Anda di halaman 1dari 11

NIKAH MUT’AH

Dosen Pengampu: Muchimah, S.H.I.,M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Tabah Hijrotul Fadilah 2017302058

2. Nabila Naja Ismail 2017302073

3. Akhdan Faisal Rafi 2017302078

4. Hanifah Indiarti 2017302079

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI ( SAIZU)

PURWOKERTO 2022
A. PENDAHULUAN

Islam yang mensyari’atkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh

umatnya menikah, tetapi juga mengatur segala yang terkait demgan pernikahan supaya

menjamin pencapaian tujuan dan hikmah pernikahan. Untuk sahnya suatu perkawinan harus

terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun perkawinan dalam Islam ada lima, yaitu: 1) calon

suami; 2) calon isteri; 3) wali nikah; 4) dua orang saksi; dan 5) ijab-kabul. Semua rukun ini

memiliki syarat-syarat khusus.

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila yang pertamanya “Ketuhanan

Yang Maha Esa”, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,

sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting untuk membentuk keluarga

yang bahagia, tetapi juga didasarkan pada aturan-aturan agama. Dalam pasal 1 Undang-

undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini

merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat

dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur

perkawinan.

1
B. PENGERTIAN MUT’AH

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati.

Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan

memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai

dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah

atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum

berakhirnya masa nikah mu’ah itu.1

Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra Islam yang dimaksudkan

untuk melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Islam,nikah seperti ini

mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah mengalami beberapa kali

perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk

selamanya. Pada masa sahabat,larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi

pegangan jumhur sahabat.Akan tetapi, ada sebagian kecil di antara mereka yang masih

membenarkan,bahkan melakukan praktek nikah mut’ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin

Abdullah. Pada masa kekhalifahannya, Umar bin al-Khattab (581-644) secara tegas melarang

siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum rajam. Larangan Umar ini

dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara sampai

generasi berikutnya.

C. HUKUM NIKAH MUT’AH

1
. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169).

2
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang

tercantum dalam banyak hadits diantaranya:

Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami

berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau

memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas

waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404).

Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata:

Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang

mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117).

Namun hukum ini telah batal dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih

pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun

yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah

tahun 8 Hijriyah. ²

Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits

Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya

Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar

jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).

Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh

Shallallahu ‘alahi wa sallam: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah

3
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya

sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah

diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404).

D. PENDAPAT ULAMA SUNNI TENTANG NIKAH MUT’AH

Ulama Syafi’iyah mengkategorisasikan nikah mut’ah ke dalam jenis pernikahan yang

tidak sah (rusak). Alasan utamanya adalah karena nikah mut’ah adalah pernikahan yang

dibatasi dengan waktu tertentu. Akad tersebut dapat dibatalkan oleh adanya kesepakatan

waktu. Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat nikah mut’ah adalah haram. Argumentasinya

didasarkan pada beberapa hadis masyhur yang melarang nikah mut’ah. Pertama, hadis dari

‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah pada waktu perang

khaibar yaitu pada hari yang sama Rasulullah mengharamkan memakan daging keledai yang

dipelihara. Kedua, hadis dari Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya, bahwa Nabi Saw telah melarang

nikah mut’ah.

Lebih lanjut, Imam Syafi’i menyatakan bahwa semua jenis nikah yang ditentukan

berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui, maka nikah yang

demikian tidak sah, tidak ada hak waris antara kedua pasangan suami-istri tersebut, dan tidak

berakibat juga pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum dalam pernikahan seperti; thalaq,

zhihar, ila, dan li’an. Artinya, Imam Syafi’i berpandangan bahwa nikah yang dilakukan

dengan menentukan batas waktu, maka nikahnya tidak sah dan segala akibat yang ditimbulkan

dari pernikahan tersebut dianggap tidak sah juga.2

2
Abu Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, Tahqiq; Dr. Rif’at Fauzi Abdul

Muthalib, ( Kairo-Mesir: Dar al-Wafa’, 1422 / 2001), 206.

4
Ulama Malikiyah juga memandang nikah mut’ah sebagai pernikahan yang tidak sah

atau karena rusak (cacat) dalam salah satu rukun atau dalam salah satu syarat sahnya nikah.

Penggolongan nikah mut’ah sebagai nikah yang cacat bagi kalangan Malikiyah sesuai dengan

klasifikasi jenis pernikahan yang disebut rusak. Pertama, pernikahan yang disepakati para

fuqaha akan kerusakannya, seperti menikahi salah satu mahram dari satu keturunan atau dari

satu tempat penyusuan atau ikatan besanan. Kedua, pernikahan yang diperselisihkan para

fuqaha akan kerusakannya, yakni pernikahan yang dianggap rusak oleh ulama Malikiyah dan

dianggap sah menurut sebagian fuqaha, dengan syarat perselisihannya berat, seperti

pernikahan orang yang sakit, dalam hal ini tidak diperbolehkan. Namun, jika perbedaan

pendapat itu ringan seperti pernikahan mut’ah, menikahi istri yang kelima, maka secara

sepakat rusak nikahnya.

Pernikahan yang rusak menurut ulama Hanafiyah adalah yang tidak memenuhi syarat

sahnya nikah. Macam-macamnya adalah nikah tanpa saksi, nikah mut’ah (temporal), menikah

dengan lima orang sekaligus dalam satu akad, menikahi seorang perempuan dan saudarinya,

atau bibi dari ayah, dan bibi dari ibu. Juga menikahi istri orang lain tanpa mengetahui bahwa ia

telah menikah. Semua jenis pernikahan yang telah disebutkan ini menurut Abu Hanifah dan

sahabatnya adalah jenis pernikahan yang rusak dan tidak sah.3

Berdasarkan deskripsi kajian tentang pandangan ulama Sunni tentang nikah mut’ah,

dapat peneliti paparkan bahwa ulama Sunni berpandangan bahwa nikah mut’ah telah dilarang

3
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh… , 112.

⁴Pengurus Pusat MUI, Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997,

(Jakarta : Pengurus Pusat MUI, 2004), hlm. 3.

Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Bahtsul Masail Dinyah Munas NU, November 1997 di

Nusa Tenggara Barat, (Jakarta :, PBNU, 1997).

5
secara mutlak. Pegangan ulama Sunni adalah beberapa dalil yang terdapat dalam al-Qur’an

surah: An-Nisa’ (4): 24 ; “ Dan di haramkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami,

kecuali budak – budak yang kamu miliki, ( Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai

ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri

– istri dengan hartamu untuk di kawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu

nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai

suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling

merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

maha Bijaksana”.

Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya

nikah mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin

kontrak banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara umum. Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-

679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa nikah Mut’ah haram hukumnya,

sebagai berikut :

1. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM.

2. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila dikemudian hari

terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.⁴

Demikian juga halnya pendapat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah

menetapkan fatwa terkait nikah mut’ah dalam forum Bahtsul Masail Diniyah Munas NU pada

6
bulan November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan

bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak

hukumnya haram dan tidak sah. ”Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah,

khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah.” Nikah mut’ah berdasarkan jumhur

fukaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai dasar

hukumnya, ulama NU bersandar pada pendapat Imam al-Syafi’iy dan Syaikh Husain

Muhammad Mahluf dalam Fatwa al-Syar’iyyah.5

E. KESIMPULAN

Nikah mut'ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Islam saat itu masih dalam masa

transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah saw kemudian melarang

praktik nikah mut'ah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani

menjelaskan, bahwa pernikahan mut'ah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum

kebolehannya sudah termansukh atau terhapus.

Dari Ar-Rabi' bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa

Rasulullah saw bersabda, "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah.

7
Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim).

Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut'ah huk

umumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan,

pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab, menganggap

nikah mut'ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum

rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.

Di zaman sekarang, nikah mut'ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau

dari perspektif rukunnya, nikah mut'ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan

pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak

jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut'ah

tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu

pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.

Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan

Syiah terkait nikah mut'ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut'ah

dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut'ah. Sementara ulama

Sunni melarang nikah mut'ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi,

Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah yang tidak menganjurkan mut'ah,

karena dapat merugikan kaum wanita.

Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak

Sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau

mut'ah hukumnya haram.

8
DAFTAR PUSTAKA

Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169

Abu Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, Tahqiq; Dr. Rif’at Fauzi

Abdul

Muthalib, ( Kairo-Mesir: Dar al-Wafa’, 1422 / 2001), 206.

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh.

⁴Pengurus Pusat MUI, Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997,

9
(Jakarta : Pengurus Pusat MUI, 2004).

Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Bahtsul Masail Dinyah Munas NU, November 1997 di

Nusa Tenggara Barat, (Jakarta :, PBNU, 1997).

10

Anda mungkin juga menyukai