Nikah mut’ah adalah pernikahan haram yang termasuk dalam pernikahan yang
merusak. Ijma’ para ulama telah menyatakan hal itu, dan barang siapa ada yang
menghalalkannya, maka hendaknya dia diberitahu hadits Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yang melarang dengan jelas, jika dia bersikeras dengan
pendapatnya bersandar pada syubhatnya atau karena mentakwil nash, maka ia
dihukumi salah dan sesat dalam masalah ini, akan tetapi tidak dihukumi kafir dan
tidak murtad dari agama Islam. Namun apabila setelah disampaikan kepadanya hadits-
hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan telah diketahuinya, hatinya pun
bisa menerimanya dengan penuh ketenangan, kemudian ia menolaknya karena hawa
nafsunya dan tidak menganggapnya sebagai ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, juga tidak berkomitmen dengan hukum beliau yang mulia, maka orang
seperti ini dihukumi sebagai kafir keluar dari Islam; karena menolak hukum syar’i
adalah kafir sesuai dengan ijma’ para ulama, hanya saja yang seperti ini jauh
kemungkinannya terjadi pada seseorang dari kalangan ahlus sunnah, kecuali jika dia
sudah kafir setelah beriman, kita mohon keselamatan dan ketetapan iman kepada
Allah
Status anak yang dilahirkan dari pernikahan mutáh ini merupakan anak tidak
sah atau sama dengan anak yang lahir diluar nikah, karena dia tidak memiliki semua
hak yang dimilikioleh anak – anak sah lainya. Dengan demikian , status anak yang
dilahirkan dari pernikahan mutáh tersebut berimplikasi pada memandang adanya
hubungan hak waris dan nasab dari ayah. Hak waris dan nasab mengikui dari ayah
nya.
3. SETELAH WAKTU NIKAH MUTÁHNYA BERAKHIR, JIKA INGIN
DILANJUTKAN NIKAH MUTÁHNYA APAKAH MAHARNYA SAMA ?
(RULLY KELOMPOK 2)
JAWAB :
Telah disebutkan bahwa rukun akad mutáh adalah adanya kesepakatan atas
waktu dan mahar. Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah
tentang batas minimal mahar mutáh adalah segenggam makanan, tepung, gandum,
atau kurma.’”(Al-Khafi, jilid :5, Hal. 457)
Semua tergantung kesepakatan kedua belah pihak apakah menggunakan mahar yang
sama atau tidak.
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa pada permulaan
Islam nikah Mut’ah haram hukumnya, dan apabila ada perbedaan pendapat para
ulama menurut mereka karena hukum nikah mut’ah tersebut telah dinasakhkan.
Pandangan para ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini
disebabkan sekali lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula
diperbolehkan kemudian diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut
pandangan para ulama Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah
mut’ah ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan
halal secara mutlak (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005
h, 91).
Golongan ini berpendapat, bahwa wanita dari hasil mut’ah tidak berfungsi
sebagai isteri dikarenakan mut’ah bukanlah akad nikah. Nikah mut’ah tidak termsuk
akad nikah karena dalam nikah mut’ah tidak saling mewarisi, padahal akad nikah
menjadi sebab memperoleh harta warisan. Dengan melakukan nikah mut’ah,
seseorang tidak dianggap sebagai muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan
mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut’ah tidak menjadikan wanita
berststus jariyah. Mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.
Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram, apabila sampai terjadi
maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal. Golongan ini
mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan
pusaka. Jadi nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang
dibatalkan dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya.
3. Pidato Khalifah Umar Ibn Khattab di atas mimbar. Pada waktu itu khalifah Umar
menyampaikan keharaman nikah mut’ah dan para sahabat menyetujuinya.
Menurut pandangan mereka mereka melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai
dengan bunyi ayat tersebut yang mereka tafsirkan mengambil wanita untuk masa yang
tidak terbatas atau nikah dan mengambil mereka untuk masa yang terbatas (mut’ah).
Disamping itu pendapat mereka didasarkan pada hadist-hadist Rasulullah yang
menyatakan kebolehan melalui kawin mut’ah. Muslim dari Jabir meriwayatkan bahwa
Rasulallah bersabda :” Kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mas kawinnya
berupa kurma dan gandum pada masa Rasulallah SAW”. Hadist ini menunjukkan
bahwa sahabat nabi telah melakukan mut’ah pada masa nabi masih hidup. Hal ini
menunjukkan halalnya nikah mut’ah. Sementara itu ijma’ menunjukkan bahwa nikah
mut’ah halal hukumnya. Adapun anggapan bahwa hukum halal nikah mut’ah telah
dihapus statusnya, menurut mereka bersifat zhanni yang tidak mempunyai kekuatan
untuk menentang dalil yang qath’i yaitu adanya ijma’ terhadap halalnya nikah
mut’ah.melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut
Dalam menegakkan hukuman had bagi mereka yang melakukan nikah mut’ah,
jika dia melakukan nikah mut’ah dengan bependapat bahwa nikah mut’ah adalah
boleh, maka tidak ada hukuman had baginya menurut mayoritas para ulama; karena
jika dia mengikuti pendapat orang yang membolehkan nikah mut’ah meskipun
pendapat itu batil, maka hal itu menjadi syubhat, sedangkan hukuman had terhalangi
oleh syubhat, dan jika dari pernikahan mut’ah itu dikaruniai anak maka anak tersebut
tetap dinisbahkan kepada laki-laki tersebut dan tidak menjadi anak zina.
Jadi Hukum hubungan antara istri bapak dengan teman bapaknya itu hubungan
nya Haram karena menikah dengan cara nikah kontrak atau muth’ah . Kalau haram
artinya hubungannya bukan mahrom. Sesuai dengan nasab al qurán dan al hadist :
a) Al-Qur’an Allah Swt berfirman : dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya,kecuali terhadap istri atau budak-budak yang mereka
miliki,maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.Barangsiapa
mencari dibalik itu,maka mereka itu orang-orang yang melampaui
batas.(Q.S.Al-Ma’arij:29-31).
b) AL-HADITS Dari ibnu abdillah : wahai sahabat sekalian bahwa aku
pernah memperbolehkan kamu melakukan nikah Mut’ah dan ketahuilah
bahwa Allah Swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat,maka barang
siapa yang ada padanya wanita yang diambil dengan jalan
Mut’ah,hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.(HR.Muslim).