‬
‫َب اَوْ لَ َم بِ َشا ٍة‬ َ ِ‫ َمااَوْ لَ َم َرسُوْ ُل هللا‬: ‫س قَا َل‬
ٍ َ‫ع َْن اَن‬
}‫{رواه البخارى ومسلم‬

Artinya: “Dari Annas, ia berkata, “Rasulullah SAW, mengadakan walimah


dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan untuk Zainab”. (HR. Bukhari dan
Muslim)

ِ ْ‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَنَّهُ الَبُ َّد لِ ْلعُر‬


‫س ِم ْن َولِ ْي َمة {رواه‬ َ َ‫ع َْن بُ َر ْي َدةَ قَا َل لَ َما َخط‬
َ ِ‫ب َعلِ ٌّى فَا ِط َمةَ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬
}‫احمد‬
Artinya: “Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah
SAW, bersabda, “Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walinya.”
(HR. Ahmad)

ِ َ‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اِ ْم َراَ ٍة ِم ْن نِ َسائِ ِه َما اَوْ لَ َم َعلَى زَ ْين‬
‫ب َو َج َع َل يَ ْب َعثُنِى فَا َ ْد ُعوْ ا‬ َ ِ‫ َما اَوْ لَ َم َرسُوْ ُل هللا‬: ٌ‫ال اَنَس‬
َ َ‫ق‬
}‫اط َع َمهُ ْم ُخ ْب ًزا َولَحْ ًما َحتَى َشبِعُوْ ا {الحديث‬ ْ َ‫اس ف‬َ َّ‫لَهُ الن‬

Artinya: “Annas ra berkata, “Rasulullah SAW, tidak pernah pengadakan


walimah bagi istri-istrinya, juga bagi Zainab”. Beliau menyuruh aku, lalu aku
memanggil orang atas nama beliau. Kemudian beliau hidangkan kepada mereka
roti dan daging sampai mereka kenyang”. (Al-Hadits)

Beberapa hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah itu boleh


diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh
Nabi SAW, bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah oleh beliau
bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata
disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.

2. Hukum menghadiri undangan walimah

Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan


orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib
mendatanginya. Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:

a. Tidak ada uzur syar’i


b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak digunakan untuk perbuatan
munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan orang kaya maupun miskin.

Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadits Nabi SAW,
sebagai berikut: ْ‫ اِ َذا ُد ِع َي اَ َح ُد ُك ْم اِلَى َولِ ْي َم ٍة فَ ْليَاء‬: ‫ال‬
َ َ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ِ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر اَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
}‫تِهَا {رواه البخارى‬

Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda, “Jika salah
seorang di antaramu diundang kewalimahan, hendaklah ia datangi.” (HR.
Bukhari)

‫َصى هللاَ َو َرسُوْ لَهُ {رواه‬ َ ‫ َو َم ْن تَ َر‬: ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ‫ك ال َّد ْع َوةَ فَقَ ْد ع‬ َ ِ‫ع َْن اَبِى هُ َر ْي َرةَ اَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
‫البخارى‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda, “Barang
siapa meninggalkan undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

ُ ‫ع لَقَبِ ْل‬
‫ت‬ َ ‫ْت َولَوْ اُ ْه ِد‬
َّ َ‫ي اِل‬
ٌ ‫ي ِذ َرا‬ ُ ‫ لَوْ ُد ِعي‬: ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
ٍ ‫ْت اِلَى ُك َر‬
ُ ‫اع الَ َ َجب‬ َ ُ‫َو َع ْنهُ اَنَّه‬

} ‫البخارى{رواه‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda,” Andaikata aku
diundang untuk makan kambing, niscaya saya datangi, Dan andaikata aku
dihadiahi kaki depan kambing, niscaya aku terima.” (HR. Bukhari)

Jika undangan itu bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang


tertentu, maka tidak wajib mendatangi, tidak juga sunnah. Misalnya orang yang
mengundang berkata, “Wahai orang banyak! Datangilah walimah saya, tanpa
menyebut orang tertentu, atau dikatakan, “Undanglah setiap orang yang kamu
temui”.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

ْ‫ يَا اَ ِخ ْي ِا ْذهَب‬: ‫ت‬ْ َ‫ت اُ ِّمى اُ ُّم ُسلَي ٍْم َح ْيسًا فَ َج َعلَ ْتهُ فِى تَوْ ٍرفَقَال‬ ْ ‫صنَ َع‬
َ َ‫ فَ َدخَ َل بِا َ ْهلِ ِه ف‬.‫م‬.‫ى ص‬ َّ ِ‫ تَ َز َّوجْ النَّب‬: ٌ‫ال اَنَس‬
َ َ‫ق‬
ُ ‫ت َم ْن َس َّمى َو َم ْن لَقِي‬
‫ْت‬ ُ ْ‫ع فُالَ نًا َو َم ْن لَقِيْتَ فَ َدعَو‬ ُ ‫ اُ ْد‬: ‫ ثُ َّم قَا َل‬, ُ‫ض ْعه‬َ : ‫ْت بِ ِه فَقَا َل‬ ُ ‫ فَ َذهَب‬.‫م‬.‫بِ ِه اِلَى َرسُوْ َل هللاِ ص‬
}‫{رواه مسلم‬

Artinya: “Anas berkata, “Nabi SAW, menikah lalu masuk bersama istrinya.
Kemudian ibuku membuat kue untuk Ummu Salamah, lalu menempatkannya pada
bejana. Lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, bawalah ini kepada Rasulullah SAW,
lalu aku bawa kepada beliau, maka sabdanya, “Letakkanlah.” Kemudian sabdanya
lagi, “Undanglah si Anu dan si Anu, dan orang-orang yang kau temui”. Lalu saya
undang orang-orang yang disebutkan dan saya temui.”(HR. Muslim)

Ada yang berpendapat bahwa hokum menghadiri undangan adalah wajib kifayah.
Dan ada juga yang berpendapat hukumnya sunnah. Akan tetapi, pendapat
pertamalah yang lebih jelas. Adapun hokum mendatangi undangan selain
walimah, menurut jumhur ulama adalah sunnah muakad. Sebagian golongan
Syafi’I berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat
ini dari jumhur sahabat dan tabi’in, karena hadis-hadis di atas memberikan
pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan maupun
walinya.
Secara rinci undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:

a. Pengundangannya mukallaf, merdeka dan berakal sehat.


b. Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja, sedangkan
orang miskin tidak.
c. Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi dan
dihormati
d. Pengundangnya beragama Islam (pendapat yang lebih sah)
e. Khusus pada hari pertama (pendapat yang lebih terkenal)
f. Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain, maka yang
pertama harus didahulukan.
g. Tidak ada kemungkaran dan hal-hal lain yang menghalangi kehadirannya.
h. Yang diundang tidak ada uzur syar’i.

Memperhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila walimah dalam


pesta perkawinan hanya mengundang orang-orang kaya saja, maka hukumnya
adalah makruh.

1.3 Hikmah Walimah

Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa


keuntungan (hikmah), antara lain sebagai berikut:

1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT


2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami isteri
5. Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah
BAB III

KESIMPULAN

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita


dengan member hak kepadanya, di antaranya adlah hak untuk menerima mahar
(maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan
kepada wanita lain atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.

Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya,


atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Bisa juga
diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jumhur
ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mua’kad.
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang
mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Amzah: Jakarta, 2009), hlm
175

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, 2009

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (kencana: Jakarta, 2010), hlm 84

Abdul rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: kencana, 2010

Abdul rahman Ghozali, op.cit, hlm 85

H.S.A Al-Hamdani, Risalah Nikah ( Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka


Amani, 2002

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz 7. 1999

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009,

Anda mungkin juga menyukai