Anda di halaman 1dari 7

PERTANYAAN

1. APAKAH SESEORANG YANG MENGHALALKAN NIKAH MUTÁH BISA


MENYEBABAKAN ORANG TERSEBUT MURTAD ? (AZIZ ZUHDI
KELOMPOK 2 )
JAWAB :

Nikah mut’ah adalah pernikahan haram yang termasuk dalam pernikahan yang
merusak. Ijma’ para ulama telah menyatakan hal itu, dan barang siapa ada yang
menghalalkannya, maka hendaknya dia diberitahu hadits Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang melarang dengan jelas, jika dia bersikeras dengan
pendapatnya bersandar pada syubhatnya atau karena mentakwil nash, maka ia
dihukumi salah dan sesat dalam masalah ini, akan tetapi tidak dihukumi kafir dan
tidak murtad dari agama Islam. Namun apabila setelah disampaikan kepadanya hadits-
hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan telah diketahuinya, hatinya pun
bisa menerimanya dengan penuh ketenangan, kemudian ia menolaknya karena hawa
nafsunya dan tidak menganggapnya sebagai ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, juga tidak berkomitmen dengan hukum beliau yang mulia, maka orang
seperti ini dihukumi sebagai kafir keluar dari Islam; karena menolak hukum syar’i
adalah kafir sesuai dengan ijma’ para ulama, hanya saja yang seperti ini jauh
kemungkinannya terjadi pada seseorang dari kalangan ahlus sunnah, kecuali jika dia
sudah kafir setelah beriman, kita mohon keselamatan dan ketetapan iman kepada
Allah

2. STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN MUTÁH BAGAIMANA? NASAB ANAK


ITU KEPADA SIAPA? (IRFAN KELOMPOK 2)
JAWAB :

Status anak yang dilahirkan dari pernikahan mutáh ini merupakan anak tidak
sah atau sama dengan anak yang lahir diluar nikah, karena dia tidak memiliki semua
hak yang dimilikioleh anak – anak sah lainya. Dengan demikian , status anak yang
dilahirkan dari pernikahan mutáh tersebut berimplikasi pada memandang adanya
hubungan hak waris dan nasab dari ayah. Hak waris dan nasab mengikui dari ayah
nya.
3. SETELAH WAKTU NIKAH MUTÁHNYA BERAKHIR, JIKA INGIN
DILANJUTKAN NIKAH MUTÁHNYA APAKAH MAHARNYA SAMA ?
(RULLY KELOMPOK 2)
JAWAB :

Telah disebutkan bahwa rukun akad mutáh adalah adanya kesepakatan atas
waktu dan mahar. Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah
tentang batas minimal mahar mutáh adalah segenggam makanan, tepung, gandum,
atau kurma.’”(Al-Khafi, jilid :5, Hal. 457)

Semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak apakah menggunakan mahar yang
sama atau tidak.

4. BAGAIMANA PANDANGAN TENTANG NIKAH MUTÁH OLEH BEBERAPA


ALIRAN ? (ODIK KELOMPOK 2)
JAWAB :

Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa pada permulaan
Islam nikah Mut’ah haram hukumnya, dan apabila ada perbedaan pendapat para
ulama menurut mereka karena hukum nikah mut’ah tersebut telah dinasakhkan.

Pandangan para ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini
disebabkan sekali lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula
diperbolehkan kemudian diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut
pandangan para ulama Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah
mut’ah ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan
halal secara mutlak (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005
h, 91).

Apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuannya untuk sementara


waktu, yang biasanya mengawini dengan maksud untuk bersenang-senang untuk
sementara waktu saja, hal tersebut termasuk katagori nikah mut’ah. Model kawin
semacam ini oleh para imam madzhab telah sepakat keharamannya. Menurut mereka,
apabila sampai terjadi kawin mut’ah maka hukumnya tetap batal. Artinya dapat
difasadkan. Kesepakatan akan batalnya nikah mut’ah, haram secar mutlak
disampaikan oleh Jumhur Ulama diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abi Umrah Al
Anshari, dan dari ulama Mutaakhirin seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I
dan lain-lain (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005 h,
91). Pendapat mereka berdasarkan pada firman Allah SWT Surat Al-Mu’minun Ayat
6
Yang Artinya :”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya
Sakti,Surabaya,1984, h. 526).

Golongan ini berpendapat, bahwa wanita dari hasil mut’ah tidak berfungsi
sebagai isteri dikarenakan mut’ah bukanlah akad nikah. Nikah mut’ah tidak termsuk
akad nikah karena dalam nikah mut’ah tidak saling mewarisi, padahal akad nikah
menjadi sebab memperoleh harta warisan. Dengan melakukan nikah mut’ah,
seseorang tidak dianggap sebagai muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan
mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut’ah tidak menjadikan wanita
berststus jariyah. Mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.

Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram, apabila sampai terjadi
maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal. Golongan ini
mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut :

1. Bahwa nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan
pusaka. Jadi nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang
dibatalkan dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya.

2. Rasulullah dengan jelas mengharamkan nikah mut’ah melalui banyak hadist-


hadistnya yang secara tegas menyebutkan keharamannya. Rasulullah SAW
bersabda : “Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah.
Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari
kemudian.”

3. Pidato Khalifah Umar Ibn Khattab di atas mimbar. Pada waktu itu khalifah Umar
menyampaikan keharaman nikah mut’ah dan para sahabat menyetujuinya.

4. Pendapat Al-Khathabi, yang menyatakan keharamannya nikah mut’ah adalah


merupakan ijma’ kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi’ah

5. Kawin mut’ah sekedar hanya bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk


mendapatkan anak dan memelihara keluarga. Karena nikah mut’ah ini sifatnya
hanya untuk pelampiasan syahwat dan nafsu atau hanya untuk bersenang-senang.
Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang
nikah mut’ah, jawabnya : “sama denga zina”.

6. Selain itu kawin mut’ah dapat membahayakan perempuan, yang mengaggap


wanita sama halnya dengan benda yang bisa dipindahkan dari satu tangan ke
tangan orang lain. Juga dapat merugikan anak-anak dari perkawinan mut’ah ini
karena dalam kawin atau nikah mut’ah tidak mengenal waris mewarisi. Anak-
anak tidak akan mendapatkan tempat tinggal (rumah kediaman) dan tidak
memperoleh pemeliharaan dan pendidikan yang baik.
Adapun yang mempunyai pandangan bahwa nikah mut’ah dihalalkan secara
mutlak datang dari sebagian sahabat seperti : Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Asma’ binti
Abu Bakar ash-Siddiq, Jabir bin Abdullah, Mu’awiyah, Amr bin Harits, Ma’bad,
Salamah dan Abu Said Al-Khudri. Dan sebagian dari golongan tabi’in juga ada yang
menghalalkan nikah mut’ah ini, seperti : Atho’, Zaid bin Zubair, dan Tawus. Dan
masih ditambah seluruh ulama fiqh Makkah dan golongan Syi’ah Imamiyah.
Golongan ini berpedoman pada Surat An-Nisa’ ayat 24 yang artinya :

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)wanita yang bersuami, kecuali


budak-budak yang kamu miliki) Allah telah menetapkan hukum itu sebagai
ketetapanNya atas kamu Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya.(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban dan tidaklah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526).

Menurut pandangan mereka mereka melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai
dengan bunyi ayat tersebut yang mereka tafsirkan mengambil wanita untuk masa yang
tidak terbatas atau nikah dan mengambil mereka untuk masa yang terbatas (mut’ah).
Disamping itu pendapat mereka didasarkan pada hadist-hadist Rasulullah yang
menyatakan kebolehan melalui kawin mut’ah. Muslim dari Jabir meriwayatkan bahwa
Rasulallah bersabda :” Kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mas kawinnya
berupa kurma dan gandum pada masa Rasulallah SAW”. Hadist ini menunjukkan
bahwa sahabat nabi telah melakukan mut’ah pada masa nabi masih hidup. Hal ini
menunjukkan halalnya nikah mut’ah. Sementara itu ijma’ menunjukkan bahwa nikah
mut’ah halal hukumnya. Adapun anggapan bahwa hukum halal nikah mut’ah telah
dihapus statusnya, menurut mereka bersifat zhanni yang tidak mempunyai kekuatan
untuk menentang dalil yang qath’i yaitu adanya ijma’ terhadap halalnya nikah
mut’ah.melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut

5. APAKAH WAJIB DITEGAKAN HUKUMAN HAD BAGI MEREKA YANG


NIKAH MUTÁH ? BAGAIMANA CARA MENGATASI AGAR TIDAK TERJADI
NIKAH MUTÁH ? (AGUNG KELOMPOK 2)
JAWAB :

Dalam menegakkan hukuman had bagi mereka yang melakukan nikah mut’ah,
jika dia melakukan nikah mut’ah dengan bependapat bahwa nikah mut’ah adalah
boleh, maka tidak ada hukuman had baginya menurut mayoritas para ulama; karena
jika dia mengikuti pendapat orang yang membolehkan nikah mut’ah meskipun
pendapat itu batil, maka hal itu menjadi syubhat, sedangkan hukuman had terhalangi
oleh syubhat, dan jika dari pernikahan mut’ah itu dikaruniai anak maka anak tersebut
tetap dinisbahkan kepada laki-laki tersebut dan tidak menjadi anak zina.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:


“Tidak wajib untuk ditegakkannya hukuman had dari persetubuhan dalam
pernikahan yang masih terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, seperti: nikah
mut’ah, nikah syighar, nikah tahlil, pernikahan tanpa wali dan saksi, menikahi adik
ipar pada masa iddah istrinya yang ditalak bain belum habis, menikahi istri kelima
pada masa iddah istrinya yang keempat yang ditalak bain belum habis, menikahi
wanita majusi. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama; karena perbedaan
pendapat pada bolehnya persetubuhan pada pernikahan tersebut terdapat syubhat,
sedangkan hukuman had dihalangi oleh syubhat. Ibnul Mundzir berkata: “Semua
ulama yang kami ketahui telah melakukan ijma’ bahwa hukuman had terhalang oleh
syubhat”.
Sedangkan jika dia melakukan pernikahan tersebut dengan mengetahui bahwa nikah
mut’ah adalah haram, maka hukuman had wajib ditegakkan. Dan jika dikaruniai anak
dari hasill hubungan yang dianggap pernikahan, maka anak tersebut adalah anak zina;
karena dia terus maju untuk melakukan zina padahal dia tahu bahwa hubungan
tersebut adalah zina dan bukan pernikahan.

Syeikh Sholeh al Fauzan –hafidzahullah- berkata:


“Sedangkan hukum orang yang menikah mut’ah dan dikaruniai anak dari
pernikahan tersebut. Apakah anak tersebut dinisbatkan kepadanya atau tidak ?, jika
dia melakukannya dengan mengetahui bahwa hukum nikah mut’ah adalah batil, maka
anak tersebut tidak dinisbatkan kepadanya; karena pernikahan tersebut baginya tidak
ada gunanya.
Namun jika dia melakukannya karena tidak tahu hukumnya, atau karena hanya
mengikuti orang yang membolehkannya, dan dianggapnya sesuatu yang benar, maka
hal ini dianggap syubhat, dan anak yang dihasilkan nantinya juga dinisbatkan
kepadanya”. (Al Muntaqa min Fatawa al Fauzan)

 CARA MENGATASI AGAR TIDAK TERJADI NIKAH MUTÁH :


a) Pemerintah harus mengeluarkan peraturan tentang dilarangnya
pernikahan mutáh karena dilihat dari banyaknya dampak negatif yang
ditimbulkan dari pernikahan tersebut
b) Memberikan sosialisasi dan menjelaskan kepada masyarakat tentang
dampak negatif yang ditimbulkan dari nikah mutháh
c) Memberikan penjelasaan kepada masyarakat tentang nikah
kontrak/mutháh itu diharam kan oleh agama islam
d) Selalu mengikuti Pengajian atau kajian islami agar iman kita selalu kuat
e) Masyarakat harus menyadari dan mendukung pemerintah jika pemerintah
menetapkan peraturan tentang larangan pernikahan mutáh
f) Selalu mengingatkan kepada masyarakat agar selalu mendekatkan diri
kepada Allah SWT
6. BAPAK MENIKAHKAN ANAK GADISNYA DENGAN TEMANNYA SECARA
NIKAH MUTÁH, HUKUM HUBUNGAN ANTARA ISTRI BAPAK DENGAN
TEMAN BAPAKNYA BAGAIMANA (MAHRAM ATAU TIDAK) ? (CHANDRA
KELOMPOK 2)
JAWAB :

Jadi Hukum hubungan antara istri bapak dengan teman bapaknya itu hubungan
nya Haram karena menikah dengan cara nikah kontrak atau muth’ah . Kalau haram
artinya hubungannya bukan mahrom. Sesuai dengan nasab al qurán dan al hadist :
a) Al-Qur’an Allah Swt berfirman : dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya,kecuali terhadap istri atau budak-budak yang mereka
miliki,maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.Barangsiapa
mencari dibalik itu,maka mereka itu orang-orang yang melampaui
batas.(Q.S.Al-Ma’arij:29-31).
b) AL-HADITS Dari ibnu abdillah : wahai sahabat sekalian bahwa aku
pernah memperbolehkan kamu melakukan nikah Mut’ah dan ketahuilah
bahwa Allah Swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat,maka barang
siapa yang ada padanya wanita yang diambil dengan jalan
Mut’ah,hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.(HR.Muslim).

Anda mungkin juga menyukai