Anda di halaman 1dari 9

NIKAH MUT’AH: PERSPEKTIF FIQIH

HUKUM DAN IMPLIKASINYA

Rizkayatul Maghfiroh
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN KH. Achmad Siddiq Jember
Jl. Mataram No. 1 Mangli, Kaliwates, Jember 68132, Jawa Timur
rizkayatulmaghfiroh@gmail.com

Abstrak: Nikah Mut'ah adalah sebuah praktik pernikahan sementara yang


dilakukan dalam Islam dengan batasan waktu yang ditentukan. Perspektif fiqih
mengenai Nikah Mut'ah telah menjadi topik yang kontroversial di kalangan ulama
dan cendekiawan Islam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukum dan
implikasi Nikah Mut'ah melalui studi literatur. Metode penelitian ini
menggunakan pendekatan studi literatur yang melibatkan analisis teks-teks Islam,
seperti Al-Quran, Hadis, dan karya-karya ulama terkemuka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendapat ulama tentang Nikah Mut'ah sangat beragam.
Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik ini hukumnya dilarang dan dianggap
tidak sah, sementara yang lain memperbolehkannya dengan beberapa syarat dan
batasan. Penelitian ini memiliki implikasi penting. Pertama, menyoroti keragaman
pandangan ulama tentang Nikah Mut'ah, yang dapat membantu pemahaman
umum tentang perbedaan pendapat dalam Islam. Kedua, mengidentifikasi isu-isu
yang muncul sehubungan dengan praktik ini, yang dapat menjadi dasar untuk
pembahasan lebih lanjut tentang relevansi dan keberlanjutan Nikah Mut'ah dalam
konteks masyarakat modern.

Kata kunci: Nikah Mut'ah, Perspektif Fiqih, Hukum, Implikasi.

Pendahuluan
Latar Belakang
Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang

1
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.1 Pernikahan dapat dilihat dari
dua perspektif yang berbeda. Pertama, pernikahan dipandang sebagai perintah
agama, sementara di sisi lain, pernikahan dianggap sebagai satu-satunya cara yang
diperbolehkan oleh agama untuk menyalurkan kebutuhan seksual. Dalam sudut
pandang ini, ketika seseorang menikah, mereka tidak hanya mematuhi perintah
agama, tetapi juga memiliki dorongan alami untuk memenuhi kebutuhan biologis
yang harus dikeluarkan. Dalam era modern ini, muncul berbagai perubahan sosial
dan budaya yang mempengaruhi tatanan pernikahan. Salah satu fenomena yang
muncul adalah praktik kawin kontrak atau nikah mut’ah, di mana pasangan
menikah dengan perjanjian tertulis yang menetapkan masa pernikahan, hak dan
kewajiban, serta mekanisme pemutusan ikatan perkawinan. Praktik ini
menimbulkan berbagai pertanyaan dalam konteks fiqih Islam, mengingat
pernikahan dalam Islam memiliki karakteristik tertentu yang harus
dipertimbangkan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah studi
literatur, dimana penulis mengumpulkan, menganalisis, dan mengsintesis
informasi yang telah ada dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan
tujuan penelitian. Penulis melakukan pencarian yang sistematis, mengevaluasi
kualitas literatur yang dipilih, dan menganalisis data yang terkumpul untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang topik yang diteliti.

Pembahasan
Pengertian Nikah Mut’ah
Istilah nikah mut’ah berasal dari bahasa arab, perkataan nikah mut’ah
dalam kajian fiqih Islam merupakan penggabungan dua buah kata, yakni kata
”nikah” dan kata ”mut’ah”. Sedangkan kata mut’ah berasal dari kata ً‫ ُﻣ ْﺘـﻌَﺔ‬-‫ﻳُ ْﻤﺘِ ُﻊ‬-‫َﻣ ْﻤﺘَ َﻊ‬

yang memiliki makna kenikmatan. Dalam Fiqih Sunnah, terdapat praktik


pernikahan yang disebut Kawin Mut'ah, yang mengacu pada pernikahan
1
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan (Malang: Universitas Islam Muhammadiyah Malang,
2020), 348.

2
sementara atau pernikahan dengan jangka waktu terbatas, di mana seorang pria
menikahi seorang wanita untuk periode satu hari, seminggu, atau sebulan. Istilah
"Kawin Mut'ah" digunakan karena niat pria tersebut adalah untuk merasakan
kesenangan dalam waktu yang terbatas.2 Setelah masa yang ditentukan berakhir,
mereka secara otomatis berpisah tanpa menggunakan kata talak dan tidak ada hak
warisan yang terkait. Selanjutnya, setelah tercapai kesepakatan dan persetujuan di
antara keduanya, wanita tersebut mengucapkan, "Engkau mengawiniku" atau
"Engkau menikahiku" atau "Engkau memutuskan ikatan pernikahan ini dengan
aku, dengan mas kawin tertentu, selama jangka waktu tertentu (hari, bulan, tahun,
atau periode yang pasti disebutkan)." Kemudian pria tersebut harus segera
menyampaikan tanpa interupsi, "Aku menerimamu."3
Ada beberapa pendapat ulama mengenai definisi nikah mut’ah ini,
diantaranya yakni: 4

1 Ibnu Qudamah
‫ ﻣﺜﻞ ان ﯾﻘﻮل زوﺟﺘﻚ اﺑﻨﺘﻲ ﺷﮭﺮا او ﺳﻨﺔ او ﻟﻰ اﻧﻘﻀﺎء اﻣﻮﺳﻢ او‬،‫ﻧﻜﺎح اﻣﺘﻌﺔ ان ﯾﺘﻮزوج اﻟﻤﺮأة‬
‫ﻗﺪوم اﻟﺤﺎج وﺷﺒﮭﮫ ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻤﺪة ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ او ﻣﺠﮭﻮﻟﺔ‬
Artinya : “ Nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita
(dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja, misalnya (seorang wali)
mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau
setahun, atau sampai musim ini berakhir, atau sampai perjalanan haji ini
selesai, dan sejenisnya. Demikian juga dengan batas waktu yang telah
ditetapkan atau yang belum ditentukan..”
2 Sayyid Saabiq mengatakan:
‫ ﻻن اﻟﺮﺟﻞ ﯾﻨﺘﻔﻊ‬: ‫ وﯾﺴﻤﻰ ﺑﺎ اﻟﻤﺘﻌﺔ‬.‫ ان ﯾﻌﻘﺪ اﻟﺮﺟﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺮأة ﯾﻮم او اﺳﺒﻮﻋﺎ او ﺷﮭﺮا‬: ‫ﻧﻜﺎح اﻟﻤﺘﻌﺔ‬
.‫وﯾﺘﺒﻠﻎ ﺑﺎ اﻟﺰوج وﯾﻤﺘﻊ اﻟﻰ اﻻﺟﻞ اﻟﺬي وﻗﺘﮫ‬

2
Ahmad Dimyathi Basaruddin, dkk, Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Malang: CV. Literasi
Nusantara Abadi, 2022), 84.
3
A. Dzarrin Al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif (Al-Qanun,
Vol.1, No. 1, 2008), 217.
4
http://ukuhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-nikah-siri-dan-nikah-mutah.html diakses
pada 1 Juni 2023.

3
Artinya : “Perkawinan mut'ah terjadi ketika seorang pria menikahi seorang
wanita untuk jangka waktu satu hari, seminggu, atau sebulan. Istilah "mut'ah"
digunakan karena pria tersebut mendapatkan manfaat dan merasa puas dengan
menjalani perkawinan tersebut dan bersenang-senang sampai waktu yang telah
ditentukan oleh mereka.”
Bertolak dari definisi diatas, maka pengertian nikah mut’ah adalah suatu
ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu
tersebut sudah habis, maka berakhir pulalah ikatan perkawinan tersebut, Sehingga
tidak ada niatan untuk membentuk keluarga yang dapat melahirkan anak dan
saling mewarisi, yang merupakan tujuan utama dari pernikahan dan berkontribusi
pada kelangsungan hubungan pernikahan.
Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Dalam sejarah Islam nikah mut’ah pernah diperbolehkan. Seperti pendapat
Imam Nawawi, yang benar dalam nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan
kemudian diharamkan dua kali. Diperbolehkan sebelum perang Khaibar dan
diharamkan setelah perang Khaibar. Dahulu, pernikahan selama tiga hari pernah
diperbolehkan selama masa penaklukan Makkah, terutama pada perang Authas.
Namun, setelah itu, praktik tersebut dilarang secara permanen hingga hari
kiamat.5

1. Dalil Al-Qur’an
Firman Allah Q.S Al-Maarij: 29-31
‫ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺑۡ ﺘَﻐٰ ﻰ‬، َ‫ا ﱠِﻻ َﻋ ٰﻠٓﻰ ا َۡز َوا ِﺟﮭِﻢۡ ا َۡو ﻣَﺎ َﻣﻠَـﻜ َۡﺖ اَﯾۡ ﻤَﺎﻧُﮭُﻢۡ ﻓَﺎِﻧﱠﮭُﻢۡ ﻏَﯿۡ ُﺮ َﻣﻠ ُۡﻮﻣِﯿۡ ﻦ‬،‫َواﻟﱠﺬِﯾۡ ﻦَ ھُﻢۡ ﻟِﻔُﺮ ُۡو ِﺟﮭِﻢۡ ٰﺣﻔِﻈ ُۡﻮ ۙ َن‬
. َ‫ﻚ ھُ ُﻢ اﻟۡ ﻌٰ ﺪ ُۡون‬
َ ِٕ ‫ﻚ ﻓَﺎ ُو ٰ ٓﻟ‬
َ ِ‫َو َر ٓا َء ذٰ ﻟ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki,
Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tercela. Barang siapa
mencari yang dibalik itu, Maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.”

5
Hafidz Muftisany, Fikih Muslimah Praktis Nikah Mut’ah hingga Hukum Cadar (Indonesia:
INTERA, 2021), 2-3.

4
Dalam konteks ini, jelas bahwa hubungan seksual hanya
diperbolehkan dengan istri sah atau budak. Namun, istri dari perkawinan
mut'ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a. Mereka tidak memiliki hak warisan, padahal akad nikah adalah faktor
yang mempengaruhi hak warisan.
b. Iddah (periode menunggu setelah perceraian) dalam nikah mut'ah tidak
sama dengan nikah biasa.
c. Dengan melakukan akad nikah mut'ah, seseorang kehilangan hak istri
keempat dalam poligami, yang tidak terjadi dalam mut'ah.
d. Melakukan mut'ah tidak membuat seseorang dianggap sebagai muhsin
(orang yang berperilaku baik), karena wanita yang diambil melalui
mut'ah tidak memiliki status istri maupun status budak. Oleh karena
itu, mereka yang melakukan mut'ah termasuk dalam penafsiran ayat
Allah tersebut. 6
2. Dalil As-Sunnah
Penting untk dicatat bahwa mayoritas ulama Sunni tidak mengakui
atau menerima nikah mut’ah sebagai bagian dari praktik Islam yang sah.
Nikah mut’ah lebih umum dalam tradisi syi’ah, sementara mayoritas umat
Muslim Sunni menganggapnya sebagai praktik yang dihapuskan.
Dalam konteks Sunni, dalil Assunnah yang dikutip oleh mereka
yang mendukung nikah mut’ah umumnya tidak diterima oleh mayoritas
ulama karena bertentangan dengan tujuan dan makna sejati pernikahan
dalam Islam. Shahih Muslim hadits nomor 1406:
:َ‫ أَﻧﱠﮫُ ﻗَﺎل‬،َ‫ ﻋ َۡﻦ أَﺑِﯿ ِﮫ ﺳَﺒۡ َﺮة‬،‫ َﻋ ِﻦ اﻟ ﱠﺮﺑِﯿ ِﻊ ﺑۡ ِﻦ ﺳَﺒۡ َﺮةَ اﻟۡ ُﺠﮭَﻨِ ﱢﻲ‬، ٌ‫ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ﻟَﯿۡ ﺚ‬:ٍ‫َو َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ﻗُﺘَﯿۡ ﺒَﺔُ ﺑۡ ﻦُ َﺳﻌِﯿﺪ‬
،ُ‫ َﻛﺄَﻧﱠﮭَﺎ ﺑَﻜۡ َﺮةٌ ﻋَﯿۡ ﻄَﺎء‬.ٍ‫ ﻓَﺎﻧۡ ﻄَﻠَﻘۡ ﺖُ أَﻧَﺎ َو َر ُﺟ ٌﻞ إِﻟَﻰ اﻣۡ َﺮأَ ٍة ﻣ ِۡﻦ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﺎ ِﻣﺮ‬،ِ‫أَذِنَ ﻟَﻨَﺎ َرﺳُﻮ ُل ﷲِ ﷺ ﺑِﺎﻟۡ ﻤُﺘۡ َﻌﺔ‬
‫ﺻﺎ ِﺣﺒِﻲ‬
َ ‫ َوﻛَﺎنَ ِردَا ُء‬.‫ ِردَاﺋِﻲ‬:‫ﺻﺎﺣِ ﺒِﻲ‬
َ ‫ َوﻗَﺎ َل‬.‫ ِردَاﺋِﻲ‬: ُ‫ ﻣَﺎ ﺗُﻌۡ ِﻄﻲ؟ ﻓَﻘُﻠۡ ﺖ‬:‫ ﻓَﻘَﺎﻟ َۡﺖ‬.‫ﺿﻨَﺎ َﻋﻠَﯿۡ ﮭَﺎ أَﻧۡ ﻔُ َﺴﻨَﺎ‬
ۡ ‫ﻓَ َﻌ َﺮ‬
‫ﻲ‬
‫َت إِﻟَ ﱠ‬
ۡ ‫ َوإِذَا ﻧَﻈَﺮ‬،‫ﺻﺎ ِﺣﺒِﻲ أَﻋۡ َﺠﺒَﮭَﺎ‬
َ ‫َت إِﻟ َٰﻰ ِردَا ِء‬
ۡ ‫ ﻓَﺈِذَا ﻧَﻈَﺮ‬.ُ‫ َوﻛُﻨۡ ﺖُ أَﺷَﺐﱠ ﻣِﻨۡ ﮫ‬،‫أ َۡﺟ َﻮ َد ﻣ ِۡﻦ ِردَاﺋِﻲ‬
َ‫ )ﻣ َۡﻦ ﻛَﺎن‬:‫ ﺛُ ﱠﻢ إِنﱠ َرﺳُﻮ َل ﷲِ ﷺ ﻗَﺎ َل‬.‫ ﻓَ َﻤﻜَﺜۡ ﺖُ َﻣ َﻌﮭَﺎ ﺛ ََﻼﺛًﺎ‬،‫ك ﯾَﻜۡ ﻔِﯿﻨِﻲ‬
َ ‫ أَﻧۡ ﺖَ َو ِردَا ُؤ‬:‫ ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎﻟ َۡﺖ‬.‫أَﻋۡ ﺠَﺒۡ ﺘُﮭَﺎ‬
(‫ ﻓَﻠۡ ﯿُ َﺨ ﱢﻞ َﺳﺒِﯿﻠَﮭَﺎ‬،ُ‫ﻋِﻨۡ َﺪهُ ﺷ َۡﻲ ٌء ﻣ ِۡﻦ ٰھ ِﺬ ِه اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء اﻟﱠﺘِﻲ ﯾَﺘَ َﻤﺘﱠﻊ‬

6
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana Predana, 2010), 312.

5
Artinya: “Qutaibah bin Sa'id mengisahkan kepada kami bahwa Laits
menceritakan dari Ar-Rabi' bin Sabrah Al-Juhani, dari ayahnya yaitu
Sabrah. Sabrah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah mengizinkan kami nikah mutah. Kemudian saya dan seorang
individu lainnya mendatangi seorang wanita dari suku Bani 'Amir. Wanita
itu terlihat seperti seekor unta betina muda yang memiliki leher yang
panjang. Kami pun menawarkan diri-diri kami kepadanya. Wanita itu
bertanya: Apa yang akan engkau berikan? Aku mengatakan: Jubahku.
Sahabatku juga mengatakan: Jubahku. Jubah milik sahabatku lebih baik
dari jubahku, meskipun aku lebih muda darinya. Ketika dia melihat jubah
sahabatku, dia merasa gembira. Namun ketika ia melihatku, aku
membuatnya senang. Lalu wanita itu berkata, "Engkau dan jubahmu sudah
cukup bagiku." Maka, aku pun tinggal bersamanya selama tiga hari.
Kemudian sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Siapa saja yang mempunyai wanita yang telah ia nikah mutah,
maka ceraikanlah ia.” (H.R Muslim)
3 Menurut Hukum Nasional
Di Indonesia, nikah mut'ah tidak diakui atau diatur oleh hukum
nasional. Hukum perkawinan di Indonesia mengikuti sistem hukum sipil
yang didasarkan pada prinsip-prinsip pernikahan monogami, di mana satu
pria hanya dapat memiliki satu istri secara sah.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur pernikahan secara
umum dan tidak menyertakan ketentuan tentang nikah mut'ah. Hukum
perkawinan di Indonesia mengharuskan pendaftaran pernikahan di Kantor
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil yang memiliki yurisdiksi di
wilayah tempat tinggal pasangan yang akan menikah.
Dalam konteks hukum nasional Indonesia, nikah mut'ah tidak
diakui sebagai bentuk pernikahan yang sah. Oleh karena itu, praktik nikah
mut'ah di Indonesia umumnya dianggap sebagai praktik yang bertentangan
dengan hukum perkawinan yang berlaku. Masyarakat Indonesia umumnya

6
menjalani pernikahan dalam format monogami dan tunduk pada hukum
perkawinan yang berlaku di negara ini.
Implikasi Nikah Mut’ah
Dalam perspektif fikih, terutama dalam mazhab-mazhab Islam, nikah
mut'ah memiliki implikasi yang berbeda-beda tergantung pada pandangan dan
pemahaman mazhab yang dianut. Saya akan menjelaskan implikasi nikah mut'ah
dalam dua mazhab utama, yaitu mazhab Sunni dan mazhab Syiah.
1 Perspektif Fikih Sunni:
Mayoritas ulama Sunni berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah
praktik yang dihapuskan setelah masa Nabi Muhammad SAW. Mereka
menganggap praktik nikah mut'ah tidak sah dan bertentangan dengan
prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam. Dalam pandangan ini, implikasi
dari nikah mut'ah adalah sebagai berikut:
a. Tidak Sah: Nikah mut'ah tidak dianggap sebagai pernikahan yang sah
dalam Islam. Pernikahan dalam Islam dianggap sebagai ikatan yang
permanen dan berkomitmen dalam jangka panjang antara suami dan
istri.
b. Ibadah yang Dilarang: Nikah mut'ah dianggap sebagai bentuk
perbuatan haram atau dilarang dalam agama Islam. Oleh karena itu,
melibatkan diri dalam praktik nikah mut'ah dapat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap ajaran Islam.
2 Perspektif Fikih Syiah:
Dalam mazhab Syiah, nikah mut'ah dianggap sah dan diakui
sebagai bentuk pernikahan sementara. Mereka berpegang pada riwayat-
riwayat yang menyebutkan adanya izin dan praktik nikah mut'ah yang
diperbolehkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Implikasi nikah mut'ah
dalam perspektif fikih Syiah adalah sebagai berikut:
a. Sah dan Diperbolehkan: Nikah mut'ah dianggap sebagai pernikahan
yang sah dan diakui dalam Islam, meskipun dengan sifat sementara.
Pernikahan ini memiliki tata cara dan syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi.

7
b. Batas Waktu dan Hak-hak: Nikah mut'ah memiliki batas waktu yang
telah ditetapkan sebelumnya dan pasangan yang menikah mut'ah
memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu selama periode pernikahan
tersebut. Setelah berakhirnya masa pernikahan, pasangan tersebut
secara otomatis bercerai tanpa memerlukan proses talak atau
perceraian formal.
c. Kontroversi: Meskipun nikah mut'ah diakui dalam fikih Syiah, praktik
ini tetap menjadi kontroversi dalam masyarakat Islam secara luas.
Beberapa ulama dan kelompok masyarakat Muslim mengkritik praktik
nikah mut'ah karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pernikahan Islam yang menekankan stabilitas, kesetiaan, dan
komitmen jangka panjang dalam pernikahan.
Harap dicatat bahwa pemahaman dan interpretasi dalam fikih bisa
bervariasi dan ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam masing-
masing mazhab. Selain itu, praktik dan pandangan terhadap nikah mut’ah
juga dapat berbeda-beda dalam konteks hukum nasional dan masyarakat
Muslim di berbagai negara.

Kesimpulan
Setelah melakukan study literatur dari berbagai sumber. Dapat
disimpulkan bahwasanya terdapat perbedaan pendapat mengenai nikah mut’ah
antara madzhab Sunni dan madzhab Syi’ah. Bagi madzhab Sunni, nikah mut’ah
dianggap tidak sah dan dilarang, sementara madzhab Syi’ah mengakui nikah
mut’ah dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi nikah mut’ah dalam perspektif
fikih adalah sebagai berikut:
a. Dalam madzhab Sunni, praktik ini dianggap tidak sah dan melanggar
prinsip pernikahan Islam yang menekankan kesetiaan dan komitmen
jangka panjang.
b. Dalam madzhab Syi’ah, nika mut’ah dianggap sah dengan batasan waktu
tertentu dan hak-hak yang berbeda. Perbedaan ini mencerminkan
perbedaan dalam interpretasi dan penerapan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hamidy, A. Dzarrin. Nikah Mut'ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum
Positif. Al-Qanun, 2008.
Basaruddin, Ahmad Dimyathi, dan dkk. Hukum Keluarga dan Kontemporer.
Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2022.
Cahyani, Tinuk Dwi. Hukum Perkawinan. Malang: Universitas Islam
Muhammadiyah Malang, 2020.
http://ukuhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-nikah-siri-dan-nikah-
mutah.html diakses pada 1 Juni 2023
Muftisany, Hafidz. Fikih Muslimah Praktis Nikah Mut'ah Hingga Hukum Cadar.
Indonesia: INTERA, 2021.
Shomad, Abdul. Hukum Islam Penamaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana Predana, 2010.

Anda mungkin juga menyukai