Anda di halaman 1dari 7

Makalah FIQH MUNAKAHAT Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Fiqh Dosen Pengampu: Ustadz Fachrudin Aziz

Disusun oleh: M Abul Fadlol AF (124211069)

FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2013

I.

II.

Pendahuluan Pernikahan bukanlah takdir, tapi pilihan. Pilihan bukan dari Tuhan, tetapi dari Fikiran. Pernikahan secara kasat mata seperti halnya jual-beli benda. Benda itu bernama wanita yang ditukar dengan mahar. Namun dengan mata batin, aroma pernikahan jauh lebih dalam dan krusial daripada itu. Tapi sangat sedikit sekali manusia dengan mata batin ini (Fachry uciha). Rumusan Bahasan 1. 2. 3. 4. Pengertian Fiqh Munakahat Wilayah Kajian Fiqh Munakahat Ijtihad Madzahib al-Arbaah Poligami Perspektif Syahrur

III. Pembahasan 1. Pengertian Fiqh Munakahat Fiqh Munakahat terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Munakahat. Secara bahasa, Fiqh bermakna ( paham). Sedangkan secara istilah Fiqh adalah :

"Pengetahuan tentang hukumhukum Syara yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalildalil yang tafshili melalui jalan Ijtihad Sedangkan kata Munakahat adalah jama muanats dari kata . Secara bahasa, adalah : Bersenggama atau bercampur Menurut Istilah Fiqh, terdapat perbedaan pendapat diantara empat madzhab mengenai pengertian . Berikut : Menurut Hanafiah adalah : Nikah itu adalah akad yang mempunyai faidah memiliki, bersenang-senang dengan sengaja

Menurut asy-Syafiiyah : Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan wathI dengan lafadz nikah atau atau tazwij atau yang satu makna dengankeduanya

Menurut Malikiyah : Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk memperbolehkan wathI, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya Menurut Hanbaliyah : Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa adalah sebuah aturan tentang pelaksanan akad untuk menghubungkan ikatan syari wanita dan laki-laki. Jadi, jika digabungkan antara pengertian terpisah Fiqh dan Nikah, Fiqh Munakahat adalah Perangkat peraturan pernikahan dalam Islam yang diperoleh hukumnya dari jalur Ijtihad. Namun, jika dianalisa, definisi yang diberikan oleh ke empat Imam diatas masih berkutat dalam urusan kesenangan Seks belaka. hanya dimaknai secara terbatas, padahal dalam hubungan suami-istri, tidaklah hanya melulu berkutat tentang kesenangan seksual. Ini menunjukan bahwa budaya masa lampau masih belum mendalami sisi-sisi sosial yang terkandung dalam pernikahan. Oleh karena itu, perlu sekiranya diadakan kembali rekonstruksi definisi Nikah dalam Fiqh untuk melahirkan budaya yang tidak ngeseks. Sebab dari definisi mempengaruhi pemahaman, pemahaman mempengaruhi tindakan, dan tindakan manusia yang dilakukan terusmenerus melahirkan sebuah kebudayaan. Jika tidak didefinisikan secara ideal, dikhawatirkan definisi tersebut akan dipolitisasi oleh orang-orang yang bermental seksual. Rekonstruksi inilah yang sedang digeluti oleh para Mujadid-Mujadid (pembaharu) peradaban. Salah satu definisi yang lebih luas dan dalam tentang dijelaskan oleh Ulama Mutaakhirin, Muhamad Ibn Ishrah : Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara laki-laki dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemilkinya dan pemenuhan kewajiban masing-masing 2. Wilayah Kajian Fiqh Munakahat

Kebanyakan kitab Fiqh terdiri dari empat bahasan utama, yaitu Ubudiyah, Muamalah, Munakahat dan Jinayat. Masing-masing bahasan tersebut memiliki ruang bahasan rubu (seperempat) yang sama dalam Fiqh. Jadi, wilayah kajian Fiqh Munakahat adalah terbatas pada bahasan pernikahan saja (Munakahat). Adapun sumber-sumber hukum utama dalam Fiqh munakahat adalah ayat-ayat alQuran atau Hadits nabi yang secara khusus atau berhubungan dalam masalah pernikahan. Dalam al-Quran, terdapat sekitar 85 ayat yang mengatur tentang pernikahan. Salah satu contoh ayat yang mengatur sebuah pernikahan adalah surah alBaqarah 233 : Kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian untuk isteri dan anaknya secara patut Sedangkan dalam Hadits nabi, terdapat beribu-ribu ayat tentang pernikahan. Dalam kitab Muntaha al-Akbar karya Ibn Taimiyah terdapat sekitar 330 hadits yang berbicara soal pernikahan. Selain itu dalam kitab Nail al-Authar karya Ibn Hajar al-Asqalani ditemukan 175 hadit nabi yang berkaitan juga dengan pernikahan. Di dalam Hadits, terdapat banyak sekali redaksi berkaitan tentang pernikahan yang terlihat bertentangan satu sama lain. Misalnya, pernikahan nabi dengan Maimunah. Dalam hadits versi Hurairah, nabi melakukan nikah dengan Maimunah saat sedang melaksanakan Ihram. Sedangkan dalam hadits versi Maimunah, nabi menikahinya setelah selesai berihram. Dari perbedaan versi hadits ini muncul permasalahan, mana yang benar? Nikah saat ihram boleh atau tidak boleh? Untuk mengetahui tentang kebenaran suatu hadits, sedikitnya terdapat dua alat kritik. Yaitu kritik sanad, yaitu dalam jalur periwayatan. Dan Kritik matan, yaitu substansi dari Hadits itu sendiri. Standar indikasi kepalsuan sebuah hadits adalah bila bertentangan dengan semangat al-Quran. Kritik matan juga tak kalah penting dari kritik sanad. Contoh dari hadits yang bersebrangan dengan semangat al-Quran berkaitan dengan pernikahan adalah : Nabi bersabda : tidak halal seorang istri puasa sedangkan suaminya ada ditempat kecuali dengan izin suami Ibadah merupakan ranah privasi seseorang, termasuk puasa. Akan sangat bertentangan dengan al-Quran bila sebuah hak privasi vertikal digugat oleh izin sang suami. Apalagi jika alasan dari pencegahan puasa tersebut adalah faktor keinginan berhubungan intim dengan sang Istri, itu merupakan alasan yang sangat Patriarkhi.

3. Ijtihad Madzahib al-Arbaah Keempat madzhab sepakat, bahwa seorang laki-laki diperbolehkan berpoligami secara mutlak. 4. Poligami Perspektif Syahrur Syahrur adalah salah satu intelektual muslim kontemporer Internasional. Ia berasal dari Damaskus sekaligus menjadi seorang ahli di bidang teknik sipil. Baginya, diperlukan pendalaman serius terhadap teks al-Quran dengan paradigma baru. Meskipun teks al-Quran selamanya statis (tetap), namun substansi yang terkandung di dalamnya adalah dinamis (berubah-ubah) sesuai tuntutan zaman. Yang paling orisinil dari Syahrur adalah teori batas (Hudud, Limit), yaitu teori yang membatasi pemberlakuan hukum ayat-ayat Muhkamat dalam al-Quran. Dalam konteks Poligami, Syahrur membatasi jenis pernikahan ini dalam dua bagian, yaitu pembatasan secara kuantitas (jumlah istri) dan kualitas (kategori Istri poligami). Batas Kuantitas diperbolehkan untuk diterjang apabila batas minimal kualitas terpenuhi. Artinya, seseorang diperbolehkan menikahi istri lebih dari satu apabila sudah memenuhi batas syarat-syarat tertentu. Dalam membatasi pemberlakuan Poligami ini, Syahrur menganalisa sistematika susunan ayat dalam al-Nisa 03 : , . , Dan Jika kalian khawatir akan gugurnya hak-hak anak yatim, maka nikahilah (ibuibunya) sesuka kalian, dua tiga atau empat. Dan jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil maka cukuplah satu saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Demikian itu lebih dekat agar kalian tidak berbuat dzalim Ayat yang berbicara tentang poligami diatas, terdapat redaksi yang diulangi sebanyak dua kali. merupakan huruf syarat yang memerlukan jawab, syarat dan jawab merupakan sebuah kausalitas sebab-akibat yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi syarat sahnya sebuah kalam. Artinya, dalam ayat poligami di atas, terdapat dua kausalitas sebab-akibat dan sekaligus menjadi syarat diperbolehkanya poligami. Yang Pertama, keharusan memiliki kekhawatiran terhadap ( anak-anak yatim). Yaitu terhadap harta peninggalan ayahnya serta terhadap masa depan anak yatim tersebut. Kesimpulan ini diambil dari redaksi , bila sudah memiliki kekhawatiran dan iktikad tersebut, barulah al-Quran menganjurkan

seseorang untuk menikahi ibu dari anak yatim tersebut, dua tiga atau bahkan empat. Syarat pertama yang diajukan al-Quran adalah orientasi pernikahan, yaitu untuk kebaikan sebuah masa depan seseorang dengan menjadikan wanita janda sebagai objek pernikahan. Jadi, objek poligami bukanlah yang perawan, melainkan janda-janda beranak. Hal ini berbeda denga realita yang ada, dimana poligami dilakukan dengan perawan muda bahkan anak dibawah umur. Syahrur memandang, bahwa Tuhan begitu menghargai sebuah status janda dengan penggunaan redaksi ( Yang kalian senangi) daripada (Sesuka kalian). Kedua, Keharusan memiliki kekhawatiran tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim. Disini terdapat dua hal yang harus disoroti, yaitu objek adil dan pengertian adil dalam ayat di atas. Bagi Syahrur, objek keadilan disini bukanlah antar suami dan istri-istri (seks), melainkan antara ayah dan anak-anak yatim dari istri poligami. Sebab, orientasi awal poligami bukanlah kepentingan seksual dengan janda yang dinikahi, melainkan kepentingan sosial, yaitu menyelamatkan masa depan anak yatim itu sendiri. Jadi, yang menjadi Maful bih dari kata pada ayat diatas adalah bukan . Penafsiran ini secara otomatis menjawab tentang makna adil dalam ayat tersebut. Adil disini tentu bukan adil dalam hal menggilir seks terhadap janda-janda poligami seperti halnya penafsiran ulama tafsir klasik, melainkan adil dalam menafkahi anakanak yatim yang ia rekrut dari janda-janda tersebut. Dalam berbuat adil dalam hal nafkah inilah, seorang yang melakukan praktik poligami diharuskan memiliki kemapanan yang cukup dalam urusan finansial. Bila seseorang tak mapan dalam finansial (miskin_red), maka seorang tersebut tidak diperbolehkan berpoligami. Sebab, dengan ketidakmapanan finansial yang ia miliki, ia tidak akan mampu berbuat adil dalam menafkahi anak-anak yatim yang ia punyai. Bila tidak bisa berbuat adil, maka poligami secara otomatis gugur. Penjelasan diatas juga sehati dengan apa yang dilakukan nabi. Bahwa ia (Muhamad) untuk pertama kali menikahi janda dan berpoligami dengan jandajanda juga. Karena memang, orientasi poligami nabi bukanlah hanya pemenuhan nafsu seks semata, seperti tuduhan para orientalis. Melainkan dengan tujuan sosial yang lebih besar. Hanya Sayyida Aisya satu-satunya istri nabi yang masih perawan. Lebih dari itu, poligami dalam al-Quran memang diperbolehkan dalam batasbatasnya. Namun kebolehan dalam al-Quran ini belum sepenuhnya ideal dalam perspektif Sunah. Sebab, Jika kita membaca kembali sejarah pernikahan nabi, poligami baru dilakukan nabi paska Sayyida Khadija meninggal dunia.

Baru setelah itu nabi berpoligami dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini menunjukan bahwa nabi adalah tipe yang setia kepada istri pertama dan tidak tega menyakiti cinta perdananya. Poligami dalam konteks nabi adalah duda feat janda bukan Status suami feat janda atau perjaka feat perawan muda. Apabila untuk disebut sebagai umat nabi adalah meniru uswahnya, maka sudah seharusnya poligami juga dilakukan seseorang setelah menyandang status duda, buka ketika isteri pertama masih ada. Memang ini bukan sebuah kewajiban, akan tetapi sebuah ke-ideal-an berpoligami ala nabi. Jika sepakat bahwa system kepercayaan yang baik melahirkan peradaban yang baik. Maka dunia Islam saat ini adalah representasi dari system kepercayaan yang buruk. Salah satu sebabnya adalah, masih banyaknya penindasan dan ketidakadilan terhadap hak-hak asasi wanita. Poligami tanpa syarat dan batas adalah bentuk dari estafet budaya Patriarkhi Jahiliyah yang tidak berperikewanitaan. Oleh sebab itu, sebagai penerus estafet pembaharuan peradaban, umat Muslim sekarang harus gencar belajar dan melakukan interpretasi ulang terhadap al-Quran. Sebab al-Quran itulah sumber utama kepercayaan umat Islam, kemana al-Quran diinterpretasikan, disitulah budaya Islam terlahir menurut sang pembacanya, khususnya poligami. Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai