Disusun Oleh :
Kelompok 2
FAKULTAS SYARIAH
PURWOKERTO 2022
A. PENDAHULUAN
Islam yang mensyari’atkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh
umatnya menikah, tetapi juga mengatur segala yang terkait demgan pernikahan supaya
menjamin pencapaian tujuan dan hikmah pernikahan. Untuk sahnya suatu perkawinan harus
terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun perkawinan dalam Islam ada lima, yaitu: 1) calon
suami; 2) calon isteri; 3) wali nikah; 4) dua orang saksi; dan 5) ijab-kabul. Semua rukun ini
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila yang pertamanya “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting untuk membentuk keluarga
yang bahagia, tetapi juga didasarkan pada aturan-aturan agama. Dalam pasal 1 Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini
merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat
dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur
perkawinan.
1
B. PENGERTIAN MUT’AH
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati.
Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai
dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah
atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum
Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra Islam yang dimaksudkan
untuk melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Islam,nikah seperti ini
mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah mengalami beberapa kali
perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk
selamanya. Pada masa sahabat,larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi
pegangan jumhur sahabat.Akan tetapi, ada sebagian kecil di antara mereka yang masih
membenarkan,bahkan melakukan praktek nikah mut’ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin
Abdullah. Pada masa kekhalifahannya, Umar bin al-Khattab (581-644) secara tegas melarang
siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum rajam. Larangan Umar ini
dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara sampai
generasi berikutnya.
1
. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169).
2
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami
berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau
memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas
Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata:
Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang
Namun hukum ini telah batal dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih
pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun
yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah
tahun 8 Hijriyah. ²
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits
Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar
Shallallahu ‘alahi wa sallam: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah
3
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya
sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah
tidak sah (rusak). Alasan utamanya adalah karena nikah mut’ah adalah pernikahan yang
dibatasi dengan waktu tertentu. Akad tersebut dapat dibatalkan oleh adanya kesepakatan
waktu. Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat nikah mut’ah adalah haram. Argumentasinya
didasarkan pada beberapa hadis masyhur yang melarang nikah mut’ah. Pertama, hadis dari
‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah pada waktu perang
khaibar yaitu pada hari yang sama Rasulullah mengharamkan memakan daging keledai yang
dipelihara. Kedua, hadis dari Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya, bahwa Nabi Saw telah melarang
nikah mut’ah.
Lebih lanjut, Imam Syafi’i menyatakan bahwa semua jenis nikah yang ditentukan
berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui, maka nikah yang
demikian tidak sah, tidak ada hak waris antara kedua pasangan suami-istri tersebut, dan tidak
berakibat juga pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum dalam pernikahan seperti; thalaq,
zhihar, ila, dan li’an. Artinya, Imam Syafi’i berpandangan bahwa nikah yang dilakukan
dengan menentukan batas waktu, maka nikahnya tidak sah dan segala akibat yang ditimbulkan
2
Abu Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, Tahqiq; Dr. Rif’at Fauzi Abdul
4
Ulama Malikiyah juga memandang nikah mut’ah sebagai pernikahan yang tidak sah
atau karena rusak (cacat) dalam salah satu rukun atau dalam salah satu syarat sahnya nikah.
Penggolongan nikah mut’ah sebagai nikah yang cacat bagi kalangan Malikiyah sesuai dengan
klasifikasi jenis pernikahan yang disebut rusak. Pertama, pernikahan yang disepakati para
fuqaha akan kerusakannya, seperti menikahi salah satu mahram dari satu keturunan atau dari
satu tempat penyusuan atau ikatan besanan. Kedua, pernikahan yang diperselisihkan para
fuqaha akan kerusakannya, yakni pernikahan yang dianggap rusak oleh ulama Malikiyah dan
dianggap sah menurut sebagian fuqaha, dengan syarat perselisihannya berat, seperti
pernikahan orang yang sakit, dalam hal ini tidak diperbolehkan. Namun, jika perbedaan
pendapat itu ringan seperti pernikahan mut’ah, menikahi istri yang kelima, maka secara
Pernikahan yang rusak menurut ulama Hanafiyah adalah yang tidak memenuhi syarat
sahnya nikah. Macam-macamnya adalah nikah tanpa saksi, nikah mut’ah (temporal), menikah
dengan lima orang sekaligus dalam satu akad, menikahi seorang perempuan dan saudarinya,
atau bibi dari ayah, dan bibi dari ibu. Juga menikahi istri orang lain tanpa mengetahui bahwa ia
telah menikah. Semua jenis pernikahan yang telah disebutkan ini menurut Abu Hanifah dan
Berdasarkan deskripsi kajian tentang pandangan ulama Sunni tentang nikah mut’ah,
dapat peneliti paparkan bahwa ulama Sunni berpandangan bahwa nikah mut’ah telah dilarang
3
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh… , 112.
⁴Pengurus Pusat MUI, Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997,
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Bahtsul Masail Dinyah Munas NU, November 1997 di
5
secara mutlak. Pegangan ulama Sunni adalah beberapa dalil yang terdapat dalam al-Qur’an
surah: An-Nisa’ (4): 24 ; “ Dan di haramkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami,
kecuali budak – budak yang kamu miliki, ( Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri
– istri dengan hartamu untuk di kawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
maha Bijaksana”.
Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya
nikah mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin
kontrak banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara umum. Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-
sebagai berikut :
2. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.⁴
Demikian juga halnya pendapat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait nikah mut’ah dalam forum Bahtsul Masail Diniyah Munas NU pada
6
bulan November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan
hukumnya haram dan tidak sah. ”Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah,
khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah.” Nikah mut’ah berdasarkan jumhur
fukaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai dasar
hukumnya, ulama NU bersandar pada pendapat Imam al-Syafi’iy dan Syaikh Husain
E. KESIMPULAN
Nikah mut'ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Islam saat itu masih dalam masa
transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah saw kemudian melarang
praktik nikah mut'ah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani
menjelaskan, bahwa pernikahan mut'ah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum
Dari Ar-Rabi' bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa
Rasulullah saw bersabda, "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah.
7
Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim).
Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut'ah huk
umumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan,
pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab, menganggap
nikah mut'ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum
Di zaman sekarang, nikah mut'ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau
dari perspektif rukunnya, nikah mut'ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan
pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak
jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut'ah
tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu
pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.
Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan
Syiah terkait nikah mut'ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut'ah
dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut'ah. Sementara ulama
Sunni melarang nikah mut'ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi,
Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah yang tidak menganjurkan mut'ah,
Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak
Sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau
8
DAFTAR PUSTAKA
Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169
Abu Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, Tahqiq; Dr. Rif’at Fauzi
Abdul
⁴Pengurus Pusat MUI, Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997,
9
(Jakarta : Pengurus Pusat MUI, 2004).
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Bahtsul Masail Dinyah Munas NU, November 1997 di
10