EMPAT
MAZHAB
KATA PENGANTAR – 9
Thaharah (Bersuci) – 11
Kenajisan – 14
Sebab-Sebab Hadas – 20
Wudu – 25
Mandi Wajib – 28
Tayamum – 30
Mengusap Sepatu(khuf) – 35
Haid,Istihadhah,dan Nifas – 38
Shalat – 43
Syarat,Rukung dan Sifat Shalat – 49
Sujud Sahwi – 68
Sujud Tilawah – 71
Shalat Sunnah – 74
Shalat Berjamaah – 78
Shalat Musafir – 85
Shalat Khauf – 89
Shalat Jumat – 91
Shalat Hari Raya – 99
Shalat Gerhana – 105
Shalat Istisqa (Minta Hujan) – 107
Jenazah – 108
Zakat – 118
Zakat Hewan Ternak – 123
Zakat Hasil Pertanian – 129
Zakat Emas dan Perak – 132
Zakat Perdangan – 135
Zakat Barang Tambang – 136
Zakat Fitrah – 138
Pembagian Zakat – 142
Puasa – 147
I’tikaf – 157
Haji – 161
Miqat – 167
Ihram dan Larangan-Larangannya – 169
Kewajiban Karena Melanggar Larangan Ihram – 174
Sifat-Sifat Haji – 178
Orang Berhaji yang Terkepung Musuh – 184
Qurban dan Aqiqah – 186
Nazar – 191
Makanan – 194
Sembelihan dan Buruan – 199
Hukum Jual-Beli – 204
Barang-Barang yang Boleh dan Tidak Boleh Diperjualbelikan – 207
Hal-Hal yang Membatalkan Jual-Beli – 212
Riba – 214
Menjual Batang dan Buahnya – 218
Tashriyah dan Pengembalian Barang Cacat – 220
Pengambilan Laba – 225
Jual-Beli yang Dilarang – 226
Perselisihan Dalam Jual-beli dan Kerusakan Barang – 228
Salam dan Qiradh – 231
Gadai – 235
Taflis(Pailit) dan Hajr(Larangan Menggunakan Harta) – 239
Perdamaian (Shulh) – 244
Hiwalah (Pemindahan Hutang) – 247
Jaminan (Dhaman) – 248
Perkongsian (Syirkah) – 251
Perwakilan (Wikalah) – 253
Pengakuan (iqrar) – 256
Penitipan Barang(Wadi’ah) – 261
Peminjaman Barang (‘Ariyah) – 263
Perampasan (Ghashab) – 265
Syuf’ah – 271
Qiradh (Mudharabah) – 275
Penyiraman Tanaman (Musaqah) – 278
Persewaan(Ijarah) – 280
Membuka Lahan – 286
Wakaf – 289
Kitab Menerangkan Hukum Hibah – 291
Barang Temuan(Luqathah) – 295
Anak yang Dibuang di Jalan – 298
Upah Atas Usaha Seseorang – 299
Pembagian Harta Warisan – 301
Wasiat – 310
Nikah – 318
Keharaman dalam Nikah – 327
Khiyar dalam Nikah dan Penolakan Karena Cacat – 332
Mahar – 334
Pembagian Tidur,Nusyus,dan Menggauli Istri – 339
Khulu’ – 341
Talak – 344
Rujuk – 353
Ila’ – 355
Zihar – 358
Li’an – 361
Sumpah – 366
Íddah – 380
Penyusuan – 386
Nafkah – 388
Pemeliharan Anak(Hadhanah) – 393
Tindak Pidana (Finayah) – 395
Diyat – 403
Qasamah – 416
Kafarah Pembunuhan – 420
Hukum Sihir dan Tukang Sihir – 422
Hudud dan Tujuh Macam Finayah – 425
Ta’zir – 450
Penolakan Bahaya Serta Pertanggungan Pemilik Binatang dan Binatangnya – 453
Jihad – 456
Fa’i dan Ghanimah – 459
Fizyah – 471
Hukum-Hukum Peradilan (Aqdhiyah) – 478
Pembagian (Qismah) – 486
Dakwaan dan Pembuktian – 489
Persaksian – 496
Memerdekakan Budak – 505
Tadbir – 507
Budak Kitabah – 508
Ummul Walad – 510
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, zat yang menebarkan banyak kebaikan dan menurunkan
alquran serta menjelaskan pokok-pokok prinsip-prinsip agama-Nya di dalamnya. Dia
menjadikan Rasul sebagai penjelasnya. Dengan demikian, al quran itu bertambah jelas
bagi para sahabatnya tatkala beliau masih hidup. Kemudian, mereka bercerai-berai
sesudah beliau wafat. Mereka sama-sama mencari keutamaan dan keridhaan Allah. Oleh
karena itu, ketika kota-kota besar ditaklukkan dan kalimat tauhid telah tersebar ke
seluruh pelosok negeri, mereka siap untuk mencari rezeki masing-masing serta tempat
tinggal di berbagai negeri dan tetaplah keadaan mereka seperti itu.
Mereka mengajarkan apa yang telah mereka pelajari dan menjelaskan apa yang
telah mereka pahami kepada para pengikut mereka. Kemudian, pengikut mereka
bertambah banyak. Mereka mendalami ilmu-ilmu pengetahuan sehingga mereka
mencapai kedudukan yang tinggi. Mereka berijtihad dengan segala kesungguhan dalam
mencari maksud dan kebenaran sebagai upaya untuk menunaikan amanat. Kemudiaan,
karena usaha sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran, mereka berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat mereka merupakan rahmat bagi segenap makhluk. Mahasuci Allah
lagi Maha Bijaksana.
Aku memuji Allah dengan segala pujian. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Betapa besar kekuasaan-Nya.
Aku pun bersaksi bahwa Sayyidina Muhammad adalah hamba, Rasul, kekasih dan
kesayangan-Nya. Ia dipelihara dari dosa dan kesalahan, serta ditolong dan diteguhkan di
dalam pertolongan-Nya. Semoga salawat dilimpahkan Allah kepadanya, serta kepada
keluarga dan para sahabatnya sebagai salawat yang dapat memperberat timbangan
kebaikan orang yang mengucapkannya dan mengantarkan amanatnya pada hari yang
menakutkan.
Mengetahui hukum yang disepakati (Ijma) dan perbedaan pendapat Para ulama
termasuk perkara penting. Hal ini merupakan keharusan bagi setiap mujtahid dan
hakim, terutama para imam empat mazhab yang pendapat-pendapat mereka dijadikan
rujukan di timur dan barat.
Ijma itu salah satu tonggak Islam sehingga, menurut Para ulama, kufurlah
orang yang mengingkarinya jika telah ada hujjah bahwa hal itu merupakan ijma yang
sempuma. Diperkenankan mengingkari orang yang melakukan sesuatu yang
menyimpang darinya. Perbedaan pendapat di antara Para imam mazhab merupakan
rahmat bagi umat ini, yang tidak dijadikan Allah sebagai kesempitan di dalam agama
ini. Melainkan, hal itu merupakan luthf dan kemurahan.
Buku ini, insyaAllah, akan memberi kemanfaatan dalam banyak masalahyang
diperselisihkan dan yang disepakati oleh seluruh ulama. Juga, insya Allah, kami akan
menyebutkan hukum-hukum tersebut tanpa mengetengahkan dalil dan alasannya. Hal
itu agar mudah bagi mereka yang bermaksud mengetahui pendapat-pendapat para
mujtahid saja yang kami susun dengan cara yang mudah dan baik. Buku ini saya beri
nama Rahmah al- Ummah Fi Ikhtilafal-A'immah (dalam edisi Indonesia : Fiqih Empat
Madzab).
Mudah-mudahan Allah 'Azza wajalla menjadikan upaya ini sebagai amal saleh
dan usaha yang menguntungkan, serta bermanfaat. Amin. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.
Perlu kita ketahui bahwa apabila dalam suatu masalah terdapat perselisihan
pendapat diantara empat imam mazhab maka kami akan menjelaskannya sedemikian
rupa tanpa menyebutkan siapa ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka.
Sementara itu jika di antara keempat imam mazhab tidak ada perselisihan pendapat
maka saya akan mengemukakan siapa ulama yang berbeda pendapat dengan mereka.
Hal ini untuk menjelaskan bahwa dalam masalah tersebut terdapat perbedaan pendapat.
Hanya kepada Allah kami memohon taufik dan kepida-Nya kami bertawakal.
Cukuplah Allah sebagai tempat berlindung dan sebaik-baiknya Pelindung.
Shalat tidak sah dikerjakan kecuali dengan bersuci terlebih dahulu. Demikian
menurut ijma. Para ulama sepakat tentang wajibnya bersuci dengar air jika air itu ada
dan dapat digunakan, serta tidak ada keperluan lain yang lebih mendesak, seperti untuk
minum. Sementara itu, wajib bertayamum dengan tanah (debu) jika tidak ada air.
Para fukaha di kota-kota besar seperti Kufah dan Basrah-telah sepakat bahwa air
laut, baik yang tawar maupun yang asin, adalah suci dan menyucikan, seperti air-air
yang lain. Namun, terdapat beberapa ulama yang melarang berwudu dengan air laut.
Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkannya ketika dalam keadaan darurat
saja. Sementara itu ada ahli fiqih lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air
laut untuk berwudu.
Para ulama sepakat bahwa bersuci tidak sah kecuali dengan air. Diri wayatkan
dari Ibn Abi Laila dan al-'Ashim ten tang bolehnya bersuci dengar menggunakan cairan
yang lain.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Najis tidak dapat dihilangkan kecual dengan air.
Hanafi: Najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci.
Pendapat paling sahih dari Syafi’i: Air panas karena terkena sinar matahari
hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih olel para pengikutnya
yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.
Demikian juga menurut tiga imam yang lain yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut kesepakatan Para
ulama. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memakruhkannya. Sementara itu,
Hambali memakruhkannya jika ia dipanaskan dengan api Air bekas bersuci
(musta'mal) hukumnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Demikianlah pendapat
yang masyhur di kalangan mazhab Hanafi yang paling sahih dalam mazhab Syafi’i, dan
mazhab Hambali. Maliki: Air musta'mal dapat menyucikan. Sementara itu, menurut
sebagian riwayat dari Hanafi: Air musta'mal adalah najis. Demikian juga, menurut
pendapat Abu Yusuf.
Air yang berubah karena bercampur dengan jajaran atau benda-benda suci lain
yang sejenis dan perubahannya sangat jelas, menurut Maliki, Syafi'i, dan Hambali: Air
tersebut tidak dapat dipergunakan untuk bersuci. Hanafi dan para pengikutnya: Boleh
bersuci dengan air tersebut. Mereka berpendapat bahwa berubahnya air oleh sesuatu
yang suci tidaklah menghilangkan sifat menyucikan selama unsur-unsur airnya tidak
hilang.
Air yang berubah karena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan hukumnya
adalah suci. Hal ini berdasarkan kesepakatan Para ulama. Diriwayatkan dari Ibn Sirin,
bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Mandi dan berwudu dengan air Zamzam, menurut Hambali: Hukumnya adalah
makruh. Hal itu demi memelihara kemuliaannya.
Api dan matahari tidak dapat menghilangkan najis. Namun, Hanafi
berpendapat: Api dan matahari dapat menghilangkan najis. Menurutnya jika ada kulit
bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka hukumnya suci meskipun tidak
disamak. Demikian pula jika di atas tanah terdapat najis, kemudian kering oleh sinar
matahari. maka tempat itu menjadi suci dan dapat dipergunakan untuk shalat. Namun,
tempat itu tidak dapat dipergunakan untuk bertayamum. Hanafi: Api dapat
menghilangkan najis.
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: Apabila air tenang
kurang dari dua qullah, ia akan menjadi najis jika terkena benda najis walaupun sifat-
sifatnya tidak berubah. Maliki dan Hambali dalam riwayat yang lain: Air tersebut suci
selama sifat-sifatnya tidak berubah.
Adapun jika air itu lebih dari dua qullah, yaitu 500 rithl Bagdad atau 180 rithtl
Damaskus, atau dalam volume 4x4x4 hasta, tidaklah menjadi najis jika terkena benda
najis, kecuali jika sifat-sifatnya berubah. Demikian, pendapat Syafi’i dan Hambali.
Maliki: Air yang berada di sebuah tempat dengan ukuran tersebut tidak najis
jika terkena benda najis. Namun jika warna, rasa, atau baunya berubah maka hukumnya
adalah najis, baik air itu sedikit maupun banyak.
Hanafi: Campurannya harus diperhatikan. Jika air itu bercampur dengan benda
najis maka hukumnya adalah najis, kecuali jika air tersebut banyak. Air tersebut
dikatakan banyak (ma'katsir) apabila digerakkan salah satu tepinya maka tepi lainnya
tidak bergerak. Dalam keadaan demikian, hukumnya tidak najis-jika air tersebut terkena
benda najis.
Hanafi, Hambali, dan qaul jadid Syafi’i-yang menjadi pendapat paling kuat di
dalam mazhab Syafi’i: Air yang mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang.
Maliki: Air yang mengalir itu tidak menjadi najis-jika terkena benda najis-kecuali jika
air tersebut berubah, baik ia air yang sedikit maupun banyak. Seperti ini pula qaul
qadim Syafi’i dan yang dipilih oleh sekelompok sahabatnya, seperti al-Baghawi, Imam
al-Haramain, dan al-Ghazali. Imam an-Nawawi, di dalam Syarh. al-Muhadzdzib;
mengatakan bahwa inilah pendapar yang kuat.
Para ulama: Penggunaan perkakas yang terbuat dari emas untuk makan,
minum, dan berwudu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, adalah haram. Syafi’i
berpendapat sebaliknya. Sementara itu, Dawud berpendapat bahwa hal itu haram hanya
jika digunakan untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali yang
mengharamkannya lebih kuat daripada pendapat Syafi’i.
Para ulama: Menggunakan saluran air yang terbuat dari emas adalah haram.
Adapun, menggunakan saluran air yang terbuat dari perak adalah haram menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali jika alirannya besar dan untuk hiasan. Hanafi:
Menggunakan saluran air dari perak tidak haram.
Bersiwak adalah sunnah menurut kesepakatan Para ulama, Sedangkan Dawud
berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Sementara itu, Ishaq berpendapat bahwa
apabila bersiwak itu ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal.
Apakah bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya adalah makruh?
Hanafi dan Maliki: Hal itu tidak makruh. Syafi’i: Hal itu makruh. Dari Hambali
diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.
KENAJISAN
Para imam mazhab sepakat tentang najisnya khamar, kecuali sebuah riwayat
dari Dawud azh-Zhahiri yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya.
Mereka sepakat bahwa apabila khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka
hukumnya menjadi suci. Namun,jika khamar berubah menjadi cuka karena dicampur
dengan sesuatu, menurut Syafi’i dan Hambali, hal itu tidak suci.
Maliki: Mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun,jika
khamar menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Hanafi: Khamar
boleh dibuat cuka, dan apabila telah menjadi cuka maka hukumnya adalah suci dan
halal
Bangkai
Hanafi: Semua kulit binatang dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit
anjing dan babi. Riwayat paling kuat dari Maliki: Kulit tidak dapat menjadi suci, tetapi
ia dapat dipergunakan untuk sesuatu yang basah.
Syafi’i: Semua kulit binatang dapat disucikan dengan disamak, kecuali kulit
anjing dan babi, serta binatang hasil dari kawin silang salah satu dari kedua binatang itu
dengan binatang lain.
Dari Hambali ada dua riwayat, tetapi yang termasyhur mengatakan bahwa kulit
bangkai tidak suci dan tidak dapat dipergunakan untuk apa pun sebagaimana daging
bangkai.
Diriwayatkan dari az-Zuhri: Kulit bangkai dapat dipergunakan meskipun tidak
disamak.
Syafi’i dan Hambali: Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk
apa pun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Jika binatang itu disembelih maka ia
menjadi bangkai.
Maliki: Kulit bangkai dapat dipergunakan, kecuali kulit babi. Jika binatang buas
atau anjing disembelih maka kulitnya suci, boleh diperjualbelikan, dan menyimpan air
wudu, meskipun tidak disamak. Hanafi: Seluruh bagiannya adalah suci, tetapi
dagingnya haram. Maliki: Dagingnya makruh.
Syafi’i: Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu
termasuk bagian badan yang tidak pernah mati. Oleh karena itu, hukumnya adalah suci
secara mutlak, baik ia dari binatang yang halal dagingnya, seperti kambing dan kuda,
maupun dari binatang yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan anjing. Ia pun
berpendapat bahwa bulu anjing dan babi adalah suci, baik ketika masih hidup maupun
setelah mati.
Pendapat paling sahih dari Hambali: Rambut dan bulu anjing dan babi adalah
suci. Demikian juga, menurut Hanafi seraya menambahkan bahwa tanduk, gigi, dan
tulang adalah suci sebab tidak bernyawa.
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan al-Awza'i bahwa rambut semua
binatang adalah najis, tetapi ia dapat disucikan dengan dibasuh,
Para ulama berbeda pendapat ten tang bolehnya memanfaatkan bulu babi untuk
bantal. Hanafi dan Maliki memberikan keringanan, Syafi’i melarangnya, dan Hambali
memakruhkannya. Hambali berpendapat: Bantal dari sabut lebih aku sukai.
Hanafi dan Maliki: Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti lebah,
semut, kumbang, dan kalajengking jika mati pada benda yang basah maka benda itu
tidak menjadi najis karena binatang itu sendiri adalah suci. Pendapat paling kuat dari
Syafi’i dan Hambali: Benda itu tidak menjadi najis, tetapi bangkai binatang itu sendiri
adalah najis.
Syafi’i: Ulat yang muncul pada benda yang halal, apabila mati di dalamnya,
tidak menjadikannya najis, dan benda itu boleh dimakan bersama ulatnya.
Tiga imam mazhab: Binatang yang hidup di air, seperti katak, apabila mati di
dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis. Hanafi: Air itu tidak menjadi najis.
Menurut ijma, bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat
manusia, menurut Maliki, Hambali, dan Syafi’i-menurut pendapat paling sahih, tidak
najis. Hanafi: Mayat itu najis, tetapi bisa disucikan dengan dimandikan.
Orang junub, wanita haid, dan orang musyrik, apabila memasukkan salah satu
tangannya ke dalam bejana berisi air sedikit-kurang dari dua qullah-maka air tersebut
tetap suci. Demikianlah menurut ijma’
Sisa Makan dan Minuman Binatang
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: Sisa makan atau minum anjing dan babi adalah
najis, tetapi sisa makan atau minum binatang lain adalah suci. Pendapat paling sahih
dari Hambali: Sisa makan dan minum binatang buas adalah najis. Maliki: Sisa makan
dan minum binatang itu adalah suci.
Tiga Imam Mazhab sepakat bahwa sisa minum baghal dan keledai adalah suci,
tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat menyucikan. Pendapat paling
sahib dari Hambali: Hal itu najis.
Pentingnya mengetahui masalah ini adalah apabila seseorang tidak mendapatkan
air-selain air sisa minum binatang-apakah ia berwudu dengannya atau bertayamum.
Para ulama sepakat tentang kesucian kucing dan binatang yang lebih kecil
daripadanya. Hanafi: Sisa-makan dan minum-kucing adalah makruh. Sementara itu, al-
Awzai dan ats-Tsawri berpendapat bahwa bahwa sisa-makan dan minum-binatang yang
tidak dimakan dagingnya adalah najis, kecuali manusia.
Mani
Hanafi dan Maliki: Mani manusia adalah najis. Maliki: Mani harus dibasuh
dengan air, baik basah maupun kering. Hanafi: Mani dibasuh jika masih basah dan
dikerik jika telah kering.
Pendapat paling sahih dari Syafi’i: Mani adalah suci secara mutlak, kecuali mani
anjing dan babi. Sementara itu, pendapat paling sahih dari Hambali: Mani yang suci
hanya mani manusia.
Menyentuh Kemaluan
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang menyentuh kemaluannya
dengan selain tangan, wudunya tidak batal. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
orang yang menyentuh kemaluan dengan tangan. Hanafi: Hal itu tidak membatalkan
wudu secara mutlak, dengan sisi tangan mana saja ia menyentuh. Syafi’i: Hal itu
membatalkan wudu jika sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam serta tidak
ada penghalang, baik disertai syahwat maupun tidak. Sedangkan bila sentuhanrrya
dengan punggung tangan, hal itu tidak membatalkan wudu.
Pendapat termasyhur dari Hambali: Hal itu membatalkan wudu, baik
sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam maupun bagian luar. Sedangkan
pendapat paling kuat Maliki: Jika sentuhannya disertai syahwat maka hal itu
membatalkan wudu, tetapi bila tidak disertai syahwat maka wudunya tidak batal.
Adapun menyentuh kemaluan orang lain, Syafi’i dan Hambali: Tidak
membatalkan wudu, baik orang yang menyentuhnya maupun orang yarrg disentuh, baik
anak kecil maupun orang dewasa, baik masih hidup maupun sudah mati. Maliki: Hal itu
tidak membatalkan wudu jika yang menyentuh adalah anak kecil. Hanafi: Hal itu tidak
membatalkan wudu siapa pun yang disentuhnya.
Apakah orang yang disentuh kemaluannya, wudunya batal? Maliki: Wudunya
batal. Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: Wudunya tidak batal.
Empat imam mazhab sepakat bahwa menyentuh biji pelir tidak membatalkan
wudu, meskipun tidak memakai penghalang.
Hanafi dan Hambali: Tidak wajib wudu karena menyentuh amrad (anak muda
belia) meskipun disertai syahwat. Maliki dan Syafi’i: wajib berwudu karenanya.
Memegang dubur, menurut Hanafi dan Maliki, tidak membatalkan wudu.
Syafi’i dan Hambali: Hal itu membatalkan wudu. Namun, menurut riwayat lain dari
mereka, hal itu tidak membatalkan wudu,
Tidur
Para imam mazhab sepakat bahwa tidur sambil berbaring dan bersandar dapat
membatalkan wudu. Namun, mereka berbeda pendapat tentang orang yang tertidur
dalam shalat, misalnya ketika rukuk.
Hanafi: Hal itu tidak membatalkan wudu meskipun tidurnya lama. Namun, jika
ia rebah ke depan atau ke belakang maka wudunya batal.
Maliki: Tidur ketika rukuk dan sujudjika lama, membatalkan wudu. Namun,jika
tidumya ketika berdiri atau duduk maka wudunya tidak batal.
Syafi’i dalam qaul jadid: Jika tidumya di temp at duduknya maka wudunya tidak
batal. Namun.jika tidak, wudunya batal, Sedangkan dalam qaul qadim, ia berpendapat
bahwa tidur dalam keadaan apa pun di dalam shalat tidak membatalkan wudu.
Hambali: Jika tidumya ketika berdiri, duduk, rukuk, dan sujud itu lama maka
wudunya batal. Menurut al-Khaththabi: Inilah pendapat paling sahih dari dua riwayat
Hambali.
Syafi’i: Tidak ada perbedaan antara tidur lama dantidur singkat, meski- pun ia
bermimpi, selama pantatnya tetap melekat pada tempat duduknya. Sebab, tidur itu
sendiri bukanlah hadas, melainkan dimungkinkan timbulnya hadas,
Menyentuh Mushhaf
Menurut ijma: Tidak boleh menyentuh mushhaf (Al-Quran) dan membawanya
bagi orang yang berhadas. .
Ada diriwayatkan dari Dawud dan lain-lain bahwa mereka membolehkannya.
Boleh membawa mushhaf dengan cara dibungkus dan digantungkan, kecuali
menurut Syafi’i: Boleh membawa Al-Quran bersama benda lain atau bersama tafsir atau
dinar (uang), dan boleh juga membuka lembarannya dengan kayu.
Buang Hajat
Syafi’i, Maliki, dan Hambali dalam riwayatnya yang paling masyhur:
Menghadap ke arah kiblat dan membelakanginya ketika buang air di tanah lapang
adalah haram. Hanafi dan Hambali: dalam riwayat lain: Buang air menghadap kiblat
atau membelakanginya, baik di tanah lapang maupun di dalam bangunan adalah
makruh.
Dawud berpendapat: Boleh membelakangi atau-menghadap kiblat di dalam
bangunan ataupun di tanah lapang.
Istinjak
Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam satu riwayat: Istinjak adalah wajib. Namun,
dalam riwayat lain dari Maliki: Sah shalat seseorang tanpa istinjak. Hanafi: Istinjak
adalah sunnah, tidak wajib. Demikian juga menurut riwayat lain dari Maliki. Menurut
Hanafi: Jika seseorang shalat tanpa istinjak maka shalatnya sah. Yang wajib
dihilangkan adalah yang lebih dari ukuran mata uang dirham.
Tidak boleh beristinjak dengan mempergunakan batu yang kurang dari tiga
buah, walaupun sudah bersih. Adapun, yang dimaksud. dengan tiga buah batu adalah
tiga kali sapuan. Maka, apabila batu tersebut mempunyai tiga buah sudut, sudahlah
cukup jika dapat membersihkannya. Namun,jika batu yang bersudut tiga itu tidak bisa
membersihkan, maka bagian itu harus disapu dengan batu keempat, kelima, dan
seterusnya hingga bersih.
Hanafi dan Maliki: Yang diperlukan adalah kebersihannya, dan tidakdisukai
menggunakan lebih daripada tiga buah batu.
Menurut ijma: Boleh beristinjak dengan sesuatu yang dianggap dapat
menggantikan batu, seperti tembikar, kayu, dan papan. Sementara itu, Dawud
berpendapat: Beristinjak harus dengan batu.
Syafi’i dan Hambali: Tidak boleh beristinjak dengan tulang dan kotoran hewan.
Hanafi dan Maliki: Kedua benda itu memadai, tetapi lebih disukai tidak menggunakan
, keduanya.
WUDU
Menurut ijma: Niat adalah wajib dalam thaharah, seperti dalam mandi wajib,
wudu, dan tayamum. Oleh karena itu, thaharah harus dengan niat. Namun, Hanafi
berpendapat: Mandi wajib dan wudu tidak perlu dengan niat. Namun, tayamum harus
dengan niat.
Niat adalah di dalam hati. Agar lebih sempuma, niat di dalam hati dibarengi
dengan pelafalan dengan lisan. Akan tetapi, Maliki berpendapat: Melafalkan niat adalah
makruh.
Para ulama sepakat bahwa niat di dalam hati sudah memadai, tetapi dengan
lisan saja tidak cukup.
Tiga imam mazhab: Membaca basmalah ketika berwudu adalahMenurut ijma:
Niat adalah wajib dalam thaharah, seperti dalam mandi wajib, wudu, dan tayamum.
Oleh karena itu, thaharah harus dengan niat. Namun, Hanafi berpendapat: Mandi wajib
dan wudu tidak perlu dengan niat. Namun, tayamum harus dengan niat.
Niat adalah di dalam hati. Agar lebih sempurna, niat di dalam hati dibarengi
dengan pelafalan dengan lisan. Akan tetapi, Maliki berpendapat: Melafalkan niat adalah
makruh.
Para ulama sepakat bahwa niat di dalam hati sudah memadai, tetapi dengan
lisan saja tidak cukup.
Tiga imam mazhab: Membaca basmalah ketika berwudu adalah sunnah, bukan
wajib. Hambali dalam riwayat yang paling sahih: Membaca basmalah ketika berwudu
adalah wajib.
Dawud berpendapat: Wudu tanpa membaca basmalah tidak sempuma, baik
meninggalkannya karena lupa maupun sengaja.
Ishaq bin Rahawaih berpendapat; Jika berwudu tanpa membaca basmalah karena
lupa maka wudunya sah, tetapi jika sengaja maka wudunya tidak sah.
Para ulama sepakat bahwa membasuh kedua telapak tangan sebelum berwudu
adalah sunnah, bukan wajib. Hambali: Hal itu adalah wajib jika berwudu sesudah
bangun tidur malam, bukan tidur siang.
Sebagian dari kelompok azh-Zhahiriyah mengatakan: Hal itu wajib secara
mutlak, bukan karena najis, tetapi semata-mata sebagai ibadah.
Jika seseorang memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum dibasuh, hal itu
tidaklah merusak kesucian air, kecuali menurut.Hasan al- Bashri.
Maliki dan Syafi’i: Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung adalah
sunnah di dalam wudu dan mandi. Hambali: Hal itu adalah wajib.
Para imam mazhab sepakat bahwa menyela-nyela janggut yang tebal ketika
berwudu adalah sunnah.
Tiga imam mazhab: Batas wajah adalah antara tempat tumbuhnya rambut pada
umumnya hingga dagu, dan dari telinga yang satu hingga telinga yang lain. Maliki:
Bagian antara janggut dan telinga tidak termasuk bagian wajah sehingga tidak wajib
dibasuh ketika berwudu.
Para ulama sepakat bahwa dua siku termasuk ke dalam bagian tangan yang
harus dibasuh ketika berwudu.
Zufar berpendapat: Tidak termasuk.
Syafi’i: Mengusap kepala di dalam wudu cukuplah sekadar menyapu dan tidak
ditentukan bagian tangan yang disapukan. Maliki dan Hambali:
Wajib mengusap seluruh kepala. Hanafi: Cukup mengusap seperempat bagian
kepala dengan tiga jari. Jika diusap dengan duajari, meskipun terusap seluruh
bagiannya, tidaklah sah.
Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Mengusap serban tanpa mengenai kepala tanpa
uzur tidak diperbolehkan. Hambali: Boleh, dengan syarat di bawah talinya ada sesuatu
dan memakainya dalam keadaan suci. Jika di atas kepalanya terdapat penutup maka
mengusapnya tidak sah.
Hanafi, Maliki, dan Hambali: Disunnahkan menyapu kepala dengan sekali
sapu. Syafi’i: Tiga kali sapuan.
Hanafi, Maliki, dan Hambali: Kedua lelinga termasuk bagi.an kepalaOleh
karena itu, disunnahkan mengusap keduanya ketika mengusap kepala. Syafi’i: Menyapu
kedua daun telinga adalah sunnah. Mengusapnya dengan air yang baru, yaitu sesudah
mengusap kepala, bukan air sisa mengusap kepala.
Az-Zuhri berpendapat, "Kedua telinga termasuk bagian wajah yang harus
dibasuh bagian luar dan dalamnya ketika membasuh muka."
Asy-Sya'bi dan sekelompok ulama mengatakan, "Bagian yang menghadap ke
depan termasuk bagian muka sehingga harus dibasuh ketika membasuh wajah.
Sementara itu, bagian yang menghadap ke belakang termasuk kepala sehingga harus
diusap ketika mengusap kepala."
Menurut ijma: Tidak sah mengusap kedua telinga saja tanpa mengusap kepala.
Apakah mengusap kedua telinga itu disunnahkan berulang-ulang? Hanafi,
Maliki, dan Hambali: Sunnah mengusapnya sekali saja. Syafi’i: Disunnahkan
mengusap telinga tiga kali. Pendapat ini sesuai dengan salah satu riwayat dari Hambali.
Hanafi: Mengusap leher termasuk sunnah wudu. Maliki dan Syafi’i: Tidak
disunnahkan. Sebagian ulama pengikut Syafi’i dan salah satu pendapat Hambali: Hal
itu adalah sunnah.
Para imam mazhab: Membasuh kedua kaki dalam wudu bagi orang yang
mampu mengerjakannya adalah wajib.
Hambali, al-Awzai, ats-Tsawri dari IbnJarir: Boleh mengusap kedua kaki.
Boleh juga memilih antara membasuh dan mengusap seluruh kaki.
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas r.a., “yang difardukan atas keduanya adalah
mengusap."
Hanafi dan Maliki: Tartib di dalam wudu tidak wajib. Syafi’i dan Hambali:
Wajib tartib.
Hanafi dan Syafi’i: Muwalat (berturut-turut tanpa menyelingi dengan perbuatan
lain) dalam wudu adalah sunnah. Maliki dan Hambali: Muwalat adalah wajib.
Empat imam mazhab sepakat bahwa mengeringkan anggota wudu tidak
disunnahkan dan tidak dimakruhkan, kecuali Hambali dalam riwayat yang kurang
masyhur.
Empat imam mazhab sepakat bahwa satu wudu dapat dipergunakan untuk
beberapa shalat.
An-Nakha'i berpendapat: Tidak boleh shalat lebih dari lima shalat dengan satu
wudu.
'Ubaid bin 'Umair berpendapat: Satu wudu adalah wajib untuk satu shalat,
berdasarkan lahiriah ayat. "
MANDI WAJIB
Empat imam mazhab sepakat bahwa apabila seorang Laki-laki telah bersetubuh
dengan seorang perempuan dan bertemu kedua kelaminnya, meskipun tidak keluar
mani, mereka wajib mandi. Dawud berpendapat, "Mandi tidak wajib, kecuali keluar
mani." Demikian juga pendapat sekelompok sahabat Nabi Saw.
Syafi’i, Maliki, dan Hambali: Tidak ada perbedaan antara kelamin manusia dan
kelamin binatang. Hanafi: Tidak wajib mandi karena menyetubuhi binatang kecuali
keluar mani.
Syafi’i: Keluar mani mewajibkan mandi, meskipun tidak disertai rasa nikmat.
Hanafi dan Maliki: Jika keluarnya tidak disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi.
Seseorang telah selesai man di wajib, lalu keluar mani, menurut Hanafi dan
Hambali: Jika keluarnya mani sesudah kencing maka tidak wajib mandi. Namun jika
keluarnya sebelum kencing maka wajib mandi. Syafi’i: Wajib mandi secara mutlak.
Maliki: Tidak wajib mandi sama sekali.
Apabila keluarnya mani dengan terpancar ataupun tidak, menurut Syafi’i: Wajib
mandi. Hanafi, Maliki, dan Hambali: Jika keluarnya tidak memancar, tidak wajib
mandi.
Tiga imam mazhab: Tidak wajib mandi, kecuali keluar mani dari zakar.
Hambali: Jika seseorang melamun atau mengkhayal, lalu ia merasakan keluar mani dari
tulang punggung ke batang zakarnya, ia wajib mandi meskipun mani itu tidak keluar.
Orang kafir masuk Islam, menurut Maliki dan Hambali: Ia wajib mandi
sesudah masuk Islam. Hanafi dan Syafi'i: Disunnahkan mandi.
Menggosok badan dengan tangan ketika mandi wajib adalah sunnah, bukan
wajib, kecuali menurut Maliki.
Tiga Imam Mazhab: Boleh berwudu dan mandi wajib dengan sisa air mandi
orang junub dan haid. Hambali: Tidak boleh laki-laki berwudu dari sisa air wudu
perempuan jika ia tidak menyaksikan perempuan itu berwudu. Namun, perempuan
boleh berwudu dari sisa wudu laki-laki dan perempuan.
Menurut ijma: Apabila perempuan haid dalam keadaan junub, lalu bersuci,
cukup baginya mandi sekali untuk haid dan janabahnya.
Diriwayatkan dari kelompok azh-Zhahiriyyah: Perempuan itu wajib mandi dua
kali.
Empat imam mazhab: Orang junub dilarang menyentuh dan membawa mushhaf
(Al-Quran).
Syafi’i dan Hambali: Orang junub dilarang membaca Al-Quran sedikit ataupun
banyak. Hanafi: Boleh, jika membacanya sebagian saja. Maliki: Boleh membaca satu
atau dua ayat.
Diriwayatkan dari Dawud: Orang junub boleh membaca Al-Quran seluruhnya
menurut kehendaknya.
TAYAMUM
Para imam mazhab sepakat bahwa tayamum adalah dengan tanah yang suci
(ash-sha'id), ketika tidak ada air atau ada air, tetapi takut menggunakannya. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang hakikat ash-sha'id. Syafi’i dan Hambali: Ash-sha'id
adalah at-turab (tanah). Oleh karena itu, tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah
yang suci atau dengan pasir berdebu. H'arrafi dan Maliki: Ash-sha'id adalah al-ardli
(tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya,
walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.
Maliki menambahkan: Boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan
dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
Syafi’i dan Maliki: Mencari air terlebih dahulu merupakan syarat
dibolehkannya tayamum. Hanafi: Mencari air tidak merupakan syarat.
Hambali: Wajib mencari air.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang junub boleh bertayamum seperti
orang yang berhadas kecil Musafir yang mempunyai air sedikit dan takut kehausan
boleh menyimpan air tersebut untuk minum, lalu ia bertayamum.
Hanafi dan qaul jadid Syafi’i: Mengusap kedua tangan dalam tayamum adalah
sampai ke siku. Maliki dan Hambali: Mengusap sampai ke siku adalah mustahab
(sunnah), sedangkan sampai ke pergelangan tangan adalah wajib.
Diriwayatkan dari az-Zuhri, "Mengusap tangan itu sampai ke ketiak."
Empat imam mazhab sepakat bahwa seseorang berhadas yang bertayamum,
lalu ia mendapatkan air sebelum shalat, maka tayamumnya batal dan ia wajib bersuci
dengan air itu. Namun, mereka berbeda pendapatjika diperoleh air sesudah shalat.
Syafi’i: Jika shalat itu termasuk shalat yang dapat gugur kewajibannya karena
tayamum, seperti shalat orang musafir, maka shalatnya tidak batal.
Ia boleh meneruskan.shalatnya, tetapi menghentikan shalatnya untuk
wuduadalah lebih baik.
Maliki: Ia boleh meneruskan shalatnya, tidak perlu digugurkan, dan shalatnya
sah. Hanafi: Tayamumnya batal dan ia wajib keluar dari shalat untuk berwudu dengan
air, kecuali jika shalat itu shalat jenazah dan shalat hari raya. Hambali: Tayamumnya
batal secara mutlak.
Para imam mazhab sepakat bahwa jika seseorang melihat air setelah shalat,
maka ia tidak wajib mengulangi shalatnya, walaupun waktu shalat masih ada.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, tayamum tidak dapat
menghilangkan hadas.
Dawud berpendapat: Tayamum dapat menghilangkan hadas. Namun, peridapat
ini lemah karena kalau dapat menghilangkan hadas, kenapa tayamum batal ketika
diperoleh air.
Syafi’i, Maliki, dan Hambali: Tidak boleh mengerjakan dua shalat fardu
dengan satu tayamum, baik bagi orang yang mukim maupun musafir. Demikian juga
pen dap at sejumlah sahabat Nabi Saw. dan tabi'in. Sedangkan Hanafi berpendapat
bahwa tayamum seperti wudu. Boleh mengerjakan beberapa shalat dengan satu
tayamum hingga diperoleh air. Demikian juga pendapat ats-Tsawri dan al-Hasan.
Para imam mazhab sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya tayamum.
Mereka juga sepakat bahwa tayamum tidak menghilangkan hadas, melainkan sekadar
membolehkan shalat. Namun, Hanafi berpendapat: Tayamum dapat menghilangkan
hadas.
Menurut ijma, orang yang bertayamum boleh mengimami shalat orang yang
berwudu dan orang yang bertayamum. Demikian. Namun, diriwayatkan dari Rabi'ah
dan Muhammad bin al-Hasan bahwa mereka tidak membolehkan hal itu.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali: tidak boleh bertayamum
sebelum masuk waktu shalat. Sedangkan Hanafi membolehkannya.
Tiga imam mazhab sepakat bahwa tidak boleh bertayamum untuk shalat hari
raya dan shalat jenazah dalam hadhar (bukan dalam perjalanan), meskipun khawatir
tidak akan dapat dikerjakan kecuali dengan tayamum. Akan tetapi, Hanafi
membolehkannya.
Mereka berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak dalam perjlanan
kesulitan memperoleh air. Sementara itu, ia khawatir waktu shalat akan habis jika
mengambil air yang letaknya jauh. Jika mepgambilnya, diperkirakan matahari secera
terbit. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapatHendaknya ia bertayamum, kemudian
shalat. Setelah mendapatkan air, ia harus mengulang shalatnya.
Menurut Maliki, hendaknya ia bertayamum dan shalat tanpa harus mengulangi
shalatnya jika memperoleh air. Sedangkan menurut Hanafi, hendaknya ia menunda
shalatnya hingga memperoleh air, lalu mengerjakan shalat yang ditinggalkannya.
Barangsiapa merasa khawatir akan mati jika menggunakan air, ia boleh
bertayamum. Di dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Akan
tetapi,jika ia takut bertambah parah sakitnya, bertambah lama sembuhnya, atau takut
menimbulkan sakit baru, tetapi tidak khawatir mati, maka menurut Hana:fi, Sya:fi'i, dan
Hambali, ia boleh bertayamum tanpa harus mengulangi shalatnya-setelah hilang
kekhawatirannya.
Atha' dan al-Hasan berpendapat: Orang sakit tidak boleh bertayamum sama
sekali. Orang sakit tidak boleh bertayamum kecuali ketika tidak ada air.
Barangsiapa yang mendapatkan air sedikit, yang tidak cukup untuk sekali
berwudu, maka menurut pendapat terkuat Syafi'i, ia boleh menggunakan air yang ada
sebelum bertayamum. Hambali: Dibasuh bagian-bagian yang dapat dibasuh dengan air
itu, sedangkan anggota lainnya ditayamumi. Sementara itu, imam lainnya berpendapat
bahwa tidak wajib menggunakan air itu dan boleh bertayamum.
Barangsiapa yang sebagian anggota badannya terluka atau terputus lalu diperban
dan ia takut bertambah parah jika melepas perbannya, dalam hal ini Syafi’i
berpendapat: Hendaknya ia mengusap kain perbannya selain bertayamum. Hanafi dan
Maliki: Apabila sebagian tubuhnya sehat dan sebagiannya terluka maka gugurlah
hukum luka. Namun, lebih disukai jika ia mengusap lukanya dengan air. Akan
tetapi,jika bagian yang terluka lebih besar daripada bagian yang sehat maka hendaklah
ia bertayamum dan gugur kewajiban membasuh anggota yang terluka. Sementara itu,
Hambali berpendapat bahwa yang bagian sehat dibasuh dan bagian yang terluka
ditayamumi.
Apabila seseorang mengusap perban, lalu ia shalat, maka ia tidak dituntut untuk
mengulangi shalatnya. Namun, Syafi’i berpendapat sebaliknya jika perban itu
dibalutkan dalam keadaan berhadas dan sukar dicabut. Demikian pendapat paling kuat
darinya.
Maliki dan Hambali berpendapat: Orang yang mendapat tahanan kota dan tidak
diperbolehkan pergi ke mana-mana, maka jika ia tidak mendapatkan air, ia boleh
bertayamum dan shalat tanpa barus mengulang shalatnya. Dari Hanafi terdapat dua
riwayat, salah satunya mengatakan bahwa tidak perlu shalat hingga ia dibebaskan dari
tahanan itu atau mendapatkan air. Sedangkan pendapat kedua dari Hanafi: menyatakan
bahwa ia harus shalat dan mengulang shalatnya. Demikian juga pendapat Syafi'i.
Orang yang lupa bahwa di kendaraannya ada air, lalu ia bertayamum dan
mengerjakan shalat, kemudian ia menemukan air itu, maka ia harus mengulangi
shalatnya. Demikian pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya. Maliki dalam sebagian
riwayatnya menyatakan bahwa ia tidak perlu mengulang shalatnya, tetapi hal itu lebih
baik. Sedangkan Hanafi dan Hambali berpendapat: Ia tidak wajib mengulang
shalatnya. Seperti ini pula dalam qaul qadim Syafi’i.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan air dan tidak mendapatkan tanah,
sedangkan waktu shalat sudah tiba, menurut Hanafi dan qaul qadim Syafi’i, ia tidak
perlu shalat sehingga sebelum mendapatkan air atau tanah.
Dari Maliki terdapatjuga riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi.
Kedua, mengerjakan shalat menurut keadaannya dan mengulanginya jika
ditemukan air. Hal ini sesuai dengan qaul jadid Syafi’i dan salah satu riwayat dari
Hambali. Ketiga, pendapat paling sahih, harus shalat dan tidak perlu mengulanginya.
Seperti ini pula riwayat kedua dari Hambali.
Jika pada badan seseorang terdapat najis, tetapi ia tidak mempunyai sesuatu
untuk menghilangkannya, sementara ia sendiri dalam keadaan suci, menurut Hambali,
ia bertayamum untuk najis sebagaimana tayamum untuk hadas dan tidak perlu
mengulang shalatnya-setelah memperoleh air. Sementara itu, Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i berpendapat bahwa ia tidak perlu bertayamum untuk najis.
Selain itu, dalam riwayat lain Hanafi berpendapat bahwa ia tidak perlu shalat
hingga mendapatkan air untuk menghilangkan najisnya. Sedangkan Syafi'i berpendapat
bahwa ia boleh shalat dan harus mengulanginya, setelah memperoleh air.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang kadar yang memadai dalam
mengusap anggota tayamum. Hanafi dalam riwayatyang masyhur berpendapat: Dua
tepukan; satu untuk wajah dan satu lagi untuk kedua tangan dan siku.
Adapun, pendapat paling sahih dalam mazhab Syafi’i adalah seperti pendapat
Hanafi. Namun, Syaikh Abu Hamid al-Asfaray ini berpendapat "Hal itu telah
ditetapkan dalam qaul qadim dan qauljadid Syafi’i. Oleh karena itu, mengusap wajah
dan kedua tangan sampai siku adalah dengan dua kali tepukan atau beberapa kali
tepukan."
Maliki dalam riwayatnya paling masyhur dan Hambali berpendapat: Cukup
sekali tepukan untuk mengusap muka dan dua telapak tangan, yaitu bagian dalam jari-
jarinya untuk wajah dan bagian dalam telapak tangan untuk mengusap kedua tangan.
MENGUSAP SEPATU (KHUF)
Menurut ijma kaum Muslim, boleh mengusap bagian atas sepatu ketika dalam
perjalanan. Tidak ada yang melarang hal ini, kecuali golongan Khawarij.
Empat imam mazhab sepakat tentang bolehnya mengusap sepatu ketika mukim
(tidak bepergian), kecuali menurut satu riwayat dari Maliki.
Menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, mengusap sepatu terbatas waktunya,
yaitu bagi musafir adalah tiga hari tiga malam. Sedangkan bagi orang mukim adalah
sehari semalam.
Maliki berpendapat: Mengusap sepatu tidak ada batasnya. Bahkan, pemakainya
boleh mengusapnya selama belum melepasnya atau tidak berjanabah, baik musafir
maupun mukim. Demikian juga menurut qaul qadim Syafi'i.
Disunnahkan mengusap sepatu bagian atas dan bawahnya. Demikian menurut
pendapat tiga imam mazhab. Sedangkan Hambali berpendapat: Disunnahkan
mengusap bagian atasnya saja.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, mengusap bagian atas saja
dipandang sah. Akan tetapi jika diusap bagian bawahnya saja, menurut ijma tidak sah.
Mereka berbeda pendapat mengenai kadar mengusap sepatu. Hanafi
berpendapat: Tidak sah kecuali dengan tiga jari atau lebih. Syafi’i berpendapat: Cukup
menurut sebutan mengusap. Hambali berpendapat: Jika yang diusap lebih banyak, hal
itu sah. Sedangkan Maliki menetapkan sapuan pada tempat yang diwajibkan, yaitu yang
menutupi bagian kaki yang harus dibasuh. Namun jika ada sesuatu di bawah kaki yang
terlewatkan, hendaknya diulang shalatnya kalau masih ada waktu.
Menyapu sepatu cukup sekali. Apabila salah satunya sudah dilepas, yang lain
pun harus dilepas. Demikian menurut ijma empat imam mazhab.
Para imam mazhab sepakat bahwa permulaan waktu mengusap sepatu adalah
sejak berhadas, bukan sejak mengusapnya. Akan tetapi, ada riwayat dari Hambali yang
menyatakan bahwa waktunya adalah sejak mengusapnya. Pendapat ini dipilih oleh al-
Mundziri. An-Nawawi berpendapat, "Inilah yang paling kuat menurut dalil." Sementara
itu, Hasan al-Bashri berpendapat, "Sejak saat memakainya."
Para imam mazhab juga sepakat bahwa apabila waktu mengusapnya telah
lewat, maka thaharah batal, kecuali menurut Maliki yang mengatakan bahwa waktu
mengusapnya tidak terbatas.
Jika seseorang mulai mengusap sepatunya pada waktu mukim, lalu ia bepergian,
hendaklah disempumakan dulu waktu yang diberikan kepada yang mukim. Demikian
menurut tiga imam mazhab. Sementara itu, Hanafi berpendapat: Ia menyempurnakan
waktu yang diberikan kepada orang musafir.
Apabila ada lubang kecil pada sepatu di bawah mata kaki sehingga tampak kaki
sedikit, maka tidak boleh mengusap sepatu tersebut. Demikian peridapat Hambali dan
Syafi’i dalam qauljadid-nya. Sedangkan Maliki berpendapat: Boleh, asalkan lubang itu
belum membesar. Demikian juga pendapat Syafi’i dalam qaul qadim.
Dawud berpendapat: Boleh mengusap sepatu yang sobek tersebut, baik
lubangnya besar maupun kecil.
Ats-Tsawri dan lainnya berpendapat: Boleh mengusap sepatu selama sepatu
tersebut masih memungkinkan dipakai untuk berjalan.
Al-Awza'i berpendapat: Kita boleh mengusap sepatu (yang berlubang) pada
bagian atas dan bagian bawah kaki.
Hanafi berpendapat: Jika lubang tersebut selebar tigajari, tidak boleh
mengusapnya. Namun jika kurang dari itu, boleh mengusapnya.
Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’i dan pendapat paling kuat dari
Maliki: Tidak boleh mengusap kaus kaki. Sementara itu, Hanafi dan Hambali
berpendapat: Boleh mengusapnya. Demikian juga menurut satu riwayat dari Maliki dan
pendapat lain dari Syafi’i.
Menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tidak boleh mengusap kedua kaus kaki,
kecuali yang terbuat dari kulit. Sedangkan Hambali berpendapat: Boleh mengusap
keduanya, asalkan tebal serta kaki tidak terlihat (transparan).
Menurut Hanafi dan Syafi’i yang paling kuat: Orang yang melepas sepatunya
setelah bersuci dengan mengusapnya, ia harus membasuh kedua kakinya, baik
melepasnya untuk waktu lama maupun sebentar, Sementara itu, Hambali dan Maliki
berpendapat: Ia membasuh kedua kakinya. Namun jika melepasnya sudah lama, ia harus
berwudu lagi. Al-Hasan dan Dawud berpendapat, "Tidak wajib membasuh kedua kaki
dan tidak wajib mengulangi wudunya. Ia boleh mengerjakan shalat sehingga berhadas
lagi.
HAID, ISTIHADHAH, DAN NIFAS
HAID
Para imam mazhab sepakat bahwa kewajiban shalat gugur bagi perempuan
haid, yaitu selama masa haidnya. Ia tidak ditun tut mengqadhanya. Ia juga diharamkan
bertawaf di Baitullah, diam di dalam masjid, dan suaminya haram menyetubuhinya
hingga haidnya berhenti.
Umur minimal perempuan haid adalah sembilan tahun. Demikian menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pendapat ini juga dipilih dalam mazhab Hanafi.
Masa Menopause
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang batas waktu berhentinya haid
(menopause) Menurut Hanafi yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ziyad: Sampai umur
enam puluh tahun. Muhammad bin al-Hasan dalam ar-Rumiyyat: Lima puluh lima
tahun. Sedangkan Maliki dan Syafi’i berpendapat: Tidak ada batas yang tetap bagi
masa berhentinya haid. Hal ini bergantung pada keadaan suatu negeri. Hal itu berbeda-
beda karena perbedaan panas dan dingin iklim sutau negeri.
Sementara itu, Hambali memiliki tiga riwayat. Pertama: Lima puluh tahun
untuk perempuan Arab dan bukan Arab secara mutlak. Kedua. Enam puluh tahun secara
mutlak. Ketiga: Enam puluh tahun bagi perempuan Arab dan lima puluh tahun bagi
perempuan bukan Arab.
Istihadhah
Menentukan Awal Masa Istihadhah
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang perempuan mustahadhah (yang
mengeluarkan darah istihadhah). Hanafi:Jika ia mempunyaikebiasaan (masa haid yang
teratur-peny.), hendaknya ia merujuk pada kebiasaan tersebut. Namun jika ia tidak
mempunyai kebiasaan, ia tidakboleh berpegang pada perbedaan darah, melainkan ia
harus berpedoman pada masa haid minimal. Maliki: Ia tidak boleh berpegang pada
kebiasaan, tetapi berpegang kepada perbedaan darah. Oleh karena itu, jika ia dapat
membedakannya, ia berpegang pada perbedaan tersebut. Jika tidak bisa, ia dianggap
tidak haid sama sekali dan tetap mengerjakan shalat. Hal ini dalam bulan kedua dan
ketiga.
Adapun dalam bulan pertama, ada dua riwayat. Salah satunya yang termasyhur
adalah berpedoman pada masa haid maksimal.
Menurut Syafi’i: Jika ia mempunyai kebiasaan dan dapat membedakan darah
haid dari darah penyakit (istihadhah), maka didahulukan pembedaan tersebut. Jika ia
tidak dapat membedakannya maka ia berpedoman pada kebiasaan. Jika keduanya tidak
dapat dilakukan jadilah ia seperti perempuan yang baru mengalami haid dan berpegang
pada ketentuan tersebut.
Hambali berpendapat: Jika ia mempunyai kebiasaan dan dapat mem-
bedakannya, maka ia berpedoman pada perbedaan tersebut. Namun jika keduanya tidak
dapat dilakukan, dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, berpedoman pada masa haid
minimal. Kedua, berpedoman kepada kebiasaan perempuan lain pada umumnya, yaitu
enam atau tujuh hari.
Sanggama dengan Perempuan Mustahadhah
Hanafi, Syafi’i, dan Maliki: Bersanggama dengan perempuan ber-istihadhah
hukumnya adalah boleh, sebagaimana bolehnya mengerjakan shalat dan berpuasa.
Hambali: Tidak boleh bersanggama pada kemaluannya, kecuali jika dikhawatirkan
suaminya akan jatuh pada perzinaan. Jika demikian, sanggama dibolehkan. Demikian
menurut salah satu pendapatnya yang sahih.
Nifas
Empat imam mazhab sepakat bahwa haram bagi perempuan nifas (keluar darah
setelah melahirkan) segala hal yang diharamkan dalam haid. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat tentang lamanya masa nifas.
Semua kaum Muslim sepakat bahwa shalat merupakan salah satu darilima rukun
Islam yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. berikut:
ِي إ
اْل إس ََل ُم َعلَى خ إَمس َ ِبُن
Islam dibangun di atas Lima fondasi (rukun)
Dan sesungguhnya shalat diwajibkan dalam sehari semalam adalah lima kali,
yaitu tujuh belas rakaat; diwajibkan Allah atas setiap laki-laki Islam, balig, dan berakal
(sehat), dan atas perempuan Islam, baligah, dan berakal (sehat), serta tidak sedang haid
dan nifas.
Sesungguhnya kewajiban shalat tidak gugur dari mukallaf, kecuali ia telah
meninggal dunia. Demikian menurut Para imam mazhab, kecuali Hanafi. Hanafi
berpendapat: Apabila seseorang sudah tidak mampu memberi isyarat dengan kepalanya
maka gugurlah kewajiban shalat darinya.
Orang yang pingsan karena suatu penyakit atau sesuatu sebab yang mubah,
gugurlah kewajiban shalat darinya selama ia pingsan. Demikian menurut pendapat
Maliki dan Syafi’i. Hanafi: Jika pingsannya sehari semalam atau kurang, ia wajib
mengqadha shalatnya. Jika lebih daripada itu, ia tidak wajib mengqadhanya. Sementara
itu, Hambali berpendapat: Pingsan tidak menggugurkan kewajiban qadha.
Tatswib dalamAzan
Empat imam mazhab sepakat bahwa tatswib: خير من النَّوم
ٌ الصالةdisyariatkan dalam
azan shalat shubuh saja.
Tiga imam mazhab sepakat bahwa tatswib hukumnya adalah sunnah.
Sementara itu, Syafi’i memiliki dua pendapat. Dalam pendapat terbarunya (qaul jadid)
yang dipilih: Hukumnya adalah sunnah.
Tiga imam mazhab sepakat bahwa mengucapkan tatswib adalah dua kali
sesudah mengucapkan Hayya 'alalfalah. Sedangkan menurut Hanafi, tatswib diucapkan
sesudah selesai azan.
Tatswib tidak disyariatkan pada selain shalat subuh. Namun, al-Hasan bin Shalih
berpendapat: Dianjurkan (mustahab) pada shalat isya. Bahkan, an-Nakha'i berpendapat:
Dianjurkan pada setiap shalat.
Empat imam mazhab sepakat bahwa dalam shalat dua hari raya, shalat dua
gerhana, dan shalat istisqa disunnahkan mengucapkan:
Mereka sepakat bahwa azan yang dianggap apabila dilakukan oleh orang Islam
yang berakal. Sementara itu, azan tidak sah jika dilakukan oleh perempuan untuk kaum
laki-laki. Sedangkan azan yang dilakukan anak laki- laki kecil yang mumayyiz; (sudah
dapat membedakan antara yang baik dan buruk) untuk laki-laki dewasa adalah sah.
Demikian juga, azan yang dilakukan orang yang berhadas, jika hadasnya adalah hadas
kecil.
Tiga imam mazhab memandang sah azan yang dilakukan oleh orang junub.
Sedangkan Hambali berpendapat bahwa azan yang dilakukan oleh orang junub adalah
tidak sah. Pendapat inilah yang dipilih dalam mazhabnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bolehnya muazin mengambil
upah untuk azannya Hanafi dan Hambali: Tidak boleh. Sedangkan menurut Maliki
dan kebanyakan sahabat Syafi’i: Boleh.
Apabila muazin melantunkan azan dengan cepat, maka azannya tetap sah.
Namun, menurut sebagian sahabat Hambali hal itu tidak sah.
Shalat Wustha
Para imam mujtahid berbeda pendapat ten tang shalat wustha. Hanafi dan
Hambali: Al-wustha adalah shalat asar. Maliki dan Syafi’i: Al-wustha adalah shalat
fajar (subuh). Sedangkan pandapat yang dipilih Para ulama mutaakhir mazhab Syafi’i:
Al-wustha adalah shalat asar.
SYARAT, RUKUN, DAN SIFAT SHALAT
Syarat-syarat Shalat
Para imam mujtahid sepakat bahwa shalat mempunyai syarat-syarat. Tanpa
syarat-syarat tersebut, shalat tidak sah. Syarat-syarat yang mendahului shalat ada
empat, sebagai berikut:
1. wudu dengan air atau tayamum ketika tidak ada air;
2. berdiri di tempat yang suci;
3. menghadap Kiblat bagi yang sanggup melakukannya;
4. mengetahui dengan yakin bahwa waktu shalat telah tiba
Menutup Aurat
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang menutup aurat. Hanafi; Syafi’i,
dan Hambali: Menutup aurat termasuk syarat-syarat shalat. Oleh karena itu, menurut
mereka syarat shalat itu ada lima.
Hal tersebut berbeda dengan pendapat Para ulama mazhab Maliki. Sebagian
mereka berpendapat: Menutup aurat termasuk syarat-syarat shalat jika sanggup
dikerjakan dan teringat. Kalau aurat sengaja dibuka dan shalat dalam keadaan tersebut,
padahal ia sanggup menutupnya, maka shalat itu batal.
Sebagian yang lain berpendapat: Menutup aurat merupakan kewajiban yang
berdiri sendiri. Ia bukan syarat sahnya shalat. Oleh karena itu, jika seseorang shalat
dalam keadaan aurat terbuka dan disengaja maka ia telah durhaka, tetapi kewajiban
shalatnya gugur-shalatnya dipandang sah. Sedangkan pendapat yang dipegang Para
ulama mutaakhir mazhab Maliki: Shalat dengan aurat terbuka adalah tidak sah.
Rukun-Rukun Shalat
Empat imam mujtahid sepakat bahwa shalat mempunyai rukun-rukun yang
termasuk di dalam shalat. Di antaranya, ada tujuh rukun yang disepakati, sebagai
berikut:
1. niat;
2. takbiratul ihram;
3. berdiri bagi yang mampu;
4. membaca (surah al-Fatihah);
5. rukuk;
6. sujud;
7. duduk pada akhir shalat.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang rukun-rukun selain yang tujuh
ini.
Syarat-syarat dan rukun-rukun di atas merupakan fardu shalat, yang sebagian
bersatu dan sebagian lagi tidak bersatu. Maka, niat menurut ijma adalah fardu shalat.
Niat
Bolehkah niat didahulukan atas takbiratul ihram? Dalam hal ini, Hanafi dan
Hambali berpendapat: Boleh mendahulukan niat atas takbiratul ihram asalkan terpaut
sedikit dengan takbir. Maliki dan Syafi’i berpendapat: Niat harus bersamaan dengan
takbiratul ihram. Tidak boleh didahulukan atau diakhirkan.
Al-Qaffal, seorang imam mutaqaddim pengikut mazhab Syafi’i, berpendapat:
Jika niat bersamaan dengan awal takbiratul ihram, maka shalat itu sah.
An-Nawawi, seorang imam mutaakhir pengikut mazhab Syafi’i, ber- pendapat:
Pendapat yang dipilih dalam hal ini ialah cukup membandingkan kebersamaan menurut
anggapan umum, mengingat shalat yang dikerjakan tidak dipandang lalai darinya. Inilah
yang diamalkan orang-orang dahulu (salaf).
Takbiratul lhram
Para imam mazhab sepakat bahwa takbiratul ihram termasuk fardu-fardu
shalat yang tidak sah kecuali dilafalkan.
Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwa shalat tidak sah dengan semata-mata niat
tanpa takbiratul ihram.
Para imam mazhab pun sepakat bahwa takbiratul ihram cukup dengan
mengucapkan: َّللاُ أ َ إكبَ ُر
َّ (Allah Mahabesar)
Bolehkah lafaz takbiratul ihram diganti dengan kalimat lain yang semakna?
Hanafi berpendapat: Sah takbiratul ihram dengan lafaz pengagungan, seperti (Allah
Mahaagung) dan َّ
(Allah yang Maha- mulia). Kalau seseorang mengucapkan َُّللا
(tanpa tambahan lafaz lain, hal itu sah.
Syafi’i berpendapat: Sahnya takbiratul ihram adalah dengan ucapan َّللاُ أ َ إكبَ ُر
َّ
(Allah Mahabesar). Maliki dan Hambali: Takbiratul ihram tidak sah, kecuali dengan
ucapan (Allah Mahabesar).
Kalau seseorang dapat mengucapkan takbirarul ihram dengan bahasa Arab, lalu
ia bertakbiratul ihram dengan bahasa lain, maka shalatnya tidak sah. Namun, Hanafi
berpendapat: Shalatnya sah.
Menurut ijma Para imam mazhab, mengangkat kedua tangan ketika takbiratul
ihram hukumnya adalah sunnah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang batasannya?
Hanafi: Sejajar telinga. Maliki dan Syafi’i: Sejajar bahu. Hambali memiliki tiga
pendapat. Pertama, yang lebih masyhur, sejajar bahu. Kedua, sejajar telinga. Ketiga,
boleh memilih di antara keduanya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh al-Khurqi.
Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali, bahwa mengangkat kedua tangan ketika
rukuk dan bangkit dari rukuk (i 'tidal hukumnya adalah sunnah. Sementara itu, Hanafi
berpendapat: Bukan sunnah.
Berdiri
Para imam mazhab sepakat bahwa berdiri (qiyam) merupakan fardu shalat
yang diwajibkan bagi orang yang mampu melakukannya. Apabila seseorang
meninggalkannya, padahal ia mampu, maka shalatnya tidak sah. Namun, jika tidak
mampu berdiri, hendaknya ia shalat sambil duduk.
Tentang cara shalat sambil duduk dalam mazhab Syafi’i ada dua pendapat.
Pertama, duduk bersila. Demikian juga riwayat dari Maliki dan Hambali serta satu
riwayat dari Hanafi. Kedua; duduk ifitrasy (duduk dengan melipat kaki kiri di bawah
dan kaki kanan dilipat di samping serta telapak kaki kanan ditegakkan). Inilah pendapat
yang paling sahih. Hanafi: Boleh duduk sekehendaknya.
Adapun jika tidak mampu shalat sambil duduk, menurut pendapat mazhab
Syafi’i: Berbaring di atas lambung yang sebelah kanan sambil menghadap Kiblat. Jika
tidak mampu berbaring, hendaknya terlentang di atas punggung dan kedua kaki
diarahkan ke Kiblat. Demikian juga pendapat Maliki dan Hambali Sementara itu,
Hanafi berpendapat: Hendaknya ia berbaring terlentang di atas punggung dan
menghadapkan kedua kaki ke Kiblat sehingga ia dapat mengisyaratkannya ke Kiblat
ketika rukuk dan sujud.
Jika seseorang tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika rukuk dan sujud,
hendaklah ia berisyarat dengan mata. Akan tetapi, Hanafi berpendapat: Jika sudah
demikian keadaannya, gugurlah kewajiban shalat darinya.
Orang yang mengerjakan shalat di atas kapal atau perahu wajib berdiri jika
shalat itu shalat fardu selama tidak khawatir tenggelam atau kepala pusing. Namun,
Hanafi berpendapat: Tidak wajib berdiri.
Bersedekap
Empat imam mazhab sepakat bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
(bersedekap) di dalam shalat hukumnya adalah sunnah. Namun, ada riwayat dari
Maliki, yang merupakan riwayat paling masyhur: Tangan dijulurkan lurus ke bawah.
Al-Awza'i berpendapat: Boleh memilih antara meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dan menjulurkan tangan ke bawah.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang tempat meletakkan kedua
tangan. Hanafi: Di bawah pusar. Maliki dan Syafi’i: Di bawah dada, di atas pusar.
Hambali memiliki dua pendapat dan yang lebih masyhur adalah yang dipilih al-Khurqi
adalah seperti pendapat Hanafi.
Tiga imam mazhab sepakat bahwa orang yang shalat disunnahkan memandang
ke tempat sujudnya.
Iftitah
Tiga imam mazhab sepakat bahwa doa iftitah di dalam shalat hukumnya adalah
sunnah. Sementara itu, Maliki berpendapat: Bukan sunnah. Melainkan, sesudah
takbiratul ihram langsung membaca surah al- Fatihah.
Mengenai doa iftitah, Hanafi dan Hambali: Doa yang diucapkan adalah
َ
َكَار ََ
تبَ و ْد
ِك َم َب
ِح َّ و َّ
ُالل
هم َ َ
َانك ْحسُب
َ
ُكْرَي
ه غََِل
َالَ إ
َ ودكَُّ
الى جَ َ ََ
تع ُكَ و
اسْم
Mahasuci Engkau, ya Allah, dari dengan memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu,
Mahatinggi kemuliaan-Mu, tidak ada tuhan selain-Mu
َِات
َاو َ السَّمَر
َطِيْ ف َِّيَ ل
ِلذ ْه ُ و
َج هت َج
َّْ و
َ
ِننا مََما أ ََ
ِما و مسْل ُ ْفا َن
ِي ْضَ حاْلَر
ْ َ و
نسُك
ِْي َُ
ِيْ وَََلت
ن ص إ،َ
َِّ ْنِي
ِكُشْر ْ
الم
،َْن
ِي َ َ
الم ْ َِب
الع ر َات
َِّ ِي
ِلِل ََ
مم و ََايْي ََ
مح و
َ
ِننا مََ
َأُ و
ْت ُم
ِر أ َِك ََب
ِذل َُل
ه و َيك
َِْال شَر
َ
ْنِي
ِمُسْل ْ
الم
Aku hadapkan. diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dam bumi dengan
cenderung pada agama yang benar dan berserah. diri, dan aku tidak termasuk
orang-orang yang menyekutukan-Nya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku itu semata-mata hanya bagi Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan dengan (janji) itu aku diperintah serta aku termasuk orang-orang yang
berserah diri.
Isti'adzah
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang mengucapkan isti'adzah
ِ َانِ الر
َّجِيم ْطَ الشَّي
ِن َّ ُ ب
ِالِلِ م َع
ُوذ أ (Aku berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk) sebelum membaca al-Fatihah.
Hanafi: Isti'adzah diucapkan pada rakaat pertama. Syafi’i: Dibaca pada setiap
rakaat. Maliki: Tidak perlu membaca isti'adzah di dalam shalat fardhu. Sementara itu,
dari an-Nakha'i dan Ibn Sirin diriwayatkan bahwa isti'adzah dibaca setelah membaca
surah al-Fatihah.
Membaca Amin
Para imam mujtahid berbeda pendapat tentang mengucapkan Amin sesudah
al-Fatihah. Pendapat yang masyhur dari Hanafi.: Mengucapkannya tidak dikeraskan,
baik oleh imam maupun makmum. Maliki: Dikeraskan bacaannya oleh makmum.
Sedangkan tentang bacaannya oleh imam, terdapat dua pendapat, yaitu boleh dan tidak
boleh. Syafi'i: Dikeraskan oleh imam. Sedangkan tentang bacaannya oleh makmum,
terdapat dua pendapat namun, pendapatnya yang lebih sahih adalah bahwa bacaannya
dikeraskan. Demikian menurut qaul qadim Syafi'i dan yang dilipilih. Hambali
Dikeraskan, baik oleh imam maupun makmum.
I’tidal
Menurut Syafi’i dan Hambali: Mengangkat kepala dari rukuk dan i'tidal adalah
wajib. Demikian juga menurut pendapat Maliki yang termasyhur. Sementara itu,
menurut Hanafi: Tidak wajib. Jadi, boleh langsung sujud, tetapi hal itu makruh.
Mengucapkan Sami’:
ِْ
ض اْلَر
ْ َْ
ء َم
ِل َاتِ و
َوء السَّمَْ
ِلد مُْ
َم ْ ََا َلك
الح بنََّ
ر
ُْ
د َ ء
بع ٍْشَي ْ
ِنَ مْت
ِئ َ ء
ما ش َْ
ِلَم
و.ه َِ
ُد ْ ح
َم َن
لمِ َُ هللا
ِعسَم
ketika bangkit dari rukuk hukumnya adalah sunnah, baik bagi imam, makmum,
maupun bagi orang yang shalat sendirian (muefarid). Demikian menurut Syafi’i.
Sementara itu, menurut Hanafi. Maliki, dan Hambali: Imam tidak boleh membaca
Anggota Sujud
Empat imam mazhab sepakat bahwa sujud disyariatkan dengan tujuh anggota
badan. Ketujuh anggota tersebut adalah muka, dua lutut, dua tangan, dan ujungjari
kedua kaki.
Mereka berbeda pendapat tentang kefarduannya. Hanafi: yang fardu adalah dahi
dan hidung. Syafi’i: yang diwajibkan adalah dahi. Inilah disepakati di kalangan mazhab
Syafi’i. Akan tetapi, tentang anggota lainnya terdapat dua pendapat. Pendapat yang
paling kuat adalah yang mewajib- kannya. Pendapat ini pun merupakan pendapat yang
masyhur dari dalam mazhab Hambali, kecuali hidung, yang dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat dalam mazhab Hambali.
Maliki memiliki dua pendapat yang saling bertentangan. Diriwayatkan dari Ibn
Qasim bahwa yang wajib dalam bersujud adalah dahi dan hidung. Jika keduanya tidak
menempel (pada tempat sujud), sebaiknya shalat tersebut diulang jika masih ada waktu.
Sementara itu jika waktunya sudah lewat maka tidak perlu mengulangnya.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bersujud di atas
lipatan serbannya. Hanafi, Maliki dan Hambali dalam salah satu pendapatnya: Hal itu
boleh. Sedangkan menurut Syafi’i dan pendapat lain Hambali: Tidak boleh hingga
dahinya menempel secara langsung pada tempat sujud.
Mereka pun berbeda pendapat tentang wajibnya membuka kedua tapak tangan
ketika bersujud. Dalam hal ini, Hanafi dan Hambali berpendapat: Tidak wajib. Maliki:
Wajib. Sedangkan Syafi’i memiliki dua pendapat, dan yang lebih sahih: T'idak wajib.
Tasyahud
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai tasyahud awal dan duduknya
(ketika membacanya). Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tasyahud awal adalah mustahab.
Sedangkan menurut Hambali: Tasyahud awal adalah wajib.
Disunnahkan dalam duduk ketika membaca tasyahud awal dengan duduk iftirasy
(duduk dengan melipat kaki kiri di bawah dan melipat kaki kanan di samping serta
telapak kaki kanan ditegakkan) dan untuk tasyahud akhir dengan duduk tawarruk
(duduk dengan melipat kaki kiri di bawah dan kaki kanan dilipat di samping serta
telapak kaki kanan ditegakkan dan telapak kaki kiri di bawah pergelangan kaki kanan).
Demikian menurut Syafi’i. Hanafi: Disunnahkan duduk iftirasy pada tasyahud awal dan
akhir, Maliki: Duduk tawarruk pada kedua tasyahud. Empat imam mzahab sepakat
bahwa boleh membaca salah satu bacaan tasyahud yang telah diriwayatkan dari Nabi
Saw, melalui tiga sahabatnya sebagai berikut:
1. 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khaththab r.a.
2. 'Abdullah bin Mas'ud r.a.
3. Abdullah bin Abbas r.a
Syafi’i dan Hambali memilih tasyahud Ibn Abbas, Hanafi memilih tasyahhud
Ibn Mas'ud, dan Maliki memilih tasyahhud Ibn 'Umar, Tasyahud Ibn Abbas r.a.
sebagai berikut:
َِّ ُ
ِلِل َّيِب
َات ُ الطَات ََّ
لوُ الص َات
َكَارُب ْ ُ
الم َّحِي
َّات الت
َّ ة
ِالِل َُ
ْمَح
َر َّب
ِىُّ و ها الن َُّ
َي ْكَ أ
ليََ السََّلَم
ُ ع
َّ ِ
ِالِل َاد ِب
لى ع ََ
َعَا وْن ََ
لي ه السََّلَم
ُ ع َُا
ُت َكبرََ
و
ُه
د ََْش َأ َّ َِّال
الِلُ و ه إََِل َْ
ن الَ إ ُه
د أ ََْش َ أ َّال
ِحِين الص
َّ ل
ِالِل َُسُو
َّدا ر
َم مح ََّ
ُ ن أ
Segala kehormatan yang penuh berkah, rahmat, dan kebaikan bagiAllah. Semoga
kesejahteraan, rahmat, dan berkah Allah. terlimpah atasmu, wahai Nabi: Semoga
kesejahteraan. atas kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
َّ ُى َو َر إح َمة
َِّللا ُّ علَي َإك أَيُّ َها النَّ ِب
َ سَلَ ُم َّ صلَ َواتُ َو
َّ ال، ُالط ِي َبات َّ الت َّ ِحيَّاتُ ِ َّّلِلِ َوال
َّ أَ إش َهدُ أَ إن الَ إِلَهَ ِإال، َصا ِل ِحين َّ علَى ِعبَا ِد
َّ َّللاِ ال َ علَ إينَا َو
َ سَلَ ُم َّ ال، َُوبَ َر َكاتُه
ُسولُه َ َّللاُ َوأَ إش َهدُ أَ َّن ُم َح َّمدًا
ُ ع إبدُهُ َو َر َّ
Segala kehormatan; rahmat, dan kebaikan bagiAllah. Semoga kesejahteraan,
rahmat, dan berkah Allah terlimpah atasmu, wahai Nabi. Semoga kesejahteraan atas
kami dan hamba-hamba Allah yang saleh, Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Hadis diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim di dalam Shahih mereka, Tasyahhud
Ibn 'Umar r.a, sebagai berikut:
ُ ََّ الس،ُ
َلم َات َّيِب
ُ الط َات لوََّ َِّ ُ
لِلِ الص َّاتَّحِي
الت
ُت
ه َُا َك ََ
بر َّ ة
الِلِ و َُ َح
ْم َر
ِيُّ وَّب
ها الن َيَُّ
ْكَ أ ليََ
ع
،َ
ِحِينَّال َّ ِ
الِلِ الص َاد ِبلى ع ََ َا و
َع ْن
لي ََُ ع ََّالس
َلم
ُِيكَ َل
ه َ ه
ال شَر ُدََْح َّ ال
الِلُ و َِّ
ه إََِل َ ن
ال إ َْد أ ُهََْش
أ
ُ َُس
ُول
ه َر
ه و ُدَُْب
َّدا ع َم
محُ ن ََّ
د أ ُهََْشَأ
و
Salam
Para imam mazhab bepakat Bahwa mengucapkan salam disyariatkan. Syafi'i,
Maliki, dan Hambali: Salam merupakan rukun. Hanafi: Bukan rukun.
Hanafi dan Hambali: Salam yang disyariatkan adalah dua kali.
Maliki: Satu kali. Syafi’i memiliki dua pendapat dan yang paling sahih: Dua
kali.
Apakah salam termasuk bagian shalat? Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Ia
termasuk bagian shalat. Hanafi: Ia bukan bagian shalat.
Bagi siapakah salam diwajibkan? Maliki: Salam pertama wajib bagi imam dan
murfarid. Syafi’i: Wajib bagi imam, makmum, dan murfarid. Hanafi: Bukan fardu.
Hambali memiliki dua riwayat dan yang paling masyhur: Kedua salam itu wajib.
Salam kedua menurut Hanafi, Syafi’i dalam pendapatnya yang paling sahih,
dan Hambali, hukumnya adalah sunnah. Sementara itu, Maliki berpendapat: Tidak
disunnahkan bagi imam dan munfarid. Sedangkan bagi makmum disunnahkan
mengucapkan salam tiga kali; sekali ke kanan, sekali ke kiri, dan sekali lagi ke depan
untuk menjawab salam imam.
Qunut
Disunnahkan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Demikian diriwayat-
kan Syafi’i dari Khulafa ar-Rasyidin r.a. Demikian pula, pendapat Maliki. Hanafi:
Tidak disunnahkan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Hambali: Doa qunut
hanya dilakukan oleh kepala negara untuk keselamatan tentara. Jika sudah ada yang
mengerjakannya sudahlah cukup.
Ishaq berpendapat: Doa qunut hanya disunnahkan ketika terjadi bencana.
Antara Hanafi dan Hambali terjadi perbedaan pendapat tentang orang yang
shalat di belakang imam yang membaca qunut dalam shalat shubuh, apakah ia
mengikutinya atau tidak? Hanafi: Tidak boleh mengikutinya. Hambali: Hendaknya
mengikutinya.
Abu Yusuf berpendapat: Apabila imam membaca unut, hendaknya kita
mengikutinya.
Maliki berpendapat: Ketika membaca qunut tidak perlu mengangkat tangannya.
Akan tetapi, Syafi’i menganjurkan mengangkat tangan Syafi’i berpendapat: Membaca
doa qunut adalah sesudah rukuk. Sedangkan Maliki berpendapat: Sebelum rukuk.
Menghadap Kiblat
Empat imam mazhab sepakat bahwa menghadap ke arah Kiblat merupakan
syarat sahnya shalat, kecuali jika ada uzur, yaitu karena sangat takut dalam suatu
peperangan. Musafir boleh shalat sunnah di atas kendaraan tanpa menghadap Kiblat
karena darurat, asalkan ketika bertakbiratul ihram ia menghadap ke Kiblat. Kemudian
jika orang yang shalat itu berada di sekitar Ka'bah, maka ia wajib menghadapkan
wajahnya ke arah Ka'bah. Sedangkan, jika ia dekat Ka'bah harus dengan yakin bahwa ia
sudah tepat menghadapnya. Jika ia jauh dari Ka'bah, ia boleh berpegangpada ijtihad,
khabar, atau mengikuti orang lain dalam menentukan arah kiblat.
Empat imam mazhab sepakat bahwa jika seseorang shalat berdasarkan
ijtihadnya bahwa ia telah menghadap Kiblat, tetapi temyata ijtihadnya salah, maka ia
tidak perlu mengulangi. shalatnya, kecuali menurut pendapat Syafi’i. Pendapat Syafi’i
adalah pendapat yang paling kuat menurut para ulama pengikutnya.
Wallahua' lam
SUJUD SAHWI
Empat imam mazhab sepakat bahwa sujud sahwi dalam shalat telah
disyariatkan. Orang yang lupa terhadap suatu perbuatan dalam shalatnya, ia harus
menggantikan yang terlupakan itu dengan sujud sahwi. .
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang hukumnya. Hambali dan al-
Khurkhi dari mazhab Hanafi: Sujud sahwi adalah wajib. Maliki: Diwajibkan jika
terjadi kekurangan dan disunnahkan jika terjadi kelebihan. Hanafi dan Syafi’i:
Keduanya (dalam kekurangan dan kelebihan) hukumnya sunnah secara mutlak.
Empat imam mazhab sepakat bahwa jika sujud sahwi ditinggalkan, shalatnya
tidak batal, kecuali menurut satu riwayat dari Hambali.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang tempatnya. Hanafi: Sesudah
salam. Maliki: Jika terjadi kekurangan maka sujud sahwi dilakukan sebelum salam.
Akan tetapijika terjadi kelebihan maka sujud sahwi dilakukan sesudah salam.
Sedangkan jika terjadi keduanya maka sujud sahwi dilakukan dua kali untuk kelebihan
dan kekurangan, dan tempatnya adalah sebelum salam. Pendapat Syafi’i yang paling
masyhur: Untuk keduanya, sujud sahwi dilakukan sebelum salam. Sementara itu,
pendapat Hambali yang paling masyhur: Sebelum salam, kecuali kalau membaca
salam sebelum lengkap jumlah rakaatnya karena lupa atau ragu-ragu tentang jumlah
rakaat. Jika demikian maka sujud sahwi dilakukan sesudah salam.
Apabila imam lupa tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan, hendaknya
ditetapkan berdasarkan keyakinan, yaitu yang lebih sedikit. Demikian, menurut
pendapat Maliki dan Syafi’i, Hanafi juga berpendapat demikian bagi munfarid.
Sedangkan bagi imam, dari Hanafi diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat di
atas. Kedua, bersandar pada dugaan kuat. Hanafi berpendapat: Kalau keraguan terjadi
pertama kali maka hal itu membatalkan shalat. Namun, jika keraguan itu sudah
berulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan, hendaknya didasarkan atas dugaan kuat.
Sementara itu, jika tidak dapat diperkirakan maka didasarkan pada bilangan rakaat yang
sedikit.
Al-Hasan al-Bashri berpendapat: Hendaknya ia mengambil yang banyak, lalu
bersujud sahwi.
Al-Awza'i berpendapat: Ketika ragu, maka ketika itulah shalatnya batal. Apabila
seseorang lupa membaca tasyahhud awal, lalu ia ingat sesudah berdiri maka ia tidak
boleh merunduk kembali untuk duduk. Demikian, pendapat Syafi’i. Sedangkan, jika ia
mengingatnya sebelum berdiri, hendaknya merunduk kembali untuk duduk. Jika
ingatnya ketika rukuk (pada rakaat berikutnya), hendaknya ia bersujud sahwi. Maliki:
Jika punggungnya sudah terpisah dengan tanah, ia tidak boleh duduk kembali.
Hambali: Jika ingatnya sesudah berdiri, sebelum membaca surah al-Fatihah, ia boleh
memilih (kembali duduk atau meneruskannya). Namun, yang lebih utama adalah tidak
duduk kembali.
An-Nakha'i berpendapat: Hendaknya ia kembali duduk, jika belum membaca
surah al-Fatihah.
Al-Hasan berpendapat: Hendaknya ia kembali duduk selama belum rukuk.
Apabila seseorang berdiri untuk rakaat kelima karena lupa, lalu teringat, maka
hendaknya ia duduk. Demikian, menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan, jika belum
membaca tasyahhud dalam rakaat keempat maka hendaknya ia membaca tasyahud
dalam rakaat kelima, lalu bersujud sahwi. Kalau sudah membaca tasyahhud, hendaknya
ia terus bersujud sahwi, lalu salam. Demikian juga, menurut pendapat Maliki dan
Hambali.
Sementara itu, Hanafi berpendapat: Jika ingatnya sebelum sujud dalam rakaat
kelima, hendaknya ia duduk kembali. Sedangkan, jika ingatnya sesudah sujud satu kali
jika dalam rakaat keempat sudah duduk sekadar bacaan tasyahud, sempurnalah
shalatnya. Terhadap rakaat (kelima) ini hendaknya ditambahkan satu rakaat lagi
sehingga keduanya menjadi shalat sunnah. Namun, jika ia tidak duduk dalam rakaat
yang keempat sekadar bacaan tasyahud maka batallah shalat fardunya dan semuanya
menjadi shalat sunnah.
Apabila seseorang shalat dua rakaat, lalu berdiri untuk rakaat ketiga, maka tidak
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, sebagaimana dijelaskan dalam al-
Hawi at-Kabir. bahwa hal itu boleh disempumakan menjadi empat rakaat. la pun
dibolehkan kembali ke rakaat kedua, lalu membaca salam dan bersujud sahwi.
Jika seseorang shalat maghrib empat rakaat karena lupa, hendaknya bersujud
sahwi dan shalatnya sah. Demikian, kesepakatan empat imam mazhab.
Al-Awza'i berpendapat: Hendaknya ditambah satu rakaat lagi, lalu bersujud
sahwi agar shalat magrib tidak menjadi genap.
Apabila imam diberitahu oleh makmum bahwa ia telah meninggalkan satu
rakaat, apakah imam harus menuruti pemberitahuan itu atau berbuat menurut
keyakinannya? Syafi’i dalam pendapatnya yang paling sahih dan Hambali Ia tidak
boleh mengikuti pemberitahuan makmum, tetapi harus berpegang pada keyakinannya.
Hanafi: Harus mengikuti pemberitahuan makmum. Sedangkan, dalam mazhab Maliki
terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Sujud sahwi tidak berkaitan dengan meninggalkan amalan sunnah dalam shalat
selain doa qunut, tasyahud awal, dan membaca salawat kepada Nabi saw, dalam
tasyahud. Demikian, menurut pendapat Syafi’i. Hanafi: Apabila meninggalkan takbir-
takbir dalam shalat hari raya hendaknya sujud sahwi. Demikian juga, menurut pendapat
Hanafi, jika imam mengeraskan bacaan di tempat yang seharusnya dipelankan atau
sebaliknya. Maliki: Jika mengeraskan bacaan di tempat yang seharusnya dibaca pelan,
hendaknya sujud sahwi sesudah salam. Sedangkan, jika membaca pelan di tempat yang
seharusnya dikeraskan, hendaknya sujud sahwi sebelum salam. Hambali: Jika ia
bersujud sahwi, maka hal itu lebih baik. Akan tetapi, jika tidak bersujud, tidak apa-apa.
Jika seseorang membaca surah (Al-Quran) dalam rukuk, sujud, atau tasyahud,
hendaknya ia bersujud sahwi. Hal itu berdasarkan nas dari Syafi’i.
Apabila lupa berkali-kali, maka untuk semua itu cukup dengan dua sujud sahwi.
Demikian, kesepakatan empat imam mazhab.
Diriwayatkan dari al-Awza'i: Apabila lupa itu terdiri dari dua jenis seperti
menambah atau mengurangi, hendaknya bersujud sahwi untuk masing-masing kelupaan
itu.
Ibn Abi Laila berpendapat: Hendaknya ia bersujud sahwi dua kali untuk tiap-
tiap kelupaan.
Jika makmum lupa maka ia tidak perlu bersujud sahwi, menurut kesepakatan
imam mazhab. Demikian pula jika imam lupa maka makmum mengikuti hukum
lupanya imam.
Maliki berpendapat: Jika imam tidak sujud sahwi maka makmum hendaknya
bersujud. Demikian juga, pendapat Syafi’i yang yang paling kuat dan salah satu riwayat
dari Hambali.
SUJUD TILAWAH
Sujud tilawah hukumnya adalah sunnah bagi yang membaca (Al-Quran) dan
yang mendengamya. Demikian, pendapat juga imam mazhab. Sementara itu, Hanafi
berpendapat: Sujud tilawah adalah wajib.
Seseorang yang tidak sengaja mendengar bacaan (ayat sajdah) tidak dianjurkan
untuk bersujud tilawah, menurut tiga imam mazhab. Sedangkan, Hanafi berpendapat:
Keduanya~pendengar dengan sengaja maupun tidak hukumnva sama.
Ayat-ayat sajdah ada empat belas. Demikian, menurut pendapat Syafi’i yang
paling kuat, Hambali, dan Maliki dalam salah satu riwayatnya.
Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Dalam surah al-Hajj terdapat dua ayat
sajdah. Hanafi dalam salah satu riwayat dari Maliki: Hanya ada satu ayat sajdah dalam
surah al-Hajj.
Sujud dalam surah Shad, apakah ia sujud syukur atau sujud tilawah? Hanafi,
Maliki, dan salah satu riwayat Hambali: Ia adalah sujud tilawah. Syafi’i dan dalam
riwayat Hambali yang paling masyhur: Ia adalah sujud syukur yang sebaiknya
dilakukan di luar shalat.
Empat imam mazhab sepakat bahwa dalam surah al-mufashshal terdapat tiga
ayat sajdah, yaitu dalam surah an-Najm, al-Insyiqaq, dan al-'Alaq. Namun, dalam
pendapatnya yang paling masyhur, Maliki berpendapat: Tidak ada ayat sajdah dalam
surah al-mufashshal.
Empat imam mazhab sepakat bahwa ayat-ayat sajdah: lainnya ada sepuluh,
yaitu dalam surah al-A'raf, ar-Ra'd, an-Nahl, al-Isra ', Maryam, al-' Hajj (yang pertama),
al-Furqan, an-Naml, as-Sajdah, dan al-Fushshilat.
Ibn Ishaaq bin Rahawaih berpendapat: Jumlah ayat sajdah adalah lima belas,
yaitu (jumlah di atas) ditambah satu ayat dalam surah Shad.
Apabila orang yang membaca ayat sajdah tidak sedang shalat, sementara yang
mendengar sedang shalat, maka yang mendengarkan tidak dituntut untuk melakukan
sujud tilawah. Demikian, pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Sementara itu,
Hanafi berpendapat: Apabila shalatnya selesai hendaknya bersujud tilawah.
Menurut ijma empat imam mazhab, yang diisyaratkan untuk sujud tilawah
adalah apa yang disyaratkan untuk shalat.
Ibn Musayyab berpendapat: Perempuan haid apabila mendengar bacaan ayat
sajdah, hendaknya ia bersujud dengan isyarat kepala, seraya mengucapkan
Shalat-shalat sunnah mu'akad ialah shalat sunnah witir dan dua rakaat sebelum
subuh. Shalat sangat dianjurkan di antara keduanya adalah shalat witir. Demikian,
pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan, pendapat Hambali: Shalat sunnah yang
sangat dianjurkan adalah shalat dua rakaat sebelum shalat subuh.
Tiga imam mazhab berpendapat bahwa kedua shalat tersebut hukumnya adalah
sunnah. Sementara itu, Hanafi berpendapat: Shalat witir adalah wajib, bukan fardu.
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat sunnah rawatib yang mengiringi
shalat fardu adalah dua rakaat sebelum shalat subuh, dua rakaat sebelum shalat zuhur
dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah shalat magrib, dan dua rakaat sesudah
shalat isya. Hanafi dan Syafi’i menambahkan: Empat rakaat sebelum shalat ashar.
Namun, Hanafi ada berpendapat: Jika ia menghendaki, ia boleh shalat dua rakaat dan
boleh juga empat rakaat sesudah shalat zuhur. Syafi’i membolehkan shalat sunnah
empat rakaat sesudah shalat zuhur.
Hanafi berpendapat: Jika ia menghendaki, ia boleh shalat sunnah empat rakaat
sesudah shalat zuhur dan boleh juga dua rakaat. Ia menambahkan empat rakaat sebelum
shalat isya dan empat rakaat sesudahnya, serta empat rakaat sebdum shalat. Jumat dan
empat rakaat sesudahnya.
Disunnahkan dalam shalat sunnah malam dan siang untuk membaca salam pada
setiap dua rakaat.Jika setiap satu rakaat membaca salam, menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Hal itu boleh. Sedangkan, pendapat Hanafi:
Tidak boleh. Jika seseorang mau, ia boleh shalat sunnah dua rakaat, empat rakaat, enam
rakaat, atau delapan rakaat dengan satu salam. Hal demikian jika shalat tersebut
dilakukannya pada malam hari. Sementara itu jika dilakukannya pada siang hari maka
membaca salam pada setiap empat rakaat.
Jumlah minimal rakaat shalat witir adalah satu rakaat, Sedangkan jumlah
maksimalnya adalah sebelas rakaat. Jumlah minimal rakaatnya yang sempurna adalah
tiga rakaat. Demikian, pendapat Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Shalat witir terdiri dari tiga rakaat dengan satu salam, tidak
boleh lebih dan tidak boleh kurang. Maliki: Shalat witir adalah satu rakaat, yang
diawali shalat genap yang terpisah. Tidak ada batasan bagi shalat genap itu, tetapi
minimal adalah dua rakaat.
Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa surah yang dibaca (setelah surah al-
Fatihah) pada rakaat terakhir shalat witir adalah surah al-Ikhlas dan surah al-
Mu'aumridratain (surah al-Falaq dan an-Nas). Hanafi dan Hambali: Surah al-Ikhlas
saja.
Apabila seseorang telah shalat witir, lalu ia shalat tahajud, maka ia tidak perlu
mengerjakan shalat witir lagi. Demikian, pendapat Syafi’i yang paling sahih dan
pendapat Hanafi. Hambali: Hendaknya witirnya digenapkan terlebih dahulu, lalu
bertahajud, kemudian shalat witir satu rakaat supaya bilangan rakaatnya menjadi ganjil.
Disunnahkan supaya membaca doa qunut pada akhir shalat witir pada tengah
bulan kedua bulan Ramadhan. Demikian, pendapat Syafi’i dan Maliki yang
termasyhur. Hanafi dan Hambali: Hendaknya doa qunut dibaca pada setiap shalat witir
setiap tahun. Pendapat ini pun dianut para pengikut Syafi’i, seperti Abu Abdillah az-
Zubairi, Abul Walid an-Naisa- buuri, Abul Fadhl bin Abdan, dan Abu Manshur bin
Mahran.
Shalat sunnah Iainnya ialah shalat tarawih pada bulan Ramadhan'. Shalat
tarawih terdiri dari dua puluh rakaat dengan sepuluh salam. Lebih utama jika dikerjakan
secara berjamaah. Demikian, pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Abu Yusuf berpendapat: Siapa yang mampu shalat tarawih di rumahnya,
sebagaimana ia dapat mengerjakannya bersama imam, maka shalat itu lebih baik jika
dikerjakan di rumah.
Maliki berpendapat: Shalat malam pada bulan Ramadhan bagi orang yang
mampu lebih aku sukai. Diriwayatkan dari Maliki: Shalat tarawih terdiri dari tiga puluh
rakaat.
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat-shalat yang tertinggal wajib diqadha.
Kemudian, mereka berbeda pendapat tentang- mengqadha shalat pada waktu yang
terlarang untuk shalat. Hanafi: Tidak boleh. Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Boleh.
Apabila matahari telah terbit, sementara seseorang sedang mengerjakan shalat
subuh, maka shalatnya tidak batal. Demikian, pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Sementara itu, Hanafi berpendapat: Shalatnya batal.
Empat imam mazhab sepakat bahwa apabila matahari terbenam, se- mentara
seseorang sedang shalat asar, maka shalatnya adalah sah.
Orang yang ketinggalan salah satu shalat sunnah disunnahkan untuk
mengqadhanya, meskipun dalam waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat,
sebagaimana shalat fardu. Demikian, pendapat yang paling kuat dari, Syafi’i dan salah
satu pendapat Hambali. Maliki dan Syafi’i dalam pendapat yang lain: Tidak perlu
diqadha. Hanafi: Hendaknya diqadha beserta qadha shalat fardu jika tertinggal.
Barangsiapa yang masuk masjid dan shalat (fardu berjamaah) telah berlangsung,
maka ia tidak boleh shalat tahiyatul masjid dan shalat sunnah lainnya. Demikian,
pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki: Jika ia tidak khawatir akan
tertinggal rakaat kedua dari shalat subuh, hendaknya dikerjakan shalat fajar di luar
masjid.
Waktu-waktu yang dilarang untuk shalat ada empat, menurut pendapat Maliki,
yaitu dua waktu yang dilarang karena perbuatan dan dua waktu lainnya dilarang karena
waktu itu sendiri. Pertama, sesudah asar hingga matahari menguning. Kedua, sesudah
subuh hingga matahari terbit. Hal itu karena apabila seseorang belum shalat asar atau
subuh, dan jika waktu kedua salat itu masih ada, maka ia boleh shalat apa saja tanpa
ada perbedaan pendapat, Oleh karena itu, jika ia sudah shalat asar dan subuh, maka ia
tidak boleh shalat apa pun hingga matahari terbenam atau terbit. Hendaknya diketahui
pula, bahwa larangan ini karena shalat itu sendiri. Hal ini sudah menjadi kesepakatan
para ulama. Ketiga, apabila matahari terbit sampai tinggi sedikit. Keempat, sesudah
matahari menguning hingga terbenam.
Adapun, pendapat Hanafi dan Syafi’i: Waktu yang terlarang kelima di samping
keempat waktu di atas ialah ketika matahari berada tepat di atas kepala hingga condong
ke barat.
Maliki dan Hambali: Bolehkan mengqadha semua shalat fardu pada waktu-
waktu yang terlarang karena suatu sebab, kecuali shalat sunnah. Syafi'i: Boleh
mengqadha semua shalat fardu pada segala waktu dan boleh juga mengerjakan shalat
sunnah yang mempunyai sebab pada segala waktu, seperti shalat tahiyatul masjid,
shalat sunnah menjelang thawaf, sujud tilawah, shalat nadzar, dan shalat
memperbaharui thaharah.
Hanafi berpendapat: Tidak boleh shalat fardu pada waktu-waktu yang dilarang
shalat padanya karena waktu, selain shalat asar hari tersebut yang boleh dikerjakan
ketika matahari menguning. Tidak boleh mengerjakan shalat-shalat sunnah pada waktu
yang dilarang shalat padanya bukan karena waktu, kecuali sujud tilawah. Oleh karena
itu, barangsiapa yang tertinggal shalat subuh pada hari itu, ia tidak boleh
mengerjakannya ketika matahari terbit. Jika ia shalat, lalu matahari terbit, maka
shalatnya batal.
Barangsiapa yang telah mengerjakan shalat fajar dua rakaat, maka dimakruhkan
baginya shalat sunnah sesudahnya. Demikian, pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Sedangkan, Maliki berpendapat: Tidak dimakruhkan.
Hal ini jika dikerjakan di luar Makkah. Adapun, jika dikerjakan di Makkah,
apakah dimakruhkan? Maliki dan Syafi’i berpendapat: Tidak dimakruhkan. Hanafi
dan Hambali: Dimakruhkan
SHALAT BERJAMAAH
Empat imam mazhab sepakat ten tang dibolehkannya mengqashar shalat dalam
suatu perjalanan. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah qashar shalat itu
merupakan rukhshah (keringanan) atau 'azimah. (ketetapan mutlak)? Hanafi
berpendapat: Ia adalah 'azimah dan ditetapkan dalam safar. Maliki, Syafi’i, dan
Hambali berpendapat: Ia adalah rukhshah dalam suatu perjalanan untuk tujuan halal.
Diriwayatkan dari Dawud bahwa ia tidak membolehkan qashar kecuali dalam
perjalanan wajib dan tertentu dalam suatu ketakutan.
Tidak boleh shalat qashar dalam perjalanan maksiyat, sebagaim.ana tidak boleh
mengerjakan rukhshah yang diberikan kepada orang yang bepergian untuk tujuan halal.
Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat:
Boleh.
Qashar tidak dibolehkan kecuali dalam perjalanan sejauh dua marhalah dengan
perjalanan yang berat. Dua pos sama dengan perjalanan dua hari atau sehari semalam,
sama dengan 16 farsakh 4 pos. Demikian pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hambali.
Sedangkan Hanafi berpendapat: Tidak boleh mengqashar shalat dalam perjalanan yang
kurang dari tiga marhalah, yaitu 24 farsakh.
Al-Awza'i berpendapat: Boleh shalat qashar dalam perjalanan sehari. Dawud
berpendapat: Boleh mengqashar shalat, baik perjalanan itu jauh maupun dekat.
Menurut kesepakatan empat imam mazhab, dalam perjalanan tiga hari lebih
utama dilakukan qashar.
Menurut pendapat tiga imam, apabila sudah sampai di tempat tujuan, boleh
menyempurnakan shalat yang diqashar, Sedangkan Hanafi berpendapat: Tidak boleh.
Demikian juga menurut pendapat sebagian ulama Maliki. Menurut pendapat Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali: Tidak boleh mengqashar shalat kecuali sesudah benar-benar
meninggalkan perkampungan. Sedangkan dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama,
harus sudah meninggalkan perkampungan sampai ke tempat yang tidak ada lagi
perumahan dikanan kirinya. Kedua, hendaknya sudah berlalu 3 mil dari kotanya.
Diriwayatkan dari al-Harits bin .Abi Rabi'ah bahwa ia hendak mengadakan perjalanan,
lalu ia shalat berjamaah dua rakaat di rumahnya. Diriwayatkan dari beberapa sahabat
'Abdullah bin Mas'ud dari Mujahid: Jika seseorang keluar dari rumahnya pada siang
hari maka ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum masuk malam hari. Jika ia keluar
malam hari dari rumahnya maka ia tidak boleh menggashar shalat sebelum masuk siang
hari.
Apabila seorang musafir bermakmum mengikuti orang yang mukim, dalam
sebagian shalatnya maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, yakni tidak diqashar.
Hal ini berbeda dengan pendapat Maliki yang mengatakan: Jika seseorang mendapati
shalat orang mukim sekadar satu rakaat maka ia wajib menyempurnakannya. Jika ia
tidak mendapatinya maka ia tidak wajib menyempurnakannya.
Ishaq bin Rahwaih berpendapat: Bagi musafir dibolehkan mengqashar shalat di
belakang orang mukim.
Siapa yang mengerjakan shalat Jumat, lalu diikuti oleh musafir yang berniat
shalat zuhur secara qashar, maka musafir itu wajib menyempurnakan shalat zuhurnya.
Sebab, shalat Jumat itu adalah shalat orang mukim. Demikian pendapat yang sahih
dalam mazhab Syafi’i.
Anak buah kapal, apabila berlayar di dalam kapal yang berisi keluarga dan harta
bendanya, menurut pendapat Syafi’i: Boleh mengqashar shalatnya. Demikian juga
pendapat mazhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan Hambali berpendapat: Tidak boleh
mengqashar shalat,
Demikian juga tentang pengemudi kendaraan yang terus-menerus bermusafir,
maka ia boleh mengqashar dan berbuka puasa (Ramadhan). Demikian pendapat tiga
imam mazhab. Sedangkan Hambali berpendapat: Ia tidak mendapat rukhshah.
Menurut Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan jumhur ulama, orang yang
mengqas'har shalat tidak dimakruhkan mengerjakan shalat sunna dalam perjalanannya,
baik sunnah rawatib maupun lainnva.
Akan tetapi, sebagian golongan dari mereka, seperti lbn 'Umar r.a., tidak
membenarkan hal demikian, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahin al-Bukhari
dan Shahih Muslim, bahwa ia membantah hal demikian kepada orang yang berpendapat
dan mengamalkannya.
Apabila seorang musafir berniat akan menetap selama empat hari selain hari-
hari kedatangan dan kepulangannya maka ia dipandang menjadi orang mukim.
Demikian pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: Apabila ia berniat mukim
selama lima belas hari maka ia menjadi mukim. Sedangkan jika ia berniat tinggal
kurang dari itu maka tidak dihukumi sebagai mukim. Ibn Abbas r.a. berpendapat
sembilan belas hari.
Dari Hambali diperoleh riwayat, bahwa apabila seseorang berniat menetap
selama ia bekerja di tempat yang dituju lebih dari dua puluh hari maka ia shalat dengan
sempurna. Adapun jika seseorang menetap di suatu tempat dengan niat pergi lagi
apabila keperluannya sudah terpenuhi, dan ia melakukan qashar pada setiap waktu,
maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dari Syafi’i. Pertama, pendapat yang
paling kuat bahwa ia boleh mengqashar shalat hingga delapan belas hari. Kedua, boleh
mengqashar hingga empat hari. Ketiga, boleh mengqashar selamanya. Hal ini juga
merupakan pendapat mazhab Hanafi.
Barangsiapa yang tertinggal shalat di tempat mukim, lalu ia harus
mengqadhanya .dalam perjalanan, maka ia harus mengqadha dengan sempurna.
Ibn al-Mundzir berpendapat: Kami tidak mengetahui dalam masalah ini ada
perselisihan kecuali yang diri wayatkan dari al-Hasan al-Bashri.
A1-Mustadh Ha'iri berpendapat: Diriwayatkan dari al-Muzani dalam
masalahnya yang muktabar, bahwa ia membolehkan dengan cara mengqashar.
Jika seseorang tertinggal shalat dalam bepergian, lalu ia mengqadhanva di
tempat mukim, maka dari Syafi’i ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang paling
shahih adalah harus diqadha dengan sempurna. Kedua, diqashar, Pendapat kedua ini
sesuai dengan pendapat Hanafi dan Maliki.
Boleh menjamak shalat antara zuhur dan asar, magrib dan isya, baik
didahulukan (taqdim) maupun diakhirkan (ta’khir) karena ada uzur dan safar. Demikian
pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: Tidak boleh
menjamak dua shalat karena ada uzur: dan safar.
Boleh menjamak shalat antara zuhur dan asar dengan jama' taqdim pada waktu
pertama (zuhur) karena hujan. Demikian pendapat Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi
dan para ulama pengikutnya: Tidak boleh secara mutlak. Sedangkan menurut Maliki
dan Hambali: Boleh antara magrib dan isya, tetapi tidak boleh antara zuhur dan asar;
baik hujannya deras mau- pun tidak, jika baju basah.
Bolehnya jama'. karena hujan ditentukan bagi orang yang shalat berjamaah di
suatu masjid dan yang datang dari tempat jauh. Sedangkan bagi orang yang berada
dalam masjid atau yang shalat di rumahnya dengan jamaah atau rumahnya dekat
masjid, tidak dibolehkan. Demikian. pendapat Syafi’i dalam suatu pendapatnya yang
sahih. Hambali menyetujui pendapat ini. Sedangkan dalam kitab al-imla’ dengan tegas
Syafi’i membolehkan.
Adapun jalan berlumpur bukan karena hujan maka tidak dibolehkan menjama’
shalat. Demikian pendapat Syafi’i. sedangkan menurut Maliki dan Hambali boleh.
Orang sakit dan ketakutan tidak boleh menjama’ shalat, demikian pendapat
Syafi’i yang paling jelas. Menurut pendapat Hambali: Boleh pendapat Hambali ini
dipilih juga oleh para ulama terakhir pengikut Syafi’i. An-Nawawi dalam al majmu’
syarh al-Muhazdzdab berpendapat ini kuat segali.
Ibn Sirin membolehkan jama’ tidak karena ketakutan atau sakit, tetapi karea
suatu keperluan yang menurut kebiasaan tidak dapat tinggalkan, asalkan tidak dijadikan
kebiasaan.
Ibn al-Mundzir dan segolongan ulama membolehkan jama’ shalat di tempat
mukim, tidak karena sakit, takut dan hujan.
SHALAT KHAUF
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat khauf hukumnya tetap berlaku
sesudah wafat Rasulullah saw Diriwayatkan bahwa al-Muzani berpendapat: Shalat
khauf sudah di-mansukh.
Abu Yusuf berpendapat: Shalat khauf dikhususkan bagi Rasulullah saw.
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat khauf bagi orang yang mukim
adalah empat rakaat, sedangkan dalam perjalanan adalah dua rakaat Mereka pun
sepakat bahwa sifat yang diriwayatkan dari Nabi saw. dalam shalat khauf bermacam-
macam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang menetapkan mana yang lebih kuat.
Tidak boleh shalat khauf dalam peperangan yang dilarang kecuali menurut
pendapat Hanafi. Boleh mengerjakan shalat khauf dengan cara berjamaah atau
sendirian.?
Hanafi berpendapat: Shalat khauf tidak boleh dikerjakan secara berjamaah.
Shalat khauf boleh dikerjakan di tempat mukim. Demikian pendapat Syafi'i,
Hanafi, dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: Tidak boleh dikerjakan shalat
khauf di tempat mukim. Tetapi para ulama pengikut Maliki membolehkannya.
Tiga imam mazhab berpendapat bahwa boleh seseorang shalat dua rakaat
bersama satu golongan, dan shalat dua rakaat bersama golongan lain. Namun, mereka
berbeda pendapat tentang shalat dalam keadaan takut, seperti ketika terjadi peperangan
dengan sengit dan sangat menakutkan.
Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa apabila perang telah
berkecamuk, saling berhadapan, ketakutan telah memuncak, maka hendaklah
dikerjakan shalat dalam keadaan itu sedapat mungkin, menghadap Kiblat atau tidak,
serta mengisyaratkan saja dengan kepala sebagai pengganti rukuk dan sujud.
Hanafi berpendapat: Dalam keadaan tersebut, tidak dikerjakan shalat,
melainkan diakhirkan hingga peperangan telah reda, yakni hingga shalat dapat
dikerjakan sebagaimana mestinya. .
. Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat: Tidak boleh mengakhirkan shalat,
melainkan harus shalat sedapat mungkin. Sudah mencukupi apabila mereka shalat
menurut kemampuan, dengan berjalan atau di atas kendaraan, baik menghadap Kiblat
maupun tidak, dengan menggunakan isyarat untuk rukuk dan sujud dengan kepala.
Apakah wajib menyandang senjata dalam shalat khauf? Menurut Hanafi,
Syafi’i dalam pendapat yang jelas, dan Hambali, menyandang senjata adalah
mustahab, tidak wajib. Namun, menurut pendapat Syafi’i yang lain dan pendapat
Maliki: Menyandang senjata adalah wajib.
Para imam mazhab sepakat bahwa apabila pasukan melihat bayangan hitam
dihadapannya, lalu mereka menduganya musuh, kemudian mereka shalat khauf, tetapi
ternyata dugaan mereka tidak benar, maka mereka harus mengulang shalat kecuali
menurut Syafi’i dan satu riwayat dari Hambali
Empat imam mazhab sepakat bahwa laki-laki tidak dibolehkan memakai
sutera dalam keadaan tidak perang: Namun, mereka berbeda pendapat ten tang
memakai sutera dalam keadaan perang. Dalam masalah ini, Maliki, Syafi’i, Abu
Yusuf, dan Muhammad bin al-Hasan membolehkan memakai sutera di kala perang.
Sedangkan Hanafi dan Hambali memakruhkannya.
Mempergunakan sutera sebagai tempat duduk dan bersandar hukumnya haram,
sebagaimana menggunakannya sebagai pakaian. Demikian menurut kesepakatan empat
imam mazhab.
Ada diriwayatkan dari Hanafi, bahwa ia hanya mengharamkan sutera yang
dipakai sebagai pakaian
SHALAT JUM’AT
Para ulama sepakat bahwa shalat jum’at adalah fardu 'ain atas setiap orang
mukalaf Mereka menyalahkan orang yang berpendapat bahwa shalat jum’at adalah
fardu kifayah.
Shalat jum’at diwajibkan bagi orang yang mukim dan tidak wajib bagi orang
yang bepergian. Demikian menurut kesepakatan empat imam mazhab. Diriwayatkan
dari az-Zuhri dan an-Nakha'i bahwa mereka berpendapat bahwa shalat jum’at wajib
bagi musafir jika ia mendengar azan.
Shalat jum’at tidak diwajibkan bagi anak kecil, budak, dan perempuan.
Hambali tidak mewajibkannya khusus bagi budak. Dawud berpendapat: Wajib
Shalat jum’at juga tidak diwajibkan bagi orang buta jika tidak ada orang yang
menuntunnya. Demikian menurut kesepakatan empat imam mazhab. Jika ia mendapati
orang yang menuntunnya maka ia wajib shalat jum’at. Demikian pendapat Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: Tidak diwajibkan.
Orang yang berada di luar kota, di suatu tempat yang tidak diwajibkan shalat
jum’at baginya, tetapi ia mendengar azan, maka ia wajib menghadirinya. Demikian
pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sementara itu, Hanafi berpendapat: Orang
yang berdiam di luar kota, tidak wajib shalat Jum’at meskipun ia mendengar azan.
Menurut kesepakatan empat imam, orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at,
seperti musafir yang melalui suatu tempat yang di situ didirikan shalat Jum’at, boleh
memilih antara mengerjakan shalatjum’at dan shalat zuhur,
. Apakah dimakruhkan shalat zuhur dengan berjamaah pada hari jum’at bagi
orang-orang yang tidak memungkinkan mendatangi tempat didirikan shalat Jum’at
Hanafi berpendapat: Makruh. Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat: Tidak
makruh. Sedangkan Syafi’i berpendapat: Sunnah.
Apabila hari raya bertepatan dengan hari jum’at, maka menurut pendapat
Syafi’i yang paling sahih: Shalat jum’at tidak gugur dari penduduk negeri itu walaupun
sudah mengerjakan shalat 'id. Ada pun, bagi orang yang datang ke kampung lain shalat
jum’at itu gugur. Jika mereka sudah shalat 'id, mereka boleh terus pulang tanpa
mengikuti shalat Jum’at. Pendapat ini disetujui oleh Hanafi.
Hambali berpendapat: Tidak lagi wajib shalat Jum’at, baik atas penduduk kota
maupun penduduk kampung yang sudah mengerjakan shalat 'id. Mereka wajib
mengerjakan shalat zuhur.
'Atha' berpendapat: Shalat jum’at dan zuhur menjadi gugur pada hari itu
sehingga tidak ada shalat setelah shalat 'id selain shalat ashar. Orang yang wajib
mengerjakan shalat jum’at dan hendak bepergian sesudah matahari condong ke barat,
maka ia tidak boleh bepergian kecuali kalau memungkinkan shalat jum’at dalam
perjalanannya atau memperoleh kemudharatan karena tertinggal rombongan.
Apakah boleh bepergian sebelum matahari condong ke barat? Hanafi Dan
Maliki berpendapat: Boleh. Dari Syafi’i ada dua pendapat, dan yang paling sahih:
Tidak boleh. Demikian pula pendapat Hambali seraya menambahkan: Kecuali jika
bepergian untuk berjihad.
Jual-beli sesudah matahari condong ke barat pada hari Jum’at hukumnya
makruh, sedangkan sesudah azan kedua adalah haram. Namun, menurut pendapat
Hanafi dan Syafi’i: Sah. Maliki dan Hambali berpendapat: Jual-belinya tidak sah.
Empat imam. mazhab berbeda pendapat tentang hukum bicara pada waktu
khutbah dibacakan bagi orang yang tidak dapat mendengarnya. Syafi’i dan Hambali
mengatakan: Boleh, tetapi mustahab adalah diam. Hanafi berpendapat: Tidak boleh
berbicara, baik bagi. orang yang mendengar mau- pun yang tidak bisa mendengar.
Maliki berpendapat: Diam adalah wajib, baik jaraknya dekat maupun jauh.
Para imam. mazhab berbeda pendapat tentang berbicara tatkala khutbah
dibacakan bagi orang yang dapat mendengarnya. Dalam masalah ini, pendapat Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i dalam qaul qadim: Haram berbicara atas orang yang mendengar
dan orang yang membaca khutbah. Maliki membolehkannya bagi orang yang membaca
khutbah demi kebaikan shalat, seperti khatib melarang orang yang sedang melangkahi
duduk orang lain.
Jika khatib berbicara dengan seseorang maka orang itu dibolehkan
menjawabnya, sebagaimana yang diperbuat 'Utsman ketika menjawab 'Umar r.a.
Menurut pendapat Syafi’i dalam al-Umm, tidak haram bagi keduanya, tetapi makruh.
Sedangkan pendapat Hambali yang masyhur: yang demikian itu haram bagi orang
yang mendengar, tetapi tidak bagi khatib.
Menurut pendapat Syafi’i, shalat jum’at tidak sah kecuali diadakan di suatu
tempat yang didiami oleh orang yang sah bershalat Jum’at, baik di kota maupun di
desa. Maliki berpendapat: Suatu tempat yang wajib didirikan shalat jum’at adalah kota
atau desa yang rapat rumah-rumahnya serta mempunyai masjid dan pasar. Hanafi
berpendapat: Tidak sah shalat jum’at kecuali diadakan di suatu kota besar, tempat
kediaman kepala negara.
Jika penduduk di suatu kampung ke luar kampung, lalu mereka mengadakan
shalat jum’at maka shalat jum’at itu tidak sah. Demikian menurut tiga imam mazhab.
Sedangkan Hanafi berpendapat: Sah jika tempat shalatnya dekat dari kampung, seperti
tempat shalat hari raya.
Dianjurkan jangan mendirikan shalat jum’at kecuali mendapat izin dari
penguasa jika shalat jum’at didirikan tanpa izin penguasa maka shalat jum’at itu tetap
sah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi
berpendapat: Tidak sah kecuali mendapat izin dari sultan.
Menurut pendapat Syafi'i dan Hambali, shalat jum’at sah kecuali dihadiri
empat puluh orang: Hanafi berpendapat: Sah shalat jum’at yang dihadiri empat orang
saja. Maliki berpendapat: Shalat jum’at tetap sah, meskipun dihadiri kurang dari empat
puluh orang: Namun, tidak diwajibkan mengerjakannya bagi orang bertiga atau
berempat.
Al-Awza'i dan Abu Yusuf berpendapat: Sah dengan tiga orang saja.
Abu Tsawr berpendapat: Shalat jum’at itu seperti shalat-shalat lainnya. Apabila
sudah terdapat seorang makmum dan seorang khatib (imam) maka hukumnya sah.
Apabila empat puluh orang musafir berkumpul untuk mendirikan shalat Jum’at
maka shalat itu tidak sah. Demikian pendapat tiga imam mazhah. Sedangkan Hanafi
berpendapat: Sah jika mereka berada di tempat shalat Jum’at.
Sahkah shalat jum’at dengan budak dan para musafir? Hanafi dan Maliki
berpendapat Sah. Sedangkan Syafi'i dan Hambali berpendapat: Tidak sah.
Apakah boleh menjadikan musafir dan budak untuk menggugurkan shalat
jum’at? Menurut Hanafi, Syafi’i, dan Maliki: Boleh menggugurkan kewajiban mereka
terhadap shalat jum’at. Sedangkan menurut Maliki dalam riwayat Ibn Qasim dan
Hambali dalam satu riwayat: Tidak boleh.
Sahkah anak kecil menjadi imam dalam shalat jum’at? Dalam masalah ini, dari
Syafi’i ada dua pendapat. Pertama, sah jika ia sudah balig. Kedua, tidak sah, karena
atas anak kecil tidak difardukan shalat jum’at.
. Pendapat kedua dari Syafi’i sesuai dengan pendapat Hanafi, Maliki, dan
Hambali. Sebab, mereka menolak anak kecil menjadi imam dalam shalat fardu, apalagi
shalat Jum’at.
Pendapat yang lebih sahih dalam mazhab Syafi’i, menurut kebanyakan ulama
pengikutnya, adalah boleh. Imam al-Haramain berpendapat: Subjek perselisihan
pendapat adalah apabila shalat jum’at dihadiri oleh empat puluh orang selain anak
kecil. Jika jumlahnya digenapkan empat puluh orang dengan anak kecil, tentu tidak sah
shalat jum’at tersebut.
Apabila imam bertakbiratul ihram bersama-sama dengan makmum yang
jumlahnya sudah mencukupi dalam shalat jum’at, lalu makmum tersebut meninggalkan
imam, menurut Hanafi: Jika imam sudah shalat satu rakaat dan sudah sujud dengan
sekali sujud di dalamnya, shalat jum’atnya sah.
Menurut pendapat para ulama pengikut Hanafi: Jika makmum tersebut bubar
sesudah imam bertakbiratul ihram bersama-sama mereka, maka shalat Ju’mat itu tetap
sah. Maliki berpendapat: Jika makmum bubar sesudah imam mendapat satu rakaat
dengan dua kali sujud, maka sahlah shalat jum’at itu Dari Syafi’i ada, dua pendapat,
dan yang lebih sahih adalah: Batal shalat jum’at tersebut dan harus disempurnakan
dengan shalat zuhur. Demikian juga pendapat Hambali.
Jika para makmum meninggalkan imam dalam khutbahnya, maka apa yang
dilakukan imam selama makmum tidak ada, tidak dihitung. Jika mereka kembali
sebelum lama berselang, imam boleh meneruskan khutbahnya. Akan tetapi, kalau lama
perselangannya, hendaklah diulang khutbah tersebut. Hukum tersebut disepakati para
ulama yang mewajibkan khutbah dan mewajibkan bilangan empat puluh orang.
Tidak sah shalat jum’at melainkan diselenggarakan pada waktu zuhur.
Demikian pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat:
Boleh diselenggarakan sebelum matahari condong ke barat.
Jika shalat jum’at dikerjakan pada waktunya, tetapi karena lamanya sehingga
shalat dikerjakan di luar waktunya, maka disempurnakan shalatnya sebagaimana shalat
zuhur. Demikian pendapat Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi, shalat Jum’at menjadi
batal karena waktunya sudah lewat, dan hendaknya dimulai shalat zuhur. Maliki
berpendapat: Apabila shalat Jum’at belum dikerjakan hingga masuk waktu asar,
hendaknya shalat Jum’at dikerjakan pada waktu itu juga selama matahari belum
terbenam. Waktu shalat Jum’at belum berakhir hingga matahari terbenam. Demikian
juga pendapat Hambali.
Apabila makmum masbuq mendapatkan satu rakaat bersama imam maka ia
telah mendapatkan seluruh shalat jum’at. Sedangkan jika kurang dari itu. maka tidak
dihukumi telah mendapat seluruh shalat Jum’at, dan ia harus shalat zuhur empat rakaat.
Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali sedangkan Hanafi berpendapat:
makmum dianggap ikut shalat Jum’at, meskipun ia mendapati sedikit saja dari shalat
imam.
Thawus berpendapat: Tidak mendapati shalat jum’at kalau tidak didapati dua
khutbah.
Empat imam mazhab sepakat bahwa dua khutbah merupakan syarat sahnya
shalat Jum’at. Oleh karena itu, tidak sah shalat Jum’at sehingga dikerjakan dua
khutbah. Al-Hasan al-Bashri berpendapat: Dua khutbah adalah sunnah.
Di dalam khutbah harus dipenuhi lima rukun, yaitu:
1. mengucapkan pujian kepada Allah ‘Azza wajalla;
2. membaca shalawat kepada Nabi Saw.;
3. wasiat tentang ketakwaan;
4. membaca Al-Quran;
5. mendoakan orang-orang Mukmin.
Demikian menurut mazhab Syafi'i, Hanafi berpendapat: Apabila khatib
membaca tasbih atau tahlil, hal itu sudah mencukupi. Jika ia mengucapkan hamdalah,
lalu turun dan mimbar, maka hal itu sudah mencukupi, tidak diperlukan yang lain.
Namun, para ulama pengikut Hanafi menyalahi pendapat ini. Mereka mengatakan:
Sudah tentu tidak boleh tidak memenuhi apa yang dinamakan khutbah pada biasanya.
Dari Maliki ada dua pendapat. Pertama, apabila khatib sudah membaca tasbih:
atau tahlil maka hal itu sudah mencukupi. Kedua, hal itu tidak mencukupi kecuali
dipenuhi apa yang dinamakan khutbah pada biasanya, yakni yang terpenting adalah
pembicaraan imam (khatib).
Berdiri dalam dua khutbah bagi khatib adalah disyariatkan. Demikian menurut
kesepakatan empat imam mazhab. Namun, mereka berbeda pendapat tentang
hukumnya. Maliki dan Syafi’i berpendapat: Hukumnya wajib. Sedangkan menurut
Hanafi dan Hambali: Tidak wajib.
Syafi’i mewajibkan duduk diantara dua khutbah. Menurut pendapat Syafi’i
yang paling kuat: Disyaratkan khatib harus dalam keadaan suci Hanafi, Maliki, dan
Hambali berpendapat: Tidak disyaratkan. Demikian juga menurut pendapat Syafi’i
yang lain.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali: Apabila khatib sudah berada di
mimbar, hendaknya ia mengucapkan salam kepada para hadirin. Hanafi dan Maliki
berpendapat: Makruh hukumnya memberi salam kepada mereka karena ia sudah
memberi salam, yaitu ketika ia keluar dari rumah menuju mereka, ketika ia berada di
atas tanah. Oleh karena itu, ia tidak perlu memberi salam lagi ketika ia berada di atas
mimbar.
Barangsiapa masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaknya ia
shalat tahiyatul masjid. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki
berpendapat; Hal demikian adalah makruh.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah dibolehkan orang yang
mengimami shalat jum’at bukan khatib? Menurut Hanafi: Boleh jika ada uzur. Maliki:
Tidak boleh. Sedangkan dari Syafi’i ada dua riwayat, dan pendapat yang sahih adalah
membolehkannya. Dari Hambali juga diperoleh dua riwayat.
Di antara kesunnahan shalat jum’at adalah membaca surah al-Jumu'ah dan surah
al-Munafiqun, atau surah sabbih (al-A'la) dan al-Ghasyiyah. Kedua- nya disunnahkan,
mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah Saw.
Diriwayatkan bahwa Hanafi berpendapat: Tidak diholehkan menentukan suatu
surah tanpa surah yang lain. Artinya, Hanafi tidak mensunnahkan surah-surah tertentu
dalam shalat jum’at.
Mandi ketika hendak mendatangi shalat jum’at hukumnya adalah sun- nah.
Demikian pendapat segenap ulama ahli fiqih kecuali al-Hasan dan Dawud. Dianjurkan
mandi ketika akan berangkat ke tempat jum’at. Waktu bolehnya mandi adalah sejak
fajar (pada hari Jum’at). Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali Sedangkan
Maliki berpendapat: Tidak sah mandi kecuali ketika akan menghadiri shalat jum’at.
Kesunnahan mandi Jum’at hanya terbatas bagi mereka yang akan menghadiri
shalat jum’at. Tetapi menurut Abu Tsawr, anjuran itu adalah bagi semua orang baik
yang menghadiri Jum’at maupun tidak.
Apabila seseorang sedang junub, ia mandi sekaligus untuk shalat jum’at dengan
niat mandi janabah dan Jum’at, maka sah keduanya. Demikian menurut tiga imam.
Sedangkan Maliki berpendapat: Salah satu tidak bisa mencukupi untuk keduanya.
Artinya, kedua-duanya tidak sah.
Orang yang merasa sempit untuk melakukan sujud, tetapi ia bisa bersujud di
atas punggung orang lain, maka hendaknya hal itu dilakukan. Demikian pendapat
Hanafi dan Hambali. Demikian pula pendapat Syafi’i yang paling kuat. Sedangkan
menurut qaul qadim Syafi’i: Jika ia menghendaki, hendaknya bersujud di atas
punggung orang lain, dan jika ia menghendaki, boleh Juga mengakhirkan sujud hingga
kelonggaran. Maliki berpendapat: Makruh hukumnya mengakhirkan sujud sehingga ia
bersujud di atas tanah.
Apabila imam shalat berhadas maka ia boleh menunjuk pengganti. Demikian
pendapat Hanafi, Hambali dan Maliki serta pendapat Syafi’i yang paling kuat.
Sedangkan menurut qaul qadim Syafi’i: Tidak boleh.
Tidak boleh menyelenggarakan lebih dari satu shalat jum’at di satu kota atau
kampung walaupun besar dan banyak penduduknya. Demikian pendapat Syafi’i dan
para ulama pengikut Maliki. Dalam hal ini, Maliki berpendapat: Apabila dalam suatu
negeri terdapat beberapa masjid jami', hendaklah didirikan shalat jum’at di masjid jami'
yang lebih dahulu didirikan. Dari Hanafi tidak diperoleh keterangan tentang hal ini.
Tetapi, Abu Yusuf mengatakan; Apabila ada dua negeri berdampingan maka boleh
mengadakan dua shalat jum’at. Sedangkan jika hanya satu negeri maka satu saja.
Ath-Thahawi berpendapat: yang sahih dari mazhab kami adalah tidak boleh
mendirikan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu negeri atau kota, kecuali jika
masjid jami' tidak mampu menampung karena besarnya kota tersebut. Jika demikian
halnya, maka boleh diselenggarakan shalat jum’at di dua tempat. Jika keadaan
memaksa untuk menyelenggarakan shalat jum’at lebih dan satu, maka hal itu
dibolehkan.
Hambali berpendapat: Apabila suatu kota itu besar dan padat penduduknya,
seperti kota Bagdad, maka boleh diselenggarakan shalat jum’at di dua tempat.
Sedangkan jika tidak diperlukan tempat yang lebih banyak, maka tidak boleh
diselenggarakan shalat jum’at lebih dari satu tempat.
Atas dasar ini, Ibn Suraij, seorang pengikut Syafi’i, membawa urusan daerah
Bagdad di tempat-tempat berkumpulnya orang-orang. ·
Ada yang mengatakan: Bagdad pada mulanya merupakan desa yang terpisah-
pisah, dan tiap-tiap desa itu mendirikan shalat Jum’at. Lalu, pemerintah setempat
mempersatukan antara desa yang satu dengan desa yang lain, maka tinggallah satu
masjid jami' untuk shalat jum’at.
Menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat: Suatu kota apabila besar dan
penduduknya sulit untuk melaksanakan jum’at di suatu tempat, maka boleh diadakan
shalat jum’at di tempat lain, bahkan boleh lebih banyak lagi jika memang keperluan
memaksa.
Dawud berpendapat: Shalat jum’at adalah seperti shalat-shalat lainnya. Artinya,
boleh penduduk suatu kampung shalat di masjid masing-masing.
Empat imam mazhab sepakat bahwa apabila seseorang meninggalkan shalat
Jum’at, hendaknya ia shalat zuhur.
Apakah shalat zuhur itu dikerjakan berjamaah atau sendiri-sendiri? Hanafi dan
Maliki berpendapat: Secara sendiri-sendiri. Syafi’i, Hambali berpendapat: Secara
berjamaah.
SHALAT HARI RAYA
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat dua hari raya itu disyariatkan.
Kemudian, mereka berbeda pendapat ten tang hukumnya. Hanafi berpendapat: Shalat
'id wajib atas setiap orang, sebagaimana shalat jum’at. Maliki dan Syafi’i berpendapat:
Shalat 'id adalah sunnah. Ini juga pendapat Hanafi dalam satu riwayat. Hambali
berpendapat: Shalat 'id adalah fardu kifayah.
Para imam mazhab juga berbeda pendapat tentang syarat-syaratnya. Menurut
Hanafi dan Hambali, di antara syarat-syaratnya ialah bermukim dan diikuti oleh
sejumlah orang, mendapat izin penguasa sebagaimana yang dikatakan Hambali ketika
membicarakan izin shalat jum’at. Bahkan, Hanafi menambahkan dengan keharusan
diselenggarakan di kota besar.
Menurut Maliki dan Syafi’i, masing-masing yang dikemukakan di atas bukan
syarat sahnya shalat 'id. Mereka membolehkan shalat 'id dengan sendirian bagi orang
yang menghendakinya, baik laki-laki maupun perempuan.
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat 'id dimulai dengan takbiratul
ihram. Tetapi, mereka berbeda pendapat tentang jumlah takbir sesudahnya. Hanafi
berpendapat: Tiga kali takbir dalam rakaat pertama dan tiga kali dalam rakaat kedua.
Maliki dan Hambali berpendapat: Enam kali takbir dalam rakaat pertama dan lima kali
takbir dalam rakaat kedua. Syafi’i berpendapat: Tujuh kali takbir pada rakaat pertama
dan lima kali takbir pada rakaat kedua.
Kemudian, Syafi'i dan Hambali berpendapat: Disunnahkan mengucapkan zikir
di antara tiap-tiap dua takbir, Sedangkan menurut Hanafi dan Maliki, harus
mendekatkan di antara dua takbir sehingga terkait.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang boleh atau tidaknya
mendahulukan takbir daripada membaca al-Fatihah. Dalam masalah ini, menurut
Maliki dan Syafi’i, didahulukan takbir atas bacaan al-Fatihah dalam kedua rakaat
tersebut. Hanafi berpendapat: Hendaknya dirapatkan jarak di antara dua takbir. Takbir
didahulukan sebelum bacaan al-Fatihah dalam rakaat pertama, sedangkan dalam rakaat
kedua, bacaan al-Fatihah didahulukan daripada takbir. Dari Hambali diperoleh dua
riwayat, yaitu seperti kedua mazhab di atas.
Empat imam mazhab sepakat bahwa mengangkat tangan adalah dalam seluruh
ucapan takbir. Tetapi, ada satu riwayat dari Maliki, bahwa mengangkat tangan hanya
ketika takbiratul ihram.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang orang yang ketinggalan shalat
'id, apakah ia harus mengqadhanya? Hanafi dan Maliki berpendapat: Tidak perlu
diqadha. Hambali berpendapat harus mengqadhanya sendirian. Dari Syafi’i diperoleh
dua pendapat sebagaimana pendapat di atas. Namun, pendapat Syafi’i yang paling
sahih adalah keharusan mengqadhanya sendirian.
Mereka berbeda pendapat tentang tata cara mengqadhanya. Menurut Hambali
dalam riwayatnya yang masyhur: Shalat empat rakaat sebagaimana shalat zuhur.
Pendapat ini yang dipilih menurut penelitian para ulama pengikutnya. Syafi’i
berpendapat: Mengqadhanya dua rakaat seperti shalat imam. Demikian juga menurut
Hambali dalam riwayat lainnya. Diriwayatkan dari Hambali yang merupakan riwayat
ketiga dalam masalah ini, yaitu boleh memilih antara shalat dua rakaat dan empat
rakaat.
Empat imam mazhab sepakat bahwa disunnahkan shalat 'id itu dilakukan di
masjid atau di tempat lain yang bukan masjid. Jika keadaan kaum Muslim masih lemah,
tidak dapat pergi ke tanah lapang, lalu mereka mengadakan shalat 'id di masjid, maka
hal itu dibolehkan, kecuali menurut Syafi’i yang berpendapat: Mengerjakannya di
masjid adalah lebih utama jika masjid tersebut luas.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bolehnya shalat sunnah sebelum
shalat 'id dan sesudahnya bagi orang yang menghadirinya. Hanafi berpendapat: Tidak
dibolehkan shalat sunnah sebelumnya, dan bagi yang menghendaki boleh shalat
sesudahnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang shalat dan lainnya,
antara imam dan lainnya. Maliki berpendapat: Apabila shalat dikerjakan di mushala
(bukan masjid), maka tidak dibolehkan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya, baik
oleh imam maupun makmum. Sedangkan jika di dalam masjid, dari Maliki diperoleh
dua pendapat. Syafi’i berpendapat: Boleh shalat sunnah sebelum ataupun sesudahnya
di masjid atau bukan, kecuali bagi imam. Jika ia telah kelihatan oleh orang banyak
maka ia tidak boleh shalat sebelumnya. Hambali berpendapat tidak boleh shalat sunnah
sebelum dan sesudahnya secara mutlak Disunnahkan mengumandangkan Asshalatu
Jami’ah Demikian menurut kesepakatan empat imam mazhab.
Diriwayatkan bahwa Ibn Zubair azan pada shalat hari raya. Ibn Musayyab
berpendapat: Orang yang pertama kali azan untuk shalat hari raya adalah Mu'awiyah.
Menurut Syafi’i, surah yang dibaca pada rakaat pertama adalah surah Qaf dan
Iqtarabat pada rakaat kedua, atau surah Sabbih pada rakaat pertama dan al-Ghasyiyah
pada rakaat kedua. Hanafi berpendapat: Tidak ada ketentuan bacaan surah. Maliki dan
Hambali berpendapat: Hendaknya dibaca surah Sabbih dan al-Ghasyiyah.
Apabila orang banyak mengetahui hari raya pada hari ketiga puluh dari bulan
Ramadhan sesudah tergelincir matahari dengan me1ihat bulan maka shalat 'id harus
diqadha jika dikehendaki. Demikian pendapat Syafi’i yang paling shahih. Maliki
berpendapat: Shalat 'id itu tidak diqadha. Jika tidak mungkin mengumpulkan orang
pada hari diketahui sudah kelihatan bulan, maka shalat 'id dikerjakan pada esok
harinya. Pendapat Maliki ini sesuai dengan pendapat mazhab Hambali Menurut
Hanafi: Shalat 'idul fitri boleh dikerjakan pada hari kedua, sedangkan shalat 'idul adha
boleh dikerjakan pada hari kedua dan ketiga.
Empat imam mazhab sepakat bahwa disunnahkan memperbanyak bacaan takbir
pada Idul Adha. Demikian juga pada 'idul fitri kecuali menurut pendapat Hanafi.
Dawud mewajibkan keduanya. An-Nakha'i berpendapat: Hal demikian hanya dilakukan
oleh al-Jawakun Ibn Hubairah berpendapat: yang sahih, memperbanyak bacaan pada
'idul fitri sangat dianjurkan mengingat firman Allah:
Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian
mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada
kalian. (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang permulaan dan akhir waktu
memperbanyak takbir. Maliki berpendapat: Hendaknya bertakbir pada hari rayabukan
pada malamnya. Waktu akhirnya adalah sejak imam keluar dan rumah menuju tempat
shalat.
Adapun, tentang waktu akhir dari Syafi’i diperoleh beberapa pendapat.
Pertama, sampai imam keluar menuju tempat shalat. Kedua, sampai imam
bertakbiratul ihram dalam shalat. Inilah pendapat yang paling kuat. Ketiga, sampai
selesai shalat. Sedangkan permulaannya menurut Syafi’i sejak terlihat bulan.
Tentang waktu akhirnya dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, apabila
imam sudah keluar menuju tempat shalat. Kedua, Apabila dua khutbah ‘idul fitri
selesai. Sedangkan permulaannya menurut Hambali adalah sejak terlihat bulan.
Empat Imam mazhab berbeda pendapat tentang lafaz takbir. Menurut
pendapat Hanafi dan Hambali adalah hendaknya diucapkan:
َّ َ
ُالِل ِالَّ هللا
و، ُ ََِل
ه إ إ َ ال،ُ ْب
َر َك َّ ،ُ
الِلُ أ َر َك
ْب َّ
الِلُ أ
ُْ
د َمالحْ ِوهلل َر
ُ َك
ْب َّ ،ُ
الِلُ أ َر َك
ْب أ
Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada tuhan selain Allah. Allah Maha-
besar, Allah Maha besar; dan bagi Allah saya segala pujian.
Hendaknya bilangan takbir digenapkan pada awal dan akhirnya. Maliki
berpendapat: hendaknya bertakbir tiga kali dengan terus-menerus. Diriwayatkan juga
darinya: Jika seseorang menghendaki, hendaknya ia bertakbir tiga kali atau dua kali.
Syafi’i berpendapat: Hendaknya takbir tiga kali terus-menerus pada awal dan tiga kali
pada akhirnya.
Adapun lafaz yang dipilih para ulama kemudian pengikut Syafi’i hendaknya
takbir itu tiga kali dengan terus-menerus pada awalnya dan takbir dua kali pada
akhirnya. Takbir yang sempurna menurut mereka yaitu:
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang memperbanyak takbir pada 'idul
adha dan hari-hari tasyriq, yakni tentang permulaan dan akhirnya bagi orang yang tidak
ihram dan yang sedang ihram. Hanafi dan Hambali berpendapat: Hendaknya
diucapkan takbir sejak fajar hari 'Arafah sampai takbir untuk shalat ashar dari hari
nahar. Maliki berpendapat: Sejak zuhur hari nahar hingga shalat subuh hari tasyriq
terakhir, yakni hari nahar keempat. Hal ini berlaku bagi orang yang ihram ataupun
tidak.
Dari Syafi'i ada beberapa pendapat, tetapi yang termasyhur adalah seperti
pendapat Maliki. Yang diamalkan dari pendapatnya yaitu sejak subuh hari Arafah
sampai waktu asar hari tasyriq terakhir. Orang yang sedang ihram adalah seperti orang
lain. Demikian pendapat Syafi’i yang paling kuat. ·
Empat imam mazhab sepakat bahwa memperbanyak takbir hukumnya adalah
sunnah bagi orang yang ihram ataupun yang tidak ihram dibelakang jama’ah. Para
imam berbeda pendapat tentang orang yang shalat sendirian, baik di dalam ihram
maupun tidak pada waktu-waktu tersebut. Menurut Hanafi dan Hambali dalam satu
riwayatnya: Orang yang shalat sendirian tidak disunnahkan membaca takbir.
Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam riwayat lainnya: Disunnahkan
bertakbir.
Para imam mazhab sepakat tentang tidak disunnahkan takbir setelah
mengerjakan shalat Sunnah, kecuali menurut pendapat Syafi’i. Demikian juga pendapat
para ulama pengikut Syafi’i yang paling kuat.
SHALAT GERHANA
Empat imam mazhab sepakat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah
muakkadah secara berjamaah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai
keadaannya. Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Shalat gerhana adalah dua rakaat.
Pada tiap rakaat terdapat dua berdiri, dua qiraat, dua rukuk, dan dua sujud. Hanafi
berpendapat: Shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat subuh.
Apakah surah dalam shalat gerhana itu dibaca dengan suara keras atau
perlahan? Hanafi, Syafi’i, dan Maliki berpendapat: Dengan suara perlahan. Sedangkan
menurut Hambali: Dengan suara keras.
Apakah dalam shalat gerhana terdapat khutbah? Dalam masalah ini, pendapat
Hanafi dan Hambali yang masyhur: Tidak disunnahkan berkhutbah pada shalat
gerhana matahari, demikian juga pada shalat gerhana bulan. Menurut Syafi’i, Hambali
dalam riwayat lainnya, dan Maliki: Disunnahkan dua khutbah pada shalat gerhana.
Jika terjadinya gerhana bertepatan dengan waktu yang dimakruhkan shalat,
maka tidak boleh shalat padanya, tetapi waktu shalat gerhana dijadikan diisi dengan
bacaan tasbih. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali yang masyhur, Menurut
Syafi’i: Boleh shalat pada waktu itu. Dari Maliki diperoleh tiga riwayat. Pertama,
boleh dikerjakan pada segala waktu. Kedua, boleh dikerjakan pada selain waktu yang
dimakruhkan. Ketiga, tidak boleh dikerjakan sesudah matahari condong ke barat,
karena menyamai shalat hari raya.
Apakah shalat gerhana bulan disunnahkan dikerjakan secara berjamaah? Hanafi
dan Maliki berpendapat: Tidak disunnahkan, tetapi masing-masing orang shalat
sendiri-sendiri. Syafi’i dan Hambali berpendapat: Disunnahkan sebagaimana shalat
gerhana matahari.
Membaca surah dalam shalat gerhana bulan adalah dengan suara keras, dan
shalat gerhana matahari dikerjakan sebagaimana shalat berjamaah. Demikian menurut
kesepakatan empat imam.
Ats-Tsawri dan Muhammad bin al-Hasan menyatakan: Apabila kepala negara
shalat, maka hendaknya rakyat shalat berjemaah bersamanya. Jika tidak, maka rakyat
shalat sendiri-sendiri.
Pada tanda-tanda kebesaran Allah ‘Azza wajalla yang lain, seperti gempa bumi,
petir dan gelap pada siang hari, tidak disunnahkan shalat. Demikian menurut tiga imam.
Sedangkan menurut Hambali: untuk tiap-tiap kejadian tanda-tanda kebesaran Allah
Swt. Hendaknya dilakukan shalat berjamaah. Diriwayatkan dari Sayyidina Ali r.a
bahwa ia shalat di kala terjadi gempa bumi.
SHALAT ISTISQA (MINTA HUJAN)
Semua ulama sepakat bahwa zakat merupakan salah satu 1·uku_n Islam. Ben-
da-benda yang wajib dizakati ada empat macam, sebagai benkut:
1. binatang ternak;
2. dua mata uang (emas dan perak);
3. barang dagangan;
4. barang yang dapat disimpan dan ditakar seperti buah-buahan dan tanaman
dengan sifat tertentu.
Para imam sepakat bahwa zakat diwajibkankepada orang Islam yang merdeka,
balig, danberakal sehat. Mereka berbeda pendapat tentang kewajiban zakat bagi budak
mukatab. Hanafi berpedapat: wajib zakat sepersepuluh atas tumbuh-tumbuhan milik
mukatab, tidak pada hartanya yang lain.
Ats-Tsawri berpendapat, "Wajib zakat atas mukatab secara mutlak. Maliki,
Syafi’i, danHambali berpendapat: 'Tidak diwajibkan zakat atas budak mukatab.
Orang murtad yang semasa keislamannya telah diwajibkan membayar zakat
maka kewajiban tersebut tidak gugur lantaran kemurtadannya. Demikian menurut tiga
imam mazhab. Sementara itu, Hanafi berpendapat: Kewajiban tersebut gugur.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Harta anak kecil dan harta orang gila wajib
dikeluarkan zakatnya. Yaitu, walinya harus mengeluarkan zakat itu dari harta mereka.
Pendapat ini juga diriwayatkan dan sekelompok sahabat terkemuka. Adapun, Hanafi
berpendapat: Tidak wajib zakat atas harta anak kecil dan harta orang gila hingga
diwajibkan sepersepuluh atas hasil pertanian milik anak kecil dan orang gila.
Menurut al-Awza'i dan ats-Tsawri, zakat itu adalah wajib, tetapi dikeluarkan
sesudah anak itu mencapai usia balig dan sesudah orang gila itu sembuh.
Pemilikan selama setahun (hawl merupakan syarat wajibnya zakat. Demikian
menurut ijma para mujtahid. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas'ud r danIbn Abbas r.a.
mewajibkan zakat semata-mata adanya pemilikan harta meskipun belum setahun.
Kemudian, apabila sudah dimiliki setahun maka wajib dikeluarkan lagi zakatnya. Ibn
Mas'ud apabila menerima sesuatu pemberian, ia langung mengeluarkan zakatnya.
Jika seseorang memiliki barang yang mencapai nisab maka ia harus
mengeluarkan zakatnya. Kalau pada pertengahan tahun barang itu dijual atau ditukarkan
dengan sesuatu yang lain, maka gugurlah hitungan hawl- nya. Demikian menurut
Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak gugur hitungan hawl jika barang yang ditukar
tersebut berupa emas dan perak. Namun jika barang itu berupa binatang ternak maka
gugurlah hitungan hawl-nya. Sementara itu, Maliki berpen dapat: Jika barang itu
ditukar dengan sesuatu yang sejenisnya, maka hitungan hawl-nya tidak terputus. Namun
jika barang itu tidak sejenis, dalam hal ini ada dua riwayat. Pertama, terputus hitungan
hawl-nya. Kedua, tidak terputus Apabila sebagian barang senisab itu rusak atau dirusak
sebelum genap setahun, maka hitungan hawl-nya gugur. Demikian menurut Hanafi dan
Syafi’i. Sementara itu, Maliki danHambali berpendapat: Jika perusakannya
dimaksudkan untuk menghindari kewajiban zakat, maka hitungan hawl- nya tidak gugur
dan tetap wajib dikeluarkan zakatnya kalau sudah genap satu tahun.
Harta kekayaan yang dirampas, dihilangkan, dan digelapkan orang lain, jika
dikembalikan dalam jumlah yang sama, apakah wajib dizakati jika sudah genap satu
tahun? Dalam hal ini, Syafi’i mempunyai dua pendapat: Pertama, dalam qauljadid dan
yang paling kuat adalah wajib. Kedua, dalam qaul qadim: dimulai lagi penghitungan
hawl sejak barang itu dikembalikan, dan untuk masa yang telah lalu tidak dikenai zakat.
Pendapat kedua ini juga dianut Hanafi beserta para sahabatnya dan sesuai dengan
pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya. Sementara itu, menurut Maliki: Jika
barang itu dikembalikan kepadanya, hendaklah dizakati untuk satu tahun saja.
Empat Imam mazhab sepakat tentang wajibnya zakat binatang, yaitu unta, sapi,
domba (kambing) dengan syarat telah mencapai nisab, tetap pemilikannya, mencapai
hawl, dan pemiliknya adalah orang merdeka dan Muslim.
Mereka juga sepakat tentang syarat penggembalaan, kecuali Maliki yang
berpendapat: Wajib zakat atas unta dan sapi yang dipekerjakan dan domba ;yang
dicarikan rumput, seperti wajibnya zakat atas hewan ternak yang digembalakan di
padang rumput.
Nisab Unta
Empat imam mazhab sepakat bahwa nisab awal unta dimulai setelah berjumlah
5 ekor, Zakatnya adalah seekor domba. Perinciannya sebagai berikut
- 5 ekor unta zakatnya seekor domba. 10 ekor unta zakatnya 2 ekor domba. 15
ekor unta zakatnya 3 ekor domba. 20 ekor unta zakatnya 4 ekor domba.
- 25 ekor unta zakatnya seekor bintu makhadh (anak unta betina berumur setahun
dan memasuki kedua).
- 36 ekor unta zakatnya seekor bintu labun (anak unta betina berumur dua tahun
dan memasuki tahun ketiga).
- 46 ekor unta zakatnya seekor hiqqah (anak unta betina berumur tiga tahun dan
memasuki tahun keempat).
- 61 ekor unta zakatnya seekor jadz'ah (anak unta berumur empat tahun dan
memasuki tahun kelima).
- 76 ekor unta zakatnya 2 ekor bintu labun.
- 91 ekor unta zakatnya 2 ekor luqqah.
Jika jumlah unta lebih dari 120 ekor, maka empat imam mazhab berbeda
pendapat. Hanafi: Apabila lebih dari 120 ekor, dimulailah perhitungan baru. Sehingga
jika mencapai 125 ekor maka zakatnya seekor domba dan hiqqah; jika mencapai 145
ekor maka zakatnya 2 ekor hiqqah dan seekor bintu makhadh; jika jumlahnya mencapai
150 ekor maka zakatnya 3 ekor hiqqah. Sesudah itu, zakatnya dimulai lagi dan
penghitungan yang baru. Sehingga jika bertambah 5 ekor unta maka zakatnya menjadi
seekor domba dan seekor hiqqah; jika lebihnya 10 ekor maka zakatnya ditambah 2 ekor
domba, jika lebihnya 15 ekor maka zakatnya ditambah 3 ekor domba; Jika lebihnya 20
ekor unta maka zakatnya ditambah 4 ekor domba. jika lebihnya 25 ekor unta maka
zakatnya ditambah seekor bintu makhadh; jika lebihnya 36 ekor maka zakatnya
ditambah seekor bintu labun. Jika telah mencapai 196-200 ekor maka tambahan
zakatnya adalah 4 ekor hiqqah. Setelah itu, dimulai lagi penghitungan baru, dan
seterusnya.
Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya yang jelas-menyatakan:
Apabila telah mencapai 120 ekor, berubahlah kadar penetapan zakatnya. Maka, untuk
penambahan 50 ekor unta zakatnya ditambah seekor untuk penambahan 40 ekor unta
zakatnya seekor bintu labun Maliki memiliki dua pendapat. Pendapat yang paling jelas
menurut para ulama pengikutnya: Apabila melebihi 120 ekor unta maka pengumpul
zakat boleh memilih, 3 ekor bintu labun atau 3 ekor hiqqah.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang bolehnya seseorang yang
mempunyai 5 ekor unta mengeluarkan seekor dari unta yang dimilikinya. Hanafi dan
Syafi’i: Boleh. Maliki dan Hambali: Tidak boleh.
Jika untanya berjumlah 25 ekor, tetapi ia tidak mempunyai bintu makhdadh dan
tidak pula memiliki bintu labun, dalam masalah ini menurut Maliki dan Hambali:
wajib dibayar dengan bintu makhadh. Syafi’i: Boleh memilih antara salah satu dari
keduanya. Hanafi: Cukup dibayarkan dengan bintu makhadh atau senilai harganya.
Empat imam mazhah sepakat bahwa hewan di tanah Arab, baik jantan maupun
betina, sama saja (dalam ketentuan hukumnya),
Mereka juga sepakat bahwa zakat itu dibayarkan dengan hewan yang kecil jika
semuanya kecil dan dibayarkan dengan hewan yang sakit jika semuanya sakit. Hewan
yang bunting, apabila telah melahirkan, boleh dibayarkan sebagai zakatjika keadaannya
sudah pulih. Namun, Maliki berpendapat: Zakat itu dibayarkan dengan hewan yang
sehat jika sebagiannya sakit dan dibayarkan dengan hewan yang besar Jika sebagiannya
kecil, dan hewan yang bunting tidak boleh dibayarkan sebagai zakat.
Nisab Sapi
Empat imam mazhab sepakat bahwa jumlah sapi yang kurang dari 30 ekor tidak
wajib dizakati.
Ibn Musayyab berpendapat: Wajib zakat atas setiap 5 ekor sapi dengan seekor
domba hingga jumlah 30 ekor, sebagaimana unta.
Para imam mazhab sepakat bahwa nisab awal sapi adalah 30 ekor dan
zakatnya seekor tabi' (anak sapi berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua). Jika
jumlahnya mencapai 40 ekor maka zakatnya seekor musinnah (anak sapi berumur dua
tahun dan memasuki tahun ketiga).
Syafi’i dan Hambali: Zakat (atas jumlah tersebut) harus seekor musinna hingga
jumlah 59 ekor. Jika jumlahnya mencapai 60 ekor maka zakatnya adalah 2 ekor tabi'.
Jika mencapai 70 ekor maka zakatnya adalah seekor tabi' dan seekor musinnah.
Demikian seterusnya, yaitu setiap penambahan 30 ekor maka zakatnya seekor tabi' dan
setiap penambahan 40 ekor maka zakatnya seekor musannah Diriwayatkan bahwa
pendapar Hanafi adalah seperti pendapat para ulama pengikutnya, seperti Abu Yusuf
dan Muhammad bin al-Hasan: Setiap penambahan 40 sampai 60 ekor dengan hitungan
tersebut maka untuk setiap seekor sapi zakatnya adalah seperempat puluh musinnah dan
untuk dua ekor zakatnya seperdua puluhnya.
Para imam mazhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
penghitungan zakatnya.
Nisab Domba
Para imam mujtahid sepakat bahwa nisab awal domba adalah 40 ekor dan
zakatnya seekor. Penambahan dari jumlah tersebut hingga jumlah 120 ekor tidak ada
penambahan zakat. Jika jumlahnya mencapai 121 ekor maka zakat- nya 2 ekor. Jika
jumlahnya 201 ekor maka zakatnya 3 ekor. Jika jumlahnya 400 ekor maka zakatnya 4
ekor. Selanjutnya, ditetapkan zakat seekor untuk setiap penambahan 100 ekor. Domba
dan kambing adalah sama dalam hukum zakat. Apabila seseorang mempunyai 20 ekor
domba, lalu melahirkan 20 ekor anak domba, dalam hal ini Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali dalam salah satu pendapatnya- berpendapat: penghitungan zakatnya dimulai
sejak saat mencapai nisab. Sementara itu, menurut Maliki dan Hambali dalam riwayat
lainnya: Jika induknya telah dimiliki setahun maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang jumlah di antara dua nisab.
Hanafi dan Hambali: Dikeluarkan zakatnya yang sudah sampai senisab, sedangkan
sisanya tidak. Maliki memiliki dua pendapat. Syafi’i juga memiliki dua pendapat.
Pendapatnya yang paling kuat sama dengan pendapat Hanafi dan Hambali.
Zakat Kuda
Empat imam mazhab sepakat bahwa kuda yang diperdagangkan dan harganya
mencapai nisab wajib dizakati. Sementara. Itu jika tidak diperdagangkan, menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Tidak wajib dizakati. Sedangkan Hanafi berpendapat:
Jika digembalakan maka dizakati kalau kuda yang digembalakan itu jantan dan betina
atau betina semuanya. Namun, kalau semuanya jantan maka tidak dizakati. Dalam hal
ini, pemiliknya boleh memilih dalam membayarkan zakatnya. Jika mau, ia bisa
memberikan satu dinar untuk setiap seekor kuda atau ia menilai harga seluruh kudanya
dan dikeluarkan lima dirham untuk setiap 200 dirham. Jika dibayarkan dengan uang
berdasarkan penilaian harganya, hendaklah diperhatikan syarat hawl dan nisabnya.
Sementara itu, jika dikeluarkan berdasarkan perhitungan, bukan penentuan harga,
hendaklah dikeluarkan satu dinar untuk setiap seeker kuda jika mencapai hawl.
Mereka juga sepakat bahwa baghal (hasil kawin silang antara kuda dan keledai)
dan keledai wajib dikeluarkan zakatnya jika diperdagangkan.
Hal-hal Lain Berkaitan dengan Zak at Hewan Temak
Hewan yang wajib dibayarkan dari zakat unta yangjumlahnya kurang dari 25
ekor adalah seekor domba. Sementara itu, jika pemilik membayarkan ba'ir (unta yang
telah tumbuh gigi taringnya), meskipun tidak seharga dengan seekor domba,
dibolehkan. Namun, Maliki berpendapat: Ba'ir tidak bisa menggantikan kambing
Orang yang wajib membayarkan bitu mahhadh, tetapi ia membayarkan hiqqah,
padahal tidak terpaksa, maka hal ini dapat dibenarkan. Demikian menurut kesepakatan
empat imam mazhab.
Dawud berpendapat: Tidak dapat dibenarkan, melainkan ia harus membayarkan
apa yang telah ditentukan.
Domba yang wajib dibayarkan dalam setiap seratus ekor domba adalah anak
domba atau kambing biasa yang berumur dua tahun. Demikian menurut Syafi'i dan
Hambali. Hanafi: Tidak boleh dengan anak domba kecuali yang berumur dua tahun.
Maliki: Tidak boleh dengan anak domba atau kambing biasa yang baru berumur satu
tahun, melainkan yang telah berumur dua tahun.
Apabila semua domba sakitmaka tidak harus mencari yang sehat. Demikian
menurut tiga imam mazhab. Sedangkan menurut Maliki: Tidak diterima zakatnya
kecuali yang sehat.
Sah membayar zakat dengan hewan yang kecil jika semuanya kecil. Namun,
Maliki berpendapat: Tidak boleh, melainkan harus dibayarkan dengan hewan yang
besar.
Apabila hewan ternak itu betina semuanya atau campuran antara jantan dan
betina, maka zakatnya harus betina. Akan tetapi, untuk 25 ekor unta boleh dibayarkan
zakatnya dengan seekor ibn labun jantanaan untuk 30 ekor dikeluarkan zakatnya seekor
tabi. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sementara itu, Hanafi
berpendapat: Boleh, domba jantan dibayarkan sebagai zakat.
Apabila seseorang mempunyai 20 ekor domba di suatu tempat dan 20 ekor
domba di tempat lain, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya seekor domba. Demikian
menurut tiga imam mazhab. Namun, Hambali berpendapat:Jika kedua tempat itu
jaraknya berjauhan maka ia tidak dikenai kewajiban zakat.
Pencampuran berpengaruh terhadap wajib dan gugurnya zakat. Menurut Syafi’i
dan Hambali: Harta dua orang atau sekelompok orang dijadikan harta perorangan.
Percampuran harta dua orang dizakati seperti zakat milik perorangan dengan syarat
jumlah harta campuran itu telah mencapai nisab dan melewati hawl Juga disyaratkan
agar sebagian dari harta campuran itu tidak berbeda dan sebagian yang lain, yaitu harus
sama tempat jalannya, tempat penggembalaannya, tempat istirahatnya, tempat memeras
susunya penggembalanya, dan pejantannya.
Hanafi: Percampuran itu tidak memberi pengaruh apapun jadi, masing-masing
pemilik mengeluarkan zakatnya sebagaimana harta perorangan. Sedangkan Maliki
berpendapat: Percampuran itu berpengaruh jika jumlah harta masing-masing telah
mencapai nisab.
Apabila dua orang bersekutu dalam membeli sejumlah harta mencapai nisab
maka masing-masing tidak wajib membayar zakat. Demikian menurut pendapat .
Hanafi dan Maliki. Sementara itu, Syafi’i berpendapat: Keduanya wajib membayar
zakat Bahkan, kalau salah seorang hanya memiliki 40 ekor di antara seratus ekor
domba, ia wajib membayar zakat.
Percampuran sesuatu selain hewan ternak, seperti benda berharga, biji-bijian,
dan buah–buahan dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua pendapbat. Pendapatnya yang
paling kuat dalam qauljadid bahwa percampuran tersebut tetap berpengaruh,
sebagaimana yang terjadi pada hewan ternak.
ZAKAT HASIL PERTANIAN
Empat imam mazhab sepakat bahwa nisab hasil pertanian adalah 5 wasaq. Satu
wasaq adalah 60 sha'. Kadar yang wajib dikeluarkan dari jumlah tersebut adalah
sepersepuluh (10%) jika tanaman tersebut diairi dengan air hujan atau air sungai.
Sementara itu, jika diairi dengan air yang diangkut, ditimba dari sumur, atau air yang
dibeli maka zakatnya adalah 1/20 atau 5%. Nisab tersebut berlaku untuk buah-buahan
dan tanam-tanaman. Namun, Hanafi tidak mengakuinya. Melainkan, ia mewajibkan
zakat sebesar sepersepuluh (10%) untuk jumlah yang banyak ataupun sedikit.
Al-Qadhi 'Abdul Wahab berpendapat: Ada yang mengatakan bahwa Hanafi
menyalahi ijma dalam masalah ini.
Empat imam mazhab sepakat bahwa perhiasan selain emas dan perak, seperti
mutiara, yaqut, dan zamrud tidak dikenai zakat. Demikian juga, minyak kasturi dan
anbar, menurut pendapat sebagian fuqaha.
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz: Wajib zakat
sebesar seperlima atas minyak anbar.
Abu Yusuf berpendapat: Wajib zakat seperlima (20%) atas mutiara, permata,
yaqut, dan anbar, karena benda-benda tersebut merupakan mineral yang menyerupai
barang temuan (rikaz).
Al-Anbari berpendapat: Wajib zakat atas segala sesuatu yang dikeluarkan dari
laut.
Mayoritas ulama sepakat bahwa nisab awal emas dan perak, baik yang masih
berupa lempengan maupun yang sudah ditempa, yang masih polos maupun yang sudah
diukir, adalah 20 dinar untuk emas dan 200 dirham untuk perak. Oleh sebab itu, jika
jumlahnya sudah mencapai batas tersebut dan telah melewati hawl, maka zakatnya
adalah 1/40 atau 2,5%.
Al-Hasan al-Bashri berpendapat: Tidak dikenakan zakat pada emas, kecuali
jumlahnya telah mencapai 40 mitsqal, dan zakat yang dikeluarkan adalah 1 mitsqal.
Empat imam mazhab berbeda pendapat tentang kelebihan emas dan perak dari
nisabnya. Maliki, Syafi’i, dan Hambali: wajib dizakati pada kelebihannya, yaitu
menurut perhitungannya. Hanafi: Tidak ada zakat atas emas yang lebih dari 200 dirham
dan atas emas yang lebih dan 20 dinar sehingga kelebihannya cukup 40 dirham dan 4
dinar. Pada 40 dirham zakatnya 1 dirham. Demikian seterusnya, setiap kelebihan 40
dirham, zakatnya 1 dirham dan pada 4 dinar zakatnya 2 qirath, dan seterusnya.
Bolehkah mencampurkan emas dan perak untuk mencapai satu nisab? Hanafi
Maliki dan Hambali dalam salah satu riwayatnya berpendapat: Sebaiknya
dicampurkan. Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lainnya: Tidak boleh dicampurkan.
Kemudian, para imam yang berpendapat sebaiknya dicampurkan, berbeda
pendapat tentang apakah emas yang dicampur dengan uang logam agar mencapai satu
nisab itu berdasarkan jumlah atau harga? Hanafi dan Hambali dalam salah satu
riwayatnya: Dicampurkan berdasarkan nilai harganya. Maliki dan Hambali dalam
riwayat lainnya: Dicampurkan berdasarkan jumlahnya. Dalam kasus seperti di atas,
tidak ada kewajiban zakat hingga perhitungan menjadi cukup berdasarkan jumlah
masing-masing jenis tersebut.
Orang yang memberikan piutang kepada orang lain yang berharta, wajib
mengeluarkan zakat hartanya dan wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun, walaupun
belum diterima pembayarannya. Demikian, menurut Syafi’i dalam qaul jadid. Hanafi
dan Hambali: Tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali sesudah diterima
pembayarannya. Sedangkan Maliki berpendapat: Tidak.wajib zakat, meskipun piutang
tersebut sudah bertahun-tahun sebelum dibayar. Jika sudah dibayar, maka dikeluarkan
zakatnya untuk satu tahun saja kalau piutang itu dari pinjaman atau harga barang.
Segolongan ulama berpendapat: Piutang itu tidak ada zakatnya sebelum dibayar
dan penghitungan hawl-nya dimulai sejak piutang tersebut dikembalikan. Di antara
mereka yang berpendapat seperti ini adalah Aisyah, Ibn 'Umar, 'Ikrimah, Syafi’i dalam
qaul qadim, dan Abu Yusu.
Seseorang dimakruhkan membeli zakatnya. Namun jika dibeli juga jual- belinya
sah. Demikian, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, serta pendapat Hambali yang
paling kuat, Di antara para pengikut Hambali, ada yang berpendapat bahwa jual-beli
tersebut batal.
Apabila seseorang mempunyai harta, lalu memberi utang kepada seseorang fakir
yang berhak menerima zakat, maka ia tidak dibolehkan baginya membebaskan orang itu
dari utang tersebut dengan mengeluarkan zakatnya. Melainkan, diberikan zakat kepada
orang itu sejumlah utangnya, lalu dibayarkan kepadanya oleh yang berutang tadi.
Demikian, menurut tiga imam mazhab. Sedangkan Maliki berpendapat: Boleh
membebaskannya.
Perhiasan yang boleh dipakai dan dipinjamkan, seperti emas dan perak jika
termasuk yang dipakai dan dapat dilepas, maka menurut Maliki dan Hambali: 'Tidak
ada zakatnya. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan pendapat yang paling sahih: Tidak
ada zakatnya.
Jika seorang laki-laki mempunyai perhiasan untuk disewakan kepada kaum
perempuan maka tidak ada zakatnya. Demikian, menurut pendapat Syafi'i yang paling
kuat dan pendapat Maliki yang paling masyhur, Sedangkan menurut sebagian pengikut
Maliki: Wajib dizakati.
Az-Zubaidi, salah seorang pengikut Syafi’i mengatakan: Menyediakan perhiasan
emas dan perak untuk disewakan tidak dibolehkan.
Membuat atap dari emas atau perak hukumnya haram. Sedangkan menurut
pendapat sebagian ulama pengikut Hanafi: Boleh.
Membuat bejana dari emas dan perak untuk disimpan hukumnya adalah haram.
Akan tetapi, jika dimiliki maka wajib dizakati. Demikian menurut pendapat ijma para
imam.
ZAKAT PERDAGANGAN
Para imam mujtahid sepakat bahwa barang dagangan wajib dizakati. Sementara
itu, Dawud berpendapat: Tidak wajib zakat atas barang perniagaan.
Para imam mazhab pun sepakat bahwa besamya zakat yang harus dikeluarkan
dari harta perdagangan adalah 2,5%.
Apabila seseorang membeli budak untuk diperdagangkan maka ia wajib
membayarkan zakat fitrahnya. Demikian, menurut tiga imam mazhab. Sedangkan
untuk zakat perdagangannya disyaratkan perdagangan itu sudah dimiliki genap setahun.
Sedangkan Hanafi berpendapat: yang disyaratkan setahun adalah zakat fitrah.
Apabila seseorang membeli dagangan dalam jumlah kurang dari satu nisab maka
sempurnanya nisab dihitung pada awal dari akhir tahun pembelian. Maliki dan Syafi’i:
Sempurnanya nisab dihitung pada seluruh tahun.
Zakat bergantung pada harga barang. Demikian, menurut Maliki, Hambali, dan
salah satu pendapat Syafi’i yang paling kuat.
ZAKAT RARANG TAMBANG
Empat imam mazhab sepakat bahwa tidak diperlukan waktu setahun untuk zakat
barang tambang, kecuali menurut salah satu pendapat Syafi’i. Mereka juga sepakat
bahwa tidak diperlukan waktu setahun untuk zakat barang temuan.
Mereka juga sepakat bahwa untuk barang tambang diperlukan nisab, kecuali
menurut Hanafi yang berpendapat: Tidak perlu nisab bagi barang tambang, melainkan
atasjumlah sedikit ataupun banyak wajib dizakati sebesar 20%.
Mereka juga sepakat bahwa tidak diperlukan nisab untuk barang temuan, kecuali
menurut salah satu pendapat Syafi’i.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang besamya zakat yang wajib
dikeluarkan atas barang tambang. Hanafi dan Hambali: Besarnya adalah 2,5%. Maliki
dalam pendapatnya yang paling masyhur: Besarnya adalah 2,5%. Sedangkan Syafi’i
mempunyai dua pendapat dan pendapatnya yang paling sahih: Besarnya adalah 2,5%.
Empat imam mazhab berbeda tentang orang-orang yang boleh menerima zakat
barang tambang. Hanafi: Diberikan kepada orang yang berhak mendapat harta fa'i
(harta rampasan dari musuh Islam tanpa peperangan), jika barang tambang tersebut
diperoleh di tanah yang dikenai pajak, atau tanah yang dikenai zakat sebesar 10%.
Sedangkan, jika didapatkan dari pekarangan rumahnya sendiri maka tidak ada zakatnya.
Maliki dan Hambali: Diberikan kepada orang yang berhak menerima harta fa'i. Syafi’i:
Diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat.
Empat imam mazhab pun berbeda pendapat tentang orang yang berhak
menerima zakat harta rikaz. Hanafi: Seperti orang yang berhak menerima harta
tambang. Syafi’i dalam pendapat yang paling masyhur: Diberikan kepada orang yang
berhak menerima barang tambang. Hambali memiliki dua pendapat. Pertama, mereka
yang berhak menerima harta fa'i. Kedua, mereka yang berhak menerima zakat.
Sedangkan menurut Maliki: Merek berhak menerima ghanimah (harta rampasan
perang) dan jizyah. Terserah pada pertimbangan imam (kepala negara), kepada siapa
harta rikaz tersebut diberikan, asalkan untuk kemaslahatan.
Zakat barang tambang hanya terbatas pada emas dan perak, Demikian menurut
Maliki dan Syafi’i. Oleh karena itu, jika barang yang dihasilkan dalam penambangan
bukan berupa emas dan perak, seperti mutiara maka tidak wajib dizakati. Hanafi:
Segala barang tambang yang dikeluarkan dari bumi, berupa barang yang dapat dicetak
dengan pemanasan api seperti besi dan timah. Hambali: Segala barang tambang yang
dikeluarkan dari bumi, baik yang dapat dicetak dengan api maupun tidak berupa celak
sekalipun.
ZAKAT FITRAH
Empat imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah hukum nya adalah wajib. Al-
'Asham dan Ibn Haytsam berpendapat: Zakat fitrah adalah sunnah. Maliki, Syafi’i, dan
mayoritas ulama: Wajib di sini harus dalam arti fardu karena setiap fardu adalah wajib,
tetapi tidak sebaliknya. Hanafi: wajib di sini dalam arti wajib, bukan fardu, sebab fardu
lebih kuat daripada wajib.
Zakat fitrah diwajibkan atas anak kecil dan orang dewasa. Demikian, menurut
kesepakatan empat imam mazhab.
Diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib r.a: Zakat fitrah diwajibkan atas setiap
orang yang berkewajiban shalat dan puasa.
Al-Hasan dan Ibn Musayyab berpendapat: Zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali
atas orang yang (wajib) berpuasa dan shalat.
Zakat fitrah atas budak yang dikongsikan wajib atas kedua kongsi yang
mengkongsikannya. Demikian menurut pendapat Malilki, Syafi’i, dan Hambali.
Namun, dalam riwayat lain, Hambali berpendapat: Masing-masing kongsi
membayarkan zakatnya sepenuhnya (satu sha ). Hanafi: Tidak ada kewajiban atas
kongsi-kongsi. Orang yang mempunyai budak kafir, menurut Hanafi: wajib dibayar
zakat fitrahnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat tiga imam mazhab lainnya yang
menyatakan: Tidak wajib.
Suami wajib membayarkan zakat fitrah istrinya, sebagaimana ia wajib memberi
nafkah, Demikian, pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sementara itu, Hanafi
berpendapat: Zakat fitrah istri tidak wajib dibayarkan oleh suami.
Orang yang setengah budak tidak diwajibkan membayar zakat fitrah. Demikian,
menurut pendapat Hanafi Syafi'i dan Hambali: la wajib membayar separo zakat
fitrahnya dan separo sisanya dibayarkan oleh tuannya. Dari Maliki diperoleh dua
riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua, wajib atas tuannya membayarkan
separonya, sedangkan budak itu tidak wajib membayarnya.
Abu Tsawr berpendapat: Masing-masing wajib membayar 1 sha.
Bagi wajibnya zakat fitrah, tidak perlu orang yang mengeluarkannya harus
mempunyai satu nisab perak, yaitu 200 dirham. Demikian, menurut Maliki, Syafi’i, dan
Hambali. Bahkan, mereka menyatakan: Wajib zakat fitrah atas orang yang mempunyai
kelebihan makanan sekadar untuk zakat fitrah tersebut pada siang dan malam hari raya
untuk dirinya, keluarganya, dan orang-orang yang dalam tanggungannya. Hanafi: Zakat
fitrah tidak wajib, kecuali atas orang yang mempunyai satu nisab, selain tempat
tinggalnya, budaknya, kudanya, dan senjatanya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah
wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anaknya yang masih kecil dan budak-
budaknya yang Muslim
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan
dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar
pada hari pertama bulan Syawal. Hambali Pada waktu terbenamnya matahari pada
malam hari raya. Maliki dan Syafi’i berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas.
Namun, menurut qauljadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: Pada waktu terbenamnya
matahari.
Para imam mazhah sepakat bahwa zakat fitrah tidak gugur lantaran diakhirkan
sampai keluar waktunya, melainkan meajadi utang baginya hingga dibayarkan.
Mereka juga sepakat tentang tidak bolehnya menunda pembayaran zakat fitrah
hingga lewat hari raya. Ibn Sirin dan an-Nakha'i mengatakan: Boleh mengakhirkan
pembayaran zakat fitrah hingga lewat hari raya. Hambali berpendapat: Kami berharap
agar hal demikian tidak menjadi masalah.
Empat imam mazhab sepakat mengenai bolehnya mengeluarkan zakat fitrah
dengan lima jenis barang, sebagai berikut:
1. gandum bermutu tinggi;
2. gandum bermutu rendah;
3. kurma;
4. kismis;
5. susu kering, kecuali menurut Hanafi yang tidak membolehkan susu kering,
tetapi boleh dengan harganya.
Syafi’i berpendapat: Apa saja yang wajib dikeluarkan sepersepuluhnya ( 10%)
sebagai zakat, maka barang tersebut boleh dikeluarkan untuk fitrah seperti beras,
gandum, dan jagung.
Maliki dan Syafi’i berpendapat: Tidak boleh membayar zakat fitrah dengan
tepung dan tepung anggur. Hanafi dan Hambali: Keduanya boleh dibayarkan sebagai
zakat fitrah. Demikian juga, menurut al-Anmathi, salah seorang pengikut Syafi'i.
Hanafi: Boleh membayar zakat fitrah dengan cara membayar harganya.
Mengeluarkan kurma untuk membayar zakat fitrah lebih utama. Demikian,
menurut Maliki dan Hambali. Syafi’i: yang lebih utama adalah gandum. Hanafi: yang
lebih utama adalah dengan barang yang lebih mahal harganya.
Empat imam mazhab sepakat bahwa yang wajib dikeluarkan adalah 1 sha'
menurut ukuran sha' Rasulullah Saw. dari lima jenis makanan yang telah disebutkan di
atas. Namun, Hanafi membolehkan membayar zakat fitrah sebesar setengah sha'
gandum.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai ukuran 1 sha'. Syafi'i, Maliki,
Hambali, dan Abu Yusuf berpendapat bahwa 1 sha' adalah 5 rithl dan l/3 rithl Irak.
Sedangkan, menurut Hanafi satu sha' adalah 8 rithl. .
Menurut Syafi’i dan mayoritas sahabat, zakat fitrah wajib diberikan kepada
delapan asnaf sebagaimana dalam zakat harta.
Al-Isthikhri, salah seorang pengikut Syafi’i, berpendapat: Boleh diberikan
kepada tiga orang fakir dan miskin saja dengan syarat pembayar zakat adalah orang
yang membayarkannya sendiri. Sedangkan, jika ia menyerahkannya kepada kepala
negara (imam), maka zakat fitrah wajib diberikan kepada delapan asnaf secara merata,
karena zakat itu sudah terkumpul di tanganya sehingga tidak ada alasan untuk tidak
membaginya secara rata.
An-Nawawi dalam kitabnya, al-Majmu Syarh al-Muhadrdrab; menyatakan:
Maliki, Hanafi, dan Hambali membolehkan seseorang membayarkan zakat fitrahnya
kepada seorang fakir saja. Mereka mengatakan bahwa boleh membayarkan zakat fitrah
sekelompokorang kepada seorang miskin. Pendapat ini dipilih oleh segolongan ulama
pengikut Syafi’i, seperti Ibn al-Mun- dzir, ar-Ruyani, dan Abu Ishaq asy-Syairazi.
Apabila seseorang telah mengeluarkan zakat fitrah, lalu zakat tersebut diberikan
kepadanya, sementara ia sendiri memerlukannya, maka ia boleh menerimanya.
Demikian, menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sementara itu, Maliki berpendapat:
Hal demikian tidak dibolehkan.
Empat imam mazhab sepakat tentang bolehnya mengeluarkan zakat fitrah
sehari atau dua hari sebelum hari raya. Namun, mereka berbeda pendapat jika
pembayarannya dua hari setelah hari raya.
Hanafi: Boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah sebelum bulan
ramaadhan. Syafi’i: Boleh membayamya pada awal bulan Ramadhan. Maliki dan
Hambali: Tidak boleh mendahulukan pembayaran zakat fitrah dan waktu wajibnya.
PEMBAGIAN ZAKAT
Menurut Hanafi dan Maliki: Fakir adalah orang yang dapat memenuhi sebagian
kebutuhannya dan tidak dapat memenuhi sebagian iainnya. Sedangkan miskin adalah
orang yang tidak mempunyai apa-apa. Syafi’i dan Hambali: Fakir adalah orang yang
tidak mempunyai apa-apa. Sedangkan miskin adalah orang yang dapat memenuhi
sebagian kebutuhannya.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai muallaf qulubuhum orang
yang ditundukkan hatinya). Hanafi: Ketentuan tentang mereka telah dihapus
(mansukh). Demikian juga, menurut satu riwayat dari Hambali.
Pendapat paling masyhur dari Maliki: Tidak ada lagi bagian mereka pada orang-
orang Muslim yang kaya. Dalam riwayat lain dari Maliki: Apabila kepala negara
merasa perlu kepada golongan muailaf, ia boleh memberikan zakat kepada mereka
karena ada 'illat.
Sementara itu, Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal apakah mereka masih
diberi zakat sesudah masa Rasulullah Saw. atau sudah tidak diberi lagi? Pendapatnya
yang paling sahih: Muallaf tetap diberi zakat dan hukum mereka tidak dihapus.
Demikian juga, menurut Hambali dalam satu riwayatnya.
Apakah bagian yang diambil 'amil adalah sebagai zakat atau upah pekerjaannya?
Hanafi dan Hambali: Bagian yang diambil 'amil adalah sebagai zakat, bukan upah
pekerjaannya. Hambali membolehkan budak menjadi 'amil atau dzawil qurba (keluarga
dekat). Juga mengenai 'amil kafir, menurut beliau ada dua pendapat.
Hanafi, Maliki, dan Syafi’i tidak membolehkan apa yang dibolehkan Hambali
tersebut.
Riqab adalah budak mukatab, yakni budak yang dijanjikan majikannya untuk
dimerdekakan asalkan ia dapat menebus dirinya. Demikian, pendapat Para imam
mazhab, kecuali Maliki.
Hanafi dan Syafi’i membolehkan menyerahkan zakat kepada budak mukatab
agar ia bisa menebus pembebasan dirinya. Sedangkan, Maliki berpendapat: Tidak
boleh, sebab riqabadalah hamba yang belum mukatab. Oleh karena itu, menurut Maliki:
Budak itu dibeli dengan zakat, lalu dimerdekakan. Demiikian juga, pendapat Hambali
dalam salah satu riwayatnya.
Gharim adalah orang yang mempunyai utang. Demikian, menurut kese- pakatan
Para imam mazhab.
Fi sabilillah adalah para pejuang agama. Hambali dalam salah satu riwayatnya
yang jelas berpendapat bahwa orang yang berhaji termasuk fi sabilillah.
Ibn sabil adalah musafir, Demikian, kesepakatan empat imam mazhab.
Bolehkah zakat diberikan kepadag/zarim yang kaya? Hanafi, Maliki, dan
Hambali: Tidak boleh. Sementara itu, pendapat Syafi’i: Boleh.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai sifat ibn sabil sesudah mereka
sepakat bolehnya ibn sabil memperoleh bagian zakat.
Hanafi dan Maliki: Ibn sabil ialah orang yang sudah melakukan perjalanan,
bukan orang yang hendak melakukan perjalanan. Syafi’i berpendapat: Ibn sabil ialah
orang yang sudah melakukan perjalanan dan orang yang akan melakukan perjalanan.
Sementara itu, dari Hambali diperoleh dua riwayat dan yang lebih jelas: Ibn sabil ialah
orang yang berada dalam perjalanan.
Bolehkah seseorang memberikan seluruh zakatnya hanya kepada seorang
miskin? Hanafi berpendapat: Boleh, asalkan orang miskin itu tidak menjadi kaya
lantaran zakat yang diterimanya. Maliki: Boleh memberikannya sehingga ia menjadi
kaya apabila dengan demikian ia menjadi terpelihara. Syafi’i: Zakat diberikan kepada
sedikitnya tiga orang dan setiap golongan.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai bolehnya membayarkan
zakat dari suatu negeri ke negeri lain. Hanafi berpendapat: Hal demikian adalah
makruh, kecuali kepada kerabat yang memerlukan atau suatu kaum dari suatu negeri
yang betul-betul memerlukannya.Jika demikian, maka tidak makruh. Maliki: Tidak
boleh, kecuali kalau penduduk suatu negeri yang dituju sangat memerlukannya. Jika
demikian, kepala negara (imam) tidak boleh membayarkannya kepada mereka menurut
kemampuan. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan pendapat paling sahih: Tidak boleh
memindahkan zakat ke negeri lain. Sedangkan, pendapat Hambali yang paling
masyhur: Tidak boleh memindahkan zakat suatu negeri ke negeri lain yang dibolehkan
qashar shalat padanya, meskipun di negermya sendiri tidak ada yang berhak
menerimanya.
Empat imam mazhab sepakat tentang tidak bolehnya memberikan zakat
kepada orang kafir.
Az-Zuhri dan Ibn Syubrumah membolehkan pemberian zakat kepada ahlu
dzimmah.
Menurut pendapat paling kuat dari Hanafi: Boleh memberikan zakat fitrah dan
kafarah kepada orang kafir dzimmi.
Empat mazhab berbeda pendapat mengenai sifat orang kaya yang tidak boleh
diberi zakat. Hanafi: Orang yang memiliki harta satu nisab. Pendapat paling masyhur
dari Maliki: Boleh memberikan zakat kepada orang yang mempunyai 40 dirham.
Al-Qadhi 'Abdul Wahab berpendapat: Tidak ada baiasan bagi orang kaya
mengenai hartanya. la pun mengatakan bahwa zakat diberikan kepada orang yang
mempunyai tempat tinggal, pelayan, dan kendaraan, yang tidak mempunyai kecukupan
untuk membiayai semua itu.
Ada yang berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada orang yang
mempunyai kekayaan sebesar 40 dirham. Adajuga yang berpendapat bahwa orang
berilmu boleh menerima zakat, sekalipun ia seorang kaya.
Orang yang sibuk mencari ilmu agama, jika ia mencari nafkah sendiri dapat
menyebabkannya tidak bisa mencari ilmu, maka ia boleh mengambil zakat. Menurut
Syafi’i: Jika ilmunya diharapkan bisa memberikan manfaat (bagi umat) maka ia boleh
mengambil zakat. Jika tidak, maka tidak boleh.
Adapun, orang yang sibuk dengan ibadah sunnah jika ia meninggalkannya untuk
bekerja dapat mengakibatkannya tidak bisa beribadah sunnah, maka ia tidak boleh
mengambil zakat. Hal itu karena bersungguh-sungguh mencari nafkah agar tidak
menggantungkan hidup kepada orang lain adalah lebih utama daripada mengerjakan
ibadah sunnah, tetapi selalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Hal ini
sangat berbeda dengan pencari ilmu yang hukumnya fardu kifayah dan masyarakat pun
membutuhkannya.
Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat yang saling bertentangan.
Kebanyakan sahabatnya menerangkan bahwa apabila seseorang mempunyai 40 dirham,
ia tidak boleh mengambil zakat.
Seseorang memberikan zakatnya kepada orang lain. Kemudian, diketahui bahwa
orang itu adalah orang kaya. Maka, menurut pendapat Hanafi: Zakatnya sah. Maliki:
Tidak sah. Syafi’i memiliki dua riwayat dan pendapat yang paling sahih: Tidak sah.
Hambali, juga memiliki dua riwayat, yaitu sepeti kedua pendapat imam mazhab di atas.
Orang yang sanggup berusaha, sehat jasmani, dan kuat tidak boleh mengambil
zakat. Demilkian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sementara itu, Hanafi dan
Maliki mengatakan: Mereka boleh mengambil zakat.
Pembagian Zakat
Hanafi dan Hambali mengharamkan para maula Bani Hasyim menerima zakat.
Demikian juga, pendapat Maliki dan Syafi’i.
PUASA
Empat imam mazhab sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah fardu atas segenap
kaum Muslim. la merupakan salah satu dari rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa
puasa Ramadhan wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah balig, berakal sehat,
suci (tidak sedang haid atau nifas), bermukim (tidak dalam perjalanan), dan sanggup
mengerjakannya.
Perempuan yang sedang haid dan nifas haram berpuasa. Apabila mereka tetap
mengerjakannya, maka puasanya tidak sah dan tetap berkewajiban mengqadhanya.
Perempuan yang sedang hamil dan perempuan yang sedang menyusui anaknya boleh
tidak berpuasa jika mereka khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya.
Tetapi, jika mereka tetap berpuasa maka puasanya sah. Adapun jika mereka tidak
berpuasa lantaran khawatir terhadap kesehatan anaknya maka ia wajib mengqadhanya
serta membayar kafarah, yaitu untuk setiap harinya satu mud. Demikian menurut
pendapat Syafi’i yang paling kuat dan Hambali, Hanafi berpendapat: Tidak ada
kafarah atas keduanya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, wajib kafarah bagi
perempuan yang sedang menyusui anaknya, tidak bagi yang sedang hamil. Kedua, tidak
ada kafarah atas keduanya.
Ibn 'Umar dan Ibn Abbas r.a. menyatakan, wajib kafarah, tetapi tidak wajib
mengqadha.
Para imam mazhab sepakat bahwa i'tikaf disyariatkan dan merupakan suatu
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wajalla. Yang dimustahabkan
adalah dilakukan dalam setiap waktu dan lebih utama lagi pada 10 hari terakhir bulan
Ramadhan untuk mencari Lailatul Qgdar.
Para imam mazhab sepakat bahwa Lailatul Qadar dicari dalam bulan
Ramadhan dan ia berada pada bulan Ramadhan. Namun, menurut pendapat Hanafi,
bahwa Lailatul Qadar berada pada seluruh tahun.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah, sebagaimana diterangkan Ibn Athiyah dalam
kitab tatsirnya bahwa Hanafi berpendapat: Lailatul Qadar telah diangkat (tidak ada
lagi). Pendapat Abu Hanifah ini tertolak.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang malam keberapa yang sangat
diharapkan adanya Lailatul Qadar tersebut? Menurut pendapat Syafi’i: Malam yang
sangat diharapkan adanya Lailatul Qadar adalah malam ke-21 atau ke-23 pada bulan
Ramadhan. Menurut Maliki: Pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir pada
bulan Ramadhan. Namun, ia tidak menentukan pada malam ganjil yang mana.
Sedangkan menurut pendapat Hambali: Laihtul Qadar ada pada malam ke-27 bulan
Ramadhan.
Tidak sah i'tikaf kecuali dilakukan di dalam masjid, menurutpendapat Maliki
dan Syafi'i, dan yang lebih utama lagi di masjid jami' tempat didirikannya shalat jumat.
Hanafi berpendapat: Laki-laki tidak sah beri'tikaf kecuali di dalam masjid,
tempat didirikannya shalat berjamaah. Hambali berpendapat: Tidak sah i'tikaf kecuali
dilakukan di dalam masjid tempat dilakukannya shalat Jumat.
Hudzaifah berpendapat: Tidak sah i'tikaf kecuali dilakukan di tiga masjid-Masjid
al-Haram di Makkah, Masjid an-Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di Palestina
Perempuan tidak sah beri'tikaf di mushala di dalam rumahnya, yaitu tempat
terpisah di rumahnya yang disediakan untuk shalat, Demikian menurut qauljadid yang
paling sahih dari Syafi’i dan pendapat Maliki serta Hambali. Hanafi berpendapat:
yang lebih utama bagi perempuan adalah ber i'tikaf di mushala di dalam rumahnya. Ini
juga qaul qadim Syafi’i. Bahkan, makruh perempuan beri'tikaf kecuali di tempat
tersebut.
Apabila suami mengizinkan istrinya beri'tikaf, lalu istrinya memulai i'tikaf,
apakah dibolehkan suami mencegah untuk menyempurnakannya? Hanafi dan Maliki
mengatakan: Tidak dibolehkan berbuat demikian. Syafi’i dan Hambali mengatakan:
Boleh berbuat demikian.
Para imam mazhab sepakat bahwa seseorang yang beri'tikaf tidak sah kecuali
dengan niat.
Apakah sah beri'tikaf yang tanpa disertai puasa? Hanafi, Maliki, dan Hambali
mengatakan: Tidak sah kecuali dengan berpuasa. Syafi’i berpendapat: Sah meskipun
tidak disertai puasa.
Menurut pendapat Syafi’i dan pendapat paling masyhur dari Hambali: I'tikaf itu
tidak mempunyai masa tertentu. Dari Hanafi diperoleh dua riwayat. Pertama, boleh
sebagian hari saja. Kedua, tidak holeh kurang dari sehari semalam. Ini juga pendapat
dalam mazhab Maliki.
Jika seseorang bemazar untuk beri'tikaf suatu bulan pada bulan tertentu maka ia
wajib beri'tikaf sebulan terus-menerus. Jika ia tinggalkan sehari saja, ia wajib
mengqadha hari yang ditinggalkannya. Demikian menurut kesepakatan Para imam
mazhab, kecuali satu riwayat dari Hambali yang menyatakan: harus diulang kembali.
Sedangkan jika seseorang bernazar untuk beri'tikaf sebulan tanpa ditentukan
bulannya, maka ia boleh mengerjakannya terus-menerus hingga satu bulan dan boleh
juga berselang. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Hanafi dan Maliki mengatakan:
Wajib terus-menerus hingga satu bulan. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang berniat i'tikaf hanya siang hari,
tidak sampai malam, maka hukumnya sah kecuali menurut pendapat Maliki yang
berpendapat tidak sah kalau tidak digabungkan malam dan siangnya.
Jika seseorang bernazar untuk beri'tikaf dua hari terus-menerus maka ia tidak
wajib beri'tikafpada malam di antara keduanya. Demikian menurut pendapat Maliki,
Syafi’i, danHambal.i Hanafi berpendapat: Wajib beri'tikaf dua hari dua malam.
Pendapat Abu Hanifah inilah yang dianggap paling sahih menurut para ulama pengikut
Syafi’i.
Apabila orang yang beri'tikaf keluar dari tempat itikaf bukan untuk keperluan
buang air, makan dan minum, maka i'tikafnya tidak batal sebelum lebih dari setengah
hari. Jika ia keluar untuk membuang air besar dan untuk sesuatu yang dibutuhkan,
seperti mandi janabah, maka dibolehkan. Demikian menurut kesepakatan Para imam
mazhab.
Para imam mazhab sepakat apabila seseorang beri'tikaf di masjid bukan masjid
jami’ lalu ia hendak menghadiri shalat jumat, maka ia wajib keluar darinya. ·
Apakah dengan berbuat demikian menjadi batal i'tikafnya atau tidak? Hanafi
dan Maliki menyatakan: Tidak batal i'tikafnya. Syafi’i mempunyai dua pendapat.
Pertama, yang paling sahih adalah sebagaimana yang diterangkan dalam kitabnya, yaitu
batal i'tikafnya kecuali jika hal itu disyaratkan dalam ‘itikafnya. Kedua, sebagaimana
yang diterangkan dalam kitab Mukhtashar al-Biwaithi, yaitu tidak batal i'tikafnya.
Apabila orang yang beri'tikaf mensyaratkan keluar dari tempat i'tikaf kalau ada
sesuatu yang menjadi ibadah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah,
maka dibolehkan ia keluar dari i'tikafnya dan tidak batal, demikian menurut pendapat
Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki mengatakan: Batal i'tikafnya.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, apabila orang yang beri'tikaf
menyetubuhi istrinya dengan sengaja maka i'tikafnya batal, tetapi ia tidak wajib
membayar kafarah. Al-Hasari al-Bashri dan az-Zuhri berpendapat: Wajib membayar
kafarah sumpah.
Sedangkan jika orang yang beri'tikaf menyetubuhi istrinya karena lupa bahwa ia
sedang beri'tikaf, maka i'tikafnya menjadi rusak. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Maliki, dan Hambali Sedangkan Syafi’i berpendapat: Tidak rusak i'tikafnya.
Adapun jika ia menyetubuhi istrinya tidak pada kemaluannya dengan disertai
syahwat, lalu keluar air mani, maka i'tikafnya menjadi batal. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Hambali. Maliki berpendapat: Batal I’tikafnya, baik keluar mani
ataupun tidak. Dari Syafi’i terdapat dua pendapat, dan yang paling sahih adalah batal
jika keluar mani.
Orang yang sedang beri'tikaf tidak dimakruhkan memakai wangi-wangian serta
memakai pakaian yang mahal. Demikian menurut tiga imam mazhab. Hambali
berpendapat: Makruh berbuat demikian.
Para imam mazhab telah sepakat bahwa orang yang sedang i'tikaf
dimakhruhkan terus-menerus berdiam diri tidak melakukan aktivitas apapun, seperti
shalat, dzikir, dan lain-lain-sampai malam hari. Bahkan, Syafi’i mengatakan:
"Meskipun ia bernazar untuk berdiam diri, maka ia dibolehkan berbicara dan tidak ada
kafarah."
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, bagi orang yang beri'tikaf
disunnahkan untuk shalat, membaca Al-Quran, dan berdzikir. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang membaca hadis dan kitab fiqih. Maliki dan Hambali berpendapat:
Tidak disukai. Keduanya berpendapat demikian karena i'tikaf adalah mengonsentrasikan
hati untuk memahami isi al-Quran dan arti makna-makna dzikir, Oleh karena itu,
menyibukkan hati dengan urusan-urusan lain tidaklah sesuai dengan ibadah ini.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i: Disukai juga orang yang sedang
beri'tikaf itu membaca kitab hadis dan kitab fiqih.
Para imam mazhab telah sepakat ten tang tidak dibolehkannya orang sedang
i'tikaf membawa dan mengerjakan pekerjaannya secara mutlak. Allah Mahatinggi yang
mengetahui segalanva.
HAJI
Para imam mazhab telah sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun
Islam. la adalah fardu yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka, balig, dan
mempunyai kemampuan, dalam seumur hidup sekali.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang hukum umrah. Hanafi dan
Maliki mengatakan: Umrah hukumnya adalah sunnah. Hambali berpendapat: Umrah
hukumnya adalah fardu sebagaimana haji. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang
paling sahih bahwa umrah hukumnya adalah fardu, ·
Dibolehkan mengerjakan umrah pada setiap waktu, tidak ada batasannya serta
tidak dimakruhkan. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Maliki
berpendapat: Dimakruhkan mengerjakan umrah, dua kali dalam satu tahun. Sebagian
ulama pengikut Maliki mengatakan: Boleh mengerjakan umrah setiap satu bulan satu
kali.
Dimustahabkan bagi orang yang telah berkewajiban haji untuk cepat-cepat
mengerjakannya. Tetapi ia menundanya boleh, demikian menurut pendapat Syafi’i,
karena ibadah haji panjang waktunya. Sedangkan menurut pendapat Hanafi, Maliki
dalam pendapatnya yang masyhur serta pendapat Hambali yang paling jelas: Wajib
dilaksanakan dengan segera, dan tidak boleh ditunda-tunda jika sudah berkewajiban.
Orang yang berkewajiban haji, tetapi tidak mengerjakannya sehingga ia
meninggal sebelum dapat mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari dirinya.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Adapun, jika ia meninggal
sesudah memungkinkan untuk mengerjakan haji, maka kewajiban tersebut tidak gugur
dari dirinya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Oleh karena itu, ia
wajib dihajikan oleh orang lain dengan biaya yang diambil dari hartanya, baik ia
mewasiatkan hal itu maupun tidak, sebagaimana utang. Hanafi dan Maliki
berpendapat: Kewajiban hanya gugur lantaran kematian, dan keluarganya tidak
diwajibkan mengerjakannya, kecuali kalau ada wasiat, maka ia dihajikan dengan biaya
dari sepertiga harta pusakanya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang dari mana mulainya haji untuk
menggantikan mayat. Hanafi dan Hambali mengatakan: Diihramkan di perkampungan
keluarganya. Maliki berpendapat. Diihramkan sejak menerima wasiat. Syafi’i berkata:
Diihramkan di Miqat.
Para imam mazhab telah sepakat bahwa anak kecil tidak diwajibkan haji, dan
kewajiban haji tidak menjadi gugur darinya jika ia telah mengerjakan haji sebelum
balig.
Adapun mengenai ihramnya, apabila ia telah mendapat izin dari walinya, maka
hal itu sah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan menurut
pendapat Hambali: Jika ia mampu dan mumayyzz (di anggap sah), dan anak yang
belum mumayyiz diihramkan oleh wakilnya. Hanafi berpendapat: Ihram haji anak kecil
tidak sah.
Syarat wajib haji adalah mempunyai kemampuan untuk mengerjakannya sendiri,
atau untuk dikerjakan orang lain karena tidak mampu mengerjakannya sendiri.
Kemampuan yang dikehendaki pada orang yang berhaji sendiri adalah bekal dan
kendaraan. Adapun, orang yang tidak mempunyai keduanya, tetapi sanggup berjalan
kaki dan sanggup pula berusaha dalam perjalanannya untuk memperoleh nafkah, maka
orang tersebut disunnahkan melaksanakan haji. Demikian menurut kesepakatan Para
imam mazhab.
Jika perbelanjaannya diperoleh dari jalan minta-minta, maka ibadah haji yang
demikian hukumnya makruh. Maliki berpendapat: Jika orang tersebut sudah terbiasa
meminta-minta, maka ia wajib haji.
Orang yang mendapatkan upah untuk dibawa bersama ke haji, maka hajinya sah,
kecuali menurut Hambali Orang yang merampas harta orang lain lalu dipergunakan
untuk berhaji, atau orang yang merampas kendaraan dan dipergunakan untuk berhaji,
maka hajinya sah walaupun ia durhaka. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki,
dan Syafi’i. Dari Hambali diperoleh riwayat bahwa hajinya tidak sah.
Tidak boleh menjual rumah untuk dipergunakan berhaji. Demikian menurut
kesepakatan Para imam mazhab.
Jika seseorang mempunyai harta yang cukup untuk berhaji, tetapi ia perlu tempat
tinggal, maka ia dibolehkan membeli rumah dan mengakhirkan hajinya. Demikian
menurut pendapat jumhur ulama. Syaikh Abu Hamid, salah seorang ulama Syafi’i,
berpendapat: Wajib dipergunakan untuk haji. Abu Yusuf berpendapat: Tidak boleh
menjual rumah dan tidak boleh membelinya.
Apabila seseorang perlu pengawal dalam perjalanannya maka ia tidak
diwajibkan berhaji. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Sedangkan
Maliki berpendapat: Jika gangguan itu hanya sedikit dan dapat membela diri, ia wajib
mengerjakan haji.
Apakah wajib naik kapal dengan cara berlayar untuk berhaji, jika menurut
kebiasaan, banyak mendatangkan keselamatan? Hanafi dan Maliki serta Hambali
berpendapat: Wajib haji. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan yang lebih jelas adalah
wajib. Perempuan tidak wajib haji jika tidak ada orang yang dapat menjaga keselamatan
dirinya, seperti suami atau muhrimnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
Hambali. Bahkan, keduanya berpendapat: Tidak boleh ia berhaji kalau tidak beserta
suami atau muhrimnya, tetapi ia boleh berhaji beserta rombongan para wanita. Syafi’i
berpendapat: Boleh beserta rombongan perempuan yang dipercaya. Ia juga berpendapat
dalam kitab al-Imla': Boleh beserta perempuan lain walaupun seorang. Dalam riwayat
lain, Syafi’i berpendapat: Apabila perjalanannya aman, ia boleh berhaji tanpa ataupun
disertai perempuan lain.
Orang yang tidak sanggup bergerak dan tidak sanggup berhaji sendiri karena
sudah tua sekali atau menderita penyakit yang tak dapat diharapkan kesembuhannya,
tetapi ia mempunyai harta untuk mengupah orang lain, ia wajib mengerjakan haji. Ia
bisa menyuruh orang lain mengerjakannya dengan diberi upah dan tetap menjadi
tanggungjawabnya jika orang itu tidak melakukan hal tersebut. Demikian menurut
pendapat tiga imam mazhab. Sedangkan Maliki berpendapat: Orang yang tidak
sanggup bergerak tidak diwajibkan berhaji, melainkan atas orang yang sanggup
mengerjakannya sendiri.
Apabila seseorang mengupah orang lain untuk berhaji maka hajinya adalah hak
orang yang mengupah. Demikian kesepakatan Para imam mazhab, kecuali Hanafi
yang berpendapat bahwa ibadah hajinya untuk orang yang mengerjakannya. Sedangkan
orang yang mengupahnya hanya mendapatkan pahala dari pembelanjaannya.
Orang buta, apabila ia mempunyai atau mendapatkan orang yang menuntunnya
atau menunjukkan jalannya, maka ia wajib mengerjakan ibadah haji sendiri, dan tidak
boleh menyuruh orang lain untuk menggantikannya. Demikian menurut pendapat tiga
imam mazhab. Hanafi berpendapat: Haji Itu diwajibkan pada harta orang buta. Oleh
karena itu, ia boleh menggantikan dirinya dengan orang lain.
Dalam haji fardu, orang yang meninggal boleh digantikan oleh orang lain.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Adapun, tentang haji sunnah, itu
pun diperbolehkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali Syafi’i dalam hal
ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih tidak membolehkan.
Orang yang belum berhaji untuk dirinya sendiri, tidak dibolehkan menghajikan
orang lain. Jika orang yang belum berhaji menghajikan orang lain, maka haji tersebut
untuk orang yang menghajikan. Demikian menurut pendapat yang masyhur dalam
mazhab Hambali Menurut riwayat lain dari Hambali: Ihram tersebut tidak sah untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain. Hanafi dan Maliki berpendapat: Boleh dikerjakan
orang lain, tetapi makruh hukumnya.
Tidak boleh mengerjakan haji sunnah oleh orang yang belum mengerjakan haji
wajib. Jika ia berniat melaksanakan haji sunnah maka haji tersebut menjadi haji fardu.
Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki mengatakan:
Boleh berhaji sunnah sebelum mengerjakan haji fardu, dan ihramnya sah sesuai dengan
apa yang dimaksudkannya.
Al-Qadhi Abdul' Wahab al-Maliki berpendapat: Tidak boleh, sebab haji harus
dikerjakan dengan sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana waktu
shalat.
Menyewakan diri untuk mengerjakan haji hukumnya boleh. Demikian menurut
pendapat Syafi’i. Seperti itu juga pendapat Maliki, tetapi makruh. Sedangkan menurut
pendapat Hanafi: Tidak boleh. Tiga imam mazhab sepakat bahwa sah haji dengan salah
satu cara di antara tiga cara haji masyhur sebagai berikut:
1. Ifrad;
2. tamattu';
3. qiran bagi setiap mukalaf secara mutlak dan tidak dimakruhkan,
Hanafi berpendapat: Tidak disyariatkan bagi penduduk Makkah mengerjakan
haji secara tamattu' dan qiran, dan dimakruhkan bagi mereka mengerjakan kedua cara
tersebut.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang mana yang lebih utama di antara
ketiga cara haji tersebut. Hanafi berpendapat: Qiran lebih utama, lalu tamattu' bagi
orang yang datang dari jauh, kemudian ifrad. Maliki mempunyai dua pendapat dalam
hal ini. Pertama, ifrad, lalu tamattu', kemudian qiran. Kedua, tamattu' yang paling
utama.
Syafi’i juga mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih adalah ifrad, lalu
tamattu', kemudian qiran. Sedangkan yang paling kuat menurut dalil yang telah dipilih
oleh segolongan ulama pengikutnya adalah tamattu' lalu ifrad karena untuk
mendapatkan haji mabrur. Ini juga pendapat Hambali.
Tidak dibolehkan memasukkan haji pada umrah sesudah thawaf, karena hal itu
berarti telah mendatangkan niat. Demikian menurut kesepakatan para imam mahzab.
Adapun, memasukkan umrah pada haji sebelum wukuf dibolehkan. Demikian
menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut pendapat Hambali: Tidak boleh secara
mutlak. Syafi’i mempunyai dua pendapat.
Orang yang bukan penduduk sekitar Masjid al-Haram jika berhaji dengan cara
tamattu', maka ia wajib membayar dam (denda). Begitu juga orang yang mengerjakan
haji secara qiran, yaitu dendanya seekor kambing. Demikian menurut kesepakatan
empat imam mazhab.
Dawud dan Thawus berpendapat: Tidak ada denda bagi orang yang berhaji
qiran. Asy-Sya'bi berpendapat: Untuk orang yang berhaji qiran, dam-nya seekor unta.
Mereka berbeda pendapat tentang siapa penduduk Masjid al-Haram. Penduduk
yang dipandang sebagai penduduk Masjid al-Haram adalah orang yang tinggal dalam
radius tidak sampai satu jarak qashar shalat. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan
Hambali. Menurut pendapat Hanafi: Orang-orang yang tidak sampai ke jarak Miqat.
Sedangkan menurut pendapat Maliki: Orang-orang yang menjadi penduduk Makkah
dan Dzu Thuwa.
Wajib dam tamattu' jika telah berihram untuk haji. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Syafi’i. Maliki berpendapat: Tidak wajib hingga ia melempar jumrah
Aqabah.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya
mengeluarkan binatang hadiah untuk disembelih. Hanafi dan Maliki berpendapat:
Tidak boleh hadiah disembelih sebelum hari nahar. Syafi’i mempunyai dua pendapat,
dan yang lebih jelas adalah bahwa hadiah disembelih sesudah selesai umrah.
Apabila tidak didapat hadiah di tempatnya, hendaknya ia berpuasa, yaitu tiga
hari pada waktu haji dan tujuh hari sesudah tiba di negerinya. Puasa yang tiga hari tidak
boleh dikerjakan puasa melainkan sesudah ia berihram untuk haji. Demikian menurut
pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi dan Hambali berpendapat dalam salah satu
riwayatnya: Apabila ia sudah berihram untuk umrah, maka ia sudah boleh berpuasa tiga
hari.
Apakah dibolehkan berpuasa tiga hari tersebut pada hari-hari tasyriq? Dalam hal
ini, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang lebih jelas adalah tidak membolehkan.
Ini juga pendapat mazhab Hanafi. Sedangkan dalam qaul qadim Syafi’i dan yang
terpilih adalah membolehkannya. Demikian juga pendapat Maliki dan Hambali dalam
riwayatnya.
Puasa tiga hari tidak gugur karena tertinggalnya hari Arafah, kecuali menurut
pendapat Hanafi, yang menyatakan: Gugur puasanya, dan ia wajib menyembelih
hadiah. Adapun, menurut pendapat yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i: Dikerjakan
sesudah hari Arafah, dan wajib mengqadha apabila ditunda puasa yang tiga hari
tersebut. Sedangkan menurut pendapat Hambali: Jika puasa tersebut ditunda tanpa
uzur, maka ia wajib membayar dam. Demikian juga, apabila ia mengakhirkan
penyembelihan dan tahun ke tahun lainnya.
Apabila seseorang yang berpuasa mendapatkan binatang hadiah, yakni
memperoleh binatang untuk disembelih, disukailah ia berpindah pada menyembelih
binatang itu. Hanafi: Ia wajib menyembelihnya.
Adapun tentang puasa yang tujuh hari, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan
yang lebih sahih adalah dikerjakan ketika ia sudah tiba di tengah keluarganya. Demikian
juga menurut pendapat mazhab Hambali. Pendapat kedua dari Syafi’i adalah boleh
dikerjakan sebelum ia pulang.
Sedangkan tentang waktunya, ada dua cara. Pertama, ketika keluar dari Makkah.
Inilah pendapat Maliki. Kedua, apabila sudah selesai berhaji, meskipun masih berada di
Makkah. Inilah pendapat Hanafi.
Apabila seseorang yang berhaji tamattu' telah selesai dan segala pekerjaan
umrahnya, maka ia bertahallul, baik pada waktu menuntun hadiah maupun tidak.
Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi dan Hambali berpendapat:
Jika ia menuntun hadiah, maka ia tidak boleh bertahallul sebelum hari nahar. Oleh
karena itu, hendaknya ia tinggal dalam ihramnya lalu berihram untuk haji atas umrah,
sehingga ia menjadi haji qiran, lalu ia tahallul darinya.
MIQAT
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dalam
memulai ihram. Hanafi berpendapat: yang lebih utama adalah dari rumahnya.
Pendapat Hanafi ini sama dengan pendapat asy-Syafi’i yang paling sahih
menurut pendapat yang dikuatkan oleh ar-Rafi'i. Maliki dan Hambali berpendapat:
Memulainya dari miqat adalah lebih utama, Ini juga salah satu pendapat Syafi’i yang
dianggap paling sahih oleh an-Nawawi. An-Nawawi berpendapat: Pendapat inilah yang
sesuai dengan hadis sahih.
Miqat-miqat yang sudah dikenal itu adalah untuk ahlinya (Mahkah) dan untuk
orang yang datang ke Makkah yang bukan ahlinya.
Hukum ini menjadi kesepakatan para ulama. Barangsiapa yang telah sampai
pada miqat dengan maksud berhaji, maka ia tidak boleh melewatinya dengan tidak
melaksanakan ihram. Jika melewatinya dengan tidak berihram, maka ia harus kembali
lagi ke miqat untuk berihram. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
An-Nakhai dan al-Hasan al-Bashri berpendapat: Ihram dan miqat itu tidak wajib
hukumnya.
Apabila ia tidak kembali ke miqat karena tempat itu berbahaya atau waktunya
sudah sempi, maka ia harus membayar dam untuk melewati miqat tanpa berihram
tersebut. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Sa’id bin jubair
berpendapat: ihramnya tidak sah jika tidak dari miqat.
Orang yang memasuki kota Makkah tanpa berihram, maka ia tidak diharuskan
mengqhada. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi
berpendapat: Diharuskan mengqadhanya kecuali ia penduduk Makkah, maka tidak
wajib.
IHRAM DAN LARANGAN-LARANGANNYA
Para imam mazhab sepakat bahwa kafarah bagi orang yang mencukur rambut
boleh dipilih, yakni menyembelih seekor kambing, memberi makan enam orang miskin,
atau berpuasa tiga hari.
Mereka berbeda pendapat ten tang kadar mencukur yang dikenai fidyah. Hanafi
berpendapat: Seperempat kepala. Maliki mengatakan: Mencukur sekadar. tem pat untuk
menghilangkan sakit yang ada di kepala, Syafi’i berpendapat: Tiga helai rambut. Dari
Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, tiga helai rambut. Kedua, seperempat kepala.
Apabila seseorang yang berihram mencukur separuh rambut kepala pada pagi
hari dan separuh kepala pada petang hari maka ia wajib membayar dua kali kafarah.
Demikian menurut pendapat Syafi’i, dan juga menurut Hambali. Namun, Hambali
tidak menetapkan hukum yang sama dalam hal memakai wangi-wangi dan pakaian.
Hanafi berpendapat: Apabila larangan-larangan ini bukan berupa membunuh binatang
buruan dalam satu majelis, maka wajib membayar kafarah sekali saja, baik telah dibayar
kafarah pertama maupun tidak. Sedangkan jika di dalam beberapa majelis, maka pada
tiap majelis diwajibkan membayar kafarah , kecuali jika terulang-ulangnya karena satu
sebab, seperti sakit.
Pendapat Maliki sama dengan pendapat Hanafi tentang binatang buruan dan
sama dengan pendapat Syafi’i mengenai selain binatang buruan.
Apabila orang yang berihram untuk haji atau berihr am untuk umrah bersetubuh
dengan istrinya sebelum tahallul awal, maka ibadahnya rusak, dan ia diwajibkan
mengqadha dengan segera di tempat ia telah berihram untuk menunaikan hajinya
dahulu. Demikian menurut kesepakatan empat imam mazhab. Syafi’i dan Hambali
mengatakan: Ia wajib menyembelih seekor unta. Hanafi berpendapat: Apabila
persetubuhan dilakukan sebelum wukuf, maka hajinya rusak dan ia wajib menyembelih
satu ekor kambing. Sedangkan jika persetubuhan dilakukan sesudah wukuf, maka
hajinya tidak rusak, tetapi ia wajib menyembelih satu ekor unta.
Adapun lahiriah pendapat mazhab Maliki adalah seperti pendapat Syafi’i.
Akad ihram tidak rusak dengan bersenang-senang pada dua keadaan, Demikian
menurut kesepakatan Para imam mazhab. Dawud berpendapat: Hilang akadnya.
Apakah keduanya wajib dipisahkan pada tempat bersetubuh? Menurut lahiriah
pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i: Hal demikian disunnahkan untuk dipisahkan,
Sedangkan menurut pendapat Maliki dan Hambali adalah wajib dipisahkan.
Apabila seorang yang berihram bersetubuh dengan istrinya, kemudian
menyetubuhi lagi sebelum memberi kafarah yang pertama, maka ia harus membayar
kafarah seekor kambing, baik ia sudah memberi kafarah yang pertama maupun belum,
kecuali jika pengulangan persetubuhan itu dikerjakan dalam satu majelis. Demikian
menurut pendapat Hanafi. Maliki berpendapat: Tidak dikenai kewajiban apa pun pada
persetubuhan kedua. Syafi'i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini, Pertama,
wajib dua kafarah. Mengenai kafarah kedua, ada yang mengatakan seekor unta
sebagaimana kafarah pertama, dan ada pula yang berpendapat seekor kambing. Kedua,
wajib satu kafarah saja. Inilah pendapat Syafi’i yang paling sahih. Hambali
berpendapat: Jika kafarah pertama telah dibayar maka kafarah kedua adalah seekor unta.
Apabila orang yang berihram mencium dengan syahwat atau menyetubuhi
istrinya tidak pada kemaluannya lalu keluar mani, maka hajinya tidak menjadi rusak,
tetapi ia wajib menyembelih seekor unta. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Maliki
berpendapat: Hajinya rusak, dan ia wajib menyembelih seekor unta dan mengqadha.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi 'i, apabila orang yang berihram membunuh
binatang buruan yang ada penggantinya, seperti binatang ternak, maka diwajibkan
membayar dengan yang seperti itu. Hanafi berpendapat: Tidak wajib, tetapi cukup
dibayar harganya saja.
Boleh membeli binatang hadiah di tanah Haram dan boleh juga menyembelihnya
di sana. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Maliki berpendapat:
Binatang hadiah tersebut harus dituntun dari tanah halal menuju tanah haram.
Apabila sekelompok orang bersekutu dalam membunuh binatang buruan, maka
mereka hanya diwajibkan membayar seekor saja. Demikian menurut pendapat tiga
imam mazhab. Hanafi berpendapat: Bagi masing-masing dari mereka wajib satu
tebusan dengan sempurna.
Burung merpati dan burung-burung yang disamakan dengannya, jaminannya
adalah seekor kambing. Demikian menurut tiga imam mazhab. Maliki berpendapat:
Burung merpati Makkah dijamin dengan harganya. Dawud berpendapat: Tidak ada
tebusan pemburu burung merpati.
Apabila orang yang berihram membunuh binatang lain lagi maka ia diwajibkan
membayar dua tebusan. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Dawud
berpendapat: Tidak ada kewajiban apapun bagi yang kedua.
Orang yang mengerjakan haji qiran diwajibkan membayar kafarah sebagaimana
orang yang mengerjakan haji ifrad. Hanafi berpendapat: Wajib dua kafarah atas orang
yang melaksanakan haji qiran dan dua tebusan jika membunuh seekor binatang buruan.
Sedangkan jika ia merusakkan ihramnya, wajiblah baginya mengqadhanya secara qiran
pula, memberi kafarah, dam qiran dan dam qadha. Pendapat Hambali seperti
pendapatnya Hanafi tersebut.
Orang yang tidak berihram apabila membawa binatang buruan dari daerah halal
ke daerah haram, maka ia boleh menyembelihnya dan berbuat sekehendaknya terhadap
sembelihannya. Hanafi berpendapat: Tidak boleh. Menurut kesepakatan Para imam
mazhab, orang yang berihram dilarang memotong pohon yang ada di tanah Haram.
Pohon yang dipotong wajib dijamin dengan tebusan, yaitu seeker sapi, untuk satu pohon
besar, dan seekor kambing untuk satu pohon kecil. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Maliki berpendapat: Tidak dikenai jaminan, tetapi ia telah berbuat salah dengan
perbuatannya. Hanafi berpendapat: Jika ia memotong pohon yang ditanam oleh
manusia, maka tidak dikenai tebusan. Sedangkan jika ia memotong pohon yang tumbuh
sendiri secara liar, maka ia dikenai tebusan.
Orang yang berihram dilarang memotong rumput tanah Haram, yang bukan
untuk obat dan umpan binatang. Demikian menurut kesepakatan. Menurut pendapat tiga
imam mazhab, boleh memotongnya untuk obat atau umpan binatang. Hanafi
berpendapat: Tidak boleh.
Membunuh binatang buruan di tanah Madinah, bagi orang yang berihram
diharamkan, demikian juga memotong pepohonannya.
Apakah yang demikian dikenai jaminan juga? Dalam masalah ini, Syafi'i
mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling kuat adalah tidak
dikenai jaminan. Begitu juga pendapat mazhab Hanafi Kedua, dalam qaul qadim dan
yang dipilih: dikenai jaminan sebab membunuh binatang buruan dan memotong
pepohonannya. Begitu pula pendapat mazhab Maliki dan Hambali.
Dam, yang wajib untuk ihram, seperti tamattu' dan qiran, memakai wewangian,
memakai pakaian yang berjahit (bagi laki-laki), dan membunuh binatang buruan,
disembelih di daerah Haram dan diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di sana.
Maliki berpendapat: Dam yang wajib untuk ihram tidak tertentu di daerah Haram saja.
SIFAT-SIFAT HAJI
Orang yang datang ke Makkah bukan untuk beribadah haji, tetapi untuk
berziarah atau berdagang, apakah ia diwajibkan ihram untuk haji atau ihram untuk
umrah, ataukah hanya disunnahkan? Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah
ini. Pertama, disunnahkan dan inilah pendapat yang Paling sahih. Kedua, wajib
berihram untuk haji atau untuk umrah, kecuali jika kedatangannya sudah berulang kali.
Hanafi berpendapat: Orang yang berada diluar miqat tidak diperbolehkan masuk ke
dalam tanah Haram kecuali dengan berihram. Adapun orang yang berada di dalam
miqat boleh masuk tanpa berihram.
Ibn Abbas r.a. berpendapat: Tidak dibolehkan seseorang masuk tanah Haram
kecuali dengan berihram.
Orang yang memasuki tanah Haram boleh memilih antara masuk pada waktu
malam hari atau pada siang hari. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
An-Nakha'i dan Ishaq mengatakan: Masuk pada malam hari adalah lebih utama.
Disunnahkan berdoa ketika melihat Baitullah dengan doa-doa yang ma'tsur (dari
Rasulullah Saw.). Menurut Maliki, dirinya tidak mengetahui yang demikian pada
perbuatan Rasulullah Saw.
Menurut pendapat tiga imam mazhab, thawaf qudum (thawaf selamat datang)
hukumnya adalah sunnah. Maliki berpendapat: Jika thawaf qudum ditinggalkan,
padahal ia mampu mengerjakannya, maka ia dikenai dam.
Di antara syarat-syarat thawaf adalah bersuci dan menutup aurat. Demikian
menurut pendapat tiga imam mazhab. Hanafi berpendapat: Bukan syarat sahnya.
Tertib dalam thawaf adalah wajib. Demikian menurut tiga imam mazhab.
Hanafi berpendapat: Thawaf tanpa tertib hukumnya tetap sah, tetapi harus diulang
kalau ia masih berada di Makkah. Sedangkan jika ia sudah keluar dari Makkah, ia harus
membayar dam. Dawud berpendapat: Jika ia lupa melakukan thawaf dengan tertib,
maka thawafnya tetap sah, dan tidak dikenai dam.
Mencium Hajar Aswad dan sujud atasnya adalah sunnah, karena bersujud
atasnya berarti menciumnya, bahkan lebih. Maliki berpendapat: Sujud atasnya adalah
bid'ah.
Rukun Yamani disentuh serta dicium. Menurut pendapat Syafi’i, tidak perlu
dicium, dan menurut pendapat Hanafi, tidak perlu disentuh. Maliki berpendapat:
Rukun Yamani disentuh, tetapi tangan tidak usah dicium (setelah menyentuhnya), hanya
diletakkan di mulutnya.
Diriwayatkan dari al-Khirqi bahwa Hambali menciumnya.
Adapun Rukun Syami yang dua, yang ada di sisi Hajar Aswad, tidak perlu
disentuh dengan kedua tangan.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a., Ibn Zubair r.a., dan jabir r.a. bahwa mereka
semua menyentuh kedua rukun tersebut.
Menurut pendapat tiga imam mazhab, disunnahkan berjalan cepat ketika thawaf
dengan meletakkan kain yang ada di pinggang di bawah ketiak kanan, sedangkan kedua
ujungnya diletakkan di atas bahu kiri dari arah dada dan punggung. Maliki berpendapat:
Perbuatan demikian tidak pernah diketahui dilakukan oleh seorang ulama pun.
Apabila tidak berjalan cepat dan menjadikan kain sedemikian rupa, maka
tidaklah apa-apa. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Al-Hasan
al-Bashri, ats-Tsawri, dan Ibn al-Majisyun berpendapat: Wajib atas orang yang tidak
berbuat demikian membayar dam.
Membaca zikir ketika sedang thawaf adalah mustahab. Demikian menurut
pendapat jumhur ulama. Tetapi Maliki memakruhkannya.
Para imam mazhab menyatakan bahwa dalam melakukan thawaf wajib
bersuci. Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa orang yang sedang
berthawaf, lalu berhadas, hendaknya ia berwudu, kemudian dilanjutkan thawafnya.
Tetapi dalam hal ini Syafi’i mempunyai pendapat lain, yaitu harus memulainya
kembali.
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i bahwa shalat dua rakaat thawaf itu
hukumnya adalah wajib. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali dua rakaat tersebut
hukumnya hanyalah sunnah. Pendapat Maliki dan Hambali ini sama dengan pendapat
yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i.
Sa'i merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun haji dan umrah.
Demikian menurut Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: Sa'i merupakan kewajiban
yang dapat diganti dengan membayar dam. Dari Hambali diperoleh dua riwayat
Pertama, wajib. Kedua, mustahab Pergi dari Shafa' ke Marwah dihitung satu kali dan
kembali dari Marwah ke Shafa' dihitung kali yang kedua. Demikian menurut semua
fuqaha.
Ibn Jarir ath-Thabari berpendapat: Pulang-pergi dihitung satu kali. Pendapat ini
diikuti oleh Abu Bakar ash-Shirafi, seorang ulama Syafi’i.
Sa'i harus dimulai dari Shafa' dan diakhiri di Marwah.Jika sebaliknya, tidak sah
sa'inya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi berpendapat: Tidak
apa-apa.
Disunnahkan agar menggabungkan antara waktu malam dan siang hari pada
waktu wukuf di Arafah. Demikian menurut tiga imam mazhab. Maliki berpendapat:
Menggabungkan antara waktu malam dan siang hari pada saat wukuf di Arafah adalah
wajib.
Berkendaraan dan berjalan kaki ketika wukuf di Arafah hukumnya adalah sama
saja. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan salah satu pendapat yang paling
kuat dari imam Syafi’i. Hambali berpendapat: Berkendaraan adalah lebih utama. Ini
juga qaul qadim Syafi’i.
Apabila hari wukuf di'Arafah bertepatan dengan hari jum’at, maka shalat Jumat
tidak dikerjakan di Mina, tetapi cukup dikerjakan shalat zuhur dua rakaat, Demikian
pendapat umumnya para fuqaha. Abu Yusuf berpendapat: Shalat jumat dikerjakan di
Arafah.
Al-Qadhi Abdul Wahab berpendapat: Abu Yusuf pernah menanyakan masalah
ini kepada Malik di rumah Harun al-Rasyid. Malik mengatakan, "Tukang-tukang air
kami berada di Madinah. Mereka mengetahui bahwa tidak ada shalat Jum’at di Arafah."
Berdasarkan hal ini, penduduk Haramain berpendapat bahwa mereka lebih tahu masalah
ini daripada yang lain.
Bermalam di Muzdalifah merupakan ibadah, tetapi tidak termasuk rukun.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Asy-Sya'bi dan an-Nakha'i
berpendapat: Bermalam (mabit) di Muzdalifah merupakan rukun.
Para, imam mazhab sepakat, hendaknya dijama antara shalat magrib dan isya
pada waktu isya. Jika kedua shalat itu dikerjakan pada waktu masing- masing, hal itu
dibolehkan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi
berpendapat: Tidak boleh dikerjakan pada waktunya masing-masing.
Empat imam mazhab sepakat bahwa melempar jumrah hukumnya adalah wajib.
Tidak dibolehkan melemparnya kecuali dengan menggunakan batu, Demikian menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali Hanafi berpendapat: Boleh melemparnya dengan segala
jenis tanah. Dawud berpendapat: Boleh menggunakan dengan apa saja
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, disunnahkan melempar jumrah
sesudah matahari terbit. Jika melemparnya setelah tengah malam, hal itu dibolehkan.
Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. U:anafi dan Maliki mengatakan:
Tidak dibolehkan melempar jumrah kecuali setelah terbit fajar kedua. Mujahid,
an-Nakha'i dan ats-Tsawri mengatakan bacaan talbiyah dihentikan sejak lemparan
pertama ke jumrah Aqabah. Dimikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Maliki
berpendapat: Dihentikannya talbiyah sesudah matahari condong ke barat pada hari
Arafah.
Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada hari nahar ada empat, yaitu:
1. melempar jumrah;
2. menyembelih hadiah;
3. mencukur rambut;
4. mengerjakan thawaf.
Dimustahabkan mengerjakan hal-hal tersebut dengan tertib. Demikian menurut
pendapat tiga imam mazhab. Hambali berpendapat: Tertib di sini wajib hukumnya.
Dalam masalah mencukur rambut, yang lebih utama adalah mencukur rambut
seluruh kepala. Para imam mazhab berbeda pendapat tentang batas minimal yang
diwajibkan dalam mencukur rambut. Hanafi berpendapat: Seperempat bagian kepala.
Maliki berpendapat: Seluruh kepala atau sebagian besar kepala. Syafi’i berpendapat:
Sekurang-kurangnya rambut.
Disunnahkan memulai mencukur dari sebelah kanan. Sedangkan menurut
pendapat Hanafi, memulainya dari sebelah kiri.
Orang yang tidak berambut disukai menjalankan pisau cukur di atas kepalanya.
Hanafi berpendapat: Tidak dipandang mustahab.
Disunnahkan membawa hadiah, yaitu menuntun binatang ternak untuk
disembelih, dan disunnahkan memberi tanda pada panggul sebelah kanan jika binatang
itu berupa unta atau sapi, Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Maliki
berpendapat: Diberi tanda pada bagian kirinya. Hanafi berpendapat: memberi tanda itu
haram hukumnya.
Disunnahkan memakaikan dua buah sepatu pada kaki unta dan juga pada
kambing. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hambali berpendapat: Tidak
disunnahkan pada kambing.
Apabila hadiah itu berupa hadiah sunnah, maka hadiah tersebut tetap menjadi
milik orang yang membawanya. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Ia boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya hingga binatang itu disembelih.
Sedangkan jika binatang tersebut berupa binatang yang dinazarkan, maka hilang
kepemilikannya, dan menjadi milik orang miskin. Oleh karena itu, binatang tersebut
tidak boleh ditukar atau dijual. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hanafi
berpendapat: Boleh dijual atau ditukar dengan yang lain.
Dibolehkan meminum air susu binatang hadiah terse but, yakni berupa kelebihan
dari kebutuhan anaknya. Hanafi berpendapat: Tidak dibolehkan.
Binatang yang telah disembelih untuk membayar dam tidak boleh dimakan
dagingnya oleh orang pembayar dam. Hanafi berpendapat: Boleh memakan daging
binatang dari dam haji qiran dan tamattu. Maliki berpendapat: Boleh memakan segala
dam yang wajib, kecuali tebusan binatang buruan dan fidyah mencukur rambut karena
ada sakit padanya.
Dimakruhkan menyembelih binatang hadiah pada malam hari. Maliki
berpendapat: Tidak boleh.
Tempat yang paling utama untuk menyembelih hewan bagi orang yang
berumrah adalah Marwah. Sedangkan bagi orang yang berhaji adalah Mina. Maliki
berpendapat: Tidak boleh bagi orang yang umrah selain di Marwah, dan tidak boleh
bagi orang yang berhaji selain di Mina.
Thawaf ifadhah termasuk rukun-rukun haji. Demikian menurut kesepakatan
Para imam mazhab. Bermulaan waktunya thawaf ifadhah adalah sejak pertengahan
malam hari raya. Waktu yang paling utama ialah pada waktu dhuha, sedangkan akhir
waktunya tidak ada.
Hanafi berpendapat: Permulaan waktunya adalah sejak terbit fajar kedua, dan
akhir waktunya adalah pada hari tasyriq kedua. Apabila diakhirkan sampai hari ketiga,
maka wajib membayar dam.
Para imam mazhab sepakat bahwa melempar tiga jumrah adalah pada hari-hari
tasyriq, sesudah tergelincir matahari. Tiap-tiap jumrah dilempar dengan tujuh buah batu
kerikil. Hal ini merupakan salah satu kewajiban haji.
Ibn al-Majisyun berpendapat: Melempar jumrah Aqabah merupakan rukun haji.
Oleh karena itu, tidak boleh tahallul dari haji kecuali sesudah mengerjakannya.
Wajib memulai melempar jumrah yang mengiringi masjid Khaif, lalu jumrah
wustha" kemudian jumrah Aqabah. Hanafi berpendapat: Jika melempar jumrah tidak
mengikuti tertib urutannya, hendaklah ia mengulangi-nya. jika tidak diulangi, maka ia
tidak dikenai dam.
Hari-hari yang berbilang (ayyamul ma'dudat) ialah hari-hari tasyriq. Demikian
menurut kesepakatan Para imam mazhab. Sedangkan yang dimaksud dengan hari-hari
yang dikenai (ayyamul ma'lumat) adalah sepuluh hari pertama dan bulan Dzulhiijah.
Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: yang dimaksud
dengan ayyamul ma'lumat adalah tiga hari, yaitu hari nahar dan dua hari sesudahnya.
Hanafi berpendapat: yang dimaksud dengan ayyamul ma'lu-mat adalah hari Arafah,
hari nahar dan hari tasyriq pertama.
Singgah di al-Muhshab (al-Batha') pada malam 14 Dzulhiijah adalah sunnah:
Diriwayatkan dari Hanafi, bahwa yang demikian merupakan ibadah. Inilah pendapat
'Umar bin al-Khaththab r.a.
Dimupustahabkan bagi imam (kepala negara) berkhutbah pada hari-hari tasyriq.
Hanafi berpendapat: Tidakdisunnahkan.
Bagi imam disunnahkan pergi kembali pada hari kedua sebelum terbenam
matahari, dan tidak melempar jumrah pada hari ketiga. Jika ia tidak pulang hingga
matahari terbenam, maka ia wajib bermalam di sana serta pagi harinya_melempar
jumrah. Hanafi berpendapat: Iaboleh pulang selama matahan belum terbit.
Apabila perempuan yang berhaji mengalami haid sebelum thawaf ifadhah, maka
ia tidak boleh berangkat pulang hingga ia suci dan berthawaf, dan tidak boleh tukang
unta menahan untanya untuk ditunggangi perempuan itu, tetapi ia dibolehkan terus
berangkat beserta jamaah lainnya. Sedangkan perempuan yang sedang haid tersebut
menaiki unta yang lain. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut
pendapat Maliki: Tukang unta harus menahan untanya dalam masa haid maksimal
ditambah tiga hari. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: Thawaf tidak disyaratkan
suci, Oleh sebab itu, perempuan tersebut boleh berthawaf dan berangkat bersama
jamaah lainnya.
Menurut pendapat para fuqaha, thawaf wada' (selamat tinggal) merupakan
kewajiban haji, kecuali bagi orang yang hendak bermukim di Makkah.
Hanafi. berpendapat: thawaf wada ' tidak gugur lantaran bermukim di Makkah
ORANG BERHAJI YANG TERKEPUNG MUSUH
Orang yang sedang melaksanakan ibadah haji yang terkepung oleh musuh
sehingga ia tidak dapat melaksanakan wukuf, thawaf, atau sa’i tetap memperoleh jalan
lain yang dapat dilaluinya untuk wukuf, thawaf dan sa’i, maka ia wajib melalui jalan
tersebut, baik jauh maupun dekat. Ia tidak bertahallul.
Apabila, menurut perkiraannya, melalui jalan tersebut dapat mengakibatkan
hajinya tertinggal, tetapi tidak ada jalan lain, maka ia diperbolehkan bertahallul dari
ihramnya dengan amalan umrah.
Hanafi berpendapat: Jika ia terkepung dan tidak dapat berwukuf dan bermalam
di Muzdalifah, maka ia bertahallul. Sedangkan kalau dari salah satunya saja, tidak
dibolehkan bertahallul.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. bahwa tidak bertahallul jika musuh itu bukan
orang-orang kafir.
Bertahallul itu sudah mencukupi dengan niat menyembelih dan bercukur.
Hanafi berpendapat: Menyembelih harus di dalam tanah Haram. Oleh karena itu,
hendaklah ia bermufakat dengan seseorang untuk menyembelih di dalam Haram, lalu ia
bertahallul pada waktu penyembelihan itu. Maliki berpendapat: la bertahallul dan tidak
dikenai kewajiban apa pun.
Apabila ia bertahallul, sedangkan haji yang dikerjakannya adalah haji wajib,
apakah wajib diqadha hajinya? Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling kuat
adalah wajib diqadha. Sedangkan pen dapat yang masyhur dari Hanafi, Maliki, dan
Hambali adalah tidak wajib diqadha.
Diriwayatkan bahwa Maliki berpendapat: Apabila dikepung, tidak dibenarkan ia
masuk ke Makkah untuk mengerjakan haji fanlu sesudah ihram, maka ia terlepas dari
mengerjakan haji itu.
Tidak ada qadha bagi orang yang berhaji sunnah. Demikian menurut pendapat
Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: wajib qadha, baik hajinya itu fardu maupun
sunnah. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua imam mazhab
tersebut.
Apabila seseorang tidak dapat memasuki Makkah karena sakit, jika ia
mensyaratkan bertahallul karena sakit, sedangkan hajinya adalah haji sunnah, maka ia
boleh bertahallul lantaran sakitnya tersebut. Demikian pendapat yang paling kuat dalam
mazhab Syafi’i. Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak dibolehkan bertahallul dengan
sebab sakit. Hanafi berpendapat: Boleh bertahallul secara mutlak.
Apabila seorang budak berihram tidak seizin tuannya, maka ihramnya sah, dan
ia wajib bertahallul. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. para ulama
mazhab azh-Zhaluriyyah mengatakan: Ihramnya tidak sah.
Budak wanita sama dengan budak laki-laki. Kalau ia bersuami diwajibkan juga
minta izin suaminya serta izin tuannya. Muhammad bin al-Hasan berpendapat: Tidak
diperlukan izin suaminya.
Perempuan dibolehkan berihram untuk haji meskipun tidak mendapatkan izin
dari suaminya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali Sedangkan
pendapat Syafi’i yang paling sahih adalah bahwa perempuan tidak diperkenankan
berihram untuk haji tanpa ada izin dari suaminya.
Apakah suami boleh menyuruh istrinya bertahallul? Syafi’i mempunyai dua
pendapat, dan yang lebih kuat menurut ar-Raafi'i adalah dibolehkan suami menyuruh
istrinya bertahallul dari haji fardu. Hanafi. dan Maliki berpendapat: Tidak boleh suami
memaksa istrinya bertahallul. Demikian juga yang dijelaskan oleh al-Qadhi Abdul
Wahab al-Maliki.
Suami boleh mencegah istrinya berhaji sunnah dan boleh menyuruhnya
bertahallul darinya. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
QURBAN DAN 'AQIQAH
Hewan ternak menurut Para imam mazhab. Daging kuda Hewan ternak adalah
Hanafi, Hambali, Abu Yusuf, dan Muhammmad bin al-Hasan.
Maliki berpendapat: Daging kuda adalah makruh dimakan. Tetapi yang paling
kuat menurut pendapat mazhabnya adalah haram. Hanafi berpendapat tentang
haramnya daging kuda.
Daging bighal dan himar adalah haram, menurut tiga imam mazhab. Dari Maliki
diperoleh dua riwayat, bahwa memakan daging adalah makruh yang amat berat.
Sedangkan para ulama ahli tahqiq pengikut Maliki berpendapat: Binatang tersebut
haram.
Al-Hasan al-Bashri menghalalkan daging bighal. Ibn Abbas r.a membolehkan
makan daging himar kampung.
Tiga imam mazhab, yaitu Hanafi, Syafi’i, dan Hambali berpendapat tentang
haramnya segala daging burung yang bercakar; yang dapat dipergunakan untuk
menyakiti bentangan lain, seperti burung Rajawali dan elang. Demikian juga burung
yang tidak bercakar tajam tetapi pemakan bangkai, seperti burung gagak, baik yang
berbulu hitam maupun yang berbulu belang hitam putih, burung garuda, dan
sebangsanya. Sedangkan menurut pendapat Maliki: Boleh memakan daging burung-
burung secara mutlak.
Adapun daging burung selain yang disebutkan diatas hukumnya adalah mubah.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Semua burung yang dilarang dibunuh, seperti burung layang-layang, beo, merak,
kelelawar, dan burung hantu, tidak makruh memakan dagingnya. Demikian menurut
kesepakatan ulama, kecuali Syafi’i yang memakruhkannya. Adapun pendapat yang
paling kuat dalam mazhab Syafi’i adalah mengharamkannya.
Para imam mazhab juga sepakat atas keharaman daging binatang buas yang
bertaring, yang dengannya ia dapat membinasakan binatang lain, seperti singa, harimau,
srigala, beruang, kucing, gajah, badak dan macan tutul, kecuali Maliki yang
membolehkan memakan daging semua binatang tersebut, meskipun makruh.
Daging kelinci adalah halal. Demikian menurut kesepakatan empat imam
mazhab.
Jerapah adalah halal, menurut tarjih guru kami, as-Subki, seorang ulama mazhab
Syafi’i, dalam kitabnya Fatwa al-Halabiyyah. Sedangkan pengarang kitab at- Tahbir
mengharamkannya.
Kancil dan sebangsanya serta pelanduk adalah halal, menurut pendapat Syafi’i
dan Hambali,juga pendapat Maliki walaupun ia memakruhkan memakan dagingnya.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi adalah haram.
Biawak danyarbu' (sejenis tikus) adalah halal, menurut pendapat Maliki dan
Syafi’i. Hambali membolehkan memakan daging biawak. Adapun, tentang daging
yarbu’ ia mempunyai dua riwayat.
Segala binatang yang merayap di bumi, seperti tikus, adalah haram, menurut
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Menurut pendapat Maliki: Hanya makruh, tidak haram.
Belalang boleh dimakan' menurut pendapat Syafi’i, meskipun sudah mati.
Sedangkan menurut pendapat Maliki, belalang yang mati sendiri tidak boleh dimakan.
Daging landak adalah halal, menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan
menurut pendapat Hanafi dan Hambali, landak adalah haram. Menurut pendapat
Maliki, halal memakan daging tikus sawah dan ular jika disembelih terlebih dahulu.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang ibn awa (sejenis srigala).
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Haram. Ini juga pendapat yang paling sahib
dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat Maliki: Makruh.
Kucing liar adalah haram, menurut pendapat Hanafi. Seperti ini juga pendapat
yang paling sahih dalam mazhab Syafi’i. Maliki berpendapat: Kucing liar adalah
makruh. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, mubah. Kedua, haram.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, hewan laut seperti ikan adalah halal.
Adapun hewan laut selain ikan, menurut pendapat Hanafi, adalah tidak boleh dimakan
kecuali ikan dan sejenisnya. Maliki berpendapat: Boleh memakan ikan dan selainnya
dari hewan laut, seperti kepiting, katak, anjing laut dan babi laut, meskipun tetap
makruh memakan daging babi laut.
Hambali berpendapat: Semua binatang yang berada di dalam laut boleh
dimakan, kecuali buaya, katak dan Hawsaj. Menurutnya, selain tiga binatang tadi, perlu
disembelih terlebih dahulu, seperti babi laut, anjing laut dan ikan duyung.
Para ulama pengikut Syafi’i berbeda pendapat tentang binatang laut selain ikan.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa semua binatang laut boleh di makan. Inilah
pendapat paling sahih menurut mereka. Di antara mereka pun ada yang berpendapat
bahwa tidak boleh dimakan kecuali sejenis ikan saja. Juga, sebagian lainnya
berpendapat bahwa anjing laut, babi laut, ular laut, tikus air, lipan, dan segala binatang
air yang ada bandingannya di darat tidak boleh di makan. Tetapi pendapat yang paling
kuat, yang di jadikan pegangan para ulama Syafi’i, adalah bahwa segala binatang laut
adalah halal, kecuali buaya, katak, ular, kepiting, penyu, dan kura-kura.
Binatang yang dibiasakan memakan najis tersebut, seperti unta, lembu, kambing,
dan ayam dagingnya menjadi makruh dimakan. Demikian menurut pendapat tiga imam
mazhab. Hambali berpendapat: Haram makan dagingnya, air susunya, dan telurnya.
Binatang yang biasa memakan najis tersebut, apabila dikarantina terlebih dahulu,
lalu diberikan makanan yang bersih sehingga hilang bau najisnya, maka menjadi hilang
kemakruhannya untuk dimakan dagingnya. Demikian menurut kesepakatan Para imam
mazhab.
Dikatakan oleh para ulama ahli fiqih bahwa lama masa karantina untuk unta dan
sapi adalah empat puluh hari, untuk kambing tujuh hari, untuk ayam adalah tiga hari.
Orang yang terpaksa, boleh memakan bangkai. Demikian menurut ijma Para
imam mazhab. Tetapi, pendapat yang paling sahih dalam mazhab Syafi’iadalah bahwa
yang demikian hukumnya tidak wajib.
Apakah ia boleh memakannya sampai kenyang ataukah sekadar yang perlu demi
keselamatan?
Syafi’i mempunya dua pendapat. Pertama, tidak boleh sampai kenyang Begitu
juga pendapat mazhab Hanafi. kedua, boleh sampai kenyang. Begitu juga pendapat
Maliki dan salah satu riwayat Hambali. Pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i
adalah halal memakannya sekedar untuk mempertahankan hidup, jika tidak ada harapan
akan segera mendapatkan makanan lain.
Apabila seseorang yang terpaksa menemukan bangkai dan makanan orang lain,
sedangkan ia sendiri tidak mempunyai makanan, maka menurut pendapat Maliki,
kebanyakan para ulama pengikut Syafi’i, dan segolongan ulama pengikut Hanafi:
Boleh memakan makanan orang lain dengan syarat akan diganti.
Menurut pendapat Hambali, segolongan dari ulama Hanafi. Dan sebagian para
ulama Syafi’i: Boleh makan bangkai.
Menurut Pendapat Hambali, segolongan dari ulama Hanafi. Dan sebagian para
ulama Syafi’i: Boleh makan bangkai.
Apabila tikus mati di dalam minyak, seperti minyak samin, minyak zaitun, dan
minyak lainnya, dan jika minyak tersebut beku, hendaknya tikus dan minyak yang
berada di sekitarnya dibuang, dan sisanya dianggap suci, boleh di makan. Tetapi jika
minyak tersebut cair maka, semuanya menjadi najis.
Apakah minyak cair yang terkena najis tersebut dapat disucikan?
Menurut pendapat mazhab Syafi’i yang paling sahih adalah tidak dapat
disucikan. Sedangkan menurut pendapat lainnya, minyak tersebut dapat disucikan
dengan cara disiram air.
Apabila kita berpendapat bahwa minyak tersebut tidak dapat disucikan, apakah
minyak tersebut boleh di jadikan minyak lampu?
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih menyatakan boleh.
Seperti ini pula pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki.
An-Nawawi dalam kita al-Majmu syarh al-Muhazdzdab pada bab jual-beli
menyatakan bahwa Syafi’i telah memutuskan hukumnya demikian.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang hukum binatang berlemak yang
telah diharamkan Allah ‘Azza wajalla atas orang-orang Yahudi. Apabila orang Yahudi
menyemblih binatang yang berlemak tersebut, apakah orang Islam boleh memakannya?
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Boleh orang Islam memakannya, asalkan
binatangnya halal dimakan. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, Makruh.
Kedua, Haram. Dari Hambali diperoleh dua riwayat seperti pendapat Maliki?
Segolongan ulama pengikut Hambali memilih pendapat yang mengharamkan.
Sedangkan al-Khurqi memilih pendapat yang memakruhkan.
Bolehkah minum khamar dalam keadaan terpaksa karena kehausan atau untuk
tobat?
Hanafi berpendapat: Boleh. Para ulama Syafi’i dalam masalah ini memiliki tiga
pendapat. Pertama, yang di anggap paling sahih oleh para ahli tahqiq Syafi’i : Dilarang
secara mutlak, baik bagi orang yang kehausan maupun untuk obat. kedua, boleh secara
mutlak. Ketiga, boleh bagi orang yang kehausan, tetapi tidak boleh untuk obat. Pendapat
ini dipilih oleh segolongan ulama.
Seseorang yang melewati kebun orang lain yang tidak berpagar, dan didalamnya
terdapat buah-buahan yang ranum, maka ia tidak diperbolehkan memakannya kecuali
mendapat izin dari pemiliknya jika tidak terpaksa. Sedangkan jika terpaksa, ia boleh
memakannya dengan syarat akan menggantinya. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, boleh ia memakannya, meskipun
tidak dalam keadaan darurat dan tidak akan menggantinya. Kedua, boleh dimakan jika
terpaksa dan tidak diwajibkan menggantinya.
Adapun jika kebun tersebut dipagari, maka tidak boleh memakan
buah-buahannya, kecuali mendapat izin dari pemiliknya. Demikian menurut ijma Para
imam mazhab
Apabila seorang Muslim meminta jamuan kepada Muslim lainnya di suatu desa
yang tidak mempunyai pasar, dan ia memintanya itu tidak dalam keadaan terpaksa,
maka tidak wajib bagi Muslim lain untuk menjamunya. Akan tetapi, menjamunya
adalah mustahab. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab.
Menurut pendapat Hambali: Wajib menjamunya, dan kewajiban itu hanya untuk
satu malam. Tetapi, disunnahkan menjamunya sampai tiga hari. Jika tidak dilaksanakan
yang wajib tertsebut, maka hal itu menjadi utang atasnya
SEMBELIHAN DAN BURUAN
Para imam mazhab sepakat bahwa sembelihan yang dianggap sah adalah
sembelihan orang Islam, berakal, dan dapat menyembelih, baik ia laki-laki maupun
perempuan. Mereka pun sepakat bahwa sembelihan orang kafir adalah haram, berbeda
dengan sembelihan ahlul kitab.
Para imam mazhab juga sepakat bahwa menyembelih bisa dilakukan dengan
menggunakan sesuatu yang dapat mengeluarkan darah dan memutuskan kerongkongan,
seperti pisau, pedang, batu, dan bambu yang ditajamkan. Namun, mereka berbeda
pendapat tentang menyembelih dengan menggunakan gigi dan kuku.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Tidak sah menyembelih dengan
menggunakan keduanya. Hanafi berpendapat: Boleh jika keduanya, telah terpisah dari
tubuh.
Sudah dipandang sah menyembelih apabila sudah dipotong kerongkongan dan
tenggorokan binatang tersebut. Tidak wajib memotong kedua urat, melainkan hanya
mustahab. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali Hanafi berpendapat:
Wajib memotong kerongkongan dan tenggorokan serta salah satu dari pembuluh darah.
Maliki berpendapat: Wajib memotong; keempat-empatnya, yaitu kerongkongan,
tenggorokan, pembuluh darah balik dan nadi di leher.
Tidak diharamkan jika kepala binatang dipotong hingga terlepas dari tubuhnya.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Ibn al-Musayyab berpendapat: Hal demikian diharamkan.
Jika seseorang menyembelih binatang dari tengkuknya, dan masih ada
kehidupan menurut perkiraan, maka sembelihan tersebut halal dimakan jika sudah
terpotong kerongkongannya. Jika kerongkongannya tidak terpotong maka tidak boleh
dimakan. Kehidupan menurut perkiraan itu dapat diketahui dari gerakan yang tampak
disertai keluarnya darah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Menurut pendapat Maliki dan Hambali, tidak halal.
Menurut sunnah, unta disembelih dengan cara diikat kakinya. Sedangkan sapi
dan kambing disembelih dengan cara dibaringkan. Demikian menurut kesepakatan Para
imam mazhab.
Boleh menyembelih binatang dengan memotong bagian dekat dada. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Namun, menurut Hanafi: Makruh.
Menurut pendapat Maliki, jika kambing dipotong pada bagian dekat dadanya
atau unta disembelih, padahal tidak dalam keadaan terpaksa, maka dagingnya tidak
boleh dimakan. Tetapi, sebagian ulama pengikutnya memakruhkannya.
Jika seseorang menyembelih binatang, lalu dimakan, kemudian didapati anak
yang sudah mati di dalam perutnya, maka daging anaknya halal dimakan. Demikian
menurut tiga imam mazhab.
Hanafi berpendapat: Tidak halal.
Para imam mazhab sepakat ten tang boleh berburu dengan binatang buas yang
telah dilatih, seperti anjing, macan ludil, burung dang, dan burung rajawali.
Kecuali anjing hitam, menurut Hambali.
Ibn Umar dan Mujahid, berpendapat: Tidak dibolehkan berburu kecuali dengan
anjing yang telah dilatih. Pendapat ini disepakati oleh tiga imam mazhab.
Ada pun, yang dimaksud dengan anjing yang dilatih adalah jika dilepas untuk
berburu, ia mencari buruan, tetapi jika dicegah, ia diam dan jika ia digalakkan, ia
menjadi galak. Apabila ia menerkam buruannya dan menggenggamnya untuk diberikan
tuannya, ia tidak memakan binatang buruan itu. Anjing itu dipandang sudah terlatih jika
sudah berkali-kali melakukan tugasnya dengan baik.
Maliki berpendapat: Tidak disyaratkan yang demikian.
Apakah disyaratkan anjing itu harus sudah berulang kali melakukan tugasnya
dengan baik?
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Jika sudah dicoba dua kali dan
hasilnya baik, maka anjing itu sudah dianggap terlatih. Syafi’i berpendapat: Cukup
menurut kebiasaan bahwa anjing itu sudah terlatih.
Pendapat Maliki: Tidak perlu demikian.
Menurut pendapat al-Hasan: Cukup dipandang terlatih dengan sekali berburu
saja.
Mengucapkan basmalah (tasmiyyah) ketika melepaskan binatang yang terlatih
untuk berburu hukumnya sunnah dan jika tidak maka hukumnya haram. Demikian
menurut pendapat Syafi'i Hanafi. berpendapat: Tasmiyyah merupakan syarat ketika
ingat, dan jika ditinggalkan dengan sengaja maka binatang buruan itu tidak halal. Jika
ditinggalkan karena lupa maka buruan itu halal.
Maliki berpendapat: Jika tasmiyyah ditinggalkan dengan sengaja maka binatang
buruan tersebut tidak halal. Sedangkan jika ditinggalkan karena lupa maka dalam hal ini
ada dua riwayat.
Dari Hambali ada beberapa riwayat, dan yang lebih kuat adalah jika tasmiyyah
ditinggalkan ketika melepas anjing, atau pada waktu melepas anak panah, maka
binatang buruan itu tidak halal secara mutlak, baik ditinggalkannya dengan sengaja
maupun karena lupa.
Dawud, asy-Sya'bi dan al-Tsawr mengatakan: Tasmiyyat: adalah syarat
bolehnya memakan daging binatang. Jika ditinggalkan dengan sengaja atau tidak
sengaja, maka dimakan daging binatang sembelihan atau buruan tersebut tidak boleh
dimakan.
Apabila anjing melukai buruannya, tetapi tidak dibunuh sampai mati, lalu masih
didapati tanda-tanda kehidupan menurut perkiraan, kemudian mati sebelum disembelih,
maka halal dagingnya untuk dimakan.
Hanafi berpendapat: Tidak halal.
Jika binatang buruan tersebut mati karena genggaman binatang pemburunya
maka halal dimakan. Demikian menurut salah satu pen-dapat Syafi’i yang dipandang
paling sahib oleh ar-Rafi'i. Seperti ini juga pendapat yang masyhur dalam mazhab
Maliki.
Pendapat Syafi’i yang kedua: Tidak halal. Seperti ini juga pendapat yang dipilih
Hambali dan pendapat Abu Yusuf serta Muhammad bin al-Hasan.
Dari Hanafi diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat di atas, tetapi
pendapat yang masyhur adalah yang pertama, yaitu halal.
Jika anjing pemburu memakan binatang buruannya maka tidak halal daging
binatang buruan tersebut, begitu juga binatang buruan sebelumnya. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Maliki berpendapat: Halal.
Syafi'i memiliki dua pendapat. Pertama, halal, seperti pendapat Maliki.
Kedua, tidak halal, dan inilah pendapat yang paling kuat. Seperti ini juga
pendapat Hambali.
Menurut pendapat tiga imam mazhab, jika burung pemburu memakan buruannya
maka daging buruannya dihukumi seperti hukum buruan anjing di atas. Hanafi
berpendapat: tidak haram binatang yang dimakan sebagian dagingnya oleh burung
pemburu.
Jika seseorang menembak, memanah dan menembak binatang buruan, atau
melepaskan anjing pemburunya, lalu melukai binatang buruannya, dan tiba-tiba hilang
dari pandangannya, kemudian binatang buruan yang terluka ditemukan dalam keadaan
sudah mati, sedangkan luka itu kemungkinan penyebab kematiannya, maka binatang
tersebut boleh dimakan. Demikian menurut pendapat segolongan ulama pengikut
Syafi’i karena adanya hadits sahih yang membolehkannya. Tetapi, menurut pendapat
yang paling sahih dalam mazhab Syafi’i: tidak boleh dimakan. Seperti ini juga pendapat
Hambali.
Hanafi berpendapat: jika setelah ditembak, dipanah, atau ditombak, lalu diikuti
dan ditemukan sudah mati, maka halal dimakan dagingnya. Maliki berpendapat: jika
ditemukannya pada hari itu juga maka halal dimakan dagingnya. Sedangkan jika
ditemukannya keesokan harinya maka tidak halal dagingnya.
Apabila binatang jinak menjadi liar, tidak dapat ditangkap untuk disembelih,
maka menyembelihnya sama dengan cara menyembelih binatang liar: demikian
menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Maliki berpendapat: Harus dipotong pada pangkal dada atau lehernya.
Apabila seseorang melempar binatang buruan, lalu binatang tersebut terbelah
menjadi dua bagian, maka kedua bagian tadi halal dimakan. Demikian menurut
pendapat Syafi’i dan salah satu pendapat Hambali.
Hanafi berpendapat: Jika kedua bagiannya sama maka masing-masing halal
dimakan. Maliki berpendapat: kalau bagian yang beserta kepala lebih kecil maka tidak
halal dimakan, dan bagian lain pun tidak halal.
Apabila seseorang melepas anjing untuk menangkap bintang buruan, lalu ia
menghentingkannya, tetapi anjingnya itu tidak berhenti bahkan bertambah giat
memburunya hingga berhasil membunuh binatang buruan tersebut, maka binatang
tersebut tidak halal dimakan. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Hanafi dan Hambali berpendapat: Halal. Sedangkan dari Maliki diperoleh dua
riwayat.
Apabila seseorang· melempar seekor burung dan melukainya, lalu burung
tersebut jatuh ke tanah, kemudian didapati sudah mati, maka halal dimakan. Sedangkan
jika burung itu masih hidup maka tidak halal dimakan. Demikian menurut kesepakatan
Para imam mazhab.Apabila binatang buruan terlepas dari tangannya maka hak
kepemilikannya tidak menjadi hilang: Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab.
Hambali berpendapat: Apabila buruannya sudah jauh lari ke dalam hutan maka
hilang hak kepemilikannya.
Jika seseorang mempunyai binatang buruan, lalu dilepaskan, maka tidak hilang
hak kepemilikannya atas binatang tersebut. Demikian nas yang tegas dalam mazhab
Syafi’i.
Diterangkan dalam kitab al-Hawi, bahwa jika binatang buruan dilepaskan
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla maka hilanglah
kepemilikannya, sebagaimana memerdekakan budak. Sedangkan jika tidak bermaksud
mendekatkan diri kepada Allah Swt. maka tentang hilangnya hak kepemilikan itu ada
dua pendapat, seperti jika ia melepaskan unta atau kudanya. Pendapat yang paling sahih
adalah tidak boleh, sebab hal menyerupai sawa'ib jahaliah-unta yang dilepaskan pada
masa jahiliah untuk nazar tidak ditunggangi, tidak diminum air susunya, dan dibiarkan
bebas pergi ke mana saja hingga mati. Tetapi hak pemilikannya tidak hilang. pendapat
pertama. Sedangkan pendapat kedua: Hilang kepemilikannya.
Jika, ia melepaskannya seraya mengatakan, "Saya membolehkan bagi siapa saja
mengambil binatang ini," maka binatang itu dimakan oleh orang lain. Tetapi, jika tidak
mengucapkannya maka tidak boleh orang memakannya. Pembolehannya sudah
mencukupi dan tidak diwajibkan membayar bagi siapa saja yang memakannya, tetapi
tidal-:: boleh dipergunakan untuk keperluan lain.
Apabila seseorang memburu seekor burung, lalu burung itu diletakkan di sebuah
sangkar kemudian burung itu terbang ke sangkar milik orang lain, maka tidak hilang
hak kepemilikannya. Inilah pendapat yang sahib menurut mazhab Syafi’i sebagaimana
tercantum dalam kitab ar-Rawdhah.
Maliki berpendapat: Jika burung terse but tidak lama dalam sangkarnya, lalu
terbang, maka hilanglah hak kepemilikannya dan menjadi milik pemilik sangkar yang
dihinggapi burung tersebut. Sedangkan jika ia kembali ke sangkarnya semula maka
kembalilah hak kepemilikannya
HUKUM JUAL-BELI
Benda Najis
Jual-beli benda yang suci adalah sah. Demikian menurut ijma Para imam
mazhab. Adapun, memperjualbelikan benda najis zatnya, seperti anjing, khamar, dan
kotoran binatang, Hanafi: Sah menjual anjing dan kotoran binatang' dan orang Muslim
boleh mewakilkan kepada orang dzimmi untuk memperjualbelikan khamar.
Para ulama Maliki berselisih pendapat mengenai bolehnya menjual anjing. Di
antara mereka ada yang membolehkannya secara mutlak. Sebagian lagi
memakruhkannya, serta ada pula yang membolehkan khusus anjing yang diperbolehkan
untuk dipelihara. Syafi’i dan Hambali: Tidak boleh sama sekali menjual dan membeli
benda yang tersebut (anjing, khamar, dan kotoran binatang). Syafi’i dan Hambali Tidak
wajib dibayar harga anjing yang dibunuh.
Minyak yang terkena najis, apakah ia dapat suci dengan dibasuh? Pendapat yang
paling kuat dari Syafi’i: Minyak yang terkena najis tidak dapat disucikan maka tidak
sah dijual. Demikian pula pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi: Boleh
memperjualbelikan minyak yang terkena najis.
Budak
Para imam mazhab sepakat tentang tidak diperbolehkannya menjual ummul
walad (budak yang dijadikan ibu anak). Dawud berkata: Boleh menjual ummul walad.
Diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas bahwa mereka membolehkannya.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Menjual budak mudabbar (budak yang dikatakan
oleh tuannya bahwa ia menjadi merdeka sesudah tuannya mati) diperbolehkan. Hanafi:
Tidak boleh dijual jika keadaan mudabbar itu mutlak (tiada terikat).
Wakaf
Tidak sah menjual harta wakaf Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab.
Hanafi: Boleh dijual, selama belum diputuskan hakim, atau jika wakaf itu diberikan
secara wasiat.
Boleh menjual budak yang menjadi perkongsian, baik ia masih kecil maupun
dewasa. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hambali: Jika ia masih kecil,
tidak boleh dijual.
Para imam mazhab sepakat bahwa air susu perempuan adalah suci. Dan air
susu perempuan boleh dijual. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali.
Hanafi dan Maliki: Tidak boleh air susu perempuan diperjualbelikan.
Sah menjual pintu Makkah. Demikian menurut Syafi’i. Maliki dan Hanafi:
Tidak sah menjualnya, sedangkan menyewakannya adalah makruh. Dari Hambali
diperoleh dua riwayat, yang paling sahih adalah tidak sah menjual dan menyewakannya.
Ulat sutera boleh diperjualbelikan. Demikian menurut tiga imam mazhab.
Hanafi: Tidak sah.
Tidak sah menjual sesuatu barang (harta) yang bukan miliknya tanpa ada izin
dari pemiliknya. Demikian menurut qaul jadid Syafi’i. Adapun menurut dalam qaul
qadim-nya: Relatif, yakni jika si pemilik barang membenarkan, sahlah penjualan itu,
tetapi jika tidak dibenarkan, tidak sah. Hanafi: Penjualannya adalah sah dan bergantung
pada izin pemiliknya. Adapun pembeliannya tidak bergantung pada izin. Maliki: Sah
tidaknya jual-beli yang bergantung pada izin si pemilik.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat dalam masalah ini. Tidak sah seseorang
menjual barang yang belum tetap menjadi miliknya secara mutlak, seperti menjual
sesuatu benda (barang) yang sudah dibeli tetapi belum diserahkan, baik berupa kebun
(yang tidak bisa dipindahtangankan) maupun yang bisa dipindahkan. Demikian menurut
pendapat Syafi’i, seperti itu pula pendapat Muhammad bin al-Hasan. Hanafi: Boleh
menjual kebun yang sudah dibeli tetapi belum diterima. Maliki: Menjual makanan yang
belum diserahkan adalah tidak sah, tetapi selain makanan adalah sah. Hambali: Jika
barang yang dijual itu berupa barang yang dapat ditimbang, atau barang yang dapat
dihitung, atau barang yang dapat ditakar; tidak boleh dijual sebelum diserahkan
kepadanya jika selain barang-barang terse but boleh menjualnya.
Menerima barang ialah jika barang tersebut dapat dipindahkan atau dengan
memindahkannya. Namun jika tidak dapat dipindahkan, seperti kebun dan buah-buahan
yang masih berada di pohonnya, dengan takhliyah (mengosongkan tempat yang dijual
dari barang-barang si penjual dan menyerahkan hak penguasaan kepada pembeli, seperti
menyerahkan kuncinyajika yang dijual berupa rumah). Hanafi: Semuanya harus dengan
takhliyah.
Para imam mazhab sepakat tentang tidak sahnya menjual suatu barang yang
tidak bisa diserahkan kepada pembelinya, seperti menjual burung di udara, ikan di air,
dan budak yang melarikan diri. Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwa beliau
membolehkan menjual budak yang melarikan diri. Dari Umar bin Abdul Aziz dan Ibn
Abi Laila, keduanya membolehkan penjualan ikan dalam kolam yang luas, meskipun
memerlukan biaya yang besar untuk mengambilnya.
Tidak sah menjual barang yang belum jelas, seperti menjual budak di antara
budak-budak atau selembar kain di antara beberapa lembar kain. Demikian menurut
Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi berpendapat: Boleh menjual seorang budak di
antara tiga budak, atau selembar kain di antara tiga kain,dengan syarat khiyar: Tidak
sahjika lebih dari tiga.
. Tidak boleh jual-beli benda yang tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, yang
tidak diterangkan sifat-sifatnya kepada keduanya. Demikian menurut Maliki dan Syafi’i
yang paling kuat. Hanafi berpendapat: Sah dan boleh pembeli melakukan khiyar
apabila ia telah melihatnya.
Para ulama pengikut Hanafi berselisih paham tentang jual-beli yang tidak
disebutkan jenis dan barangnya, seperti orang mengatakan, ''Aku jual kepadamu sesuatu
yang ada dalam mulutku." Dari Hambali diperoleh dua riwayat tentang sah tidaknya
menjual barang yang tidak dilihat oleh masing- masing penjual dan pembeli. Pendapat
paling masyhur dari kedua riwayat tersebut: Sah.
Pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh orang buta tidak sah, apabila yang
dijual itu hanya diterangkan kepadanya. Begitu juga penyewaan, penggadaian, dan
penghibahannya. Demikian pendapat yang paling kuat dan Syafi’i. Kecuali jika ia telah
melihat benda tersebut sebelum buta, yaitu benda yang tidak dapat berubah, seperti besi.
Adapun menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali: Jual-belinya sah, dan ia juga
mempunyai hak khiya: jika benda tersebut telah dipegangnya Tidak sah menjual pasir
yang masih berada di padang pasir. Demikian menurut tiga imam mazhab. Sedangkan
Hanafi berpendapat: Sah.
Para imam mazhab sepakat tentang sahnya menjual kesturi. Tidak sah menjual
gandum yang masih berada dalam bulirnya. Demikian menurut Syafi’i yang paling
sahih. Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat: Sah.
Apabila seseorang berkata, "Aku jual jadam ini kepadamu, tiap-tiap gram
harganya satu dirham," maka penjualannya sah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i,
Hambali, Abu Yusuf, dan Muhammad bin al-Hasan, Hanafi berpendapat: Sah
penjualan pada masing-masing gramnya, bukan pada keseluruhannya. Jika seseorang
berkata, "Aku jual kepadamu sepuluh gram dari jadam ini," maka sah hukumnya.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Dawud berpendapat: Tidak sah.
Demikian juga jika seseorang berkata, ''Aku jual tanah ini kepadamu, tiap-tiap
hasta harganya satu dirham," atau ''Aku jual sekawanan kambing ini kepadamu,
tiap-tiap ekor harganya satu dirham," maka sah penjualannya, Hanafi berpendapat:
Tidak sah.
Jika seseorang berkata, ''Aku jual sebanyak sepuluh hasta dari pekarangan ini
kepadamu," (luas seluruh pekarangan tersebut adalah seratus hasta), maka sah penjualan
yang sepuluh hasta tersebut, dan boleh diambil mana saja yang disukai oleh pembeli.
Hanafi berpendapat: Tidak sah,
Jika dijual sepuluh gram dari setumpuk jadam, lalu ditimbang dan diserahkan
kepada pembeli, kemudian pembeli datang kepada penjual dan mengatakan bahwa berat
barang tersebut hanya sembilan gram, tetapi penjual mengingkarinya, maka dalam hal
ini Syafi’i memiliki dua pendapat, pendapatnya yang lebih sahih: yang diterima adalah
pengakuan pembeli, seperti ini juga pendapat Hanafi. Pendapat kedua: yang diterima
adalah pengakuan penjual, seperti ini juga pendapat Maliki.
Menjual lebah, walaupun masih dalam sarangnya asalkan dapat dilihat,
hukumnya adalah sah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi
berkata: Menjual lebah tidak boleh.
Menjual susu yang masih dalam tetek binatang tidak sah. Demikian menurut
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Maliki berpendapat: Sah untuk beberapa hari jika
diketahui kadar perasannya.
Tidak boleh menjual bulu yang masih ada pada punggung domba. Demikian
menurut Syafi’i, Hanafi, dan Hambali, Maliki berpendapat: Sah dengan syarat
kambing itu dipotong Menurut pendapat tiga imam mazhab: Boleh menjual dirham dan
dinar yang tidak diketahui beratnya. Sedangkan Maliki berpendapat: Tidak boleh.
Seseorang menjual kambing karena kambing tersebut bersusu dan hukumnya
sah. Hanafi berpendapat: Tidak sah.
Jika seseorang mengatakan, ''Aku jual ini kepadamu dengan harga seratus
mitsqal emas dan perak. Oleh karena itu, penjualannya tidak sah. Sedangkan Hanafi
berpendapat: Sah dengan dijadikan separuh emas dan separuh perak.
Para imam mazhab sepakat bahwa membeli mushhaf Al-Quran hukumnya
dibolehkan. Namun, mereka berbeda pendapat tentang menjualnya. Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i: Boleh dan tidak makruh. Hambali memakruhkannya. Adapun Ibn al-Qayim
al-Jauziyah mengharamkannya.
Tidak diperbolehkan menjual mushaf kepada orang kafir. Demikian menurut
Syafi’i yang paling kuat. Seperti ini pula salah satu pendapat Maliki.
Hanafi berpendapat: Sah menjual mushhaf kepada orang kafir, dan hendaknya
diperintahkan kepada orang kafir itu melepaskan haknya, Seperti ini pula pendapat
Maliki dan yang lainnya. Hambali berpendapat: Tidak sah secara mutlak,
Menjual anggur kepada pembuat khamar hukumnya makruh. Demikian menurut
kesepakatan Para imam mazhab. Namun, menurut Hambali, tidak boleh menjualnya.
Hasan al-Bashri: Tidak apa-apa. Ats-Tsawri: Boleh menjual barang-barang halal
kepada siapa pun yang dikehendakinya.
Menjual air mani (sperma) binatang jantan hukumnya haram, dan juga
diharamkan menyewakan pejantannya. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali. Maliki berpendapat: Mengambil bayaran atas pejantan dalam waktu tertentu
itu dibolehkan karena pejantan itu melompat ke atas betina.
Haram hukumnya memisahkan antara ibu dan anaknya hingga anak tersebut
mumayyiz. Jika dipisahkan melalui penjualan maka penjualannya batal. Demikian
menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: Penjualannya
sah tetapi tidak boleh dipisahkan sebelum cukup umur;
Akan tetapi, memisahkan antara saudara-saudaranya tidak dibolehkan. Demikian
menurut tiga imam mazhab di atas. Hanafi berpendapat: Tidak boleh.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN JUAL-BELI
Najsy (menawar agar orang lain menawar lebih tinggi) adalah haram.
Namun, jika orang tersebut membelinya juga, pembeliannya adalah sah.
Demikian menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Orang yang memahalkan
harga itu tetap berdosa. Sedangkan menurut Maliki: Pembelian itu tidak sah.
Diharamkan orang kota (tengkulak) menjual barang orang desa, yaitu
orang desa datang ke kota dengan membawa barang yang diperlukan orang
banyak untuk dijual dengan harga umum pada hari itu, lalu orang yang
ditemuinya berkata, "Tinggalkan saja barang itu padaku. Akan aku jualkan
sedikit demi sedikit dengan harga yang lebih mahal." Demikian menurut
kesepakatan Para imam mazhab.
Diharamkan jual-beli dengan cara 'urbun (memberikan panjar atau uang
muka sebagai bagian dari harga; jika senang maka ia membelinya, tetapi jika
tidak senang maka uang itu menjadi hibah). Hambali berpendapat: Jual-beli
dengan demikian tidak apa-apa.
Boleh, walaupun makruh, jual-beli dengan cara 'inah (menjual suatu
barang dengan harga tertentu secara kredit, lalu penjual itu membelinya dari
pembelinya secara kontan dengan harga yang lebih rendah). Demikian menurut
Syafi’i. Hanafi dan Hambali: Penjualan dengan cara demikian tidak
dibolehkan. Berbeda halnya jika pembelinya menjual barang itu kepada orang
lain, lalu dibeli oleh pembeli pertama, maka penjualan demikian hukumnya
boleh, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini.
Penentuan harga barang oleh pemerintah (tas’ir) hukumnya haram.
Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Diriwayatkan dari Maliki: Apabila
salah seorang di antara para pedagang di suatu pasar menyalahi harga yang
ditetapkan, dengan menjual dengan harga lebih mahal atau lebih murah,
hendaknya dipaksa mengikuti harga pasar atau memisahkan diri dari pasar.
Apabila pemerintah menetapkan harga barang, sedangkan pemilik barang
tidak senang menjual barang dengan harga terse but, maka ia dihukumi sebagai
orang yang terpaksa menjual barangnya. Menurut Hanafi: Paksaan pemerintah
tersebut menghalangi sahnya penjualan, sedangkan paksaan orang lain tidak
menghalangi sahnya penjualan.
Ihtikar (menimbun barang makanan untuk dijual pada masa sulit dengan
harga yang tinggi) hukumnya haram. Demikian menurut kesepakatan Para
imam mazhab.
Para imam mazhab juga sepakat tentang tidak bolehnya jual-beli utang
dengan utang.
Hasil penjualan anjing hukumnya haram. Maliki membolehkan
menjualnya, tetapi makhruh. Jual beli tidak batal jika anjing yang dijual itu
membawa manfaat. Demikian juga pendapat Hanafi. Sedangkan menurut
Syafi’i : Tidak boleh sama sekali, dan tidak ada ganti rugi jika binatang tersebut
dibunuh. Seperti ini juga pendapat Hambali.
PERSELISIHAN DALAM JUAL-BELI
DAN KERUSAKAN BARANG
Tiga imam mazhab, yaitu Maliki, Syafi’i, dan Hambali, sepakat atas
larangan penggunaan harta bagi orang yang pailit (muflis) ketika diminta oleh
orang yang berpiutang dan ketika dililit utang, Hal itu menjadi hak hakim.
Hakim berhak mencegah muflis dari menggunakan hartanya agar tidak
merugikan pemberi utang kepadanya. Hakim pun boleh menjual harta bendanya
jika muflis tersebut tidak menjualnya sendiri atau enggan membaginya di antara
para pemberi utang dengan sebanding.
Hanafi berpendapat: Orang pailit tidak boleh membelanjakan hartanya,
tetapi harus dipenjarakan hingga ia membayar utangnya. Jika ia memiliki harta
benda, hakim tidak boleh menggunakan hartanya atau menjualnya, kecuali jika
harta itu satu dirham, sedangkan jumlah utangnya adalah beberapa dirham. Jika
demikian, hakim boleh memegangnya tanpa menunggu perintah dari muflis,
Jika utangnya adalah beberapa dirham, sedangkan hartanya adalah beberapa
dinar, hakim boleh menjualnya untuk membayarkan utangnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah penggunaan orang
bangkrut terhadap hartanya sesudah adanya larangan hakim untuk
menggunakannya.
Hanafi berpendapat: Ia tidak dilarang untuk menggunakan hartanya.
Oleh karena itu jika hakim memutuskan hajr (larangan menggunakan harta),
keputusan tersebut tidak sah sebelum ditetapkan lagi oleh hakim kedua. Kalau
pelarangan penggunaan harta tidak dibenarkan, sahlah penggunaan seluruhnya,
baik berupa perbuatan yang menerima, fasakh, seperti pernikahan, maupun
tindakan yang lain. Meskipun dilarang oleh hakim kedua, semua perbuatan yang
tidak menerima fasakh dihukumi sah, seperti pernikahan, talak, memerdekakan,
dan menjadikan ummul walad. Namun, perbuatan yang menerima fasakh
menjadi batal, seperti jual-beli, persewaan hibah, sedekah, dan sebagainya.
Maliki berpendapat: Ia tidak boleh menggunakan hartanya, baik dengan jalan
menjual, menghibahkan, maupun memerdekakan.
Dari Syafi’i diperoleh dua riwayat. Salah satunya seperti pendapat
Maliki di atas. Adapun, menurut pendapat kedua, penggunaannya adalah sah,
tetapi ditangguhkan. Jika dapat diselesaikan semua utang tanpa mengganggu
penggunaannya, maka penggunaan-penggunaan tersebut dibatalkan, seperti
hibah, menjual, dan memerdekakan. Adapun, Hambali dalam pendapatnya
yang jelas: Penggunaannya tidak sah, kecuali memerdekakan budak.
Apabila pemilik barang mendapatkan barangnya pada orang yang
dihukumi pailit, dan ia belum menerima pembayarannya sama sekali;
sedangkan orang pailit itu masih hid up, maka ia berhak mengambil kembali
barangnya. Barang-barang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam barang-
barang yang harus dibagi kepada pemberi utang; Demikian pendapat Maliki,
Syafi'i: dan Hambali Sedangkan pendapat Hanafi: Pemilik barang itu sama
dengan pemberi utang lainnya. Artinya, pemberi utang berhak membagi barang
yang ada pada si muflis tersebut.
Apabila barang tersebut didapatkan oleh pemilik barang sesudah
kematian muflis, dan ia belum menerima pembayarannya sama sekali, maka ia
tetap berhak mengambilnya, sebagaimana ketika muflis masih hidup. Demikian
pendapat Syafi’i. Adapun menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali: Ia disamakan
kedudukannya dengan para pemberi utang yang lain.
Utang yang ditangguhkan, apakah dapat dibayarkan lebih cepat ataukah
tidak? Jika orang yang berutang dinyatakan terkena al-hajr; menurut pendapat
Maliki: Dapat dipercepat pembayarannya. Hambali berpendapat: Tidak.
Dalam hal ini, Syafi’i mempunyai dua pendapat seperti kedua imam
mazhab tadi. Namun, pendapat yang lebih sahih menyatakan tidak sah
pembayarannya. Sedangkan pendapat Hanafi: Tidak boleh terkena al-hajr
secara mutlak.
Adakah masa penagihan tiba jika seseorang yang berutang itu
meninggal? Hanafi, Maliki, dan Syafi’i berpendapat: Ya. adapun pendapat
Hambali yang paling jelas: Tidak datang masa menagih Jika para ahli waris
dapat dipercaya.
Apabila orang yang pailit itu mengakui berutang sesudah terkena al-haji;
utang tersebut menjadi tanggungannya. Orang yang mengaku ada utang
padanya mengikuti para pemberi utang yang lain. Demikian menurut Syafi'i.
Sedangkan Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat: 'Tidak bergabung
dengan para pemberi utang, karena mereka telah terkena al-hajr.
Apakah rumah muflis yang tidak didiami dan pelayannya yang
diperlukan boleh dijual? Hanafi dan Hambali berpendapat: Hal demikian tidak
boleh dijual. Bahkan, Hanafi menyatakan: Tidak boleh menjual sesuatu dari
kebun-kebunnya dan harta bendanya. Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i:
Boleh dijual rumah si muflis yang didiaminya dan boleh juga dijual
pembantunya yang ia butuhkan.
Apabila kemelaratan orang pailit itu sudah pasti menurut pendapat
hakim, apakah hakim menjadi pelindung antara dia dan para pemberi utang?
Menurut pendapat Hanafi: Hakim boleh mengeluarkannya dari penjara, tetapi
ia tidak dapat menghalangi antara para pemberi utang dan orang yang berutang
ia sesudah dikeluarkan dari penjara. Namun, hakim boleh mengambil
keuntungan usaha si mujlis menurut persentase haknya.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat: Dikeluarkan orang muflis itu
dari penjara tanpa memerlukan izin dari para pemberi utang, dan hakim menjadi
pelindung antara muflis dan para pemberi utang. Setelah itu, ia tidak boleh
dipenjarakan, tidak boleh didesak, tetapi harus ditunggu hingga ia mempunyai
kemampuan untuk membayar.
Para imam mazhab sepakat bahwa bukti yang diberikan atas
pembuktian kemelaratan, sesudah muflis tersebut dipenjarakan, dapat diterima.
Namun, mereka berbeda pendapat tentang menerima bukti sebelum
dipenjarakan: Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat: Dikeluarkan orang
muflis itu dari penjara tanpa memerlukan izin dari para pemberi utang, dan
hakim menjadi pelindung antara muflis dan para pemberi utang. Setelah itu, Ia
tidak boleh dipenjarakan, tidak boleh didesak, tetapi harus ditunggu hingga ia
mempunyai kemampuan untuk membayar.
Para imam mazhab sepakat bahwa bukti yang diberikan atas pemberian
kemelaratan, sesudah muflis tersebut dipenjarakan, dapat diterima. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang menerima bukti sebelum ia dipenjarakan.
Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat: Bukti yang diberikan sebelum
pemenjaraan dapat diterima. Adapun, pendapat yang zahir dari mazhab Hanafi:
Tidak dapat diterima kecuali sesudah ia dipenjarakan.
Apabila muflis itu mengemukakan bukti-bukti atas kemelaratannya,
apakah 1a dapat d1sumpah sesudah itu? Menurut pendapat Hanafi dan
Hambali. ia tidak boleh disumpah lagi, tetapi cukup diterima pembuktiannya.
Maliki dan Syafi’i berpendapat: Ia boleh disumpah jika dituntut oleh para
pemberi utang.
Para imam mazhab sepakat bahwa yang menyebabkan seseorang
menjadi dikenai al-hajr adalah masih kecil, menjadi budak, dan gila. Apabila
seorang anak sudah sampai umur, tetapi belum mampu mengelola harta, tidak
boleh diserahkan hartanya kepadanya.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai batas telah sampai
umur. Hanafi berpendapat: Seorang anak dikatakan telah sampai umur apabila
telah ihtilam (bermimpi), atau keluar air mani apabila bersetubuh. Jika
keduanya tidak diperoleh, ditunggu umurnya hingga genap delapan belas tahun.
Ada yang mengatakan, tujuh belas tahun. Adapun, sampainya umur untuk anak
perempuan adalah dengan datangnya haid, bermimpi atau hamil, atau sudah
berumur tujuh belas tahun.
Maliki tidak memberi batasan dalam hal ini, tetapi para ulama
pengikutnya mengatakan: Tujuh belas tahun atau delapan belas tahun untuk
anak perempuan. Menurut riwayat Ibn Wahab adalah lima belas tahun. Syafi’i
dan Hambali berpendapat: Batas sampai umurnya anak perempuan adalah
berumur lima belas tahun, keluar air mani, atau datang bulan atau hamil.
Tumbuhnya bulu di bawah pusar, apakah dapat menunjukkan balignya
seseorang? Hanafi: Tidak. Maliki dan Hambali: Dapat. Adapun, pendapat
yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i: Hal itu menjadi tanda kebaligan orang
kafir, bukan orang Islam.
Apabila sudah diketahui adanya tanda-tanda kecakapan bertindak dari
orang yang mempunyai harta dan diletakkan di bawah pengampunan, hartanya
harus diserahkan kepadanya. Demikian menurut kesepakatan imam mazhab.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang tanda-tanda kecakapan
bertindak seseorang. Hanafi, Maliki, dan Hambali: Tanda-tanda kecakapan
bertindak untuk anak laki-laki ialah dapat memelihara hartanya dan
pertumbuhannya serta tidak menghambur-hamburkan kekayaannya. Tidak
diperhatikan dalam hal ini keadilannya atau kefasikannya. Syafi’i: Tanda-tanda
kecakapan bertindak ialah dapat memelihara harta dan agamanya. Apakah
dalam masalah ini terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Hanafi
dan Syafi’i: Tidak ada perbedaan.
Maliki berpendapat: Belum boleh dicabut hukum al-hajr dari anak
perempuan, walaupun ia sudah sampai umur dengan kematangan akalnya
hingga anak itu bersuami dan telah dicampuri oleh suaminya, dan ia dapat
memelihara hartanya seperti sebelum menikah.
Dari Hambali diperoleh. Dua riwayat, yang terpilih adalah pendapatnya
yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Sementara itu,
pendapatnya yang kedua adalah seperti pendapat Maliki. Namun, Hambali
menambahkan: Sampai setahun lamanya ia bersuami atau melahirkan anak.
Jika anak kecil sudah balig dan sudah didapati tanda-tanda kecakapan
dalam berbuat hukum, maka harus diberikan semua hartanya kepadanya. Oleh
sebab itu, jika ia sudah sampai umur, tetapi belum tampak kedewasaan, maka
tidak boleh hartanya diserahkan kepadanya. Ia tetap dikenai al-hajr. Demikian
pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: Apabila ia
sudah berumur dua puluh lima tahun, diberikanlah hartanya kepadanya,
walaupun belum terlihat kematangan akalnya dalam bertindak.
Apabila seseorang menderita lemah akal, padahal sebelumnya ia
dipandang cerdas, yaitu mampu mengelola hartanya, apakah boleh ia dikenai al-
hajr lagi? Maliki, Syafi’i, dan Hambali: Bisa dikenai al-hajr lagi. Hanafi:
Tidak boleh dikenai al-hajr lagi meskipun ia seorang pemboros.
Tidak boleh ayah dan pengemban wasiat membeli sesuatu untuk
kepentingan mereka dari harta anak yatim, dan tidak boleh mereka menjual
hartanya dengan harta anak yatim walaupun mereka berlaku jujur. Maliki
berpendapat: Boleh demikian jika mereka berlaku jujur.
PERDAMAIAN (SHULH)
Para imam mazhab sepakat bahwa jika seseorang mengetahui ada hak
orang lain, lalu ia berdamai atas sebagiannya saja, hal itu tidak diperbolehkan
karena dapat merusak hak orang lain. Adapun, jika ia tidak mengetahui dan
mengaku hak orang lain, apakah perdamaian tersebut sah hukumnya? Menurut
pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali: sah. Menurut pendapat Syafi’i: Tidak
sah. Tiga imam mazhab sepakat bahwa membuat perdamaian terhadap barang
yang tidak diketahui hukumnya adalah sah. Sedangkan, pendapat Syafi’i: Tidak
boleh.
Apabila didapati sebuah pagar di antara dua rumah, dan salah satu rumah
itu mempunyai sebatang pohon, lalu masing-masing mengakui bahwa pohon
tersebut adalah miliknya, maka pohon tersebut menjadi milik pemilik pagar
dengan disumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan pendapat
Syafi’i dan Hambali: Batang pohon itu ditetapkan sebagaimana keadaannya,
dan pagarnya dipandang milik keduanya berdasarkan sumpah dari mereka.
Apabila dua orang saling mengaku sebuah loteng yang terletak di antara
dua rumah dengan kamar yang terdapat di atasnya sebagai miliknya maka
loteng tersebut menjadi milik pemilik ruangan di bawahnya. Demikian pendapat
Hanafi dan Maliki. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hambali: Loteng tersebut
dibagi dua untuk kedua orang tersebut.
Apabila bagian atas dan bagian bawah dari suatu ruangan runtuh, lalu
pemilik bagian atas hendak membangunnya, maka pemilik bagian bawah tidak
boleh dipaksa untuk ikut membangun miliknya dan memberinya loteng. Dengan
demikian, pemilik bagian atas membangun di atasnya. Namun jika ia hendak
memilih antara membangun bagian bawah dengan hartanya sendiri dan
menghalangi pemilik bagian bawah untuk mengambil manfaat, sebelum
diberikan atau dibayar apa yang disepakati, hal demikian dibolehkan. Demikian
pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Seperti itu pula yang dinukil
dari Syafi’i.
Adapun, pendapat yang sahih dari mazhab Syafi’i adalah pemilik bagian
bawah tidak boleh dipaksa untuk turut membangunnya dan tidak boleh
dihalangi mengambil manfaat jika pemilik bagian atas membangun tanpa izin
darinya. Demikian menurut qauljadid Syafi’i.
Sedangkan menurut qaul qadim Syafi’i dan yang dipilih oleh segolongan
ulama kemudian mazhab ini, kongsi tersebut boleh dipaksakan untuk menolak
kemelaratan dan untuk memelihara milikyang dikongsikan dari kesiasiaan. Al-
Ghazali berkata: Pendapat yang baik hendaklah para hakim memperhatikan
keadaan orang yang berselisih itu. Kalau tampak baginya bahwa keengganan
orang yang enggan itu disebabkan ada maksud baik, atau tidak dapat dipastikan
baik buruknya, ia tidak boleh dipaksa. Adapun, kalau ternyata orang yang
enggan itu karena keras kepala, boleh dipaksa. Selanjutnya, kedua pendapat
tersebut dapat diberlakukan dalam masalah membersihkan sumur, saluran air,
dan parit di antara dua orang yang berkongsi.
Seseorang yang memiliki. harta dibolehkan mengelola hartanya dengan
cara yang tidak merugikan para tetangganya yang dekat. Para imam mazhab
berbeda pendapat tentang pengelolaan yang merugikan tetangganya. Hanafi
dan Syafi’i berpendapat: Dibolehkan seseorang yang memiliki harta
menggunakan barang miliknya yang tidak memelaratkan tetangganya, seperti
menggali sebuah sumur di samping sumur tetangganya, atau membuat jendela
pada dinding rumahnya yang tembus ke rumah tetangganya. Semua itu tidak
dilarang karena ia menggunakan dalam barang miliknya.
Maliki dan Hambali: Tidak boleh, seperti membangun tempat mandi,
tempat memerah susu, kakus, atau menggali sumur di samping sumur
tetangganya yang dapat mengurangi air sumur tetangga tersebut.
Seorang pemilik bangunan dibolehkan meninggikan bangunannya dalam
miliknya sendiri, tetapi ia tidak dibolehkan melihat-lihat aurat tetangganya.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab. Adapun jika atapnya
lebih tinggi daripada atap milik orang lain, ia harus mendirikan dinding yang
dapat menghalangi menengok ke tetangganya. Demikian pendapat Maliki dan
Hambali. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i: Tidak diharuskan berbuat
demikian.
Para imam mujtahid sepakat, apabila ada di antara dua rumah yang
mempunyai satu dinding, lalu dinding tersebut roboh, kemudian salah seorang
dari keduanya meminta yang lain supaya membangunnya kembali, tetapi ia
menolaknya, maka tidak boleh dilakukan pemaksaan kepadanya. Demikian
juga, tidak boleh dilakukan pemaksaan jika mereka bersengketa tentang sumur,
saluran air, atau parit.
Pendapat Hanafi dalam masalah sumur dan pant: boleh dipaksa, tetapi
dalam masalah dinding rumah, tidak boleh dipaksa. Bahkan, dalam masalah
dinding rumah telah disepakati tentang tidak bolehnya ada paksaan. Dikatakan
kepada orang lain itu. Jika engkau mau, bangunlah bangunan yang
menghalanginya dari mengambil manfaat sebelum diberikan harga bangunan
kepadamu. "Maliki. menyetujui adanya paksaan dalam masalah saluran air parit
dan sumur. Namun, ia menolak pendapat Hanafi. dalam masalah dinding rumah
yang menjadi milik bersama. Dari Maliki sendiri terdapat dua riwayat. Pertama,
boleh dipaksa. Kedua, Tidak boleh dipaksa.
HIWALAH (PEMINDAHAN UTANG)
Syirkah 'man adalah dua orang berkongsi dalam suatu urusan tertentu,
tidak di dalam semua harta mereka, misalnya bersekutu dalam membeli suatu
barang, Hal demikian hukumnya adalah boleh. Hanafi dan Maliki juga
membolehkan syirkah: muwafadhah. Namun, di antara mereka terdapat
perbedaan mengenai bentuknya. Menurut pendapat Hanafi: Syirkah
muwafadhah adalah dua orang berserikat pada suatu usaha yang mereka miliki,
seperti emas dan mata uang, dan harus bersamaan modalnya. Oleh karena itu,
menurutnya jika modalnya tidak sama, perkongsian menjadi tidak sah. Sehingga
jika salah seorang di antara mereka mewariskan harta, menjadi batallah
perkongsian itu sebab harta salah seorang di antara mereka tidak sama dengan
harta yang lain. Setiap keuntungan yang diperoleh salah seorang dari mereka
menjadi milik berdua, dan setiap hal yang dijaminkan oleh salah seorang di
antara mereka dari harta rampasan atau lainnya menjadi penjamin dari yang
lain.
Maliki berpendapat: Dalam syirkah muwafadhah boleh tidak sama besar
modalnya, dan keuntungannya dibagi menurut perbandingan persentase modal
masing-masing yang ditanam. Masing-masing menjadi penjamin terhadap yang
lain, tetapi tidak dalam masalah rampasan. Tidak ada perbedaan dalam masalah
modal yang ditanam, baik berupa barang maupun uang, Juga, tidak dibedakan
antara menjadikan perkongsian tersebut semua harta yang dimiliki atau
sebagiannya saja untuk usaha, serta sama saja antara harta mereka, apakah
dicampur menjadi satu sehingga tidak dapat dibedakan atau dapat dibedakan
sesudah dicampur menjadi satu, dan kekuasaan berada pada keduanya.
Hanafi: Syirkah hukumnya tetap sah, meskipun harta masing-masing
perkongsian berada di tangannya dan tidak dikumpulkan. Adapun, pendapat
mazhab Syafi’i dan Hambali bahwa syirkah demikian tidak sah.
Syirkah abdan adalah dua orang atau lebih bersekutu, bukan dalam harta,
melainkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan mempergunakan tenaga
mereka masing-masing yang hasilnya mereka bagi sama rata. Hukumnya adalah
sah. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Dengan syarat, mereka harus
berserikat dalam suatu pekerjaan dan di satu tempat.
Menurut pendapat Hanafi: Boleh saja, meskipun pekerjaan dan
tempatnya berbeda. Hambali membolehkan dalam segala hal. Adapun,
pendapat mazhab Syafi’i: Sirkah abdan adalah batil.
Syirkah wujuh adalah berserikat dua orang terkemuka atau lebih untuk
membeli suatu barang perniagaan dengan harta yang ditangguhkan untuk
mereka jual lagi dan keuntungannya dibagi di antara mereka. Hukumnya adalah
sah. Dengan syarat, tidak ada modal, dan salah seorang di antara mereka
mengatakan kepada lain, "Kami berserikat atas barang, yang dibeli oleh salah
seorang di antara kita dalam suatu tanggungan bersama. Syirkah dan laba
menjadi milik kita bersama." Demikian pendapat Hanafi dan Hambali.
Adapun, pendapat Maliki dan Syafi’i: Syirkah yang demikian adalah batil.
Tidak sah Syirkah 'inan melainkan dengan syarat bahwa modal keduanya
adalah satu macam, lalu dijadikan satu sehingga tidak dapat dibedakan lagi
mana barang seseorang dan mana milik yang lain. Dalam hal ini, tidak
disyaratkan modal sama banyaknya. Adapun, kalau modal mereka sama, tetapi
salah seorang di antara mereka mensyaratkan supaya memperoleh lebih banyak
dalam pembagian laba, maka syirkah menjadi batal. Demikian menurut Maliki
dan Syafi’i.
Hanafi: Sirkah demikian adalah sah, meskipun yang mensyaratkan itu
baru dalam masalah perniagaan serta bekerja lebih banyak
PERWAKILAN (WIKALAH)
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang merdeka serta balig,
apabila membuat pengakuan bahwa seseorang bukanlah ahli warisnya,
pengakuannya dapat diterima dan ia tidak boleh menarik kembali pengakuan
tersebut.
Pengakuan bahwa terhadap utang, baik dalam keadaan sehat maupun
sakit, dapat diterima. Setiap orang yang mendapat penetapan mengambil
sebanyak hak mereka jika harta peninggalan mayat mencukupi, mengambil dari
harta yang ada menurut persentase utangnya. Demikian pendapat Maliki,
Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi: Utang pada waktu sehat harus didahulukan daripada utang pada
waktu sakit. Oleh karena itu, hendaknya diberikan secukupnya terlebih dahulu
kepada orang yang diutangi pada waktu sehat. Jika ada sisa, baru diberikan
kepada orang yang diutangi pada waktu sakit, Sedangkan jika tidak ada sisa,
orang yang kedua ini tidak mendapat sesuatu apa pun.
Apabila seseorang membuat pengakuan dalam keadaan sakit yang
membawa kematiannya, yang ditujukan untuk seorang ahli warisnya, maka
pengakuan tersebut tidak dapat diterima. Demikian pendapat Hanafi dan
Hambali.
Maliki: Jika orang sakit tersebut tidak dituduh berlaku curang dengan
pengakuannya, dapat diterima. Adapun jika ia dituduh berlaku curang, maka
tidak dapat diterima. Misalnya, ia mempunyai seorang anak perempuan dan
seorang anak laki-laki dari saudara laki-laki (kemenakan). Jika ia membuat
pengakuan untuk kemenakannya, tentu hal itu tidak dapat dipandang sebagai
berbuat curang. Namun jika ia membuat pengakuan hanya untuk anak
perempuannya maka ia dipandang berbuat curang.
Para imam mazhab sepakat bahwa jika seseorang yang mati
meninggalkan dua orang anak laki-laki, lalu salah seorang di antara mereka
membuat pengakuan bahwa bapaknya mempunyai seorang anak lagi, tetapi
yang lain mengingkari, maka orang ketiga itu tidak dapat ditetapkan sebagai
anak bapaknya. Namun, menurut Hanafi: Anak yang ketiga itu berserikat
dengan orang yang mengakuinya, yaitu dengan mengambil separuh bagian dari
bagian orang yang mengakuinya.
Maliki dan Hambali: Diberikan sepertiga dari harta warisan untuk orang
yang mengakuinya, dan diberikan kepada orang ketiga itu, karena hanya itulah
kadar bagiannya dari pusaka jika pengakuan itu diterima oleh saudaranya yang
lain atau dapat dibuktikan kebenarannya.
Syafi’i: Pengakuan itu tidak dibenarkan sama sekali. Karenanya, ia tidak
mendapatkan apa-apa dari harta pusaka, dan tidak ada ketetapan tentang hal itu.
Apabila sebagian ahli waris mengaku bahwa mayat mempunyai utang
kepada seseorang, tetapi hal itu tidak dibenarkan oleh ahli waris yang lain, maka
utang tersebut dibebankan kepada orang yang mengakui adanya utang tersebut.
Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan menurut pendapat Maliki dan
Hambali: Utang terse but dibayar dari bagian orang yang mengakuinya. Seperti
ini juga pendapat Syafi’i yang masyhur. Adapun, pendapat Syafi’i yang lain
adalah seperti pendapat Hanafi.
Seseorang yang mengakui bahwa orang lain mempunyai harta padanya,
tetapi ia tidak menyebutkan berapa jumlahnya. Menurut pendapat ulama
pengikut Maliki, hendaklah dikatakan kepadanya, "Sebutkan jumlahnya
sekehendakmu. "Jika ia mengatakan satu qirath atau sebiji, pengakuan tersebut
dapat diterima, lalu ia disumpah bahwa ia tidak mempunyai harta lebih banyak
dari itu. Seperti itu juga pendapat Hanafi dan Syafi’i, sebab sebiji pun termasuk
harta.
Sebagian ulama pengikut Maliki lainnya berpendapat bahwa ia harus
membayar dua ratus dirham jika ia termasuk orang-orang yang mempunyai
perak, dan dua puluh mitsqal jika ia termasuk orang-orang yang mempunyai
emas, sebab semua ini merupakan nisab zakat.
Al-Qadhi Abdul Wahab al-Maliki berpendapat: Maliki tidak mempunyai
ketetapan tertentu dalam masalah ini. Menurut pendapatku, Maliki berpendapat
agar dibayar seperempat dinar. Jika ia termasuk orang-orang yang mempunyai
perak, harus dibayar tiga dirham.
Jika seseorang berkata, "Dia mempunyai harta yang banyak." Dalam
masalah ini, Ibn Hu bairah dalam kitab al-Ifshah mengatakan. Tidak ditemukan
ketentuan dari Hanafi yang memutuskan masalah ini. Namun, kedua
sahabatnya Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan- berpendapat bahwa ia
harus membayar dua ratus dirham jika termasuk orang-orang yang mempunyai
perak, sedangkan jika ia termasuk orang yang mempunyai emas maka ia harus
membayar dua puluh dinar.
Syafi’i dan Hambali: yang diterima adalah penafsirannya yang
menyatakan lebih sedikit dari jumlah harta, meskipun hanya sepeser. Syafi’i
dan Hambali: Tidak ada perbedaan antara kata-kata "sejumlah harta" dan "harta
yang banyak." Al-Qadhi 'Abdul Wahab: Dalam masalah ini, Maliki tidak
mempunyai ketetapan. Namun, al-Abhari berpendapat seperti pendapat Syafi’i.
Pendapat yang kuat menurutnya adalah pendapat Hanafi.
Jika seseorang berkata, "Dia mempunyai beberapa dirham yang banyak
padaku." Syafi’i dan Hambali: Ia wajib membayar tiga dirham. Seperti ini juga
yang ditetapkan oleh Muhammad bin Abdul Hakim al-Maliki, karena
menurutnya, Maliki tidak mempunyai ketetapan dalam masalah ini. Hanafi:
Wajib dibayar sepuluh dirham. Adapun, menurut dua ulama sahabatnya Abu
Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan wajib dibayar dua ratus dirham. Pendapat
ini juga yang dipilih oleh al-Qadhi Abdul Wahab al- Maliki.
Jika seseorang yang berkata, "Dia mempunyai seribu dan sedirham
padaku." Oleh karena itu, diterima penafsiran seribu saja tanpa menyebutkan
dirhamnya. Bahkan jika ia menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan
seribu itu adalah 1.000 kelapa atau 1.000 telur, pengakuan itu diterima.
Sebagaimana kalau ia mengatakan, "Dia mempunyai seribu dan sekarung
gandum atau seribu dan sebuah kelapa atau seribu dan sebutir telur." Semua
yang disebut terakhir tidak bisa dijadikan sebagai tafsiran yang disebutkan
pertama. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali Baik yang
dirangkaikan dari jenis barang yang dapat ditimbang maupun ditakar atau
dihitung maupun bukan, seperti tumbuh-tumbuhan.
Hanafi: Apabila yang dirangkaikan itu dari jenis barang yang ditakar,
ditimbang atau yang dapat ditimbang maka itulah penafsiran terhadap sesuatu
yang dirangkaikan secara keseluruhan. Ada pun jika tidak, tidak dapat
ditafsirkan demikian.
Yang dimaksud dengan kata "seribu" dan "sedirham "adalah 1.000
dirham dan 1 dirham, sedangkan yang dimaksud dengan kata "seribu dan
sebuah kelapa" adalah 1.000 butir kelapa dan sebutir kelapa. Demikian
pendapat Hanafi.
Pengecualian dalam pengakuan adalah sah, karena dalam Al-Quran dan
Sunnah terdapat penjelasan demikian, asalkan sejenis. Demikian menurut
kesepakatan pendapat Para imam mazhab. Namun, mereka berbeda pendapat
jika pengecualian tersebut tidak sejenis
Hanafi: Jika pengecualiannya termasuk sesuatu yang ditetapkan dalam
tanggungan, seperti seseorang mengatakan, "Dia mempunyai padaku seribu
dirham, kecuali segantang gandum." Hal demikian diperbolehkan. Adapun, jika
pengecualian itu terdiri dari sesuatu yang tidak dapat ditetapkan dalam suatu
pertanggungan, kecuali dengan harganya saja, seperti kain, budak, hal itu tidak
dibenarkan. Maliki dan Syafi’i: Pengecualian yang tidak sejenis tetap sah.
Adapun, menurut lahiriah pendapat Hambali Tidak diperbolehkan.
Para imam mazhab sepakat peminjam barang (‘ariyah) merupakan ibadah yang
disunnahkan serta diberi pahala. Mereka berbeda pendapat mengenai tanggungannya
bila terjadi kerusakan.
Menurut pendapat Syafi'i dan Hambali: Tanggungannya dibebankan kepada
peminjam, baik disebabkan kesalahannya maupun tidak, Sedangkan menurut pendapat
Hambali dan para ulama pengikutnya: Barang pinjaman merupakan amanah. Tidak
dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan, kecuali disebabkan oleh
kesalahannya. Tentang kerusakan, yang diterima adalah pengakuan peminjam.
Demikian juga pendapat Hasan al-Bashri, an-Nakha'i, al-Awza'i, dan ats-Tsawri.
Adapun pendapat mazhab Maliki: Apabila sudah nyata bahwa barang yang
dipinjam tersebut rusak, tanggungannya tidak dibebankan kepada peminjam, baik yang
dipinjamnya itu berupa hewan, pakaian dan perhiasan yang terbungkus maupun
perhiasan yang tampak, kecuali jika ia berbuat kesalahan. Inilah pendapat Maliki yang
paling jelas.
Qatadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa apabila orang yang
meminjamkannya mensyaratkan kepada peminjam adanya tariggungan bila terjadi
kerusakan, maka tanggungan menjadi beban peminjam. Jika tidak drsyaratkan
demikian, maka tanggungan tidak menjadi bebannya.
Apabila seseorang meminjam sesuatu barang, apakah dibolehkan ia
meminjamkannya lagi kepada orang lain? Hanafi dan Maliki: Boleh meskipun tidak
seizin peminjamnya, yaitu selama tidak dipergunakan untuk sesuatu maksud yang tidak
bertentangan dengan kegunaan barang tersebut.
Hambali: Tidak boleh, kecuali dengan seizin pemiliknya.
Syafi’i tidakmemiliki ketentuan dalam masalah tersebut, Namun, menurut
pendapat para ulama pengikut Syafi’i , terdapat dua pendapat, dan pendapat yang paling
sahih adalah: Tidak boleh.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah orang yang meminjamkan boleh
meminta kembali barang yang dipinjamkannya? Hanafi, Syafi’i dan Hambali: Ia boleh
meminta kembali barangnya kapan saja ia suka, meskipun sudah diserahkan dan belum
d1pergunakan oleh peminjamnya.
Maliki:Jika meminjamnya untuk suatu masa tertentu, tidak boleh diminta
sebelum masa peminjamannya habis. Orang yang memmpmkan tidak meminjamkan
barangnya yang dipinjam selama belum dimanfaatkan oleh peminjamnya.
Apabila seseorang meminjam.kan tanah untuk dibangun suatu bangunan atau
untuk menanam tanaman, ia tidak boleh meminta kembali. Akan tetapi, orang yang
meminjamkannya diminta memberikan harganya bila ia membongkarnya atau
memerintahkan untuk membongkarnya jika dengan pembongkaran itu ia dapat
mengambil manfaat. Jika peminjaman tersebut dibatasi waktu tertentu maka tidak boleh
diminta sebelum habis waktunya. Apabila waktunya habis, pemberi pinjaman boleh
memilih seperti di atas.
Hanafi:Jika ditentukan masa peminjamannya, ia boleh dipaksa membongkarnya
setelah habis waktunya. Ia tidak boleh dipaksa sebelum waktunya tiba.
Syafi’i dan Hambali:Jika disyaratkan pada permulian, ia boleh
membongkarnya kapan saja. Adapun, jika tidak disyaratkan, dan peminjam memilih
agar dibongkar, haruslah dibongkar. Apabila ia tidak memilih untuk dibongkar
peminjam boleh memilih antara memilikinya dan mengganti hartanya atau membongkar
dengan membayar kerugian. Jika orang yang meminjamkannya tidak memilih salah satu
pilihan tersebut, tidak boleh dibongkar bila orang yang meminjam membayar sewanya.
PERAMPASAN (GHASHAB)
Para imam mazhab sepakat atas keharaman ghashab (merampas hak orang
lain). Pelakunya (ghashib) berdosa dan ia wajib mengembalikan jika barangnya masih
ada, dan tidak dikhawatirkan merusak jiwa karena pengembalian barang tersebut.
Segala benda selain emas dan perak, binatang dan segala sesuatu yang tidak
ditakar dan ditimbang, apabila dirampas, lalu rusak di tangan perampas, harus dibayar
harganya. Adapun, mengenai barang yang dapat ditakar atau ditimbang, dibayar dengan
barang yang sama jika memungkinkan memperolehnya. Demikian kesepakatan Para
imam mazhab kecuali Hambali dengan riwayatnya yang tidak menyatakan demikian.
Apabila seseorang melakukan kejahatan terhadap harta benda seseorang lalu ia
merusak kegunaannya, harus dibayar sepenuhnya, dan barang diberikan kepada orang
yang merusaknya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara yang ditunggangi dan yang
lainnya, juga tidak ada perbedaan antara himar, keledai, dan kuda. Demikian pendapat
Maliki yang masyhur. Selain itu, ada pula riwayat dari Maliki yang menyatakan bahwa
yang wajib dilakukan oleh yang merusak adalah sekadar yang kerusakannva.
Hanafi: Jika ia merusak pakaian orang lain, ia harus membayar harganya dan
barangnya diserahkan kepadanya. Jika ia menghilangkan separuh dan harganya atau
kurang dari separuh, ia diharuskan membayar kekurangannya saja. Adapun, jika ia
merusak hewan yang dimanfaatkan dagingnya atau punggungnya (ditunggangi), seperti
unta dan lainnya, dan ia merusak dengan mencungkil salah satu matanya, ia diharuskan
membayar seperempat harganya. Jika dicungkil kedua matanya, ia harus membayar
seluruh harganya dan barang diberikan kepada pelaku kerusakan jika pemiliknya adalah
orang yang adil atau hakim. Adapun, jika barangnya bukan jenis ini, yang wajib dibayar
adalah sekadar yang kerusakan.
Syafi’i dan Hambali: yang harus dibayar adalah sekadar kerusakan dalam
segala jenis barang.
Apabila seseorang merusak barang sesudah ia merampasnya, pemiliknya
hendaklah mengambilnya berserta harga kerusakannya. Atau, barang itu diberikan
kepada perampas, dan meminta harga barangnya secara penuh, yaitu harga yang berlaku
ketika terjadi perampasan. Demikian pendapat Maliki.
Syafi’i : Perampas harus membayar kerusakan itu, di samping menyerahkan
barangnya. Demikian juga pendapat Hambali.
Barangsiapa merusak budak orang lain, yaitu dengan memotong tangan atau
kakinya, jika yang dirusaknya itu dianggap menghilangkan bagian yang penting bagi
pemiliknya, maka pemiliknya hendaknya menyerahkan budak terse but kepada orang
yang merusaknya, dan perusaknva harus memerdekakan budak tersebut jika perusakan
itu dilakukan dengan sengap. Atau, pemiliknya boleh meminta harganya kepada
perampas yang merusaknya atau memegangnya tanpa meminta apa-apa. Demikian
menurut pendapat Maliki yang dipandang paling kuat. Dalam riwayat lainnya, Maliki
berpendapat: Hanya diminta ganti rugi atas kerusakan. Demikianjuga pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan.
Hanafi: Budak harus diserahkan kepada yang merusaknya, dan pemiliknya
meminta harga penuh, atau mengambilnya tanpa meminta ganti atas kerugian itu.
Syafi’i : Pemiliknya boleh mengambil budaknya dan meminta seluruh harganya
kepada orang yang merusaknya, yaitu diserupakan harga budak dengan dendanya.
Barangsiapa yang memotong hidung budaknya, memotong tangannya, atau
mencabut giginya, maka budak tersebut menjadi merdeka karena perbuatan tersebut.
Demikian pendapat Maliki.
Apakah kemerdekaan itu semata-mata karena perbuatan jahat tersebut atau
berdasarkan keputusan hakim? Dalam masalah ini, para ulama Maliki berselisih
pendapat. Adapun, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i , dan Hambali: Budak tersebut
tidak menjadi merdeka karena dipotong hidung, tangan, atau dicabut giginya oleh
pemiliknya.
Apabila seseorang merampas budak orang lain dengan suatu keadaan, lalu
keadaan budak itu bertambah parah dalam perampasan itu, seperti yang gemuk atau
terampil dalam membuat sesuatu sehingga harganya tinggi, lalu ia menjadi kurus atau
lupa pada keterampilannya sehingga harganya pun menjadi turun, maka pemilik budak
tidak berhak meminta kerugian dari kekurangan tersebut. Demikian pendapat Maliki
dan Hanafi beserta para ulama pengikutnya.
Syafi’i dan Hambali: Pemiliki budak berhak meminta kembali budaknya, dan
meminta kerugian dari kekurangan yang terjadi di tangan perampasnya itu. Adapun,
tambahan yang terpisah dari barang yang dirampas, seperti anak, apabila terjadi sesudah
perampasan, tambahan itu diminta tanggungannya. Demikian pendapat Hanafi dan
Maliki.
Para ulama ahli fiqih dari kota besar, para sahabat, para tabi'in, dan Para iman
mazhab sepakat alas bolehnya musaqah, yaitu mengupah buruh untuk menyiram
tanaman, menjaganya dan memeliharanya dari basil yang diperoleh dari tanaman
tersebut. Hanya Hanafi yang menyatakan batalnya, dan tidak ada seorang ulama pun
yang berpendapat demikian selain Hanafi.
Diperbolehkan terhadap segala pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur;
tin; dan kelapa. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Seperti ini juga
pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya yang telah dipilih oleh para ulama mutakhirin
pengikutnya. Demikian juga pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan.
Adapun qauljadid-nya Syafi’i dan pendapat yang paling sahih bahwa yang demikian
dapat dibolehkan kecuali dalam pohon kurma dan anggur saja. Dawud: yang demikian
tidak dibolehkan, kecuali pohon kurma saja.
Apabila di antara pohon-pohon kurma itu ada tanah vang lapang (kosong) dan
banyak sekali, sah pekerja (buruh) menanaminya dengan sistem murara'ali
(mengerjakan tanah orang dengan memperoleh sebagian dari hasilnya, sedangkan
bibitnya dari pemilik tanah) serta musaaqah atas kurma-kurma tersebut, asal dikerjakan
oleh seorang. Demikian menurut pendapat Syafi’i . Di samping itu, disyaratkan jika
hanya kurma penyiramannya sulit, tetapi jika dengan tanaman lain justru
mempermudah, dan tidak mendahulukan muzara'ah dengan mengakhirkan musaaqah,
yaitu mendahulukan penyiraman tanaman selingan daripada tanaman pokok.
Maliki membolehkan memasukkan (menanam) tanaman lain yang sedikit saja di
antara pohon-pohon di tempat-tempat yang tidak terkena siraman, meskipun tidak
disyaratkan. Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan membolehkan mukhabarah, yaitu
mengerjakan tanah orang lain, sedangkan bibitnya dari dirinya sendiri, dalam segala
tanah. Hanafi tidak memboleh- kannya, sebagaimana tidak bolehnya ber-muzara'ah di
atas tanah tersendiri dari tanaman musaaqah.
Mukhabarah tidak dibenarkan oleh syara', yaitu mengerjakan tanah orang lain,
sedangkan bibitnya dari dirinya sendiri. Demikian menurut kesepakatan Para imam
mazhab. Tidak dibolehkan muzara'ah: Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Seperti ini juga qaul jadidnya Syafi’i. Adapun menurut qaul qadim-nya Syafi’i , yang
menurut pendapat an-Nawawi merupakan pendapat yang terpilih dan dipandang kuat
oleh mazhabnya adalah sah. Seperti ini juga pendapat Hambali, Abu Yusuf, dan
Muhammad bin Hasan.
Apabila seseorang melakukan musaaqah terhadap buah yang tampak keluar,
tetapi belum kelihatan baiknya, diperbolehkan. Demikian menurut pendapat Maliki,
Syafi’i , dan Hambali Adapun jika sudah jelas baiknya, tidak dibolehkan, menurut
ketiga imam mazhab tersebut. Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Sahnuun
membolehkannya atas semua buah yang sudah tampak kelihatan, baik sudah tampak
kelihatan baiknya maupun belum.
Apabila mereka berselisih tentang bagian yang disyaratkan, keduanya disumpah,
lalu dirusakkan akad dan hendaklah diberikan kepada pekerja upah yang biasa diberikan
( diterima) orang lain dalam pekerjaan itu. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Adapun
menurut pendapat mazhab-mazhab lainnya adalah menerima pemyataan pekerja dengan
disumpah.
PERSEWAAN(IJARAH)
Para imam. mazhab sepakat, wakaf itu merupakan ibadah yang dibolehkan
oleh syara'. Apakah wakaf itu telah diberlakukan atau tidak? Maliki, Syafi’i dan
Hambali: Wakaf itu telah ditetapkan secara lafadz, meskipun tidak diakui oleh hakim,
dan tidak dikeluarkan dari tempat wasiat sesudah meninggalnya. Seperti ini juga
pendapat Abu Yusuf, dan menurut pendapat beliau bahwa hak milik menjadi hilang
daripadanya meskipun tidak dikeluarkan dari tangannya.
Muhammad bin al-Hasan: Wakaf dianggap sah jika barang yang diwakafkan
dikeluarkan dari tangannya, yaitu dengan menyerahkan kepada pengurus wakaf dan
menjadikannya sebagai pengurusnya. Seperti ini juga riwayat dari Maliki. Hanafi:
Wakaf itu merupakan suatu pemberian yang benar, tetapi tidak dilazimkan dan tidak
terlepas dari milik orang yang mewakafkannya sehingga hakim memberi keputusan atau
di-ta'lig-kan (digantungkan) dengan kematiannya. Seperti ia katakan: Apabila saya mati,
saya wakafkan rumah ini kepada urusan itu.
Para imam mazhab sepakat, sesungguhnya wakaf itu tidak sah jika barang
yang diwakafkan tersebut tidak dapat diambil manfaatnya kecuali dengan
dirusakkannya, seperti emas, perak, dan makanan. Menurut pendapat Syafi’i dan
Hambali bahwa mewakafkan binatang hukumnya sah. Seperti ini juga salah satu
riwayat Maliki. Hanafi dan Abu Yusuf: Tidak sah mewakafkan binatang.
Demikianjuga menurut riwayat Maliki yang lain.
Pendapat yang paling kuat (rajih) dari mazhab Syafi’i bahwa hak milik barang
yang diwakafkan itu menjadi milik Allah Azza wajalla. Oleh karena itu, barang wakaf
bukan milik waqif (orang yang mewakafkan) dan bukan milik mauquf'alaih (orang yang
menerima wakaf). Maliki dan Hambali Berpindah kepemiliknya kepada mauquf'alaih.
Hanafi dan para ashhab-nya yang disertai perbedaan di antara mereka: Apabila sah
wakaf itu, ia keluar dari kepemilikan si waqif dan tidak juga masuk menjadi milik si
mauquf'alaih.
Para imam mazhab sepakat atas dibolehkannya mewakafkan harta serikat
(yang tidak dibagi), sebagaimana bolehnya jika ia dihibahkan.(dibe- rikan) dan
disewakan. Muhammad bin al-Hasan: Tidak boleh, sebagaimana tidak dibolehkannya ia
disewakan.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali, apabila seseorang mewakafkan sesuatu
atas dirinya sendiri, hukumnya sah. Apabila tidak dijelaskan siapa orang yang
memberikan wakaf, seperti misalnya orang yang mewakafkan: Rumah ini diwakafkan.
Menurut pendapat Maliki adalah sah. Demikian pula sah wakaf yang berpenghabisan
akhimya, seperti orang mengatakan: Saya wakafkan (barang ini) kepada anak-anak saya
dan anak-anak mereka. Sesudah itu ia tidak menyebutkan mereka yang faqir. Karena
itu, hukumnya adalah sah menurut pendapat Maliki. Yang demikian ini ,
pelaksanaannya sesudah diberikan kepada orang-orang yang disebutkan, dan ternyata
tidak ada maka diberikan kepada ashabah-nya yang faqir. Jika mereka juga tidak ada
diberikan kepada orang Islam yang fakir. Demikian juga menurut pendapat Abu Yusuf
dan Muhammad bin al-Hasan.
Adapun yang rajih menurut pendapat mazhab asy-Syafi’iyah bahwa yang
demikian itu tidak sah, karena tidak dijelaskan siapa orang yang menerima wakaf itu.
Sementara itu, memberikan wakaf kepada orang yang berpenghabisan akhimya adalah
sah.
Para imam mazhab sepakat, apabila barang wakaf tersebut rusak, tidak
dikembalikan kepada si waqif (orang yang mewakafkan). Mereka berbeda pendapat
tentang menjualnya dan uangnya dipergunakan untuk barang wakaf yang sepertinya jika
itu berupa masjid.
Maliki dan Syafi’i : Harus dibiarkan demikian saja, tidak boleh dijual.
Hambali: Boleh dijual, dan uangnya dibelikan barang yang sepertinya. Demikian juga
dalam masalah masjid, jika memang tidak dapat diharapkan baik kembali.
Hanafi tidak menentukan ketentuan hukumnya. Kedua sahabatnyapun berselisih
pendapat. Menurut pendapat Abu Yusuf tidak boleh dijual, sedangkan menurut
pendapat Muhammad bin al-Hasan dikembalikan kepada pemilik yang pertama.
KITAB MENERANGKAN HUKUM HIBAH
Para imam mazhab sepakat, hibah menjadi sah hukumnya jika dilakukan
dengan tiga perkara:
1. ijab,
2. kabul, dan
3. qabdhu (serah terima barang yang dihibahkan).
Oleh karena itu, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i , dan Hambali hibah tidak
sah kecuali berkumpulnya ketiga perkara tersebut. Maliki: Sah dan lazimnya suatu
hibah itu tidak memerlukan serah terima barang, tetapi cukup adanya ijab dan kabul
saja.
Serah terima barang merupakan syarat pelaksanaan dan syarat sempurnanya
hibah. Apabila orang yang menghibahkan dengan mengakhirkan penyerahan barang
(iqbadh), padahal yang menerima hibah terus-menerus memintanya hingga orang yang
menghibahkan mati, sedangkan yang menerima terus memintanya (karena belum
menerima hibah tersebut), hibahnya tidak menjadi batal, dan ia berhak meminta kepada
ahli warisnva, Dan jika ia tidak meminta atau memungkinkannya menerima hibah,
tetapi ia tidak mau menerimanya sehingga orang yang menghibahkan mati atau sakit,
hibah menjadi batal. Demikian menurut pendapat Maliki.
Ibn Abi Zaid al-Maliki dalam ar-Risalah mengatakan: Hibah dan sedekah tidak
sah, kecuali dengan penyerahan barangnya kepada penerima Demikian juga halnya
dengan wakaf Oleh karena itu, apabila ia meninggal sebelum menerimanya, maka
barang itu menjadi barang pusaka.
Dari Hambali diperoleh satu riwayat yang menyatakan bahwa hibah dimiliki
tanpa diperlukan penerimaan barangnya. Diperlukan izin pemberi hibah dalam
menerima barang yang dihibahkan, menurut pendapat Maliki, Syafi’i , dan Hambali.
Menurut pendapat Hanafi: Tidak diperlukan izin.
Menghibahkan barang yang masih dalam perserikatan hukumnya boleh
sebagaimana boleh barang itu dijual. Sah menerimanya jika diserahkan oleh pemberi
hibah kepada penerima hibah, lalu penerima hibah mengambil haknya. Bagian kongsi
dari pemberi hibah mengikuti aturan dari penerima hibah tersebut. Demikian menurut
pendapat Maliki dan Syafi’i.
Hanafi: Kalau barang terse but berupa barang yang tidak dapat dibagi, seperti
budak atau permata, boleh dihibahkan. Adapun jika barang itu berupa barang yang
dapat dibagi, tidak boleh dihibahkan tanpa dibagi terlebih dahulu.
Apabila seseorang menyuruh orang lain mendiami rumah dengan mengatakan,
"Rumahku ini aku berikan kepadamu agar engkau diami sepanjang umurmu" maka hal
itu berarti ia telah memberikan manfaat kepadanya untuk mendiami rumah tersebut
sepanjang hidupnya. Jika ia telah meninggal, rumah tersebut kembali kepada pemilikya,
yaitu orang yang memberikannya. Demikian pula jika seseorang mengatakan. "Aku
berikan rumahku kepadamu jika aku meninggal sebelummu." Oleh karena itu, jika ia
meninggal sebelum penerima hibah itu meninggal, ahli waris memiliki manfaatnya, dan
jika tidak ada seorang pun di antara ahli waris yang masih hidup maka rumah tersebut
dikembalikan kepada pemberi hibah sebab ia memberikan manfaat, bukan memberikan
bendanya. Demikian menurut pendapat Maliki.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan salah satu riwayat Hambali: Rumah
yang diberikan tersebut menjadi milik pemberi hibah dan ahli warisnya, jika ia sudah
meninggal. Jika pemberi hibah tidak mempunyai ahli waris rumah itu diserahkan ke
Baitul Mal. Namun, Syafi’i mempunyai pendapat lain, yaitu seperti pendapat Maliki.
Memberi hibah secara ruqba', yaitu seseorang mengatakan, "Rumahku untukmu
jika aku meninggal sebelummu, kamu gabungkan pada rumahmu, dan rumahmu
untukku. Jika engkau meninggal sebelumku, aku gabungkan pada rumahku" maka
hukumnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Hambali, dan Abu Yusuf
Sedangkan menurut pendapat Maliki, Hanafi, dan Muhammad bin al-Hasan: Hibah
ruqba' adalah tidak sah.
Barang siapa yang memberikan kepada anak-anaknya suatu pemberian
hendaknya disamaratakan pemberian tersebut di antara mereka. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Maliki serta seperti ini juga pendapat mazhab Syafi’i yang paling
kuat. Adapun, menurut pendapat Hambali dan Muhammad bin al-Hasan: Hendaknya
dilebihkan bagian anak laki-laki atas anak perempuan, sebagaimana pembagian warisan.
Seperti ini juga salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i . Memberikan hibah kepada
sebagian anak saja hukumnya makruh juga melebihkan sebagian atas sebagian lainnya.
Demrkian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
Apakah jika diberikan dengan cara tidak merata dapat ditarik kembali? Menurut
pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i : Tidak lazim. Sedangkan menurut Hambali:
Wajib ditarik kembali.
Apabila seseorang menghibahkan sesuatu kepada anaknya, ia tidak boleh
menarik kembali sama sekali. Demikian menurut pendapat Hanafi. Syafi’i : Boleh
menarik kembali hibahnya.
Maliki: Boleh ditarik kembali, walaupun sesudah diterima barangnya, yartu jika
ia memberikannya hanya berdasarkan rasa kasih sayang. Adapun, Jika dasarnya adalah
sedekah maka tidak boleh ditarik kembali. Boleh barang hibah itu diambil kembali
selama belum berubah di tangan anaknya, atau terjadi utang sesudah hibah, atau anak
perempuannya yang telah diberi hibah itu telah kawin, atau tidak dicampur oleh
penerima hibah dengan harta lain yang tidak bisa dibedakan. Jika keadaannya demikian
barang hibah tidak dapat ditarik kembali.
Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat, pertama boleh ditarik kembali,
seperti pendapat Syafi’i. Kedua, tidak boleh ditarik kembali, seperti pendapat Hanafi.
Ketiga, seperti pendapat Maliki.
Apakah boleh hibah ditarik kembali jika hibah tersebut diberikan kepada selain
anak? Syafi’i: Hibah boleh ditarik kembali jika hibah itu diberikan kepada orang-orang
yang bisa dinamakan anak, baik secara hakiki maupun kiasan, seperti anaknya sendiri,
cucu dari salah satu anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun, jika hibah
tersebut diberikan kepada orang lain, tidak boleh ditarik kembali.
Syafi’i tidak mensyaratkan terjadinya utang dan kawinnya anak perempuan
yang diberi hibah sebagaimana yang disyaratkan oleh Maliki, tetapi Syafi’i hanya
mensyararkan bahwa hendaknya barang yang ditarik kembali tersebut berada di tangan
penerima hibah. Jika sudah diwakafkan atau dijual, tidak boleh ditarik kembali.
Adapun, jika disewakan atau digadaikan boleh ditarik kembali.
Hanafi: Apabila hibah diberikan kepada muhrim dengan sebab keturunan, tidak
boleh ditarik kembali. Adapun jika dihibahkan kepada orang lain dengan tidak
menerima ganti apa pun, boleh ditarik kembali, kecuali Jika barang tersebut bertambah
dengan tambahan yang terpisah, salah satu di antara kedua orang yang melakukan akad
itu meninggal, barang tersebut telah keluar dari penerima hibah, atau barang tersebut
telah keluar dari pemilikan penerima hibah.
Hanafi: Tidak boleh seseorang menarik kembali hibah yang diberikan kepada
anak, saudara laki-laki ataupun perempuan, paman dan bibi (dari pihak ayah), atau
kepada setiap perempuan yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab. Oleh
karena itu, apabila diberikan kepada anak-anak pamannya (saudara ayah) atau kepada
orang lain, boleh ia menarik kembali hibahnya.
Seseorang yang menghibahkan suatu hibah, kemudian ia meminta balassan, ia
mengatakan, "T'idak ada yang aku harapkan kecuali balasan", maka hendaknya
diperhatikan. Jika ia meminta balasan dari penerima hibah tersebut, ia berhak dipenuhi
permintaannya, sebagaimana hibah orang fakir kepada orang kaya, pemberian rakyat
kepada pemimpinnya, dan pemberian bawahan kepada atasannya. Demikian menurut
pendapat Maliki dan salah satu pendapat Syafi’i.
Hanafi: Ia tidak berhak memperoleh balasan kecuali telah disyaratkan. Ini juga
pendapat Syafi’i yang lain dan juga pendapat yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i.
Para imam mazhab sepakat bahwa menepati janji dalam kebaikan dituntut oleh
syara'. Apakah hal itu wajib hukumnya ataukah hanya sunnah? Dalam masalah ini
terjadi perbedaan pendapat di antara Para imam mazhab. Menurut pendapat Hanafi,
Syafi’i , Hambali, dan kebanyakan para ulama: Mustahab. Jika hal itu ditinggalkan,
berarti ia telah meninggalkan keutamaan serta telah mengerjakan kemakruhan, tetapi ia
tidak berdosa.
Menurut segolongan ulama, hukumnya adalah wajib. Di antara mereka adalah
'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Para ulama Maliki berpendapat: Janji itu jika disyaratkan
dengan suatu sebab, seperti orang mengatakan, "Kawinlah maka engkau akan kami beri
ini dan itu." Oleh karena itu, janji tersebut wajib ditepati, sedangkan jika janji tersebut
diucapkan secara mutlak maka tidak wajib dipenuhi.
BARANG TEMUAN (LUQATHAH)
Apabila ditemukan anak yang dibuang orangtuanya dijalan (laqith) dalam negara
Islam maka laqith tersebut dihukumi sebagai Muslim. Demikian menuut pendapat
Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: jika ia ditemukan di dalam gereja
atau rumah peribadatan Yahudi, atau di suatu desa di perkampungan orang-orang
drimmi, maka ia dihukumi sebagai seorang dzimmi (orang kafir yang dijamin negara
Islam).
Para ulama Maliki berselisih pendapat tentang anak yang ditemukan di dalam
negara Islam. Yaitu anak kecil yang sudah mumayyiz, tetapi belum balig dan berakal.
Menurut pendapat pertama dari mereka adalah bahwa keislamannya dipandang sah.
Seperti inijuga pendapat Hanafi dan pendapat Hambali. Pendapat kedua, belum
dianggap sah keislamannya. Pendapat ketiga, ditangguhkan hukumnya. Dari Syafi’i
diperoleh tiga pendapat, dan yang paling kuat adalah bahwa anak kecil yang merdeka
bdum dipandang sah keislamannya.
Apabila didapati anak kecil di dalam negara Islam maka ia dipandang sebagai
anak yang merdeka dan Muslim. Jika sesudah balig ia menolak untuk memeluk agama
Islam maka ia tidak dapat ditetapkan sebagat Muslim. Jika tetap enggan, ia boleh
dibunuh, Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berpendapat: Ia
dikenai had, tidak perlu dibunuh. Syafi’i berpendapat: Hendaknya diterangkan
kepadanya keburukan-keburukan kekafirannya. Tetapi jika ia tetap berpegang teguh
pada pendmannya maka ia dihukumi sebagai seorang kafir.
Para imam mazhab sepakat bahwa anak kecil dihukumi Islam sesuai dengan
keislaman bapaknya. Demikian keislaman bagi ibu nya, kecuali menurut pendapat
Maliki yang menyatakan bahwa anak tidak dihukumi Islam lantaran keislaman ibunya.
Dalam riwayat lain, Maliki berpendapat yang sesuai dengan pendapat mazhab jamaah
di atas.
UPAH ATAS USAHA SESEORANG
Para imam mazhab sepakat bahwa seseorang membawa kembali budak yang
melarikan diri berhak menerima upah lantaran membawanya kembali, apabila
disyaratkan.
Para imam mazhab berbeda pendapat hal itu jika tidak disyaratkan. Maliki
berpendapat: Jika sudah dikenal bahwa membawa kembali budak yang melarikan diri
berhak mendapat upah maka hendaklah ia menerima upah berdasarkan jauh dekatnya
tempat budak tersebut ditemukan. Sedangkan jika tidak terkenal demikian maka ia tidak
diberi upah, hanya mengganti biaya yang dikeluarkannya. Hanafi dan Hambali
mengatakan: Ia berhak menerima upah secara mutlak, tidak diperlukan syarat dan tidak
pula diperlukan kelaziman bahwa membawa kembali budak yang melarikan diri itu
mendapat upah. Syafi’i berpendapat: Tidak berhak mendapat upah kecuali dengan
syarat.
Para imam mazhab pun berbeda pendapat tentang apakah dalam mendapatkan
upah tersebut ada kadar ukuran (Jauh dekatnya jarak)? Hanafi berpendapat:Jika ia
membawanya dari perjalanan sejauh tiga hari perjalanan maka ia berhak mendapat upah
sebesar 40 dirham. Sedangkan jika kurang dari itu, hendaknya diserahkan kepada hakim
mengenai upahnya. Maliki berpendapat: Ia berhak mendapat upah yang umum. Dari
Hambali diperoleh dua pendapat. Pertama, satu dinar atau 12 dirham, dan tidak ada
perbedaan antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat, serta tidak dibedakan antara
ditemukan di kota atau di luar kota. Kedua, jika dibawa dari kota maka upahnya 10
dirham, sedangkan jika dari luar kota maka upahnya 40 dirham. Adapun, menurut
pendapat Syafi’i : Tidak berhak apa-apa, kecuali dengan syarat dan ditentukan upahnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang biaya yang diperlukan oleh
orang yang membawa kembali barang temuannya. Hanafi dan Syafi’i mengatakan:
Tidak wajib diganti oleh pemiliknya, yakni jika ia mengeluarkan biaya tanpa izin hakim
maka wajib diganti oleh pemiliknya, dan yang membawanya boleh menahan barang
temuan sampai pemiliknya mengganti biaya. Hambali berpendapat: Biaya tersebut
menjadi tanggungan pemiliknya. Sedangkan menurut pendapat mazhab Maliki: Upah
yang diterima oleh pembawanya hanya upah mitsl (yang umum).
PEMBAGIAN HARTA WARISAN
Para Nabi a.s, tidak diambil waris darinya oleh anak-anaknya. Harta mereka
disedekahkan dan dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Tidak ada yang
menyalahi pendapat ini kecuali mazhab Syi'ah.
Para imam mazhab sepakat bahwa ahli waris dari kalangan laki-laki adalah
sepuluh, yaitu:
1. anak laki-laki;
2. anak (cucu laki-laki dari anak laki-laki) terus ke bawah;
3. ayah;
4. ayahnya ayah (kakek) terus keatas;
5. saudara laki-laki;
6. anak saudara laki-laki, kecuali dari saudara seibu;
7. saudara ayah (paman);
8. anak laki-laki saudara ayah (anak paman);
9. suami;
10. budak laki-laki yang dimerdekakan (mu'tiq) .
Para imam mazhab sepakat atas bagian-bagian yang ditentukan dalam Kitab
Allah Azza wa jalla ada enam, yaitu: seperdua (nishj), seperempat (rub’), seperdelapan
(tsumun). Dua pertiga (tsulutsan), sepertiga (tsidus) dan seperenam (sudus). Selain itu
hanya berdasarkan ijma belaka.
Adapun, hal-hal yang diperselisihkan hukum waris antara lain adalah perwarisan
dzawil arham, yakni orang-orang yang tidak mempunyai saham tertentu dalam Al-
Quran. Semuanya ada sepuluh golongan, yaitu: kakek dari pihak ibu, semua kakek dan
kakek yang gugur (dari menerima warisan), semua cucu dari pihak anak perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, anak-
anak laki-laki dari saudara seibu, paman dari pihak ibu, anak-anak perempuan dari
paman, saudara- saudara perempuan ayah, dan saudara-saudara ibu beserta anak-anak
perempuan mereka.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i , mereka yang disebut tadi tidak mendapat
warisan.
Harta orang mati yang hanya meninggalkan dzawil arham diberikan ke Baitul
Mal (kas negara Islam). Pendapat ini diterima dari Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, Zaid',
az-Zuhri, al-Awza'i, danDawud. Menurut pendapat Hanafi, dzawil arham berhak
mendapatkan warisan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibn Mas'ud, dan Ibn Abbas.
Hal itu ketika tidak ashhabul furudh dan 'ashabah.
Sa'id bin al-Musayyab berpendapat bahwa saudara ibu menerima warisan
bersama anak perempuan. Menurut pendapat Maliki danSyafi’i : Apabila seseorang
mati meninggalkan ibu maka diambillah sepertiga pusaka untuk ibunya, dan sisanya
diserahkan ke Baitul Mal. Atau, jika ia meninggalkan anak perempuan maka anak
perempuan itu mendapat seperdua pusaka, dan sisanya diberikan ke Baitul Mal.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Apabila seseorang mati
meninggalkan ibu maka seluruh hartanya diberikan kepada ibunya, yaitu sepetiga
dengan cara memberikan haknya yang sudah ditentukan kefarduannya dalam Al-Quran
dan yang lainnya dengan cara mengembalikan harta kepadanya (radd). Demikian juga
jika yang ditinggalkannya hanya seorang anak perempuan, maka anak perempuan itu
mendapatkan semua harta, yaitu seperdua diperoleh dengan jalan ketentuan Al-Quran,
dan sisanya diperoleh denganjalan radd.
Al-Qadhi Abdul Wahhab al-Maliki mengambil riwayat dari asy-Syaikh Abu al-
Hasan bahwa pendapat yang sahih dari 'Utsman, Ali, Ibn al-'Abbas, dan Ibn Mas'ud
tidak memberikan warisan kepada dzawil arham. Mereka juga tidak memberikan radd
kepada seseorang. Inilah yang diriwayatkan dari mereka tentang radd dan hukum waris
dzawil arham, yaitu riwayat yang berupa perbuatan danperkataan.
Ibn Khuzaimah danpara ulama lain mengakuiadanya ijma dalam masalah ini.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang Muslim tidak boleh mewarisi dari
orang kafir, demikian pula sebaliknya. Diriwayatkan dari Mu'adz, Ibn al-Musayyab, dan
an-Nakha'i bahwa orang Islam boleh mewarisi dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya,
sebagaimana bolehnya orang Islam mengawini perempuan kafir dan tidak boleh
perempuan Islam dinikahi oleh laki-laki kafir.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang harta orang murtad yang mati
lantaran dihukum bunuh atau mati dalam kemurtadannya. Dalam masalah ini, terdapat
tiga pendapat para ulama sebagai berikut.
Pertama, semua harta yang diperoleh selama dalam keislamannya diserahkan ke
Baitul Mal. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Kedua, harta yang diperoleh dalam keislamannya diwarisi oleh orang Islam,
sedangkan hartanya yang diusahakan dalam masa kemurtadannya diserahkan ke Baitul
Mal. Demikian pendapat Hanafi.
Ketiga semua hartanya diwarisi oleh orang Islam, baik diperoleh selama dalam
keislamannya dandalam masa kemurtadannya. Demikian ini pendapat Abu Yusuf dan
Muhammad bin al-Hasan.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang membunuh dengan sengaja
serta aniaya terhadap orang yang mewarisinya tidak menerima warisan dari orang yang
dibunuhnya. Namun, Para imam mazhab berbeda pendapat jika terjadinya
pembunuhan tersebut dengan tidak sengaja. Hanafi, Syafi’i , dan Hambali
mengatakan: Tidak berhak mewarisi. Maliki berpendapat: Berhak mendapatkan
sebagian dari harta peninggalannya, tidak dari diyat-nya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang waris-mewarisi sesama orang
kafir, Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hambali, mereka tidak waris-mewarisi
jika mereka dari dua agama, seperti Yahudi dan Nashrani. Demikian pula, jika mereka
beragama selain Yahudi dan Nashrani jika agama mereka saling berbeda. Hanafi dan
Syafi'i mengatakan:Jika agama mereka sama maka mereka adalah kafir yang berhak
mewarisi sebagian atas sebagian yang lain.
Orang yang tenggelam, terbunuh, mati tertimpa bangunan, mati terbakar, atau
mati karena terserang penyakit tha'un (kolera), jika tidak diketahui siapa di antara
mereka yang lebih dahulu atau kemudian matinya maka sebagian mereka tidak berhak
mewarisi atas sebagian yang lain. Harta peninggalan masing-masing dari mereka
diberikan kepada ahli waris mereka yang masih ada. Demikian menurut kesepakatan
pendapat Para imam mazhab, kecuali satu riwayat dari Hambali.
Sedangkan menurut pendapat 'Ali r.a., Syuraih, asy-Syabi, dan an-Nakha'i
adalah bahwa masing-masing dari mereka mewarisi terhadap harta-harta yang diperolah
oleh masing-masing. Bukan mempusakai harta lama, tetapi harta yang diperoleh dari
pewaris yang lain.
Orang yang separuh merdeka dan separuh lagi budak tidak mewarisi dan tidak
memberi waris. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i , dan Hambali.
Hambali, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan al-Muzani mengatakan:
Mereka waris mewarisi menurut kadar kemerdekaannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang kafir, orang murtad, pembunuh
dengan sengaja dan orang yang tidak jelas keadaan masa kematiannya tidak menghijab
orang lain. Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud bahwa orang kafir; budak, pembunuh dengan
sengaja dapat menghijab orang lain, tetapi mereka tidak mewarisi.
Saudara-saudara jika mereka menghijab ibu (dari sepertiga bagian) ke
seperenam bagian, maka ia tidak boleh mengambil warisan. Demikian menurut
kesepakatan pendapat Para imam mazhab. Diriwayatkan dari Ibn al-'Abbas bahwa
saudara-suadara tersebut mewarisi bersama ayah jika mereka menghijab ibu. Oleh sebab
itu, mereka mengambil kadar yang menghijabnya itu. Adapun, yang masyhur dari Ibn
al-Abbas r.a. adalah bahwa semuanya sama Nenek, yaitu ibu dari ayah, tidak mewarisi
jika ada ayah, yaitu anaknya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i .
Sedangkan menurut pendapat Hambali: Nenek bersama ayah memperoleh seperenam
bagian jika ia sendiri atau menyekutui ibu jika masih ada.
Dua saudara menghijab ibu dari sepertiga bagian ke seperenam bagian.
Demikian menurut ijma Para imam mazhab. Diriwayatkan dari Ibn al- Abbas bahwa
ibu bersama kedua orang saudara mengambil sepertiga hingga para saudara itu tiga
orang. Jika saudara itu berjumlah tiga orang maka ibu mendapat seperenam bagian.
Ibu dalam masalah seorang suami, dua ayah-ibu, atau istri dan dua ayah-ibu
mendapat sepertiga bagian yang tersisa, sesudah suami atau, istri mengambil bagiannya.
Demikian menurut pendapat seluruh ulama ahli fiqih kecuali menurut pendapat Ibn al-
Abbas yang menyatakan bahwa dalam kedua masalah ini, ibu mendapat sepertiga
bagian dari seluruh harta.
Pendapat Ibn al-Abbas tersebut sama dengan pendapat Syuraih, dan sesuai
dengan pendapat Ibn Sirin dalam masalah seorang istri dan ayah ibu, tetapi tidak sesuai
dengan pendapatnya dalam masalah seorang suami dan ayah ibu.
Adapun, dua anak perempuan ke atas mendapat dua pertiga bagian. Demikian
menurut pendapat seluruh ulama ahli fiqih kecuali pendapat Ibn al-Abbas yang
menyatakan bahwa dua anak perempuan mendapat seperdua bagi.an seperti satu orang,
dan untuk tiga orang ke atas mendapat dua pertiga bagian.
Diriwayatkan bahwa Ibn al-Abbas berpendapat seperti pendapat jamaah ulama
ahli fiqih di atas.
Apabila anak-anak perempuan mengambil dua pertiga bagian penuh maka cucu
perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat apa-apa, kecuali jika ia bersama anak
laki-laki yang sederajat atau lebih rendah dari mereka. Jika demikian keadaannya maka
mereka menerima dengan cara 'ashabah, yaitu sisa antara dia dan orang yang lebih
tinggi. dan orang yang sederajat dengan mereka, dengan pembagiannya adalah laki-laki
mendapat dua kali bagian perempuan. Demikian menurut pendapat seluruh ulama ahli
fiqih.
Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud bahwa sisanya diberikan kepada anak laki-laki
dari anak ibu, bukan anak ayah.
Menurut pendapat semua ulama ahli fiqih, saudara-saudara perempuan bersama
dengan anak perempuan mendapat 'ashahah. Diriwayatkan dari Ibn al-'Abbas bahwa
mereka tidak menjadi 'ashabah; bahkan tidak mewarisi bersama anak perempuan.
Masalah yang paling terkenal dalam hukum waris adalah musyarakah, yaitu
orang mati meninggalkan suami, ibu, dua saudara seibu, dan seorang saudara laki-laki
sekandung, Para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah ini. Maliki dan
Syafi’i berpendapat: Suami mendapat seperdua bagian, ibu mendapat seperenam
bagian, saudara-saudara seibu mendapat sepertiga bagian. Kemudian, saudara
sekandung berserikat dengan dua saudara seibu dalam sepertiga bagian tersebut yang
mereka bagi bersama. Ini juga pendapat 'Umar, 'Utsman, Ibn al-'Abbas, Ibn Mas'ud,
Zaid, 'Aisyah, az-Zuhri dan Ibn al-Musayyab, dan segolongan jamaah.
Sedangkan menurut pendapat mazhab Hanafi dan para ulama pengikutnya,
Hambali dan Dawud adalah sepertiga bagian untuk saudara seibu, dan saudara
sekandungyang laki-laki menjadi gugur haknya. Inijuga pendapat Ali, Ibn al-'Abbas dan
Ibn Mas'ud dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat seluruh ulama, bagian kakek dan nenek adalah seperenam.
Diriwayatkan dari Ibn al-Abbas bahwa nenek, yaitu ibunya ayah, mendapat
sepertiga bagian jika sendirian. Ia menduduki kedudukan ibu. Diriwayatkan juga bahwa
ia berpendapat seperti pendapat seluruh ulama.
Menurut pendapat mazhab Maliki adalah bahwa para nenek itu tidak mewarisi,
kecuali dua orang, yaitu ibunya ibu dan semua ibunya, dan ibunya ayah beserta semua
ibunya.
Adapun, menurut pendapat mazhab Hanafi adalah bahwa ibunya ayah pun
berhak mewarisi. Sedangkan Syafi’i mempunyai beberapa pendapat. Pertama, seperti
pendapat Maliki. Kedua, seperti pendapat Hanafi. Inilah pendapat yang masyhur dan
yang paling kuat dari mazhab Syafi’i.
Nenek dari pihak ayah jika ia lebih dekat daripada nenek dari pihak ibu, maka ia
berserikat dengan nenek dari pihak ibu dalam mendapatkan seperenam bagian, dan tidak
menghijabnva. Demikian menurut mazhab Maliki, Syafi’i, Zaid dan Ibn Mas'ud.
Hanafi berpendapat: Seperenam bagian untuk nenek dari pihak ayah jika ia lebih dekat
daripada nenek dari pihak ibu.
Kakek menyekutui saudara-saudara, maka mereka mewarisi bersamanya, dan
tidak menghijabnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali Diriwayatkan dari Abu Bakar, Ibn al-Abbas, Aisyah' Um Zubair, Marwan,
Muadz, Abu Musa dan Abu Darda, bahwa kakek menggugurkan hak para saudara.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai masalah ahdariyyah, yaitu jika
seseorang yang mati meninggalkan suami, ibu, kakek dan saudara perempuan
sekandung atau sebapak saja. Dalam hal ini, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan;
Suami mendapat seperdua bagian, ibu mendapat sepertiga bagian, saudara mendapat
seperdua bagian, dan kakek mendapat seperenam bagian. Kemudian, kakek dan saudara
perempuan terbagi menjadi tiga. Kakek mendapat dua pertiga bagian dan saudara
perempuan mendapat sepertiga bagian. Hanafi berpendapat: Ibu mendapat sepertiga
bagian, suami mendapat seperdua bagian, dan sisanya untuk kakek dan saudara
perempuan yang gugur dari haknya.
Barangsiapa yang berkumpul padanya dua jalan untuk mengambil waris, maka
diberikan kepadanya jalan yang lebih kuat. Demikian menurut pendapat Maliki dan
Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Orang tersebut menerima warisan
dengan dua jalan.
Apabila berkumpul dua anak paman (saudara ayah), yang salah seorang di antara
mereka menjadi saudara seibu bagi orang yang mati, sisanya dibagi di antara keduanya
dengan jalan 'ashabah. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud, al-Hasan dan Abu Tsawr bahwa anak paman
yang menjadi saudara itu lebih berhak mengambil harta warisan.
Seluruh ulama mengatakan bahwa warisan tidak dapat ditetapkan dengan jalan
muwalah (bantu-membantu). Sedangkan menurut pendapat an- Nakha'i dapat ditetapkan
dengan muwalah. Hanafi berpendapat: Muwalah dan akadnya harus dibatalkan selama
belum batal.
Harta anak dari perempuan yang bersumpah li'an, menurut pendapat Hanafi,
seluruh hartanya dimiliki oleh ibunya, yaitu dengan dua jalan, jalan fardh dan jalan
'ashabah. Maliki dan Syafi’i mengatakan: Ibu mengambil sepertiga bagian, dan sisanya
diberikan ke Baitul Mal. Dari Hambali diperoleh dua riwavat. Pertama, 'ashabah anak
itu adalah 'ashabah ibunya. Dengan begitu jika ia mati meninggalkan ibu dan saudara
laki-laki ibu maka ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan sisanya untuk saudara
laki-laki ibunya. Kedua, ibunya menjadi 'ashabah, maka semua harta menjadi miliknya
dengan jalan 'ashabah.
Menurut pendapat seluruh ulama, 'aul itu dibenarkan dan diamalkan. Apabila
bagian-bagian itu melebihi saham peninggalan, maka dikurangilah bagian masing-
masing dari mereka, yaitu menurut besar kecilnya hak mereka. Lalu, masalah itu di-'aul-
kan, kemudian dibagi menurut 'aul tersebut, Sesudah itu, diberikan kepada pemilik
saham menurut kadar sahamnya dengan cara 'aul. Sebagaimana utang, jika melebihi
jumlah harta peninggalan, maka dibagi peninggalan tersebut menurut bagian-bagiannya,
dan masing-masing bagian dikurangi menurut kadar utangnya.
Sungguh telah terjadi ijma dalam masa pemerintahan 'Umar bin al-Khaththab
r.a. atas yang demikian. Kemudian, Ibn al-'Abbas menyalahi dan mengingkari ijma
tersebut sesudah 'Umar wafat. Ibn al-'Abbas r.a. menyatakan bahwa 'aul adalah batal.
Kemudian, ditanyakan orang kepadanya, "Kenapa tuan tidak mengemukakannya kepada
'Umar?" Ibn al-'Abbas menjawab, ''Aku takut, sebab ia adalah orang yang ditakuti."
Lalu, dikatakan kepadanya, "Pendapat tuan beserta pendapat jamaah adalah lebih kami
sukai daripada pendapat tuan sendiri."
Para imam mazhab sepakat bahwa 'aul hanya pada pokok-pokok masalah,
yaitu tiga, enam, dua belas dan dua puluh enam.
Anak yang keguguran jika terdengar tangisan ketika lahirnya, maka tidak
diberikari warisan dan tidak diambil waris darinya, meski pun ia bergerak dan bernapas
kecuali jika agak lama ia bernapas atau sampai disusui. Demikian menurut pendapat
Maliki dan Hambali. Sedang jika ia bersin, maka menurut pendapat Maliki, ada dua
riwayat. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Jika ia bergerak, bernapas, atau bersin maka
diberikan waris dan diambil warisan darinya.
Orang banci (khuntsa), yaitu seseorang yang memiliki kemaluan wanita dan
kemaluan pria, musykil. Menurut pendapat Hanafi dalam satu riwayat yang masyhur:
Apabila ia kencing dari zakarnya (kemaluan laki-laki) maka ia dihukumi laki-laki, dan
jika keluarnya dari faraj-nya (kemaluan wanita) maka ia dihukumi perempuan.
Sedangkan jika keluar dari keduanya maka ditunggu tumbuhnya janggut atau
menyetubuhi perempuan. Jika demikian halnya, ia dihukumi sebagai laki-laki. Atau jika
ia mengeluarkan air susu, disetubuhi faraj-nya, atau haid maka ia dihukumi sebagai
perempuan. Jika semua itu tidak tampak sama sekali maka ia dihukumi musykil. Ia
ditetapkan mendapatkan warisan dengan warisan yang diberikan kepada perempuan.
Seperti ini juga pendapat Syafi’i. Namun, ia berbeda dengan Hanafi dalam
mewarisinya. Menurut pendapat Syafi’i : Anak laki-laki mendapat seperdua bagian,
sedangkan banci mendapat sepertiga bagian. Seperenam bagian sisanya dibekukan
hingga jelas jenis kelamin banci itu atau berdamai.
Maliki dan Hambali mengatakan: Ia diberi warisan menurut keluarnya air
kencing. Jika keluar air kencing dari keduanya (faraj dan zakar) maka dilihatlah mana
yang lebih dulu. Jika bersamaan maka dilihat yang lebih banyak, kemudian warisan
diberikan berdasarkan hal itu. Jika keadaannya tidak dapat dipastikan, misalnya
seseorang meninggalkan seorang anak laki- laki dan seorang banci musykil, maka yang
banci musykil diberi separuh bagian sebagai waris laki-laki dan separuh waris
perempuan. Dengan demikian, anak laki-laki mendapat sepertiga bagian harta dan
seperempatnya. Sedangkan banci musykil mendapat seperempat bagian harta dan
seperenamnya.
WASIAT
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang sahnya menikahkan seseorang
yang sedang sakit yang membawa kematiannya, Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i ,
dan Hambali: Sah. Maliki berpendapat: Tidak sah menikahkan seseorang dalam
keadaan sakit gawat. Jika ia tetap menikahkan maka pernikahannya dianggap batal dan
hams talak, baik sudah bercampur maupun belum.
Apabila ternyata ia sembuh, apakah nikahnya dihukumi batal atau sah? Maliki
dalam masalah ini mempunyai dua pendapat.
Apabila seseorang mempunyai tiga anak laki-laki. Lalu, ia berwasiat untuk
orang lain sebanyak bagian salah seorang di antara mereka. Maka, ia berhak menerima
seperempat bagian, Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i , dan Hambali. Maliki
berpendapat: Ia berhak menerima sepertiga bagian saja.
Apabila orang tersebut mewasiatkan seluruh hartanya, sedangkan ia pun tidak
mempunyai ahli waris, maka wasiatnya dianggap sah. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya. Menurut pendapat Syafi’i , satu
riwayat Maliki, dan riwayat lain dari Hambali: Wasiatnya tidak sah kecuali sepertiga
saja.
Apakah boleh orang yang dipercaya mengurus wasiat membeli sesuatu untuk
dirinya dari harta anak yatim? Hanafi berpendapat: Boleh, kalau dibeli dengan harga
yang lebih dari harga biasa. Jika ia membeli dengan harga umum, maka tidak boleh.
Maliki berpendapat: Boleh, jika dibeli dengan harga umum. Syafi’i berpendapat: Tidak
boleh secara mutlak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih masyhur
menyatakan tidak boleh. Sedangkan pendapat lainnya adalah jika diwakilkan orang lain,
maka boleh.
Apabila orang yang dipercaya mengurus wasiat mengaku bahwa ia telah
menyerahkan harta kepada anak yatim sesudah balig maka pengakuannya dapat
diterima berdasarkan sumpahnya. Pengakuannya diterima, sebagaimana diterimanya
jika ia mengaku bahwa harta wasiat musnah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
Hambali. Maliki dan Syafi’i mengatakan: Pengakuan orang tersebut tidak dapat
diterima, kecuali disertai pembuktian.
Berwasiat untuk membunuh dibenarkan oleh Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang paling sahih: Sah.
Apabila seseorang berwasiat untuk masjid maka wasiatnya adalah sah. Demikian
menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Hanafi berpendapat: Tidak sah,
kecuali jika ia mengatakan: "dibelanjakan untuk kepentingan masjid".
Jika seseorang berwasiat untuk keluarga si fulan maka tidak termasuk
kedalamnya melainkan yang laki-laki saja. Demikian menurut kesepakatan Para imam
mazhab. Mereka mendapat bagian yang sama. Sedangkan jika diwasiatkan untuk anak-
anak si fulan maka termasuk kedalamnya laki-laki dan perempuan, dan mereka pun
mendapat bagian yang sama.
Jika orang yang dipercaya mengurus wasiat adalah seorang yang kaya. Apakah
boleh ia memakan dari harta anak yatim ketika diperlukan? Menurut pendapat mazhab
Hambali: Tidak boleh, meskipun dengan cara utang dan sebagainya. Syafi’i dan
Hambali mengatakan: Boleh memakannya sekadar upahnya dan mencukupi baginya.
Apabila ia seorang yang berpunya, apakah ia harus menggantinya? Dari
Hambali diperoleh dua riwayat. Dari Syafi’i juga ada dua pendapat. Maliki
berpendapat: Jika ia seorang yang kaya, hendaknya memelihara diri dari memakannya.
Sedang jika ia seorang yang fakir, hendaknya ia memakannya dengan cara yang pantas,
yakni sekadar upahnya saja.
NIKAH
Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Orang yang sudah berkeinginan untuk nikah dan khawatir terjerumus ke dalam
perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah
lebih utama daripada haji, shalat, jihad dan puasa sunnah. Demikian menurut
kesepakatan Para imam mazhab.
Bagi orang yang sudah sangat berkeinginan untuk menikah dan mempunyai
persiapan mustahab untuk melaksanakan nikah. Demikian menurut pendapat Maliki
dan Syafi’i. Hambali berpendapat: Orang yang sangat berkeinginan untuk menikah dan
khawatir berbuat zina wajib menikah. Adapun, menurut pendapat Hanafi: Dalam
keadaan apa pun nikah adalah mustahab, dan menikah lebih utama daripada tidak
menikah untuk beribadah.
Dawud berpendapat: Diwajibkan menikah secara mutlak atas laki-laki dan
perempuan seumur hidup sekali.
Apabila seseorang hendak menikahi seorang perempmm, maka disun- nahkan
melihat wajah dan kedua telapak tangan perempuan itu. Demikian menurut kesepakatan
Para imam mazhab.
Menurut Dawud, ia diperbolehkan melihat seluruh tubuhnya kecuali faraj dan
dubur.
Pendapat yang paling sahih dalam mazhab Syafi’i adalah dibolehkan melihat
kemaluan istrinya dan budak perempuannya, demikian juga sebaliknya. Seperti ini pula
pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Menurut pendapat umumnya fuqaha: Tidak sah suatu pernikahan melainkan oleh
orang yang sudah diperbolehkan mengendalikan urusannya. Hanafi berpendapat: Sah
pernikahan yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz dan safih (belum dapat
mengendalikan urusannya) jika dibenarkan oleh walinya.
Wali selain ayah diperbolehkan menikahkan anak yatim yang belum balig jika
orang itu adalah pemeliharanya, seperti ayahnya sendiri. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Maliki, dan Hambali. Syafi’i menolak pendapat demikian.
Tidak sah pernikahan budak tanpa izin dari tuannya. Demikian menurut
pendapat Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: Sah pernikahannya, dan tuannya
boleh membatalkannya. Hanafi berpendapat: Sahnya pernikahan budak bergantung
pada izin yang diberikan tuannya.
Pernikahan tidak sah kecuali ada wali laki-Laki. Oleh karena itu.jika seorang
perempuan mengakadkan dirinya sendiri untuk menikah maka pernikahannya tidak sah.
Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: Perempuan
boleh menikahkan dirinya sendiri dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain untuk
menikahkan dirinya jika ia telah dibolehkan menggunakan hartanya. Juga, tidak boleh ia
dihalang- halangi kecuali jika menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya. Jika
demjkian, maka walinya boleh menghalangi pernikahannya. Maliki berpendapat:Jika
perempuan itu mempunyai kemuliaan (bangsawan) dan cantik serta digemari orang
maka pernikahannya tidak sah, kecuali ada wali. Sedangkan jika keadaannya tidak
demikian maka ia boleh dinikahi orang lain yang bukan kerabat dengan kerelaan
dirinya.
Dawud berpendapat: Jika perempuan tersebut seorang gadis maka
pernikahannya tidak sah tanpa wali. Sedangkan jika perempuan itu seorang janda maka
sah pernikahannya meskipun tanpa wali.
Abu Tsawr dan Abu Yusuf mengatakan: Sah pernikahan perempuan tersebut
asalkan mendapat izin dari walinya.
Akan tetapi, jika ia menikah tanpa izin dari walinya, lalu keduanya mengadukan
pernikahan itu kepada hakim yang bermazhab Hanafi, dan hakim menetapkan sahnya
pernikahan tersebut, maka hakim yang bermazhab Syafi’i tidak boleh membatalkannya,
kecuali menurut pendapat Abu Sa'id al-Ishthakhri.
Jika ia dicampuri oleh suaminya sebelum hakim memutuskan hukumnya maka
suaminya tidak dikenai had, kecuali menurut pendapat Abu Bakar ash-Shairafi yang
menyatakan haramnya perbuatan tersebut sehingga ia dikenai had. Sedangkan jika ia
menalaknya sebelum hakim memutuskan hukumnya maka talaknya tidak sah, kecuali
menurut pendapat Abu Ishaq al- Marwazi, demi untuk kehati-hatian (ihti'yath).
Perempuan yang berada di suatu tempat, yang tidak ada hakim dan wali, maka
ada dua macam hukumnya. Pertama; ia boleh menikahkan dirinya sendiri. Kedua;
menyerahkan pernikahannya kepada orang lain yang beragama Islam.
Al-Mutadzhari berpendapat: Masalah yang demikian tidak ada dalam uskul
kami.
Abu Ishaq asy-Syirazi berpendapat: Dalam masalah ini, boleh memilih hukum
yang telah ditetapkan oleh seorang faqih di antara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip
bahwa diperbolehkan bertahkim dalam nikah.
Berwasiat untuk menikahkan seseorang diperbolehkan, dan pernikahan yang
dilaksanakan oleh orang penerima wasiat adalah lebih berhak. Demikian menurut
pendapat Maliki. Menurut pendapat Hanafi: Orang yang menikahkan adalah hakim.
Syafi’i berpendapat: Tidak ada kekuasaan bagi orang penerima wasiat untuk
menikahkan selama masih ada wali.
Dibolehkan mengutus wakil untuk menikahkan. Abu Tsawr berpendapat: Tidak
boleh mengutus wakil dalam masalah pernikahan.
Kakek lebih berhak menjadi wali daripada saudara laki-laki. Maliki
berpendapat: Saudara laki-laki lebih berhak daripada kakek.
Saudara lebih utama menjadi wali daripada ayah, saudara Laki-laki kandung
lebih utama daripada saudara laki-laki seayah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, Maliki berpendapat: Antara saudara sekandung
dan saudara seayah sama saja.
Menurut pendapat Syafi’i , anak tidak boleh menjadi wali atas ibunya. Hanafi,
Maliki, dan Hambali mengatakan: Sah. Bahkan, Maliki dan Abu Yusuf mendahulukan
anak atas bapak. Hambali berpendapat: Ayah lebih utama daripada anak. Adapun,
mengenai mana yang lebih utama antara anak dan kakek, dari Hambali ada dua
riwayai, dan seperti itu pula pendapat Hanafi.
Tidak dibolehkan seorang yang fasik menjadi wali. Demikian menurut pendapat
Syafi’i dan Hambali Sebagian sahabatnya berpendapat: Jika yang menjadi wali adalah
ayah dan kakeknya yang fasik maka tidak sah perwaliannya. Sedangkan jika orang lain
selain keduanya, yang masih mempunyai hubungan nasab, maka diperbolehkan
meskipun fasik.
Hanafi dan Maliki mengatakan: Kefasikan tidak menghalangi perwalian.
Apabila wali yang paling dekat (yang lebih berhak menjadi wali) tempatnya
jauh, yaitu di suatu tempat yang jauhnya sama dengan jarak bolehnya mengerjakan
shalat qashar, datang kepadanya maka yang menikahkan adalah hakim, bukan wali yang
jauh dalam urutan mereka yang berhak menjadi wali. Demikian menurut pendapat
Syafi’i.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan:Jika jauhnya tidak dapat dijangkau
dengan suatu perjalanan maka perwalian berpindah kepada wali berikutnya. Sedangkan
jika jauhnya dapat dijangkau dengan suatu perjalanan maka tidak boleh berpindah
kepada wali berikutnya.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Jarak yang tidak dapat dijangkau adala
hjarak yang jauhnya setahun perjalanan dengan unta.
Apabila wali bagi seorang gadis yang hendak menikah pergi jauh dan tidak
diketahui berita dan tempatnya maka saudaranya menjadi wali. Hal ini dapat dibenarkan
jika mendapat izin dari gadis tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Hanafi dan
para sahabatnya. Sedangkan Syafi’i tidak membolehkannya.
Bagi ayah dan kakek boleh menikahkan anaknya atau cucunya yang masih gadis
tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu dari gadis tersebut, baik gadis itu sudah
dewasa maupun masih kecil. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Maliki dalam
masalah ayah saja. Ini pula pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya dalam
masalah kakek.
Hanafi berpendapat: Menikahkan gadis yang sudah balig dan berakal tanpa ada
kerelaannya maka tidak diperbolehkan bagi siapapun. Menurut pendapat Maliki dan
Hambali dalam riwayat lainnya: Kakek tidak mempunyai hak memaksa. Selain ayah
tidak diperbolehkan menjkahkan perempuan yang. masih kecil hingga ia balig dan
memberi izin, Hanafi berpendapat: Bagi semua 'ashabah diperbolehkan untuk
menikahkannya, tetapi gadis mempunyai hak pilih jika sudah dewasa antara
meneruskan dan membatalkan pernikahan tersebut.
Abu Yusuf berpendapat: Akad mereka tetap sah.
Seorang gadis yang hilang kegadisannya karena suatu persetubuhan, meskipun
persetubuhan yang haram, tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, meskipun ia
telah dewasa. Jika ia masih kecil, hendaknya ditunggu hingga dewasa dan ia pun
mengizinkannva, Berdasarkan inilah, jika keperawanan hilang sebelum ia dewasa maka
ia tidak boleh dinikahkan hingga menjadi dewasa, baik yang menikahkannya itu
bapaknya maupun lainnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i .
Hambali berpendapat: Jika ia sudah berumur sembilan tahun maka sah izinnya,
baik yang ada hubungannya dengan pernikahan maupun dengan yang lainnya.
Seseorang yang menjadi wali bagi seorang perempuan, baik dengan sebab
hubungan nasab, perwalian, maupun berdasarkan hukum, dibolehkan menikahkan
perempuan tersebut untuk dirinya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Kebolehan itu bersifat mutlak.
Hambali berpendapat: Hendaknya diwakilkan kepada orang lain agar ia tidak
menjadi orang yang melakukan ijab dan qabul sekaligus. Syafi’i berpendapat: Ia tidak
boleh melakukan qabul untuk dirinya sendiri maupun diwakilkan kepada orang lain,
tetapi dinikahkan oleh hakim lainnya, walaupun wakilnya.
Tetapi sebagian sahabat Syafi’i membolehkannya. Hal ini pernah di lakukan
oleh Abu Yahya al-Balkhi, seorang qadhz (hakim) di Damaskus, yaitu ia pernah
menikah dengan seorang perempuan yang berada dalam perwaliannya.
Seseorang yang mempunyai anak perempuan yang masih kecil diperbolehkan
mewakilkan kepada calon menantunya untuk menikahkan anak tersebut kepadanya.
Demikian menurut pendapat Hanafi, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan
Maliki.
Apabila wali dan perempuan yang akan dinikahkan sepakat untuk dinikahkan
dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, maka akad nikahnya adalah sah. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berpendapat : Tidak sah.
Apabila salah seorang wali menikahkan seorang perempuan yang berada di
bawah perwaliannya, dengan seizin perempuan tersebut, dengan seorang laki-laki yang
tidak sepadan, maka tidak sah akadnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i . Maliki
berpendapat: Baikpara wali setuju maupun tidak, sama saja. Akadnya tetap sah. Apabila
perempuan tersebut mengizinkan untuk dinikahkan dengan seorang Muslim maka tidak
seorang pun di antara para walinya yang berhak mencegahnya.
Hanafi berpendapat: Pernikahannya tetap sah.
Menurut pendapat Hanafi dan Maliki, apabila seseorang memerdekakan
seorang budak, dan budak itu hendak menikah, maka dibolehkan bekas tuan itu menjadi
wali dalam pernikahannya.
Menurut pendapat Syafi’i , kekufuan dalam pernikahan ada lima:
1. agama;
2. nasab;
3. pekerjaan;
4. merdeka;
5. bebas dari cacat.
Sebagian sahabat Syafi’i mensyaratkan kekayaan
Pendapat Hanafi juga seperti pendapat Syafi’i . Namun, Abu Hanifah tidak
mensyaratkan bebas dari cacat. Sedangkan Muhammad bin al-Hasan tidak
mensyaratkan agama dalam masalah kekufuan. Maliki berpendapat: Sekufu hanya
dalam agama.
Ibn Abi Laila berpendapat: Kekufuan adalah dalam agama, nasab dan kekayaan.
Seperti ini juga sebuah riwayat dari Hanafi. Abu Yusuf mengatakan bahwa semua itu
ditambah dengan pekerjaan. Ini pula satu riwayat lain Hanafi.
Dari Hambali diperolehdua riwayat.Pertama, sepertipendapat Syafi’i. Kedua,
Hambali mensyaratkan agama dan pekerjaan saja dalam kekufuan.
Adapun, masalah perbedaan usia, para sahabat Syafi’i mempunyai dua pendapat,
dan yang paling sahih: Laki-laki tua tidak sah menikah dengan perempuan muda.
Apakah ketidak sekufuan dapat menyebabkan pernikahan menjadi batal? Hanafi
berkata: Para wali wajib menghalanginya. Maliki berkata: Pernikahannya batal.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, dan yang paling sahih adalah membatalkan,
kecuali jika pernikahan tersebut mendapat ridha dari istri dan para walinya.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas adalah batal.
Apabila seorang perempuan minta dinikahkan dengan seorang laki- laki sekufu
dengan mahar yang kurang dari mahar mistl, maka wali wajib menikahkannya.
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i , Hambali, Abu Yusuf, dan Muhammad
bin al-Hasan. Hanafi berkata: Tidak wajib menikahkannya.
Menikah dengan seseorang yang tidak sekufu dalam hal nasab adalah tidak
haram. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Apabila ayah atau kakek menikahkan anak atau cucu yang masih kecil dengan
mahar yang kurang dari mahar mistl, maka hendaknya dipenuhi dengan mahar mistl-
nya. Demikian juga jika ia menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan
mahar yang lebih banyak dari mahar pada umumnya, maka hendaknya dibayar dengan
mahar yang umum saja. Demikian menurut pendapat Syafi’i .
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Wajib dibayar dengan mahar sesuai
dengan yang disebutkan.
Apabila wali yang dekat dalam urutan perwalian masih ada maka wali yang jauh
tidak sah menikahkan. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi'i, dan Hambali.
Maliki berkata: Pernikahan itu sah, kecuali jika yang dilangkahi adalah ayah
yang mempunyai hak memaksa terhadap gadis. Demikian juga penerima wasiat, jika
yang dilewati adalah mereka maka wali yang jauh tidak sah menikahkan.
Apabila seorang perempuan dinikahkan oleh dua orang wali dengan seizinnya
kepada dua orang laki-laki,dan diketahui mana yang lebih dahulu, maka pernikahan
keduaadalah batal. Demikian menurut Syafi’i , Hanafi, dan Hambali.
Maliki berkata:Jika telah dicampuri oleh laki-laki kedua, sedangkan ia tidak
mengetahui adanya pernikahan yang pertama, maka pernikahan pertama batal dan yang
kedua sah. Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian maka
pernikahannya batal.
Apabila seseorang berkata, "Si fulanah adalah istriku ", dan hal itu dibenarkan
oleh perempuan tersebut, maka pernikahannya sah. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Maliki berkata: Pernikahan tidak dapat ditetapkan hingga terlihat berulang kali
ia keluar-masuk dari tempat tinggal perempuan tersebut, kecuali jika mereka dalam
suatu perjalanan.
Pernikahan tidak sah kecuali ada saksi. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Syafi'i, danHambali. Maliki berkata: Pernikahan tetap sah meskipun tidak ada saksi.
Namun Malik mewajibkan adanya pengumuman pernikahan. Dengan demikian,
jika terjadi akad nikah secara rahasia dan disyaratkan tidak diumumkan, maka
pernikahan tersebut menjadi batal. Demikian menurut pendapat Maliki.
Dalam hal ini, menurut Hanafi, Syafi’i , dan Hambali, syarat tidak diumumkan
tidak merusak pernikahan tersebut asalkan akad nikah disaksikan oleh dua orang saksi.
Pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua perempuan, atau oleh
saksi yang fasik, maka hukumnya sah. Demikian menurut pendapat Hanafi. Menurut
pendapat Syafi’i dan Hambali: Pernikahan tidak sah jika tidak disaksikan oleh dua
orang saksi laki-laki yang adil.
Apabila seorang laki-laki Muslim menikah dengan perempuan dzimmi maka
pernikahan tersebut tidak sah, kecuali disaksikan oleh dua orang Muslim. Demikian
menurut pendapat Maliki, Syafi’i , dan Hambali. Hanafi berkata: Sah dengan
disaksikan dua orang dzimmi saja.
Khutbah dalam pernikahan bukan merupakan syarat. Demikian menurut
pendapat seluruh fuqaha, kecuali Dawud yang menyatakan bahwa khutbah nikah
merupakan syarat, yaitu ketika akad, berdasarkan apa yang dikerjakan oleh Nabi Saw.
Perikahan tidak sah kecuali dengan menggunakan lafaz tazwij atau nikah.
Demikian menurut Syafi'i dan Hambali. Hanafi berpendapat: Pernikahan adalah sah
dengan setiap lafaz yang menunjukkan pada memberi hak milik yang kekal selama
hidup. Adapun, dalam menggunakan lafaz ijararah, Hanafi mempunyai dua pendapat.
Maliki berpendapat: Pernikahan adalah sah dengan menggunakan selain lafaz
tazwij atau nikah asalkan disebutkan maharnya.
Apabila seseorang mengatakan zawwajtu binti min fulan (aku nikahkan anak
perempuanku dengan si fulan), kemudian sampai berita tersebut kepada orang yang
telah disebutkan namanya, lalu orang itu menjawab, qabiltu an-nikah (kuterima
pernikahan itu), maka pernikahan tersebut tidak sah. Demikian menurut pendapat
umumnya para fuqaha.
Abu Yusuf berpendapat: Sah nikahnya.
Kalau orang tersebut mengatakan, zawwajtuka binti (aku nikahkan anakku
denganmu), lalu orang itu menjawab, qabiltu (aku terima), maka Syafi’i memiliki
pendapat. Pendapatnya yang paling sahih: Tidak sah hingga orang tersebut mengatakan,
qabiltu nikahaha atau qabiltu tazwijaha (aku terima pernikahkannya).
Pendapat Syafi'i yang lain: Sah. Seperti ini juga pendapat Hanafi dan Hambali.
Menurut Hambali, tidak dibolehkan orang Islam menikahkan perempuan ahli
kitab dengan wali ahli kitab juga. Sedangkan menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i : Boleh.
Majikan budak tidak boleh memaksa budaknya yang telah dewasa untuk
menikah. Demikian menurut pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya, dan Hambali.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan pendapat Syafi’i dalam qaul qadim:
Sah.
Hakim dibolehkan untuk melakukan pemaksaan kepada majikan budak untuk
menjual budaknya atau menikahkannya apabila si budak menginginkannya. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan salah satu pendapat Syafi’i . Sedangkan menurut
pendapat Hambali: Tidak boleh dipaksa.
Diharuskan seorang anak menikahkan orangtuanya untuk memelihara dirinya
dari kemaksiatan. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan salah satu riwayat dari
Hambali. Hanafi dan Miliki mengatakan: Tidak diharuskan.
Menurut pendapat Syafi’i : Diharuskan cucu menikahkan kakeknya, baik kakek
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Dibolehkan seorang majikan dari seorang budak menikahkan ummul walad
(ibunya seorang budak yang dinikahi majikannya) tanpa keridhaannya. Demikian
menurut Hanafi, Hambali dan pendapat Syafi’i yang paling sahih.
Apabila seorang majikan budak berkata kepada budaknya "Saya merdekakan
engkau, dan kemerdekaan itu menjadi mahar bagimu", maka pernikahannya tidak sah.
Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, Syafi’i. Sedangkan dari Hambali
diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat di atas. Kedua, sah kemerdekaan
tersebut menjadi mahar baginya.
Adapun, tentang kemerdekaannya lantaran tuannya mengatakan demikian adalah
sah. Demikian menurut ijma Para imam mazhab.
Menumt pendapat Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali: Apabila seorang
budak mengatakan kepada tuannya, "Merdekakan aku dengan cara tuan menikahiku,
dan kemerdekaan itu menjadi mahar bagiku", kemudian tuannya memerdekakan budak
itu, maka sahlah pemerdekaannya.
Adapun, mengenai pernikahnya, menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i
: Hal itu terserah kepada perempuan, artinya ia boleh bersuamikan mantan tuannya
ataupun tidak. Jika ia memilih bersuamikan mantan tuannya, maka ia harus menerima
mahar yang lain. Sedangkan, jika ia tidak mau bersuamikan mantan tuannya maka ia
tidak dikenai kewajiban apapun. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i berkata:Jika ia tidak mau bersuamikan man tan tuannya, ia harus
membayar harga pemerdekaannya kepada tuannya. Hambali berkata: Perempuan itu
menjadi merdeka dan harus membayar pemerdekaannya. Tetapi jika sama-sama mau
melakukan akad maka kemerdekaannya itu menjadi maharnya, dan ia tidak dikenai
kewajiban yang lain
KEHARAMAN DALAM NIKAH
Apabila seorang telah menikahi seorang anak perempuan maka haram baginya
menikahi ibu anak perempuan itu untuk selama-lamanya. Demikian menurut pendapat
Para imam mazhab.
Diriwayatkan dari 'Ali r.a. dan Zaid bin Tsabit r.a. bahwa keharaman menikahi
ibu perempuan itu adalah jika anaknya yang dinikahi telah dicampuri. Pendapat ini juga
diterima dari Mujahid.
Zaid bin Tsabit berpendapat: Jika ia menalak perempuan itu sebelum dicampuri,
maka ia boleh menikahi ibu anak tadi. Sedangkan jika anak perempuan meninggal
sebelum dicampuri maka ia tidak boleh menikahi ibunya. Kematian sama dengan
percampuran dalam masalah ini, menurut Zaid bin Tsabit.
Para imam mazhab sepakat apabila ibu dari seorang perempuan yang dinikahi
dan telah dicampuri maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang
menikahi ibunya, meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya.
Dawud berkata: Jika anak perempuan tersebut tidak berada di bawah
kekuasaannya maka ia boleh dinikahi.
Keharaman perempuan mushaharah, yaitu muhrim karena hubungan
perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada kemaluannya. Jika terjadi
percampuran tidak pada kemaluannya, tetapi dengan dorongan syahwat, maka apakah
keharamannya dapat bergantung pada hal terse but? Hanafi berkata: Hal demikian bisa
mengakibatkan keharamannya. Bahkan, ia pun berkata: Melihat kemaluan sama dengan
bercampur dalam hal keharaman menikahi mushaharah.
Wanita pezina (pelacur) boleh dinikahi. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i .
Hambali berpendapat: Haram menikahinya sebelum bertobat terlebih dahulu.
Orang yang berzina dengan seorang perempuan tidak diharamkan menikahi
perempuan tersebut, begitu pula menikahi ibu dan anaknya. Demikian menurut
pendapat Maliki dan Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi: keharaman mushaharah
bergantung pula pada perzinaan. Hambali menambahkan; Apabila seorang laki-laki
melakukan hubungan sejenis (homo seksual) dengan laki-laki lain maka ia diharamkan
menikahi ibu dan anak perempuannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa apabila seorang perempuan berbuat zina
maka pernikahannya tidak batal. Namun, diriwayatkan dari ‘Ali r.a dan al-Hasan al-
Bashri bahwa dalam hal demikian, pernikahan itu menjadi batal.
Apabila seseorang berzina, kemudian ia menikah, maka suaminya boleh
langsung mencampurinya tanpa 'iddah. Akan tetapi jika ia hamil maka makruh
menyetubuhinya hingga ia melahirkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i
Maliki dan Hambali mengatakan: Diwajibkan atasnya menunggu masa 'idah,
dan diharamkan atas suaminya menyetubuhinya hingga habis masa ‘iddah-nya.
Abu Yusuf berpendapat: Apabila perempuan itu hamil maka haram menikahinya
hingga ia melahirkan. Sedangkan jika ia tidak hamil maka tidak haram menikahinya dan
ia pun tidak perlu menunggu masa 'iddah.
Apakah boleh menikahi anak sendiri dari hasil perzinaan?
Hanafi dan Hambali mengatakan: Tidak halal menikahi anak sendiri dari hasil
perzinaan. Syafi’i berpendapat: Boleh, tetapi makruh. Dari Maliki diperoleh dua
pendapat. Pertama, tidak boleh. Kedua, Boleh.
Para imam mazhab sepakat tentang haramnya mengumpulkan dua perempuan
bersaudara (kakak beradik) untuk dinikahi dalam satu masa. Juga, diharamkan menikahi
seorang perempuan beserta bibinya, baik bibinya dari pihak bapak maupun dari pihak
ibu. Demikian juga, diharamkan menyetubuhi dua perempuan kakak beradik yang
dimiliki dengan jalan perbudakan.
Dawud berpendapat: Tidak diharamkan mengumpulkan dua saudara perempuan
yang dimiliki denganjalan perbudakan untuk dicampuri.
Hanafi berpendapat: Sah menikahi seorang perempuan sesudah menikahi
saudaranya. Namun, tidak dihalalkan menyetubuhinya sebelum mengharamkan
persanggamaan dengan saudaranya yang telah dinikahi terlebih dahulu.
Barangsiapa yang masuk Islam, sementara ia mempunyai istri lebih dari empat
orang, maka ia harus memilih empat orang di antara mereka untuk dijadikan istri
tetapnya. Jika diantara istri-istrinya ada yang bersaudara (kakak beradik), maka ia harus
menceraikan salah satunya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Jika pernikahan dengan lebih dari empat istri tersebut
terjadi dalam satu keadaan, maka akad pernikahannya batal. Sedangkan jika terjadi
dalam beberapa akad maka sah pernikahannya dengan empat orang istri yang pertama
saja. Demikian pula halnya dengan dua saudara kakak beradik yang telah dinikahi.
Jika salah seorang suami istri keluar dari agama Islam (murtad) maka secepatnya
bercerai secara mutlak, baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudahnya.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Syafi’i dan Hambali berpendapat:
Jika murtadnya sebelum terjadi bercampm harus secepatnya bercerai. Namun, jika
murtadnya sesudah bercampur hendaknya ditunggu hingga 'iddah-nya selesai.
Apabila suami istri itu sama-sama murtad maka hukumnya seperti ketika terjadi
murtad salah satu diantara mereka, yaitu terjadi keduanya bercerai.
Hanafi berpendapat. Tidak bercerai.
Pernikahan orang kafir dengan orang kafir adalah sah. Pernikahannya
bergantung pada hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum-hukum yang berlaku
bagi kaum Muslim. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali,
sedangkan Maliki berpendapat: pernikahannya batal.
Bolehnya seorang Laki-laki merdeka menikahi budak perempuan dengan syarat
berikut:
1. Takut terjerumus ke dalam perzinaan;
2. Tidak ada kesanggupan untuk menikahi perempuan merdeka.
Empat mazhab sepakat bahwa nikah mut'ah adalah batal. Yang mana pernikahan
itu adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selama batas waktu tertentu.
Umpamanya, seseorang mengatakan, 'Aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu
tahun," dan sejenisnya.
Nikah mut'ah, selain tidak sah, telah dihapus hukumnya oleh ijma para ulama
dahulu dan kemudian. Namun, mazhab Syi'ah memandangnya sah. Demikian itu,
berdasarkan riwayat dari Ibn al-'Abbas. Tetapi, yang sahih menurutnya bahwa nikah
mut'ah adalah batal.
Akan tetapi, menurut pendapat Zufar, salah seorang ulama pengikut Hanafi,
syaratnya adalah gugur, sedangkan nikahnya adalah sah, yakni berlaku untuk selama-
lamanya. Hal itu jika disebutkan lafaz ankahtu (aku menikahi...).Jika memakai lafaz
tamatta'tu (aku bersenang-senang ... ) adalah tidak sah.
Nikah shighar adalah batal. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Maliki, dan
Hambali. Pernikahan itu adalah seseorang meminta kepada orang lain untuk
menikahkan saudara perempuannya dengannya, dan orang lain tersebut dijanjikan akan
dinikahkan dengan saudara perempuannya tanpa mahar.
Hanafi berpendapat: Pernikahannya sah, sedangkan maharnya batal. Apabila
seorang perempuan yang ditalak tiga menikah lagi dengan orang lain, dengan maksudu
ntuk menghalalkan pernikahan dengan mantan suaminya yang pertama, dengan
memakai syarat apabila terjadi persetubuhan dengannya maka jatuh talak, maka
pernikahan semacam ini adalah sah. Namun, syaratnya gugur. Demikian menurut
pendapat Hanafi. Adapun, mengenai halalnya istri tersebut bagi mantan suaminya yang
pertama, Hanafi mempunyai dua riwayat.
Sedangkan menurut pendapat Maliki: Tidak halal bagi suami pertama, kecuali
sesudah terjadi pernikahan yang sah yang dilakukan atas dasar kesenangan kedua belah
pihak, bukan bertujuan untuk menghalalkan pernikahan dengan mantan suami pertama,
dan telah disetubuhi suami kedua dalam keadaan.suci, tidak dalam keadaan haid. Jika
pernikahan itu dimaksudkan untuk menghalalkan atau disyaratkan demikian maka
akadnya rusak, dan ia tidak halal bagi suami yang kedua.
Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih:
Pernikahannya tidak sah. Hambali berpendapat: Tidak sah secara mutlak.
Adapun, pernikahan tanpa mensyaratkan demikian, hanva bercita-cita saja, maka
nikahnya sah. Demikian mcnurut pendapat Hanafi. Menurut pendapat Syafi’i : Sah,
tetapi makruh. Sedang menurut pendapat Maliki dan Hambali: Tidak sah.
Pernikahan dengan syarat jangan dimadu atau jangan pindah dari negerinya atau
dari rumahnya, ataujangan diajak berkelana, maka pernikahannya adalah sah, dan
semua syaratnya itu tidak wajib dipenuhi. Selain itu, perempuan tersebut berhak
memperoleh mahar mitsl; karena syarat tersebut mengharamkan yang halal. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berpendapat: Pernikahannya adalah sah, dan syaratnya harus dipenuhi.
Jika ia menyalahi syaratnya, maka istri boleh memilih untuk menceraikan dirinya.
KHIYAR DALAM NIKAH DAN PENOLAKAN KARENA CACAT
Telah dijelaskan dalam hadis sahib bahwa Rasulullah Saw. membagi tidur di
antara para istrinya secara bergiliran.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, membagi tidur hukumnya adalah
wajib jika istrinya lebih dari satu. Sedangkan jika istri hanya seorang maka tidak ada
pembagian tidur. Dengan demikian, apabila suami bermalam pada satu istri, maka ia
wajib bermalam pada istri lainnya secara bergiliran.
Menurut ijma para mujtahid, persanggamaan dengan para istri tidak wajib sama,
melainkan sunnah saja. Jika salah seorang di antara istri-istrinya tidak suka maka suami
tidak berdosa. Akan tetapi, disunnahkan tidak membiarkannya, yakni membiarkannya
tidak dicampuri.
Menurut kesepakatan Para imam mazhab, istri yang nusyuz (tidak taat kepada
suami) hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah masing-masing
suami istri wajib berlaku yang baik terhadap pasangannya dan. masing-masing wajib
memenuhi hak pasangannya dengan senang hati dan tidak menunjukkan kebencian.
Oleh karena itu, istri wajib taat kepada suaminya, tetap tinggal di rumah, dan suami
berhak melarangnya keluar dari rumah. Suami pun wajib membayar mahar serta
memberikan nafkah. Demikian menurut ijma Para imam mazhab.
Melakukan 'azl (menumpahkan air mani di luar kemaluan istri) adalah
dibolehkan, meskipun tanpa seizinnya. Demikian menurut pendapat mazhab Syafi’i
yang paling kuat. Tetapi, yang lebih utama adalah perbuatan yang demikian hendaknya
ditinggalkan.
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali: Tidak dibolehkan 'azl, kecuali
seizin istrinya.
Demikian juga menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali:
Tidak boleh melakukan 'azl terhadap istri budak dari seseorang yang merdeka,
kecuali seizin istrinya. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i: Boleh.
Apabila seseorang mempunyai istri baru dan perawan maka hendaknya ia tetap
di rumahnya selama tujuh hari. Sedangkan jika istri barunya itu janda maka lamanya
tinggal di dalam rumah adalah tiga hari. Sesudah itu, disamakan pembagian tidurnya
dengan istri yang lain. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak boleh mengistimewakan istri yang baru, melainkan
harus diperlakukan sama antara istri baru dan istri tua.
Apakah diperbolehkan suami mengadakan suatu perjalanan dengan mengajak
salah seorang istrinya tanpa diundi, padahal hal itu tidak disukai oleh istri-istri lainnya?
Hanafi berpendapat: Boleh. Dari Maliki ada dua riwayat. Pertama,
Seperti pendapat Hanafi. Kedua, Tidak dibolehkan kecuali ada kerelaan istri-
istri yang lain atau dengan cara diundi. Seperti ini juga pendapat Syafi’i dan Hambali.
Apabila suami tersebut tetap pergi mengajak salah seorang istrinya tanpa
mengundi atau tanpa kerelaan istri-istri yang lain maka ia wajib mengganti gilirannya.
Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki
mengatakan: Tidak wajib menggantinya.
KHULU'
Hukum khulu' tetap berlaku. Demikian menurut ijma Para imam mazhab.
Diriwayatkan bahwa Bakir bin 'Abdullah al-Muzani berpendapat: Hukum khulu'
telah dihapus (mansukh).
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang istri, apabila sudah tidak senang
lagi kepada suaminya lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulan, boleh
menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran (khulu). Sedangkan jika
mereka setuju untuk melakukan khulu' tanpa sebab apa pun maka hal itu diperbolehkan
dan tidak makruh.
Diriwayatkan bahwa az-Zuhri, 'Atha' dan Dawud berpendapat: Khulu' dalam hal
ini (tanpa sebab apa pun) adalah tidak sah.
Khulu dihukumi talak ba'in (boleh rujuk kembali). Demikian menurut pendapat
Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya serta Syafi’i dalam
qauljadid-nya.
Menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya yang dipandang jelas: Khulu'
adalah batal. la tidak mengurangi jumlah talak dan bukan talak. Demikian juga menurut
qaul qadim Syafi’i, yang dipilih oleh kebanyakan ulama pengikutnya, dengan syarat
istri menyebut lafaz khulu' dan tidak berniat talak.
Sedangkan menurut pendapat ketiga dari Syafi’i: Hal demikian tidak
mengurangi talak.
Apakah dimakruhkan khulu' yang kadarnya lebih banyak daripada besar mahar?
Hanafi berpendapat: Jika perempuan nusyuz maka dimakruhkan mengambil
lebih banyak dari jumlah mahar. Sedangkan jika dari pihak suami, maka dimakruhkan ia
mengambil sesuatu pun. Tetapi, mengambilnya adalah sah, tetapi makruh.
Hambali berpendapat: Dimakruhkan khulu' lebih besar dari jumlah mahar.
Apabila istri yang telah melakukan khulu' ditalak oleh suaminya maka talak
yang dijatuhkan dalam masa 'iddah adalah sah baginya. Demikian menurut pendapat
Hanafi.
Maliki berpendapat: Jika talak terjadi langsung sesudah terjadinya khulu', maka
jatuh talak kepada perempuan tersebut. Sedangkan jika ditalak sesudah ada selang
waktu maka perempuan tersebut tidak tertalak lagi.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Talak terse but tidak jatuh pada dirinya.
Melakukan khulu’ dengan syarat istri harus menyusui anaknya selama dua tahun
adalah diperbolehkan. Jika anak meninggal sebelum dua tahun maka istri membayar
harga penyusuan sebagai masa yang telah ditentukan. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali. Sedangkan dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, suami
tidak mendapat bayaran apa-apa. Kedua, sama dengan pendapat Hanafi dan Hambali.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, tugas penyusuan itu gugur, dan tidak
harus digantikan orang lain untuk disusutkan untuk menggenapi dua tahun.
Berdasarkan qauljadid dari Syafi’i, istri hendaknya mengembalikan mahar mitsl.
Sedangkan menurut qaul qadim-nya, hendaknya diperhitungkan upah penyusuan
tersebut.
Tidak dibolehkan bapak melakukan khulu' untuk anak perempuannya yang
masih kecil dengan mempergunakan harta anak tersebut. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Maliki berpendapat: Hal demikian dibolehkan. Seperti
ini pendapat para sahabat Syafi’i. Selain itu, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali, bapak tidak boleh menerima khulu' dari istri anaknya yang masih kecil.
Maliki berpendapat: Hal demikian dibolehkan.
Apabila seseorang istri mengatakan, "Talaklah aku dengan talak tiga, dengan
bayaran seribu rupiah," lalu suaminya menjatuhkan talak satu kali, maka suaminya
berhak memperoleh sepertiga dari seribu rupiah itu. Demikian menurut pendapat
Hanafi. Maliki berpendapat: Suami berhak atas seribu rupiah, baik menalak istrinya
dengan talak tiga maupun satu kali saja, karena dengan talak satu itu istri dapat
menguasai dirinya, sebagaimana ia menguasai dirinya dengan talak tiga.
Syafi’i berpendapat: Suami hanya berhak memperoleh sepertiga dari seribu, baik
ia menalak tiga maupun talak satu. Hambali berpendapat: Suami tidak berhak atas apa
pun, baik ia menjatuhkan talak satu maupun talak tiga Apabila istri mengatakan,
"Talaklah aku dengan talak satu, dengan pembayaran seribu rupiah, lalu suaminya
menalak tiga, maka istri pun tertalak tiga dan suaminya berhak atas seribu rupiah.
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Suami tidak berhak memperoleh apa pun dan istri tertalak
tiga.
Para imam mazhab sepakat bahwa khulu' tidak disertai istri hukumnya adalah
boleh. Seperti orang lain mengatakan kepada seorang suami, "Talaklah istrimu dengan
pembayaran seribu rupiah."
Abu Tsawr berpendapat: Khulu’ yang demikian adalah tidak sah
TALAK
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang Muslim apabila berkata kepada
istrinya, "Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku" maka ia dihukumi telah
men~zihar istrinya. Dengan demikian, ia tidak boleh menyetubuhinya hingga membayar
kafarah, yaitu memerdekakan seorang budak Jika ada. Jika tidak ada, maka ia wajib
berpuasa selama dua bulan berturut- turut. Jika tidak mampu, maka ia diwajibkan
memberi makan enam puluh orang miskin.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang zihar orang dzimmi.
Hanafi dan Maliki mengatakan: Tidak sah. Syafi’i dan Hambali mengatakan:
Sah.
Tidak sah zihar seorang tuan atas budak perempuannya. Demikian menurut
pendapat Para imam mazhab kecuali Maliki.
Para imam mazhab telah sepakat atas sahnya zihar budak yang kafarahnya
adalah puasa. Namun, Maliki membolehkan budak itu memberikan kafarah dengan
makanan jika tuannya mau menolong memberikan makanan untuk kafarahnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah seseorang yang
mengatakan kepada istrinya, "Engkau haram bagiku.
Hanafi berpendapat: Jika diniatkan talak maka terjadilah talak. Jika diniatkan
talak tiga maka jatuh talak tiga. Jika diniatkan talak satu atau talak dua maka jatuh satu
talak ba'in. Jika dimaksudkan untuk mengharamkan istrinya tanpa diniatkan apa-apa
maka tidak dianggap sumpah, dan ia dipandang sebagai orang yang bersumpah ila'. Jika
ia membiarkan istrinya lebih dari empat bulan maka jatuhlah talak ba'in. Jika diniatkan
zihar maka ia dihukumi sebagai orang yang menzihar istrinya. Jika diniatkan sumpah
maka jadilah sumpah. Terserah pada niatnya, berapa ia kehendaki, satu atau lebih, baik
istri tersebut sudah disetubuhi maupun belum.
Maliki berpendapat: Hal demikian dihukumi sebagai talak tiga jika istri tersebut
sudah disetubuhi. Sedangkan jika belum disetubuhi maka jatuh talak satu.
Syafi’i berpendapat: Jika diniatkan talak atau zihar maka ia dihukumi sesuai
dengan yang diniatkannya. Jika diniatkan sumpah maka tidak jadi sumpah, tetapi ia
dikenai kafarah sumpah.
Adapun jika tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua
pendapat. Pertama, ia tidak dikenai kewajiban apa-apa. Inilah pendapat yang paling
sahih. Kedua, ia dikenai kafarah sumpah.
Dari Hambali diperoleh tiga riwayat. Pertama, pendapat yang dipandang paling
kuat adalah jelas ucapan tersebut merupakan zihar, baik diniatkan zihar maupun tidak,
dan ia dikenai kafarah zihar. Kedua, hal demikian dianggap sumpah, dan ia dikenai
kafarah sumpah. Ketiga, hal demikian dihukumi sebagai talak.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang seseorang yang mengharamkan
makanan dan minumannya.
Hanafi dan Hambali mengatakan: Orang tersebut dihukumi bersumpah. Ia
dikenai kafarah jika melanggar sumpahnya. Ia bisa dianggap melanggar sumpah
meskipun hanya makan atau minum sebagiannya, tidak seluruhnya.
Syafi’i berpendapat: Jika ia mengharamkan makanan, minuman atau pakaian,
maka tidak apa-apa. Ia tidak dikenai kafarah apa-apa jika melanggarnya.
Adapun, jika ia mengharamkan budak wanitanya maka dalam hal itu Syafi’i
mempunyai dua pendapat. Pertama, ia tidak dikenai kewajiban apa pun. Kedua, Tidak
haram, tetapi ia dikenai kafarah sumpah. Inilah pendapat yang paling kuat.
Maliki berpendapat: Tidak haram atasnya sama sekali, dan ia tidak dikenai
kafarah.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah diharamkan orang yang
menzihar istrinya mencium dan menyetubuhi dengan syahwat?
Hanafi dan Maliki mengatakan: Haram. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan
qauljadid menyatakan: Boleh.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih jelas adalah
mengharamkan.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apabila orang yang sedang melakukan
puasa -kafarah zihar, menyetubuhi istrinya pada dua bulan itu, baik siang maupun
malam, karena lupa ataupun sengaja.
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya
yang jelas: Puasa harus dimulai kembali dari awal.
Syafi'i berpendapat: Jika menyetubuhinya pada malam hari, tidak diharuskan
mengulanginya kembali secara mutlak. Sedangkan jika menyetubuhinya pada siang hari
dan dengan sengaja, maka batal puasanya, dan harus diulang kembali dari awal, karena
ada nash Al-Quran menyatakan demikian.
Para imam mazhab sepakat bahwa tidak dibolehkan menyetubuhi istri yang
sudah di-zihar sehingga dibayar kafarahnya, dan kafarah zihar tidak boleh diberikan
kepada kafir harbi.
Para imam mazhab berbeda pendapat. jika kafarah zihar tersebut diberikan
kepada kafir dzimmi.
Hanafi berpendapat: Boleh. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan Tidak
boleh.
Jika seorang istri mengatakan kepada suaminya, "Engkau bagiku seperti
punggung ayahku" maka ia tidak dikenai kafarah apa-apa. Demikian menurut pendapat
yang disepakati oleh Para imam mazhab kecuali menurut riwayat al-Khiraqi dari
Hambali. Istri tersebut wajib memberikan kafarah. Pendapat ini yang dipilih oleh al-
Khiraqi sendiri.
LI’AN
Para imam mazhab sepakat bahwa suami yang menuduh istrinya berzina (li'an)
atau mengingkari janin yang ada dalam rahim istrinya, dan istrinya pun mengingkari
tuduhan suaminya serta suami tidak memiliki bukti, maka ia wajib dikenai had
(hukuman). la pun tidak boleh melakukan sumpah li'an untuk menolak hukuman
tersebut, yaitu dengan cara bersumpah berulang- ulang empat kali dengan menyebut
nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian, pada kali kelima ia
bersumpah bahwa Allah akan menimpakan laknat-Nya kepadanya jika ia berdusta. Jika
ia sudah melakukan sumpah demikian maka istrinya wajib dikenai had. Tetapi, ia boleh
menolak had tersebut dengan sumpah li'an juga, yaitu ia bersaksi dengan nama Allah
sebanyak empat kali bahwa ia tidak termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian
pada kali kelima ia bersumpah bahwa murka Allah akan menimpanya jika suaminya
termasuk orang-orang yang benar.
Jika suaminya menolak untuk bersumpah li'an, ia dikenai had. Demikian
menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali Namun, menurut pendapat Syafi’i: Jika
ia menolak maka dihukumi fasik. Sedangkan menurut pendapat Maliki: Suami tersebut
tidak dipandang fasik hingga ia dikenai Had
Hanafi berpendapat: Suami tidak dikenai had, tetapi ia dipenjara hingga mau
bersumpah li'an atau mengakui ketidakbenaran tuduhan itu.
Apabila istri menolak bersumpah li'an maka ia pun dipenjarakan hingga mau
bersumpah li'an atau mengakui tuduhan suaminya. Demikian menurut pendapat Hanafi
dan menurut pendapat Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Istri terse but wajib dikenai had.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai apakah li'an itu boleh
dilakukan oleh pasangan suami istri yang merdeka atau budak, adil atau fasik, keduanya
atau salah satunya?
Menurut pendapat Maliki: Setiap orang Islam yang sah talaknya, maka sah pula
li'an-nya, baik ia seorang yang merdeka maupun budak, baik ia seorang yang adil
maupun fasik.
Syafi’i dan Hambali berpendapat seperti pendapat Malik di atas. Namun,
Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa bagi seorang kafir tidak diperbolehkan talah
dan li’an. Menurut pendapat Maliki pun demikian, sebab pernikahan orang kafir tidak
sah, maka tidak sah pula li’annya.
Hanafi berpendapat: Li’an adalah suatu kesaksian. Apabila ia menuduh zina,
sedangkan ia sendiri tidak termasuk orang yang bisa diterima kesaksiannya, maka ia
dikenai had.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah sah li’an untuk mengingkari
bahwa kandungan istrinya itu bukan dari dirinya sebelum istrinya melahirkan.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: apabila seseorang suami mengingkari
kandungan istrinya maka tidak diadakan li’an diantara keduanya, dan tidak diputuskan
bahwa kandungan itu bukan darinya. Jika ia menuduh istrinya dengan terang telah
berzina maka ia harus bersumpah li’an lantaran tuduhannya itu, tetapi anak yang
dikandung tetap dinasabkan kepadanya, baik anak itu dilahirkan dalam masa kandungan
enam bulan maupun kurang dari itu.
Sedangkan menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: Suami boleh melakukan li’an
untuk mengingkari anak yanbg ada dalam kandungan istrinya. Namun, Maliki
mensyaratkan supaya masa suci istri dijadikan tiga kali haid atau satu kali haid saja
berdasarkan perbedaan pendapat yang ada diantara para ulama pengikutnya, yaitu untuk
mengetahui istrinya mengandung atau tidak.
Para imam mazhab sepakat bahwa li’an dapat menceraikan antara suami dan
istri.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang dengan apa perceraian tersebut
bisa terjadi?
Maliki berpendapat: Perceraian itu tidak dapat terjadi hanya dengan li’an tanpa
adanya ketetapan dari hakim. Artinya, harus ada penetapan hakim. Seperti ini juga salah
satu riwayat dari Hambali. Sedangkan Hanafi dan Hambali dalam riwayat lainnya
mengatakan: Perceraian itu belum berlaku sebelum istri melakukan li’an dan hakim
menetapkan perceraian, yaitu hakim mengatakan, “Aku ceraikan diantara kalian
berdua”.
Syafi’i berpendapat: Talak jatuh cukup dengan li’an suami, sebagaimana terjadi
pengingkaran nasab dengan li’an saja. Namun, li’an istri dapat menggugurkan had
atasnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah perceraian yang disebabkan li'an
dapat dicabut karena suami mendustakan dirinya?
Menurut pendapat Hanafi: Dapat dicabut. Oleh karena itu, jika suami
mendustakan dirinya maka ia harus dicambuk dengan kulit, dan setelah itu ia
diperbolehkan menikahi istrinya kembali. Demikian juga menurut salah satu riwayat
dari Hambali.
Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali
yang lebih jelas: Ia merupakan perceraian yang tetap, yang tidak dapat dicabut kembali.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah perceraian karena li’an
dihukumi fasakh atau talak?
Hanafi berpendapat: Ia merupakan talak ba'in. Maliki, Syafi’i Hambali
mengatakan: Ia merupakan fasakh.
Apabila talak karena li'an itu dihukumi talak maka keharaman untuk dinikahi
kembali tidak selama-lamanya, dan jika ia berbohong atas dirinya dalam menuduh zina
kepada istrinya maka ia diperbolehkan menikahinya lagi.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: Ia merupakan keharaman yang
'permanen, sebagaimana haram karena sepersusuan yang haram permanen. Demikian
juga pendapat 'Umar, Ali, Ibn Mas'ud, Ibn 'Umar, 'Atria', az- Zuhri, al-Awza'i dan ats-
Tsawri.
Sa'id bin al-jubair berpendapat: Li'an itu hanya mengharamkan bersenang-
senang dengan istri. Oleh karena itu, apabila suami berbohong maka hilanglah
keharaman tersebut, dan kembalilah istri kepadanya jika masih dalam masa 'iddah.
Apabila seseorang menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki dengan
disertai bukti, seperti orang mengatakan, "Si fulan telah berzina denganmu" maka
menurut pendapat Hanafi dan Maliki: Suami hendaknya melakukan li'an terhadap
tuduhannya. Jika orang lain dituduh itu menuntut had atas suami tersebut maka
hendaknya ia dikenai had. Had itu tidak gugur lantaran li'an yang dilakukan.
Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat. Pertama, salah seorang di
antara mereka wajib dikenai had. Inilah pendapatnya yang paling kuat. Kedua,
keduanya dikenai had. Jika dalam li'an disebutkan nama orang yang dituduh itu maka
menjadi gugur.
Hambali berpendapat: Dikenakan had kepada salah seorang di antara mereka,
dan had dapat gugur jika ia melakukan li'an untuk keduanya.
Apabila suami memanggil istrinya, "Hai wanita pezina", maka ia wajib dikenai
had jika tuduhannya tidak dikuatkan dengan bukti. Menurut pendapat Maliki: Suami
tidak dikenai had sehingga ia mengakui bahwa ia telah melihatnya sendiri.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hanafi: Ia dapat menolak had dengan li'an-nya
itu, meskipun ia tidak menyebutkan telah melihatnya sendiri.
Apabila empat orang bersaksi, dan salah seorang di antara mereka adalah
suaminya sendiri, bahwa istrinya telah berzina, maka kesaksian tersebut tidak dapat
diterima, dan semuanya dikenai had, kecuali suami yang dapat menggugurkan had-nya
dengan li'an. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan
menurut pendapat Hanafi: Kesaksian mereka dapat diterima, dan istri dikenai had.
Jika istri melakukan li'an sebelum suaminya maka tidak sah li'an-nya. Demikian
menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut pendapat Hanafi: Dapat
diterima.
Orang bisu yang mengerti isyarat dan tulisan serta mengerti pula apa yang
diucapkan dianggap sah li'an dan tuduhannya. Demikian halnya dengan istri-istri yang
bisu. Inilah pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi. berpendapat: Tidak sah.
Apabila seorang istri telah ditalak ba'in oleh suaminya, lalu suaminya melihat
istrinya berzina dalam masa 'iddah-nya, maka suami boleh melakukan li'an. Begitu juga
jika ternyata istrinya hamil sesudah talak. Demikian menurut pendapat Maliki.
Syafi’i berpendapat: Jika telah nyata istrinya hamil atau melahirkan maka
suaminya boleh melakukan li'an. Sedangkan jika tidak demikian, maka suami tidak
boleh melakukan li'an.
Hanafi dan Hambali mengatakan: Suami tidak dibolehkan melakukan li'an
sama sekali.
Apabila seorang perempuan bersuami dan ia ditalak suami sesudah terjadi akad,
sebelum ada kemungkinan untuk menyetubuhinya, kemudian sesudah enam bulan
sesudah 'akad lahir anak istrinya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada mantan
suaminya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Begitu juga jika
ia melahirkan anak sebelum usia pernikahan mencapai enam bulan.
Hanafi berpendapat: Apabila akad tersebut dilakukan di depan hakim, lalu istri
ditalak sesudah akad, kemudian melahirkan anak sesudah enam bulan dari awal akad,
maka anak dinasabkan kepada suaminya, meskipun tidak ada kemungkinan untuk
bersetubuh. Sedangkan kalau lebih dari enam bulan atau kurang, tidak dinasabkan
kepadanya. Karena, jika anak itu lahir sesudah lewat enam bulan, jelas anak tersebut
terjadi sesudah talak tiga dijatuhkan, maka anak tidak jelas dinasabkan kepadanya.
Sedangkan jika anak tersebut lahir sebelum enam bulan maka ia terjadinya sebelum
akad, dan ia tidak dinasabkan kepada suami ibunya.
Hanafi berkata: Seorang istri bersuami dengan seseorang, lalu suaminya pergi
keluar negeri selama beberapa tahun. Kemudian, datang kabar tentang kematian
suaminya. Maka, Ia terus ber-'iddah: Setelah itu, ia menikah lagi dengan orang lain, dan
melahirkan anak dari suami kedua. Tiba-tiba, datanglah suami yang pertama. Dalam hal
ini, anak dinasabkan kepada suami yang pertama.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Anak itu dinasabkan kepada
suaminya yang kedua.
Hanafi mengatakan lagi: Seorang perempuan yang berada di barat menikah
dengan seorang laki-laki di timur. Sesudah enam bulan istri melahirkan anak dalam hal
ini, anak tersebut dinasabkan kepada pasangan suami istri itu, meskipun jarak antara
keduanya tidak memungkinkan bertemu tetapi ada akad.
SUMPAH
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang bersumpah untuk melakukan
ketaatan maka ia wajib memenuhinya.
Apakah dibolehkan ia mengganti dengan kafarah saja, padahal ia mampu
memenuhi sumpahnya? Hanafi dan Hambali mengatakan: Tidak boleh. Syafi’i
berpendapat: yang utama adalah tidak menggantinya dengan kafarah.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat seperti dua pendapat di atas.
Para imam mazhab sepakat tentang tidak bolehnya menjadikan nama Allah
sebagai penghalang dalam melakukan kebajikan dan bersilaturahmi. Yang utama adalah
sumpah demikian dibatalkan saja, dan dibayar kafarahnya jika bersumpah untuk
meninggalkan suatu kebajikan.
Para imam mazhab sepakat bahwa segala sumpah kembali pada niat. Kalan
tidak ada niat maka dilihat sebab-sebab yang membangkitkan adanya sumpah tersebut.
Para imam mazhab sepakat bahwa sumpah itu sah dengan menyebut nama
"Allah" dan semua nama-Nya yang terdapat dalam al-asma al-husna, seperti ar-Rahman,
ar-Rahim, dan al-Hayyu. Demikian juga, menggunakan semua sifat Allah, seperti "demi
keperkasaan Allah serta keagungan-Nya".
Hanafi mengecualikan sumpah dengan menggunakan lafaz 'ilmullah (ilmu
Allah). Menurutnya, hal itu tidak dipandang sebagai sumpah.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bersumpah palsu, yakni
bersumpah dengan menggunakan nama Allah terhadap suatu perkara yang telah berlalu
dengan sengaja berdusta. Apakah sumpah yang demikian dikenai kafarah?
Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam suatu riwayatnya mengatakan: Tidak
dikenai kafarah karena dosa bersumpah palsu itu lebih besar daripada pahala membayar
kafarah.
Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali mengatakan: Harus membayar Kafarah.
Adapun jika seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau tidak
mengerjakannya pada masa yang akan datang, kemudian sumpah tersebut dilanggar,
maka wajiblah atasnya kafarah. Demikian menurut ijma Para imam mazhab.
Apabila seseorang berkata, "Aku telah bersumpah dengan nama Allah" atau
"Aku telah bersaksi dengan nama Allah", maka hal demikian dihukumi sebagai sumpah,
walaupun ia tidak berniat sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Maliki berpendapat: Jika ia mengatakan, "Aku bersumpah" kemudian
diteruskan dengan kalimat "dengan nama Allah", baik diucapkan maupun diniatkan,
maka yang demikian dihukumi sumpah. Sedangkan jika tidak diucapkan dan tidak
diniatkan, maka hal itu bukanlah sumpah.
Menurut pendapat Syafi’i: Orang yang mengatakan, "Kami bersumpah dengan-
nama Allah" dan diniatkan sumpah maka hal itu dihukumi sebagai sumpah. Sedangkan
jika ia niatkan kabar saja, maka hal itu bukan sumpah.
Jika hal itu tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat di antara para ulama pengikut Syafi’i. Sebagian mereka berpendapat: Bukan
sumpah. Inilah pendapat yang paling kuat.
Syafi’i berpendapat: Tentang orang yang mengatakan, "Aku bersaksi dengan
nama Allah", jika diniatkan sump ah maka jadilah sumpah. Sedangkan jika tidak
diniatkan apa-apa maka bukanlah sumpah. Inilah pendapat Syafi’i yang dipandang
paling kuat oleh para ulama pengikutnya.
Apabila seseorang mengatakan, "Aku bersaksi, aku tidak mengerjakannya" dan
tidak diniatkan apa-apa maka jadilah sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
salah satu riwayat pendapat Hambali.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali: Tidak
menjadi sumpah.
Apabila seseorang mengatakan, "Demi hak Allah", maka jadilah sumpah.
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi
berpendapat: Tidak menjadi sumpah.
Apabila seseorang mengatakan, la amrullah atau wa aymullah maka yang
demikian menjadi sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam
salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama pengikut Syafi’i: Jika tidak diniatkan sumpah
maka hal itu bukanlah sumpah. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat
lainnya.
Apabila seseorang bersumpah dengan Al-Quran maka sah sumpahnya, dan jika
dilanggar maka ia dikenai kafarah. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Ibn Hubairah berpendapat: Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat jika
yang bersumpah melanggar sumpahnya. diriwayatkan oleh Ibn'Abdil Barr dalam kitab
at-Tamhid bahwa mengenai hal mi ada beberapa pendapat di kalangan para sahabat dan
tabi'in, serta kesepakatan mereka atas wajibnya kafarah atasnya. Ibn Abdil Barr
mengatakan: Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini, kecuali tentang orang
yang tidak melanggar sumpahnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang banyaknya kafarah sumpah
dengan Al-Quran.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Wajib satu kafarah. Sedangkan dan Hambali
diperoleh dua riwayat. Pertama, satu kafarah. Kedua, tiap-tiap ayat diberikan satu
kafarah.
Apabila seseorang bersumpah dengan nama Nabi Saw. maka sumpahnya sah,
dan jika dilanggar maka ia dikenai kafarah. Demkian menurut pendapat Hambali dalam
riwayatnya yang jelas.
Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan: Sumpahnya tidak jadi, dan ia tidak
dikenai kafarah.
Apakah sumpah orang kafir itu sah? Hanafi berpendapat: Tidak salh Maliki,
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka ia wajib
dikenai kafarah.
Para imam mazhab sepakat bahwa kafarah menjadi wajib lantaran pelanggaran
sumpah, baik sumpah untuk mengerjakan ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan
maupun mengerjakan suatu perkara yang mubah kafarah, apakah didahulukan atau
ditunda sesudah pelanggaran?.
Hanafi berpendapat: Kafarah tidak boleh dibayarkan kecuali setelah terjadi
pelanggaran. Syafi’i berpendapat: Boleh mendahulukan kafarah atas pelanggaran
sumpah dalam perkara yang mubah. Dari Maliki diperoleh dua riwayat Pertama, boleh
didahulukan. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua, tidak boleh didahulukan.
Apabila membayar kafarah sumpah dengan puasa, adakah perbedaannya dengan
kafarah berupa memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin? Maliki
berpendapat: Tidak ada perbedaan. Syafi’i berpendapat: Tidak boleh mendahulukan
pembayaran kafarah dengan puasa, tetapi yang lainnya boleh. Para imam mazhab
berbeda pendapat tentang sumpah yang tidak disengaja.
Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam satu riwayatnya mengatakan: Sumpah
yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah dengan nama Allah terhadap suatu
urusan, yang menurut prasangkanya sesuai dengan yang disumpahkan, tetapi ternyata
tidak sama, baik dengan sengaja maupun tidak, atau karena terlanjur mengatakannya.
Namun, Hanafi dan Maliki berpendapat: Hal itu boleh untuk apa yang telah lalu atau
yang sedang terjadi.
Adapun, menurut pendapat Hambali Hal itu diperbolehkan dalam masalah yang
telah berlalu saja.
Kemudian, ketiga imam tersebut sepakat bahwa sumpah yang demikian tidak
berdosa dan tidak pula dikenai kafarah.
Menurut Maliki, sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang yang berkata,
Tidak, demi Allah" atau "Ya, demi Allah", yaitu yang terjadi dalam suatu percakapan
tanya-jawab tanpa dimaksudkan bersumpah.
Syafi’i berpendapat: Sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang tidak
dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya, la wallahi (tidak, demi Allah) bala wallahi
(benar, demi Allah) yang terjadi dalam suatu percakapan, ketika marah tanpa disengaja,
baik mengenai sesuatu yang sudah lewat maupun yang akan datang. Tidak ada kafarah
dan tidak pula dosa dalam hal ini. Seperti ini pula sebuah riwayat dari Hambali.
Apabila seseorang mengatakan, "Demi Allah, aku tidak mengerjakan demikian
maka ia menjadi sumpah, baik diniatkan sumpah maupun tidak.
Dalam hal ini erjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i.
Apabila seseorang mengatakan, "Demi Allah” aku tidak akan meminum air
Zaid” dengan niat untuk memutuskan hubungan, tetapi ia memanfaatkan barang milik
Zaid, baik dengan memakan, meminum, meminjam, maupun mengendaramya, berarti ia
telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Tidak dihukumi melanggar sumpah, kecuali
diperoleh manfaatnya dengan cara meminum air.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, padaa hal ia
berada di dalamnya, kemudian ia keluar sendirian saja tanpa diikuti oleh keluarga dan
kendaraannya, maka hal itu tidak dibenarkan kecuali dengan membawa keluar
semuanya, tidak cukup dirinya saja. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan
Hambali.
Syafi’i berpendapat: Cukup dirinya saja yang keluar.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, lalu ia
menetap di atas atapnya atau memasuki rumah yang merupakan bagian dari rumah tadi,
yang di dalamnya terdapatjalan menujujalan raya, maka ia dihukumi telah melanggar
sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Tidak melanggar sumpah, kecuali ia menginjakkan kakinya
sedikit saja ke dalam halamannya. Jika ia menetap di atas atapnya dan tidak turun maka
ia tidak melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah Zaid, lalu Zaid
menjualnya, kemudian orang yang bersumpah tersebut memasukinya setelah rumah itu
dibeli orang lain, maka ia tetap dihukumi telah melanggar sumpah. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak melanggar sumpahnya.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara kepada anak kecil, lalu anak
itu menjadi tua; atau tidak akan makan daging kambing muda, lalu kambing itu menjadi
tua; atau tidak akan makan kurma mentah, lalu kurma itu menjadi matang; atau tidak
akan makan kurma basah, lalu kurma itu menjadi kering; atau tidak akan makan kurma
kering, lalu kurma itu dibuat manisan; atau tidak akan masuk suatu rumah, lalu rumah
itu menjadi halaman kering, atau tidak makan kurma, maka menurut Hanafi, ia tidak
melanggar sumpah dalam memakan kurma mentah, kurma basah, dan kurma kering,
sedangkan dalam hal lainnya dianggap melanggar sumpah.
Dari Syafi’i ada dua pendapat.
Maliki dan Hambali mengatakan: Semuanya dapat dihukumi melanggar
sumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, lalu ia
memasuki masjid atau tempat mandi, maim ia tidak dihukumi melanggar sumpah.
Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Hambali berpendapat: Ia
melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan menetap di suatu rumah, lalu ia
menetap di dalam rumah yang terbuat dari bulu atau kulit, atau kemah, sedangkan ia
adalah penduduk suatu kota, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Sedangkan, jika ia
adalah penduduk desa maka ia dipandang melanggar sumpah. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Hal demikian tidak terdapat dalam ketetapan Maliki, tetapi usulannya
menetapkan pelanggaran sumpah.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Hal demikian melanggar sumpah jika tidak
diniatkan, baik ia penduduk kota maupun penduduk desa.
Menurut sebagian para ulama mazhab Syafi’i: Terdapat perbedaan di antara
keduanya.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan melakukan suatu pekerjaan, lalu ia
menyuruhnya orang lain untuk mengerjakannya, kemudian ia mengerjakannya, maka ia
dipandang telah melanggar sumpah jika pekerjaan itu berupa pernikahan atau talak,
bukan berupa jual-beli dan sewa-menyewa kecuali pekerjaan tersebut tidak ia kerjakan
sendiri. Jika dikerjakan sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Maliki berpendapat: Jika ia tidak berniat mewakilkan kepada orang itu untuk
dirinya sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah.
Syafi’i berpendapat: Jika orang tersebut adalah seorang penguasa atau orang
yang tidak biasa mengerjakan sendiri pekerjaannya, atau tidak ada niat untuk
mengerjakan hal demikian, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika
keadaannya tidak demikian, maka ia dipandang telah melanggar sumpah.
Hambali berpendapat: Ia dianggap telah melanggar sumpah secara mutlak.
Apabila seseorang bersumpah untuk membayar utangnya besok, lalu dibayar
sebelumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Maliki, dan Hambali
Syafi’i berpendapat: Ia melanggar sumpah.
Apabila orang yang mempunyai piutang meninggal sebelum hari besok maka
dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Tidak melanggar sumpah.
Maliki berpendapat: Jika pembayaran oleh ahli waris atau hakim dilakukan hari
besok, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan, jika orang lain yang
membayarnya maka ia dianggap melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada di dalam gelas ini
besok, lalu air itu tumpah sebelum hari besok, maka ia tidak dipandang melanggar
sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Maliki dan Syafi’i berpendapat: Jika gelas rusak sebelum hari besok bukan
karena perbutannya maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah akan min um air yang berada dalam gelas ini, lalu
air tidak ada, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut
kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
Abu Yusuf berpendapat: Ia melanggar sumpah.
Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang ia sumpahkan tidak akan
dikerjakan, tetapi karena lupa ia mengerjakannya, maka ia dipandang melanggar
sumpah secara mutlak, baik ia bersumpah dengan nama Allah atau dengan talak atau
zihar. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Syafi’i mempunyai dua
pendapat, dan yang lebih jelas menyatakan: Tidak dipandang melanggar sumpah secara
mutlak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, jika sumpah itu dengan nama
Allah atau dengan zihar maka ia tidak melanggar sumpah. Kedua, semuanya merusak
sumpah.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang sumpah orang yang dipaksa.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Tidak sah. Hanafi berpendapat: Sah
sumpahnya.
Para imam mazhab sepakat apabila seseorang mengatakan, "Demi Allah, aku
tidak berbicara dengan si fulan pada suatu waktu", dan ia meniatkan dengan sesuatu
tertentu, maka ia dihukumi menurut niatnya. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa
maka ia tidak boleh berbicara dengan orang yang dimaksudkan. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Hambali.
Maliki berpendapat: Tidak boleh berbicara selama satu tahun.
Syafi’i berpendapat: Sesaat saja.
Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan si fulan lalu
ia menulis surat dan dikirimkan kepadanya, atau ia memberi isyarat dengan tangannya,
matanya, atau kepalanya, maka ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan pendapat Syafi’i dalam qauljadid-nya.
Maliki berpendapat: Jika dengan tulisan, maka ia melanggar sumpah.
Sedangkan jika dengan surat atau isyarat, maka dalam hal ini Maliki mempunyai dua
pendapat.
Hambali berpendapat: Melanggar sumpah. Seperti ini juga qaul qadim Syafi’i.
Apabila seseorang berkata kepada istrinya, Jika engkau keluar tanpa izinku
maka engkau tertalak" dan ia niatkan untuk sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut
apa yang diniatkannya. Jika tidak dimaksudkan apa- apa, atau suami mengatakan
kepada istrinya, "Engkau tertalak jika keluar kecuali aku mengizinkanmu atau hingga
aku mengizinkanmu", menurut pendapat Hanafi, jika suami mengatakan, 'jika engkau
keluar tanpa izinku", maka setiap kali keluar haruslah diperlukan izin dari suaminya.
Sedangkan jika suaminya mengatakan, "kecuali aku mengizinkanmu" atau "sehingga
aku mengizinkanmu", atau "sampai aku mengizinkanmu", maka cukuplah minta izin
satu kali saja.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Keluar yang pertama memerlukan izin dari
suaminya, sedangkan keluar yang berikutnya tidak diperlukan izin. Hambali
berpendapat: Setiap kali keluar diperlukan izin dari suaminya.
Apabila suaminya mengizinkannya, tetapi hal itu tidak terdengar istrinya, maka
tidak dihukumi izin. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Dihukumi izin yang sahih.
Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan kepala dan ia pun tidak
meniatkan untuk kepala tertentu, tetapi kepala secara mutlak, maka sumpah itu berlaku
pada semua yang dinamakan kepala, baik secara hakikat dari segi bahasa maupun adat
kebiasaan, seperti kepala hewan, kepala burung, dan kepala ikan. Demikian menurut
pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Khusus untuk kepala sapi dan kepala kambing saja.
Syafi’i berpendapat: Termasuk kepala unta, sapi, dan kambing. Apabila
seseorang bersumpah akan memukul Zaid dengan seratus cambukan, lalu ia
memukulnya dengan menggunakan tangkai pohon bercampur rerumputan seratus kali,
apakah hal demikian dapat dibenarkan?
Maliki dan Hambali mengatakan; Tidak dibenarkan.
Syafi’i berpendapat: Dapat dibenarkan.
Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan hibah kepada si fulan dengan
suatu pemberian, lalu ia bersedekah kepadanya, maka ia telah melanggar sumpahnya.
Demikian menurut pendapat Maliki; Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak melanggar sumpah.
Jika seseorang bersumpah akan membunuh si fulan, dan si fulan telah menjadi
mayat, tetapi ia tidak mengetahui kematiannya, maka ia tidak dianggap melanggar
sumpah. Sedangkan jika sudah mengetahuinya maka ia dipandang melanggar sumpah.
Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Maliki berpendapat: Tidak melanggar sumpah secara mutlak, baik ia
mengetahui kematiannya maupun tidak.
Jika seseorang bersumpah bahwa dirinya tidak memiliki harta sama sekali, tetapi
ternyata ia memiliki piutang, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Demikian
menurut pendapat Hanafi.
Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Melanggar sumpah.
Seseorang yang bersumpah tidak akan makan buah-buahan, kemudian ia makan
kurma, anggur, atau delima, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Hal demikian melanggar sumpah.
Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lauk-pauk, lalu ia makan daging,
keju, atau telur, maka ia tidak melanggar sumpahnya, kecuali ia makan sesuatu yang
dimasak dengannya. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Ia telah melanggar sumpah
dengan memakan masing-masing dari makanan tersebut,
Jika seseorang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia memakan
ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
Syafi’i.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: Jika seseorang bersumpah
tidak makan daging, kemudian ia makan lemak, maka ia tidak melanggar sumpah.
Maliki berpendapat: Melanggar sumpah.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Jika seseorang bersumpah
tidak akan makan lemak, kemudian ia makan lemak punggung, maka ia telah melanggar
sumpahnya.
Hanafi berpendapat: Tidak melanggar sumpah. Apabila seseorang bersumpah
akan mencium bunga, lalu ia mencium minyaknya, maka ia dianggap telah melanggar
sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Syafi’i
berpendapat: Tidak melanggar sumpah. Apabila seseorang bersumpah tidak akan
berbicara, kemudian ia membaca Al-Quran, maka secara mutlak ia tidak melanggar
sumpah. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali,
Hanafi berpendapat: Jika ia membacanya dalam shalat maka ia tidak dianggap
melanggar sumpah. Sedangkan jika membacanya di luar shalat, maka ia dipandang telah
melanggar sumpah.
Jika seseorang bersumpah tidak akan memasukkan si fulan ke dalam suatu
rumah, lalu ia memasukkan orang yang dimaksud ke dalamnya, dan memintanya agar
lebih lama tinggal dengannya, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya.
Adapun, menurut pendapat Maliki dan Hambali serta pendapat yang keduanya
dari Syafi’i: Ia telah melanggar sumpahnya.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan berdiam di suatu rumah bersama si
fulan, lalu mereka membagi rumah tersebut dan membuat pagar di antara kedua bagian
itu, masing-masing bagian itu ada pintu dan kuncinya, serta masing-masing dari mereka
mendiaminya secara berdampingan, maka ia dianggap telah melanggar sump ah.
Demikian menurut pendapat Maliki.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Hal demikian tidak melanggar sumpah.
Dari Hanafi ada dua riwayat.
Para imam. mazhab sepakat bahwa kafarah sumpah adalah memberi makan
sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.
Orang yang bersumpah boleh memilih mana yang dikehendakinya. Sedangkan jika ia
tidak dapat melaksanakannya, hendaknya menggantinya dengan berpuasa tiga hari.
Apakah puasa itu wajib dikerjakan secara berturut-turut? Hanafi dan Hambali
mengatakan: Wajib berturut-turut. Maliki berpendapat: Tidak wajib.
Dari Syafi’i ada dua pendapat. Menurut qauljadid-nya dan yang paling kuat:
Tidak wajib.
Tidak boleh memerdekakan budak kecuali budak yang beriman, yang selamat
dari cacat dan tidak dimiliki secara kongsi. Demikian menurut ijma para ulama kecuali
menurut Hanafi yang berpendapat bahwa budak yang dimerdekakan tidak harus
seorang yang beriman. Pendapat ini adalah musykil.
Para imam mazhab sepakat bahwa apabila diberikan makanan kepada seorang
miskin saja dalam masa sepuluh hari maka hal itu tidak sah, melainkan dipandang
memberi makan seorang saja. Namun, Hanafi membolehkannya, yaitu dihitung sepuluh
orang miskin.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai kadar yang harus diberikan
kepada tiap-tiap orang miskin.
Maliki berpendapat: Satu mud, yaitu dua rithl Bagdad ditambah lauk pauk.
Tetapi jika dibayar dengan satu mud saja tanpa lauk-pauk, hal itu tetap sah.
Hanafi berpendapat: Jika ia mengeluarkan gandum maka kadarnya adalah 1 /2
sha. Sedangkan jika berupa syair atau kurma maka kadarnya adalah 1 sha.
Hambali berpendapat: Satu mud gandum atau dua mud kurma atau dua rithl
tepung roti.
Syafi’i berpendapat: Untuk tiap-tiap orang miskin l mud.
Adapun untuk pakaian, maka sedikitnya adalah seukuran kam yang dapat
dipakai untuk shalat, yaitu seperti baju gamis atau kain sarung untuk laki-laki, dan baju
kurung dan kerudung untuk perempuan. Dermkian menurut pendapat Maliki dan
Hambali.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Syafi'i: ukuran minimalnya adalah apa
saja yang dapat dinamakan pakaian. Namun, Hanafi memberi batasan; yaitu berupa
baju luar, gamis, atau kain selendang. Jika berupa serban, kerudung, celana, atau sarung
maka Hanafi mempunyai dua riwayat. Syafi’i berpendapat: Semua jenis tersebut sudah
mencukupi. Adapun, jika berupa kopiah, menurut para ulama mazhab Syafi’i ada dua
pendapat.
Para imam mazhab telah sepakat kafarah tersebut hanya boleh diberikan
kepada orang fakir miskin yang beragama Islam dan merdeka. Juga boleh diberikan
kepada anak kecil yang sudah makan makanan yang diterimakan oleh walinya.
Apakah boleh diberikan kepada anak kecil yang belum makan makanan?
Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan: Boleh diberikan kepada mereka.
Hambali berpendapat: Tidak boleh.
Apabila diberikan makanan kepada lima orang dan di berikan pakaian kepada
lima orang lainnya, maka hal demikian adalah boleh. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali.
Sedangkan menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: Tidak boleh.
Jika seseorang mengulangi sumpahnya terhadap satu barang, atau terhadap
beberapa barang, dan ia melanggarnya, maka ia dikenai kafarah untuk masing-masing
sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Namun, menurut
Maliki: Jika dimaksudkan dengan berulang itu untuk menguatkan maka kafarah-nya
hanya satu. Sedangkan jika dimaksudkan untuk masing-masing barang maka ia dikenai
kafarah untuk tiap-tiap sumpah.
Menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: Diberikan satu kafarah saja
untuk seluruhnya.
Syafi’i berpendapat: Jika sumpah itu untuk satu barang, dan diulangnya sumpah
tersebut dengan niat untuk menguatkan maka ia hanya dikenai satu kafarah. Sedangkan
jika diniatkan memulai lagi sumpahnya, bukan untuk menguatkan, maka dianggap dua
kali sumpah, artinya dua kali kafarah. Jika untuk beberapa barang yang berbeda-beda,
maka masing-masing dikenai satu kafarah:
Apabila seseorang berpendapat, ''Jika ia berbuat demikian maka ia menjadi
Yahudi", "kafir", "terlepas dari Islam", atau "terlepas dari Rasul", lalu dikerjakan apa
yang diucapkannya, maka ia wajib membayar kafarah, Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Tidak dikenai kafarah.
Apabila seseorang berkata. "Demi janji Allah" maka ia dihukumi telah
bersumpah. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan
menurut pendapat Hanafi: Tidak dihukumi telah bersumpah.
Apabila seseorang berkata, "Bagiku ada janji Allah" maka ia dihukumi telah
bersumpah. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Jika seseorang mengucapkan, "Demi amanat Allah" maka ia pun dihukumi telah
bersumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan
Syafi’i mengatakan: Tidak dihukumi telah bersumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakai perhiasan, lalu ia memakai
cincin, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan menurut pendapat
Hanafi: Orang tersebut tidak melanggar sumpah.
Jika seorang perempuan bersumpah tidak akan memakai perhiasan, lalu ia
memakai permata dan intan, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: la tidak dianggap telah melanggar sumpah, kecuali jika ia
mengenakan perhiasan berupa emas dan perak.
Apabila seseorang mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan memakan roti ini",
lalu ia memakan sebagiannya· atau ia mengatakan "Demi Allah aku tidak akan minum
air gelas ini", lalu ia meminumnya sebagian; atau ia mengatakan, "Demi Allah, aku
tidak akan memakai pakaian dari benang si fulanah", lalu ia memakai pakaian yang di
dalamnya terdapat benang basil pintalan si fulanah itu; atau seseorang mengatakan,
"Demi Allah, aku tidak akan memasuki rumah ini", lalu ia memasukkan tangannya atau
kakinya, maka dalam semua perkara ini ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian
menurut pendapat Hanafi dan Syaf'i.
Maliki danHambali mengatakan: Melanggar sumpah.
Apabila seseorangbersumpah tidakakan memakan makanan yang dibeli oleh si
fulan, lalu ia memakan sebagian yang dibelinyaatau lainnya, maka ia dipandang telah
melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Demikian
pula jika ia bersumpah tidak akan memakai pakaian yang dibeli si fulan dan yang serupa
dengan itu.
Hanafi berpendapat: Semua itu dianggap telah melanggar sumpah, meskipun
dengan memakan makanannya saja.
Syafi’i berpendapat: Semuanya tidak dianggap melanggar sumpah. Apabila
seseorang bersumpah tidak akan makan tepung ini, lalu ia membuat roti darinya dan
memakannya, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut
pendapat Maliki danHambali.
Hanafi berpendapat: Jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap
melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia
dipandang telah melanggar sumpahnya.
Syafi’i berpendapat: Jika tepung itu dibuat obat maka ia melanggar sumpah.
Sedangkan jika tepung itu dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia tidak dianggap
melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan menempati rumah si fulan maka
dianggap melanggar sumpah jika menempatinya secara makruh. Juga, apabila ia
bersumpah tidak akan mengendarai kendaraan si fulan, lalu ia mengendarai kendaraan
budaknya, maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Jika tidak diniatkan maka ia tidak melanggar sumpah.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan minum dari sungai Dajlah sungai
Eufrat, atau sungai Nil, lalu ia menciduk air darinya dengan tangan atau bejananya,
kemudian diminum, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak dianggap telah melanggar sumpahnya hingga ia
meminum dengan mulutnya.
Jika seseorang bersumpah tidak akan minum air sumur ini, lalu ia meminumnya
sedikit, maka ia tidak dianggap telah melanggar sumpah, kecuali jika tidak diniatkan
meminum seluruhnya. Demikian menurut pendapa Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Tidakdianggap melanggar sumpahnya.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan memukul istrinya, lalu ia
mencekiknya, menggigitnya, atau mencabut rambutnya, maka berarti ia telah melanggar
sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berpendapat: Tidak melanggar sumpah.
Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan sesuatu kepada si fulan, lalu
ia memberinya tetapi tidak diterima oleh si fulan yang dimaksud, maka ia dihukumi
telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan
Hambali.
Syafi’i berpendapat: Tidak dianggap telah melanggar sumpah hingga diserahkan
dan diterima oleh si fulan.
Apabila seseorang bersumpah tidak akan menjual sesuatu, lalu ia menjualnya
dengan syarat khiyar untuk dirinya sendiri, maka ia dianggap telah melanggar
sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Maliki berpendapat: Tidak melanggar sumpahnya.
Apabila seseorang yang memiliki harta yangjauh, atau berupa piutang, dan ia
tidak mendapatkan budak yang dimerdekakan, atau makanan yang akan dibagikan, dan
tidak ada pula pakaian, maka ia tidak boleh terus membayar kafarahnya dengan
langsung berpuasa. Ia harus bersabar menunggu hingga hartanya yang jauh itu tiba,
kemudian kafarah-nya dibayar dengan harta tersebut. Demikian menurut pendapat
Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Boleh langsung berpuasa ketika tidak ada harta.
'IDDAH
Para imam mazhab sepakat bahwa 'iddah perempuan yang sedang hamil
adalah dengan melahirkan anak, baik karena ditalak suaminya atau ditinggal mati.
Masa 'iddah bagi perempuan yang tidak berhaid atau perempuan yang sudah
putus haidnya adalah 3 bulan. Adapun, masa 'iddah bagi perempuan yang berhaid
adalah tiga quru' jika ia adalah perempuan merdeka. Sedangkan jika ia seorang budak
perempuan maka masa 'iddah-nya adalah dua quru'. Demikian menurut kesepakatan
pendapat Para imam mazhab.
Dawud berpendapat: Perempuan merdeka dan budak perempuan adalah sama
masa 'iddah-nya, yaitu tiga quru'.
Quru' adalah masa suci. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi'i.
Sedangkan menurut pendapat Hanafi: Quru' adalah haid.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang perempuan yang ditinggal mati
suaminya, sementara ia berada di tengah perjalanan menuju Makkah untuk Haji.
Hanafi berkata dalam masalah ini: Iaharus berhenti, tidak meneruskan
perjalanannya hingga selesai masa 'iddah-nya jika ia telah berada dalam suatu negeri
yang dekat dengannya.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Jika ia khawatir tertinggal hajinya,
maka ia boleh meneruskan perjalanannya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang istri yang suaminya pergi ke
tempat yang tidak diketahui (mafqud).
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qauljadid-nya, serta pendapat
Hambali dalam salah satu riwayatnya: Istri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga
berlalu masa (menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa
tersebut.
Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun.
Sedangkan Syafi’i dan Hambali memberi batasan waktu 90 tahun. Juga
menurut pendapat Syafi’i dalam qauljadid-nya dan pendapatnya yang paling kuat: Istri
berhak menuntut nafkah dari harta suaminya untuk selama-lamanya. Jika suaminya
tidak mempunyai harta maka ia boleh meminta pembatalan pemikahan lantaran tidak
adanya pemberian nafkah.
Adapun, menurut pendapat Maliki dan Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan yang
dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh 'Umar r.a.
tanpa ada seorang pun di antara para sahabat lainnya yang mengingkari perbuatannya,
dan juga menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: Istri hendaknya menanti
selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimal masa mengandung ditam bah 4 bulan 10 hari,
yakni sebagai masa 'iddah atas kematian suami, Sesudah itu, ia boleh menikah lagi.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang sifat-sifat suami yang dinamakan
mafqud. Menurut pendapat Syafi’i dalam qauljadid-nya: Mafqud ialah suami tidak
diketahui lagi beritanya, dan menurut dugaan kuat ia telah meninggal.
Menurut pendapat Maliki dan qaul-qadim Syafi’i: Tidak ada perbedaan antara
putus berita karena mengalami musibah, seperti kecelakaan, tenggelam jatuh dari kapal
dan sebagainya yang serupa dan lainnya.
Hambali berpendapat: Suami mafqud adalah suami yang tidak diketahui kabar
beritanya dikarenakan suatu sebab, yang pada umumnya mengakibatkan kematian,
seperti orang hilang dalam peperangan, kapal tenggelam yang sebagian penumpangnya
ada yang selamat serta ada pula yang tenggelam. Adapun, jika suaminya pergi untuk
berdagang dan tidak diketahui kabar beritanya, serta tidak diketahui apakah masih hidup
atau sudah mati, maka istrinya tidak boleh menikah lagi hingga ia yakin akan kematian
suaminya, atau datang suatu masa yang tidak memungkin lagi suaminya masih hidup.
Hanafi berpendapat: Suami mafqud adalah suami yang pergi dan tidak diketahui
kabar beritanya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang apabila suami pertama datang,
sementara istrinya sudah bersuami sesudah menanti selama masa yang telah ditentukan.
Hanafi berpendapat: Akad nikah kedua batal, dan istrinya tetap menjadi milik
suami pertama. Jika suami kedua telah menyetubuhinya, ia dikenai mahar mitsl; lalu
istrinya melaksanakan 'iddah dari suami kedua. Setelah itu, ia kembali kepada suami
pertama.
Maliki berpendapat: Jika sudah disetubuhi oleh suami kedua maka jadilah ia
istri bagi suami yang kedua, dan ia wajib menyerabkan mahar kepada suami pertama
sebanyak mahar yang telah diberikan kepadanya. Juga, menurut pendapat Maliki dalam
riwayat lainnya: Istri terse but secara mutlak milik suaminya yang pertama.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang paling sahih:
Pernikahan kedua menjadi batal. Pendapat lainnya: Batal pemikahan pertama
secara mutlak,
Hanafi berpendapat: Jika suami kedua belum menyetububinya maka ia tetap
menjadi milik suami pertama. Sedangkan jika sudah disetubuhi maka suami pertama
boleh memilih antara memilikinya dan membayar mahar kepadanya, atau
meninggalkannya untuk dimiliki suami kedua dan mengambilmabar yang telah
diberikan kepada istrinya dulu.
Para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah 'iddah ummul walad
apabila tuannya meninggal atau memerdekakannya.
Hanafi berkata: 'iddah-nya adalah tiga kali haid, baik dimerdekakan maupun
ditinggal mati oleh tuannya.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: 'iddah ummul walad apabila tuannya meninggal
atau ia dimerdekakan adalah satu kali haid saja.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, satu kali haid saja. Pendapat
inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua, jika ia dimerdekakan maka 'iddah-nya.
adalah satu kali haid sedangkan jika ditinggal mati maka 'iddah- nya adalah 'iddah
ditinggal wafat (4 bulan 10 hari).
Para imam mazhab sepakat bahwa batas minimal perempuan mengandung
adalah 6 bulan.Tetapi, Para imam mazhab berbeda pendapat tentang batas
maksimalnya. Hanafi berpendapat: Dua tahun. Dari Maliki diperoleh beberapa riwayat.
Pertama, empat tahun. Kedua, lima tahun. Ketiga, tujuh tahun.
Syafi’i berkata: Empat tahun.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i (empat
tahun). Inilah pendapat yang paling masybur. Kedua; seperti pendapat Hanafi (dua
tahun).
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang perempuan 'iddah yang
mengeluarkan segumpal darah atau segumpal daging.
Hanafi dan Hambali dalam riwayatnya yang jelas mengatakan: 'iddah-nya tidak
habis lantaran mengalami hal tersebut.
Maliki dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya mengatakan: Dengan
keluarnya benda terse but berarti berakhirlah masa 'iddah-nya. Demikian juga menurut
pendapat Hambali dalam riwayat yang lain.
Ihdad diwajibkan bagi perempuan 'iddah yang ditinggal mati suaminya.
Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab. Adapun, yang
dinamakan Ihdad adalah meninggalkan berhias diri dan meninggalkan sesuatu yang
dapat mendorong orang lain tertarik kepadanya dan menikahinya.
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan asy-Sya'bi bahwa ihdad tidak
diwajibkan bagi perempuan yang menjalani 'iddah mabtutah ('iddah yang tidak
memungkinkan bagi suami untuk kembali kepada istrinya).
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat. Menurut qaul qadim-nya, perempuan yang
menjalani 'iddah mabtutah adalah wajib melakukan ihdad. Seperti ini juga pendapat
Hanafi dan salah satu pendapat Hambali.
Dalam qauljadid-nya., Syafi’i berpendapat: Tidak diwajibkan melakukan ihdad
atasnya. Seperti inijuga pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayatnya yang lain.
Apakah perempuan yang tertalak bain dibolehkan keluar dari rumahnya pada
siang hari karena adanya suatu keperluan?
Hanafi berpendapat: Tidak boleh keluar, kecuali dalam keadaan darurat.
Maliki dan Hambali mengatakan: Boleh keluar rumafi secara mutlak.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat di atas. Tetapi
pendapatnya yang paling sahih adalah seperti pendapat Hanafi.
Adapun perempuan dewasa ataupun yang masih kecil dalam hal ihdad ini tidak
ada perbedaan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Tidak ada ihdad bagi perempuan yang masih kecil.
Perempuan dzimmi jika berada di bawah kekuasaan orang Islam, maka ia wajib
menjalankan iddah dan melakukan ihdad. Apabila suami perempuan dzimmi adalah
seorang laki-laki yang dzimmi, maka perempuan itu wajib menjalani iddah tetapi tidak
wajib melakukan ihdad. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Wajib melakukan ihdad, tetapi tidak wajib menjalani
‘iddah.
Budak orang dimiliki dengan jalan pembelian, hibah, waris, atau tawanan, maka
ia harus di-istibra'-kan lebih dahulu jika ia berhaid dengan quru' Sedangkan jika tidak
berhaid karena masih kecil atau sudah putus haid karena telah tua, adalah dengan bulan.
Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Apabila seorang
II budak dijual
kepada seorang perempuan, atau kepada seseorang yang sudah dikebirikan, kemudian
pembeli dan penjual membatalkan akadnya, yakni tidak meneruskan jual-beli tersebut,
maka ia tidak boleh tems menyetubuhinya sebelum dilakukan istibra'.
Hanafi berpendapat: Apabila mereka membatalkan penjualan sebelum
menyerahkan budak yang dijualnya, maka tidak diperlukan istibra'. Sedangkan jika
sudah diserahkan lazimlah istibra'.
Tidak ada perbedaan dalam istibra' antara perempuan yang masih kecil dan
perempuan yang sudah dewasa, antara yang perawan dan janda. Demikian menurut
pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Maliki berpendapat: Jika budak itu termasuk orang-orang yang sudah dapat
disetubuhi, maka ia tidak boleh disetubuhi sebelum istibra'. Sedangkan jika ia termasuk
orang-orang yang belum boleh disetubuhi maka ia boleh disetubuhi tanpa istibra'
terlebih dahulu.
Dawud berpendapat: Perawan tidak perlu istibra'.
Seseorang yang memiliki budak dibolehkan menjualnya sebelum istibra'
walaupun ia telah menyetubuhinya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali.
An-Nakha'i, ats-Tsawri, al-Hasan dan Ibn Sirin mengatakan: Wajib dilakukan
istibra' oleh pembelinya sebagaimana wajib dilakukan istibra' oleh penjualnya.
'Utsman r.a. berpendapat: Istibra' itu hanya diwajibkan atas penjual, bukan bagi
pembeli.
Seseorang yang mempunyai budak perempuan dan sudah disetubuhinya maka ia
tidak boleh langsung menikahinya sebelum dilakukan istibra'. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Dibolehkan untuk langsung menikahinya tanpa dilakukan
istibra'.
Seseorang yang mempunyai budak, lalu disetubuhinya, maka setelah dibeli,
pembeli tidak boleh langsung menikahkan dengan seseorang sebelum dilakukan istibra'.
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Boleh ia dinikahi tanpa istibra'.
Juga, menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Seseorang yang
memerdekakan budaknya sebelum ia dilakukan istibra' tidak dibolehkan baginya
menikahinya.
Hanafi berpendapat: Ia boleh menikahinya sebelum dilakukan istibra' dan boleh
pula ia menikahi budaknya yang bam dibelinya dan dimerdekakan sebelum ia dilakukan
istibra'.
Syafi’i berkata dalam kitabnya al-Hilyah: Inilah masalah yang terjadi antara Abu
Hanifah dan Harun ar-Rasyid yang membeli seorang budak dan tertarik untuk
menyetubuhinya sebelum dilakukan istibra'. Oleh karena itu, Abu Yusuf
membolehkannya dengan cara dimerdekakan dahulu, lalu dinikahinya, kemudian
disetubuhi tanpa perlu dilakukan istibra' terlebih dahulu.
Apabila seseorang memerdekakan ummul walad, atau ummul walad tersebut
menjadi merdeka dengan sebab kematian tuannya maka budak yang telah merdeka itu
menjalani satu kali quru'. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hambali.
Hanafi. berpendapat: Hendaklah ia menjalani 'iddah dengan tiga kali quru'.
'Abdul~ahbin 'Amr bin Ash berpendapat: Apabila tuannya meninggal, hendaklah
Ia menunggu 'iddah empat bulan sepuluh hari. Pendapat seperti ini diterima pula dari
Hambali dan Dawud.
PENYUSUAN
Para imam mazhab sepakat atas wajibnya seseorang yang manafkahi orang-
orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah, dan anak yang masih kecil. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang nafkah para istri, apakah diukur menurut ketentuan
syara' ataukah disesuaikan dengan keadaan suami- istri?
Hanafi ' Maliki ' dan Hambali mengatakan: Diukur menurut keadaan suami-
istri. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi suami yang kaya memberi nafkah kepada
istri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah yang biasa diberikan kepada orang kaya.
Sedangkan suami yang miskin wajib memberi nafkah kepada istri yang miskin, yaitu
sebesar kecukupannya. Suami yang kaya wajib memberikan nafkah kepada istri yang
fakir, yaitu dengan nafkah yang pertengahan antara dua nafkah mereka. Suami yang
fakir memberikan nafkah kepada istri yang kaya adalah sekadar yang diperlukannya,
sedangkan yang lainnya menjadi utangnya.
Syafi’i berpendapat: Nafkah istri ditentukan oleh ukuran syara', dan tidak ada
ijtihad di dalamnya yang dipertimbangkan menurut keadaan suami saja. Oleh karena itu,
suami wajib memberikan nafkah dua mud sehari. Suami yang pertengahan wajib
memberi nafkah l,5 mud sehari. Sedangkan suami yang miskin wajib memberi nafkah
satu mud sehari.
Para imam mazhab sepakat atas wajibnya suami memenuhinya jika istri
memerlukan pelayan. Akan tetapi, Para imam mazhab berbeda pendapat apabila istri
memerlukan pelayan lebih dari satu. .
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Tidak wajib memenuhinya, kecuali
seorang saja, walaupun diperlukan banyak pelayan.
Sedangkan menurut pendapat Maliki yang masyhur: Jika memerlukan dua atau
tiga pelayan maka semuanya wajib dipenuhi.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah istri yang masih kecil,
yang belum dapat disetubuhi oleh suaminya.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Tidak berhak nafkah.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih: Tidak berhak nafkah.
Apabila istri sudah besar, sementara suaminya masih kecil dan belum bisa
bersanggama, maka ia tetap wajib memberikan nafkah. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali.
Maliki berpendapat: Tidak wajib memberikan nafkah.
Syafi'i mempunyai dua pendapat, dan yang paling sahih: Wajib memberikan
nafkah
Suami yang tidak sanggup memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya,
apakah istri berhak meminta pembatalan pernikahan? Hanafi berpendapat: Tidak
berhak, tetapi hendaknya istri diberi kesempatan untuk mencari penghidupan. Maliki,
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Benar, ia berhak meminta pembatalan pernikahan
lantaran suaminya tidak sanggup memberikan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal.
Apabila masa memberikan nafkah sudah lewat, sementara suami tidak bisa
memberikan nafkah kepada istrinya, apakah hal itu masih tetap menjadi kewajiban
suami? Hanafi berpendapat: Nafkah menjadi gugur selama hakim tidak menetapkan
nafkah tersebut. Tetapi, hal demikian menjadi utang bagi suami.
Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas mengatakan:
Nafkah bagi istri tidak menjadi gugur karena lewat masanya. Tetapi, ia menjadi utang
bagi suaminya.
Para imam mazhab sepakat bahwa istri y.ang melakukan nusyuz tidak berhak
nafkah.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang istri yang bepergian dengan izin
suaminya, tetapi bukan bepergian yang wajib, apakah ia masih berhak mendapat
nafkah? Hanafi berpendapat: Gugur nafkahnya. Syafi’i dan Maliki mengatakan: Tidak
gugur.
Istri yang tertalak bain, apabila ia menuntut upah, misalnya dalam menyusui
anaknya, apakah ia lebih berhak daripada yang lain? Hanafi berpendapat: Jika ada
orang lain yang mau menyusui tanpa mengambil upah, atau dengan upah yang lebih
murah daripada upah pada umumnya, maka ayah berhak menyusukan anaknya kepada
orang lain tersebut dengan syarat penyusuan itu dilakukan di sisi ibunya, karena hak
pemeliharaan ada padanya.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, ibunya lebih berhak. Kedua, seperti
pendapat Hanafi.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, ibunya lebih berhak dalam segala
keadaan, dan hakim boleh memaksa mantan suami untuk memenuhi permintaan
istrinya. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua, seperti pendapat Hanafi.
Para imam mazhab sepakat bahwa yang wajib atas istrinya dalam menyusui
anak adalah susuan pertama sampai tiga kali saja. Setelah itu, apakah boleh ibunya
dipaksa untuk menyusui anaknya?.
Hanafi., Syafi'i, dan Hambali mengatakan: Jika ada orang lain yang dapat
menyusuinya maka istri tidak boleh dipaksa.
Maliki berpendapat: Boleh dipaksa selama ibunya masih tetap menjadi istri
ayah anak tersebut, kecuali ibunya tidak terbiasa menyusui anak-anaknya, baik karena
kebangsawanannya, ada penyakit, atau air susunya kurang baik.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai apakah pewaris dipaksa untuk
menafkahi orang yang mewarisi hartanya, baik sebagai ashhabul furudh maupun
sebagai 'ashabah?
Hanafi. berpendapat: Boleh dipaksa untuk memberikan nafkah kepada dzawil
arham, seperti saudara perempuan ibu dan saudara perempuan ayah. Tetapi, tidak
termasuk ke dalamnya anak paman dan semua orang yang bernasab kepadanya karena
persusuan.
Maliki berpendapat: Tidak wajib memberikan nafkah, kecuali kepada kedua
orang tua dan anak-anak kandungnya.
Syafi’i berpendapat: Wajib diberikan nafkah untuk ibu, bapak dan kakek, dan
anak-anak kandung, tetapi tidak melampaui tiang keturunan.
Hambali berpendapat: Tiap-tiap dua orang yang ada hubungan perwarisan di
antara keduanya, baik sebagai ashhabul furudh maupun sebagai 'ashabah, maka mereka
wajib saling menafkahi, seperti ibu-bapak, anak-anak saudara, saudara-saudara
perempuan, dan para paman serta anak-anak mereka. Demikian menurut satu riwayat
Hambali. Sedangkan menurut pendapat lainnya dari Hambali: Jika warisan hanya
berlaku dari satu arah, yaitu dzawil arham, seperti anak saudara laki-laki bersama
saudara perempuan bapak dan anak saudara bapak bersama anak perempuan paman.
Para imam mazhab berbeda pendapat apakah wajib tuan memberi nafkah
kepada budak yang dimerdekakannya? Hanafi dan Syafi'i mengatakan: Tidak wajib
ditanggung lagi oleh mantan tuannya.
Hambali berpendapat: Lazim diberikan oleh mantan tuannya.
Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Kedua, jika dimerdekakannya ketika budak itu masih kecil, belum sanggup berusaha,
lazimlah ia dinafkahi oleh tuannya hingga sanggup berusaha.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang anak yang sudah dewasa, tetapi
miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
Hanafi berpendapat: Nafkah bagi anak yang sudah dewasa dan sehat dari orang
tuanya menjadi gugur. Tetapi nafkah bagi anak perempuan dari orang tuanya tidak
menjadi gugur kecuali ia sudah menikah. Seperti ini juga pendapat Maliki, tetapi ia
mewajibkan kepada bapak untuk tetap memberikan nafkah kepada anak perempuannya
hingga ia dicampuri oleh suaminya.
Syafi’i berpendapat: Nafkah anak yang sudah dewasa gugur dari kewajiban
orang tuanya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan.
Hambali berpendapat: Nafkah anak yang sudah dewasa tetap menjadi
kewajiban bapaknya jika anak tersebut tidak memiliki harta dan pekerjaan.
Para imam mazhab sepakat bahwa anak yang sudah dewasa, tetapi dalam
keadaan sakit, maka nafkahnya tetap menjadi kewajiban bapaknya.
Apabila sakitnya sembuh, lalu sakit lagi, maka kewajiban memberi nafkah
kembali kepada bapaknya, kecuali menurut pendapat Maliki yang menyatakan tetap
menjadi kewajibannya sendiri.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi'i, dan Hambali: Apabila anak perempuan
menikah, lalu disetubuhi suaminya, kemudian ditalak, maka kewajiban memberi nafkah
kembali kepada bapaknya.
Maliki berpendapat: Tidak kembali kepada bapaknya.
Apabila seorang anak kecil mempunyai ibu dan kakek, atau berkumpul anak
perempuan dan anak laki-laki, atau anak perempuan dengan cucu laki-laki dari anak
laki-laki, atau mempunyai ibu dan anak perempuan, maka siapakah yang berkewajiban
memberikan nafkah?
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Nafkah anak kecil ditanggung oleh ibu
dan kakeknya, masing-masing 1,5. Demikian juga jika berkumpul antara anak
perempuan dan anak laki-laki. Menurut Hanafi: Jika berkumpul anak laki-laki dan anak
laki-laki dengan anak perempuan maka nafkah ditanggung oleh anak perempuan.
Sedangkan menurut pendapat Hambali: Nafkah ditanggung oleh keduanya yaitu
separuh-separuh. Jika berkumpul ibu dan anak perempuan, nafkah menjadi kewajiban
mereka berdua yaitu ¼ atas ibu dan ¾ atas anak perempuan.
Syafi’i berpendapat: Nafkah menjadi kewajiban pihak laki-laki saja, yaitu
kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki. Dalam hal ini ahli waris terdiri
dari ibu dan anak perempuan, maka yang memberi nafkah adalah anak perempuan saja.
Maliki berpendapat: Nafkah ditanggung oleh anak kandung laki-laki dan
perempuan. Masing-masing dari mereka menanggung ½ Jika mereka sama-sama kaya.
Sedangkan jika yang satu kaya dan yang lainnya miskin, maka yang kaya wajib
memberi nafkah, sedangkan yang miskin tidak.
Apabila seseorang mempunyai hewan piaraan, tetapi tidak diberi makan apakah
hakim boleh memaksanya untuk membernya makan.? Hanafi berpendapat: Hakim
hendaknya menyuruhnya untuk memberi makan dengan cara amar ma'ruf nahi munkar,
tidak dengan cara paksaan.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Hakim boleh memaksa pemiliknya
untuk memberi makan atau menjualnya.
Maliki dan Hambali melarang pemiliknya untuk membebaninya dengan beban
yang tidak mampu dibawa oleh hewan piaraannya.
PEMELIHARAAN ANAK (HADHANAH)
Para imam mazhab sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada
pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah
disetubuhi oleh suaminya yang baru maka gugurlah hak pemeliharaannya.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika seorang perempuan ditalak bain oleh
suaminya yang baru, apakah hak pemeliharaan itu kembali kepadanya? Hanafi, Syafi’i,
dan Hambali mengatakan: Hak pemeliharaan kembali kepadanya.
Menurut pendapat Maliki dalam riwayatnya yang masyhur: Tidak kembali
kepadanya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai,
sedangkan mereka mempunyai anak. Siapakah yang lebih berhak memelihara anaknya?
Menurut pendapat Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas
anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan
makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak
untuk memeliharanya, Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga
ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
Maliki berkata: Ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia
menikah dengan seorang laki-laki dan disetubuhi. Untuk anak laki-laki juga demikian,
menurut pendapat Maliki yang masyhur, hingga anak itu dewasa.
Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak tersebut laki-laki
maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Sesudah itu, bapak dan ibunya boleh
memilih untuk memelihara. Siapa yang mengambilnya maka dialah yang
memeliharanya.
Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat. Pertama, ibu lebih berhak atas
anak laki-laki sampai berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya
atau tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh
tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapat
Hanafi.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang saudara perempuan sebapak dan
seibu (kandung).Apakah ia lebih berhak memelihara daripada saudara perempuan
sebapak saja?
Hanafi berkata: Saudara perempuan sekandung lebih berhak daripada saudara
perempuan sebapak dan daripada saudara laki-laki ibu. Saudara perempuan seibu lebih
berhak daripada saudara perempuan sebapak. Inilah menurut salah satu riwayat dari
Hanafi. Sedangkan menurut riwayat lain, saudara perempuan sebapak lebih berhak
daripada saudara perempuan Ibu.
Maliki berkata: Saudara perempuan ibu lebih berhak daripada mereka. Saudara
perempuan seibu lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Saudara perempuan sebapak lebih berhak
daripada saudara perempuan seibu dan saudara perempuan ibu.
Apabila ibu mengambil anaknya yang masih kecil untuk dipelihara'. lalu
bapaknya hendak pergi jauh membawanya serta berniat menetap di tempat tersebut,
apakah ia boleh mengambil anak itu dari ibunya?
Hanafi berkata: Tidak boleh. Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayatnya
yang masyhur mengatakan: Boleh ayahnya mengambil anak tersebut dari ibunya.
Apabila orang yang hendak pergi jauh adalah ibunya dengan membawa anak
tersebut, apakah hal itu dibolehkan?
Hanafi berkata: Ia boleh membawanya dengan dua syarat: (1) kepergian
istrinya untuk menuju kampung halaman; (2) akad nikahnya dulu dilaksanakan di
kampung yang ditujunya.
Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, ia tidak boleh membawa anak
itu, kecuali berpindah ke tempat yang tidak jauh dan tempat asal, yang memungkinkan
pulang-pergi dalam sehari. Sedangkan apabila dibawa pindah ke negeri musuh, atau dari
kota ke desa, walaupun dekat, maka tidak boleh.
Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan:
Bapaknya lebih berhak atas anak itu, baik yang berpindah itu bapak maupun ibu si anak.
Menurut pendapat Hambali dan riwayat lainnya: lbu lebih berhak atas anaknya
selama ibu itu belum menikah lagi.
TINDAK PIDANA (JINAYAH)
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang membunuh tidak kekal dalam
neraka, dan tobatnya dari dosa membunuh dapat diterima.
Diriwayatkan dari Ibn 'Abbas, Zaid bin Tsabit, dan adh-Dhahak bahwa orang
yang membunuh tidak diterima tobatnya.
Para imam mazhab juga sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang
Islam yang sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, dengan cara
disengaja, maka ia wajib menerima balasan bunuh (qisas) pula.
Para imam sepakat bahwa tuan yang membunuh budaknya, walaupun dengan
sengaja, tidak dihukum qisas.
Orang kafir yang membunuh orang Islam dihukum bunuh juga. Demikian
menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila orang Islam membunuh orang
dzimmi atau kafir yang mempunyai perjanjian persahabatan. Syafi’i dan Hambali
mengatakan: Ia tidak dihukum bunuh. Seperti ini juga pendapat Maliki. Namun, Maliki
berpendapat apabila yang dibunuh adalah orang dzimmi atau orang yang mempunyai
perjanjian persahabatan, atau orang kafir yang dalam jaminan keamanan, dengan cara
tipuan, maka ia dibunuh juga. Tidak dibolehkan para penguasa memberikan ampunan.
Hanafi berkata: Dibunuh jika ia membunuh orang dzimmi. Sedangkan jika
membunuh orang yang berada dalam jaminan keamanan maka ia tidak boleh dibunuh
pula.
Budak yang membunuh orang merdeka dihukum bunuh. Seperti itu pula, budak
yang membunuh budak. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali Orang merdeka yang
membunuh budak tidak dihukum bunuh. Hanafi berkata: Dihukum bunuh juga.
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang anak yang membunuh salah
seorang dari kedua orangtuanya maka ia pun dikenai hukum bunuh pula.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila ayah membunuh anaknya.
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Tidak dikenai hukum bunuh. Maliki
berkata: Dikenai hukum bunuh pula jika perbuatannya dengan sengaja, seperti sengaja
direbahkan lalu disembelih. Sedangkan jika tidak disengaja, seperti ia melemparkan
pedang kepadanya tanpa berniat membunuhnya maka ia tidak dikenai hukum bunuh.
Kakek dalam soal ini sama dengan ayah.
Para imam mazhab sepakat bahwa perempuan yang membunuh laki- laki
maupun laki-laki yang membunuh perempuan, maka ia dikenai hukum bunuh pula.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah diberlakukan hukum qisas antara
laki-laki dan perempuan dalam kasus yang bukan pembunuhan, atau seorang budak
terhadap budak lainnya? Maliki, Syafi'i dan Hambali mengatakan: Diberlakukan
hukum qisas antara laki-laki dengan perempuan dalam selain dari kasus pembunuhan,
dan antara lelaki dan perempuan dalam kasus selain pembunuhan, dan budak terhadap
budak.
Hanafi berkata: Tidak berlaku demikian.
Sekelompok orang yang bersekutu untuk membunuh seseorang, apakah mereka
wajib dibunuh semuanya?
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Dibunuh semuanya.
Namun, Maliki mengecualikan soal pembunuhan yang dituntut dengan cara
qasamah-yaitu didapati seseorang terbunuh di tengah sekelompok orang dan terdapat
tanda-tanda bahwa orang tersebut mati dikeroyok oleh kelompok tersebut, lalu pihak
penuntut bersumpah 50 kali-maka yang dihukum bunuh dalam soal ini hanya seorang
saja.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi, Maliki,
dan Syafi’i di atas. Ini pula pendapat yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua, kelompok
tersebut tidak dihukum bunuh, tetapi diwajibkan mambayar diyat.
Apakah beberapa tangan dipotong lantaran memotong satu tangan? Maliki,
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Semuanya dipotong. Hanafi berkata: Tidak
dipotong, tetapi diwajibkan membayar diyat, yaitu setiap tangan orang yang memo tong
membayar sama besarnya.
Para imam mazhab sepakat bahwa seseorang yang melukai orang lain dengan
sengaja sehingga orang tersebut sakit serta tetap di pembaringan hingga meninggal
maka ia dikenai hukuman bunuh.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apabila seseorang membunuh orang lain
dengan sesuatu yang berat, seperti kayu besar atau batu besar yang pada umumnya
dapat mematikan, apakah dikenai hukum bunuh?
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Wajib dibunuh dan tidak ada
perbedaan antara memukul dengan batu atau tongkat, membenamkannya ke dalam air,
membakarnya dengan api, mencekiknya, menguburnya, menghalanginya dari makan
dan minum hingga ia meninggal karena kehausan dan kelaparan, menjepitnya, atau
menggaruknya dengan batu besar atau kayu besar, baik tajam maupun tumpul. Pendapat
ini diikuti oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan.
Hanafi berkata: yang mewajibkan ia dihukum bunuh hanyalah pembunuhan
yang dilakukan dengan pembakaran, benda tajam, atau kayu dan batu yang tajam.
Adapun, dengan cara membenamkan ke air, atau dengan menggunakan kayu dan batu
yang tidak tajam, maka tidaklah ia wajib dikenai hukum bunuh.
Menurut pendapat Syafi’i, an-Nakha'i dan al-Hasan al-Bashri: Tidak dibunuh
kecuali dengan memakai benda tajam.
Sedangkan jika dipukul, lalu bengkak tempat yang dipukul tersebut, atau patah
tulang, maka dalam hal ini, dari Hanafi diperoleh dua riwayat.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang seseorang yang membunuh
orang lain dengan tidak disengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut
kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepalan tangan, atau menamparnya
dengan keras. Menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i: Orang tersebut dikenai diyat saja,
tidak dibalas dengan hukum bunuh. Namun, menurut pendapat Syafi’i: Jika pukulan
tersebut berulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh
pula.
Sedangkan menurut pendapat Maliki: Wajib dikenai hukum bunuh juga.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk
membunuh orang lain. Hanafi berkata: yang dikenai hukum bun uh adalah orang yang
memaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali mengatakan: Pelakunya
yang dibunuh.
Syafi’i berkata: yang dibunuh adalah orang yang memaksanya. Sedangkan ten
tang orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang
paling kuat adalah keduanya di-qisas orang yang memaksa dan yang dipaksa. Jika
cukup salah satunya saja maka di-qisas-lah salah satunya.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai gambaran orang yang
memaksa. Menurut pendapat Maliki: Jika pemaksa adalah orang yang berkuasa atau
ditakuti kejahatannya maka di-qisas-lah keduanya, kecuali jika dilakukan oleh budak
yang tidak mengetahui hukum pembunuhan, maka ia tidak dikenai hukuman qisas.
Adapun, menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: yang dianggap
pemaksaan itu yaitu setiap pemaksaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim.
Para imam mazhab juga berbeda pendapat, apabila ada seseorang yang
memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i
mengatakan: Qjsas dikenakan kepada pembunuhnya saja, sedangkan yang
memeganginya hanya dikenai ta'zir.
Maliki berkata: Hal demikian berarti telah bersekutu an tara orang yang
memegang dan yang membunuh, yaitu berserikat untuk membunuhnya. Oleh karena itu,
keduanya dikenai qisas, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk
membunuhnya jika tidak ada yang memegang, dan yang terbunuh tidak mampu
melarikan diri setelah dipegang.
Menurut pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: Pembunuhnya
dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi dipenjara hingga mati. Adapun,
dalam riwayat lain, Hambali berpendapat: Keduanya dikenai hukum bunuh.
Apabila beberapa orang menjadi saksi atas suatu pembunuhan, dan setelah
dilakukan hukuman qisas, mereka menarik kembali kesaksiannya dengan mengatakan,
"Kami tidak sengaja", atau pembunuh yang sebenarnya datang sendiri, maka dalam
masalah ini, pendapat Hanafi: Orang tersebut tidak wajib di-qisas, melainkan hanya
dikenai diyat yang berat.
Syafi’i berkata: Wajib di-qisas. Seperti ini juga pendapat Maliki yang masyhur.
Para imam mazhab sepakat apabila orang-orang tersebut (para saksi)
mengatakan, "Kami bersalah", maka mereka tidak dikenai qisas, melainkan hanya
diwajibkan membayar diyat.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang apa yang wajib ditanggung oleh
pembunuh, lantaran membunuh dengan sengaja. Menurut pendapat Hanafi dan Maliki
dalam salah satu riwayatnya: yang wajib ditanggung adalah qisas. Sedangkan dalam
riwayat yang lain, Maliki berpendapat: Diberi pilihan antara qisas dan diyat
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat. Pertama, yang wajib ditanggung adalah
salah satunya (antara qisas dan diyat), tidak ditentukan. Kedua, yang ditanggung adalah
kewajiban qisas, tetapi bagi penuntut boleh meminta diyat, walaupun tidak disukai oleh
pelakukan pidana. Inilah pendapat Syafi’i yang paling sahih.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat di atas.
Manfaat perbedaan pendapat ini adalah apabila wali korban membebaskannya
maka gugurlah diyat: Sedangkan jika walinya memaafkan qisas maka dikenailah diyat,
walaupun tidak disukai oleh pembunuhnya.
Hanafi berkata: Tidak diperbolehkan pindah pada diyat; kecuali dengan
keridhaan pembunuh. Syafi’i dan Hambali mengatakan: Boleh.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat tersebut di atas.
Para imam mazhab sepakat apabila salah seorang di antara para wali korban
memaafkan qisas, maka menjadi gugurlah hukum qisas dan berpindah pada hukum
diyat.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila yang memaafkan tersebut adalah
perempuan.
Qisas menjadi gugur. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali.
Maliki dalam masalah ini diperoleh riwayat yang berbeda-beda. Menurut
Maliki: Perempuan tidak boleh ikut campur tangan sebagaimana orang laki-laki jika
memang tidak ada 'ashabah yang sederajat dengannya. Dengan demikian, berdasarkan
pendapat ini, dalam hal apakah perempuan boleh campur tangan?
Menurut satu riwayat dari Maliki: Dalam masalah qisas, bukan masalah
pengampunan. Sedangkan dalam riwayat lainnya, Maliki berpendapat: Dalam masalah
pengampunan, bukan masalah pembunuhan (hukum qisas).
Para imam mazhab sepakat bahwa para wali korban, yang berhak dan sudah
dapat dalam pengadilan, dan mereka menuntut qisas, maka haruslah segera
dilaksanakan. Hakim tidak boleh menunda-nundanya, kecuali orang yang dikenai
hukum qisas tersebut adalah seorang perempuan yang sedang hamil. Jika demikian,
bolehlah ditunda hingga ia melahirkan.
Para imam mazhab juga sepakat atas bolehnya menunda hukuman qisas jika
orang yang berhak menuntut tersebut masih kecil atau tidak hadir. kecuali Hanafi yang
berpendapat. jika anak-anak tersebut memiliki seorang ayah yang mewakili mereka,
hendaklah qisas dijalankan terus, tidak boleh ditunda lagi.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika yang berhak menuntut itu masih
kecil dan gila. Hanafi dan Maliki berkata: Tidak dibolehkan menunda hukuman qisas
tersebut. Syafi’i berkata: Boleh menundanya hingga orang yang gila menjadi sembuh
dan anak kecil menjadi dewasa.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, boleh ditunda. Inilah
pendapatnya yang paling jelas. Kedua, tidak boleh.
Para imam mazhab sepakat atas bolehnya menunda qisas jika orang yang
berhak menuntut tersebut tidak hadir atau tidak diketahui keberadaannya.
Ayah tidak boleh menuntut hukuman qisas untuk anaknya yang sudah besar.
Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah ia dibolehkan menuntut untuk
anaknya yang masih kecil? Menurut pendapat Hanafi dan Maliki: Boleh. Sedangkan
menurut pendapat Syafi’i dan pendapat Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas:
Tidak boleh.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai seseorang yang membunuh
sekelompok orang. Hanafi dan Maliki mengatakan: Tidak ada hukuman lain selain
qisas untuk semua korban, dan tidak ada kewajiban apa-apa lagi atasnya.
Syafi’i berkata: Jika ia membunuhnya satu persatu maka ia dihukum bunuh
untuk yang pertama, sedangkan untuk yang lainnya ia diwajibkan membayar diyat. Jika
ia membunuhnya sekaligus maka dilakukan undian di antara para wali korban, dan
pembunuhan (qisas) diberlakukan menurut undian yang keluar, sedangkan sisanya
dibayar dengan diyat.
Hambali berkata: Apabila seseorang membunuh sekelompok orang, lalu para
walinya datang di pengadilan, dan mereka semua menuntut qisas, maka ia dibunuh atas
tuntutan mereka semua dan tidak dikenai kewajiban diyat. Sedangkan jika sebagian
mereka menuntut qisas dan sebagian lainnya meminta diyat, maka ia dibunuh untuk
mereka yang menuntut qisas dan disuruh membayar diyat untuk mereka yang meminta
diyat. Apabila mereka semua menuntut diyat maka masing-masing dari mereka berhak
memperoleh diyat yang sempurna.
Jika seseorang berbuat pidana kepada orang lain, yaitu dengan memotong tangan
kanannya, lalu ia memotong lagi tangan kanan orang lain, maka ia dipotong tangan
kanan untuk kedua orang tersebut serta diminta diyat. Demikian menurut pendapat
Hanafi.
Maliki berkata: Dipotong tangan kanannya untuk keduanya, dan tidak dikenai
diyat.
Syafi’i berkata: Tangan kanannya dipotong atas tuntutan orang yang dipotong
tangan kanannya pertama kali, dan diwajibkan membayar diyat untuk orang yang
kedua. Apabila orang tersebut memotong kedua tangan secara bersamaan maka
diadakanlah undian, sebagaimana dalam kasus pembunuhan. Seperti itu pula jika
kasusnya tidak jelas, siapa yang dipotong terlebih dahulu dan siapa yang kemudian.
Demikian menurut pendapat Syafi'i.
Hambali berkata: Apabila keduanya menuntut potong tangan maka tangannya
dipotong untuk keduanya tanpa dikenai diyat. Jika salah satunya menuntut hukum
potong tangan dan yang lain menuntut diyat maka hukum potong tangan bagi yang
menuntutnya dan diyat untuk yang menuntut diyat.
Apabila seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja, lalu ia meninggal,
maka gugurlah hak wali korban atas qisas dan diyat: Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Maliki.
Sedangkan menurut pendapat Syafi'i dan Hambali: Diyat diambil dari harta
peninggalannya untuk diberikan kepada wali korban.
Para imam mazhab sepakat bahwa penguasa apabila melakukan pemotongan
tangan pencuri, lalu tiba-tiba pencuri itu meninggal lantaran tangannya dipotong, maka
penguasa tersebut tidak dikenai kewajiban apa pun.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika yang melaksanakannya adalah wali
korban. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: wali tersebut tidak dikenai apa-apa.
Hanafi berkata: Wali tersebut wajib menanggung qisas.
Apabila wali korban memotong tangan pembunuh, maka jika wali tersebut
sebelumnya telah memaafkan qisas pembunuhan, hendaknya dipotong tangan orang
yang memotong itu. Sedangkan jika sebelumnya tidak memaafkan maka orang yang
memotong tangan tidak dikenai apa-apa. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Maliki berkata: Tangan wali korban yang memo tong tangan itu wajib dipotong
pula, baik sebelumnya ia telah memaafkan qisas pembunuhan maupun tidak.
Syafi'i berkata: Wali yang memotong tangan si pembunuh tidak dikenai apa-apa
serta tidak di-qisas tangan, baik sebelumnya ia telah memaafkan qisas pembunuhan
maupun tidak.
Hambali berkata: Wajib dikenai diyat atas pemotongan tangan untuk setiap
keadaan.
Para imam mazhab sepakat bahwa tangan yang sehat tidak dipotong lantaran
telah memotong tangan yang lemah, dan tidak dipotong tangan yang kanan lantaran
telah memotong tangan yang kiri. Demikian juga sebaliknya, tidak dipotong tangan kiri
lantaran memotong tangan yang kanan.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai apakah qisas selain jiwa,
seperti melukai, boleh dilakukan sebelum kesembuhannya? Hanafi, Maliki, dan
Hambali mengatakan: Tidak boleh dilakukan kecuali setelah sembuh. Syafi’i berkata:
Boleh dilakukan, walaupun ia belum sembuh.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang alat yang dipergunakan untuk
melakukan qisas. Hanafi berkata: Tidak boleh dilakukan qisas, kecuali dengan pedang,
baik untuk qisas pembunuhan maupun qisas lainnya. Maliki dan Syafi’i mengatakan:
Hendaknya disamakan dengan alat yang digunakan untuk melakukan pidana tersebut.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat tersebut.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang membunuh di tanah al-Haram
maka boleh dilakukan hukum qisas di tanah al-Haram lagi.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai orang yang membunuh di luar
tanah al-Haram lalu melarikan diri ke tanah al-Haram, atau seseorang dijatuhi hukuman
bunuh di luar tanah al-Haram karena kafir atau berzina atau karena murtad kemudian ia
melarikan diri ke tanah al- Haram. Hanafi dan Hambali mengatakan: Tidak boleh
dibunuh di tempat tersebut (tanah al-Haram), tetapi ia disandera atau ditahan sehingga
tidak melakukan jual-beli sesuatu barang sampai ia keluar dari tanah tersebut, lalu
dibunuh.
Syafi’i dan Maliki mengatakan: Boleh dibunuh di tanah al-Haram.
DIYAT
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang laki-laki Muslim lagi
merdeka adalah 100 unta yang diambilkan dari harta Pembunuh dengan sengaja apabila
ia dilepaskan dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda
pembayarannya? Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Harus segera dibayar.
Hanafi berkata: Boleh ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat pembunuhan yang
disengaja. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: Unta-
unta diyat tersebut dibagi empat bagian, masing-masing 25 ekor. Keempat bagian itu
sebagai berikut:
1. 25 ekor bintu makhad;
2. 25 ekor bintu labun;
3. 25 ekor hiqqah:
4. 25 ekor jadz'ah.
Syafi’i berkata: Diambilkan dari hiqqah sebanyak 30 ekor, dari jadz'ah sebanyak
30 ekor. Seperti ini juga pendapat lainnya dari Hambali.
Adapun, diyat pembunuhan setengah sengaja adalah sebagaimana diyat
pembunuhan dengan sengaja. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan
Hambali.
Sedangkan Maliki mempunyai beberapa riwayat yang berbeda-beda. Mengenai
diyat pembunuhan yang tidak sengaja adalah 20jadz'ah + 20 hiqqah +20 bintu labun +
20 ibn makhad +20 bintu makhad. Demikian menurut pendapat keempat imam
mazhab. Namun, pendapat Maliki dan Syafi’i: Ibn makhad diganti dengan ibn labun.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah
keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Boleh
dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta. Sedangkan menurut Syafi’i: Unta tidak
boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang dikehendaki
oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka Syafi’i mempunyai dua
pendapat. Pertama, qaul jadid yang paling kuat adalah boleh diganti dengan harganya
sesuai dengan harga ketika merierima diyat tersebut. Kedua, qaul qadim yang
menyatakan boleh diganti dengan 1000 dinar atau 12.000 dirham, dan hal ini dapat
dilakukan jika memang terpaksa.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang besarnya diyat berupa dirham.
Hanafi berkata: 10.000 dirham. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: 12.000
dirham.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang sapi dan unta. Hanafi, Maliki,
dan Syafi’i mengatakan: Hewan tersebut tidak boleh dipakai membayar diyat, kecuali
ada kerelaan di antara kedua belah pihak, asalkan sesuai dengan harga unta.
Hambali berkata: Untuk sapi dan kambing ada ukurannya, yaitu 100 sapi dan
1000 kambing.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang apabila terjadi pembunuhan di
tanah al-Haram, atau korban adalah muhrimnya, terjadi pembunuhan pada bulan Haram,
atau pembunuhan yang dilakukan oleh muhrimnya, apakah dalam pembunuhan-
pembunuhan tersebut diyat diperberat?
Hanafi berkata: Tidak diperberat diyat lantaran pembunuhan-pembunuhan
tersebut. Namun, dikenakan sama dengan diyat yang lain.
Maliki berkata: Diyat harus diperberat jika pembunuhan itu dilakukan oleh
ayah terhadap anaknya.
Diyat yang diberatkan itu ialah diyat yang terdiri atas tiga jenis unta, yaitu 30
hiqqah + 30jadz'ah + 40 hiqqah.
Dalam hal diyat yang berupa emas dan perak, dari Maliki diperoleh dua riwayat,
dan pendapatnya yang masyhur: Untuk dua jenis diyat itu tidak bisa diperberat.
Pendapat lainnya menyatakan: Dapat diberatkan. Sedangkan sifat pemberatannya, dari
Maliki diperoleh dua riwayat. Pendapat yang paling masyhur menyatakan: Dengan cara
membayar harga unta yang dipakai untuk membayar diyat yang diperberat itu.
Menurut pendapat Syafi’i: Diperberat diyat pembunuhan yang dilakukan di
tanah al-Haram, yang dilakukan muhrimnya, atau yang dilakukan pada bulan Haram.
Apakah diperberat pembunuhan yang dilakukan ketika ihram? Syafi’i dalam hal
ini mempunyai dua pendapat, dan yang lebih kuat: Tidak diperberat, dan tidak ada
pemberatan kecuali berupa unta. Adapun, tentang emas dan perak, keduanya tidak
masuk ke dalam pemberatan. Sifat pemberatan itu berkaitan dengan umur unta saja,
yaitu ditambah dari diyat biasa. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Menurut pendapat Hambali: Diperberat diyat pada setiap pembunuhan tersebut.
Sifat pemberatannya adalah jika pemberatan itu berupa emas dan perak, maka ditambah
beratnya melebihi diyat yang biasa. Sedangkan jika berupa unta, maka harus ditambah
jumlahnya.
Syafi’i dan Hambali berbeda pendapat apakah diyat dapat dijadikan satu?
Seperti pembunuhan yang terjadi di tanah al-Haram, pada bulan Haram, dan korban
adalah muhrimnya sendiri.
Menurut pendapat Syafi’i: Hams diperberat diyat-nya, tetapi hanya satu diyat.
Adapun menurut Hambali; Masing-masing kejahatan tersebut dikenai 1/3 diyat.
Para imam mazhab sepakat bahwa melukai anggota badan yang dapat diambil
qisas wajib dituntut qisas. Melukai anggota badan yang tidak dapat diambil qisas tidak
ada qisas. Pelukaan itu ada 10 macam, yaitu:
1. al-kharisah, yaitu pelukaan yang membelah kulit;
2. ad-damiyah, yaitu pelukaan yang mengeluarkan darah saja;
3. al-badhi'ah, yaitu pelukaan yang membelah daging;
4. al-mutalahanah, yaitu pelukaan yang masuk ke dalam daging;
5. as-samhaq, yaitu pelukaan yang hampir mengenai tulang.
Kelima macam pelukaan ini, diyat-nya. tidak ada yang ditentukan oleh syara'.
Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab. Namun, Hambali
meriwayatkan bahwa Zaid r.a. pernah menghukum diyat karena pelukaan yang
mengeluarkan darah saja dengan membayar seekor unta. Diyat pelukaan yang
membelah daging adalah membayar 2 unta. Diyat pelukaan yang masuk ke dalam
daging adalah membayar 3 unta. Diyat pelukaan yang hampir mengenai tulang adalah
membayar 4 unta.
Hambali berkata: Kami berpendapat demikian juga, demikian menurut satu
riwayat. Sedangkan dalam riwayat lainnya, pendapat Hambali sama dengan pendapat
Para imam mazhab lainnya.
Para imam mazhab sepakat bahwa dalam lima macam pelukaan tersebut
pelaksanaan pembayaran diyat-nya dilakukan setelah lukanya sembuh.
Adapun, lima macam pelukaan lagi ditentukan diyat-nya oleh syara' yaitu:
6. al-moudhiliah, yaitu pelukaan yang hingga terlihat tulang. Yaitu, jika hal itu
terjadi pada wajah, maka diyat-nya adalah 5 unta. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya. Dalam riwayat lain Hambali
menyatakan: 10 unta.
Maliki berkata: Untuk pelukaan sampai menampakkan tulang pada hidung dan
dagu bagian bawah ada ketentuan diyat khusus. Sedangkan untuk tempat lain di wajah
diyat-nya adalah 5 ekor unta.
Apabila terjadi pelukaan pada kepala, apakah itu termasuk pelukaan yang
memperlihatkan tulang pada wajah? Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i:
Termasuk.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat ketiga imam
mazhab di atas. Kedua, jika pada wajah diyat-nya adalah 10 ekor unta. Sedangkan jika
pada kepala diyat-nya adalah 5 ekor unta.
Para imam mazhab sepakat bahwa pelukaan yang memperlihatkan tulang dan
dilakukan dengan sengaja pelakunya dikenai tuntutan qisas.
Selanjutnya, pelukaan yang ada ketentuan diyat-nya menurut syara', yaitu:
7. al-hasyimah, yaitu pelukaan yang mematahkan atau memecahkan tulang.
Diyat-nya adalah 10ekor unta. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali Sedangkan dari Maliki diperoleh beberapa riwayat yang berbeda-beda.
Menurut suatu riwayat, dikatakan 5 ekor unta dan penaksiran, Riwayat lain
menyebutkan 10 ekor unta. Menurut riwayat para ulama, pengikut Maliki adalah 10
ekor unta sebagaimana pendapat jamaah di atas.
8. al-manqilah, yaitu pelukaan yang menyebabkan terlihat tulang, mematahkan
serta memindahkannya dari tempatnya. Diyat-nya. adalah 15 ekor unta. Demikian
menurut ijma Para imam mazhab.
9. al-ma'mumah, yaitu pelukaan menembus permukaan otak. Diyat-nya adalah
1/3 diyat biasa. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
10. al-ja'ifah, yaitu pelukaan yang mengenai perut, dada, atau lambung. Diyat-
nya adalah 1/3 diyat biasa. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Para imam mazhab sepakat bahwa qisas mata harus dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, dan gigi dengan gigi.
Diyat dua mata adalah diyat yang sempurna, yaitu l 00 ekor unta. Hidung yang
dipotong diyat-nya 100 ekor unta. Demikian juga lidah diyat-nya adalah 100 ekor unta,
dua bibir diyat-nya 100 ekor unta, dan seluruh gigi yang berjumlah 32 buah diyat-nya
100 ekor unta. Sedangkan untuk sebuah gigi, diyat-nya 5 ekor unta. Untuk dua dagu
diyat-nya 100 ekor unta. Jika satu dagu, sedangkan yang lainnya masih ada, diyat-nya
50 ekor unta. Pengarang kitab at-Tatimmah dari ulama Syafi’i me-musykilkan tentang
wajibnya diyat pada kedua dagu, karena tidak ada hadis yang menerangkan demikian.
Sedangkan qiyas tidak dapat digunakan dalam hal ini. Melainkan, tulang dagu termasuk
tulang bagian dalam sebagaimana tulang dada dan tulang rusuk.
Sedangkan dua telinga diyat-nya 100 ekor unta. Demikian menurut pendapat
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat ketiga imam
mazhab di atas. Kedua, ditaksir oleh hakim.
Para imam mazhab sepakat bahwa pada empat kelopak mata ada diyat-nya,
yaitu diyat yang sempurna (100 ekor unta); masing-masing kelopak diyat-nya 25 ekor
unta, kecuali Maliki yang berpendapat harus ditetapkan oleh hakim.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat mata yang tidak dapat;
dipakai melihat (buta), tangan yang lumpuh, kemaluan laki-laki yang impoten,
kemaluan laki-laki yang dikebiri, lidah yang kelu (bisu), jari-jari yang lebih, dan gigi
yang hitam.
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i yang paling jelas: Dikenai
hukuman-menurut penaksiran dan keputusan hakim.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, dikenai diyat. Inilah pendapatnya
yang kuat. Kedua, seperti pendapat ketiga imam mazhab lainnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika pelukaan tersebut pada tulang rusuk,
tulang pinggang, tulang hasta, tulang sendi, dan tulang paha. Hanafi, Syafi’i, dan
Maliki mengatakan: Hal demikian dikenai hukumah (ganti rugi menurut penaksiran dan
keputusan hakim).
Hambali berkata: Jika pelukaan tersebut pada tulang rusuk dan pada pinggang
maka dikenai diyat seekor unta. Sedangkan jika pada lengan kanan, persendian, dan dua
paha dikenai diyat 2 ekor unta, dan dua persendian adalah 4 ekor unta.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila seseorang memukul dan melukai
orang lain hingga terlihat tulangnya, lalu orang tersebut hilang akal atau gila. Apakah
pelukaan tersebut termasuk ke dalam diyat akal ataukah tidak?
Menurut pendapat Hanafi dan salah satu pendapat Syafi'i: Ia dikenai diyat akal
dan diyat pelukaan. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i yang dianggap paling sahih
oleh para ulama pengikutnya adalah bahwa orang tersebut dikenai dua diyat, yaitu diyat
akal dan diyat pelukaan. Seperti ini juga pendapat Maliki dan Hambali.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila seseorang mencabut gigi orang
lain yang telah berlubang. Hanafi dan Hambali mengatakan: Orang tersebut tidak
dikenai suatu beban apa pun.
Maliki berkata: Wajib pertanggungan, dan tidak gugur kewajiban itu meskipun
gigi tersebut dikembalikan.
Syafi'i mempunyai dua pendapat, dan menurut pendapatnya yang paling sahih
adalah wajib pertanggungan, dan tidak menjadi gugur meskipun dikembalikan.
Apabila seseorang memukul gigi orang lain, lalu gigi itu berubah menjadi hitam
(karena sakit) maka ia wajib membayar diyat gigi, yaitu 5 ekor unta. Demikian menurut
pendapat Hanafi, Maliki, dan salah satu pendapat Hambali. Sedangkan menurut
pendapat lainnya, Hambali menyatakan: 1/3 diyat gigi. Maliki memberi tambahan,
yaitu jika gigi menjadi hitam setelah pemukulan tersebut maka dikenai diyat lagi.
Menurut pendapat Syafi’i: Dalam perkara tersebut hanya dikenai hukumah
(ganti rugi menurut penaksiran dan keputusan hakim).
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila seseorang memotong lidah anak
kecil yang belum dapat berbicara. Hanafi berkata: Ia hanya dikenai hukumah.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Dikenai diyat yang sempurna 100
ekor unta.
Apabila seseorang mencungkil mata yang asalnya memang buta maka ia wajib
membayar diyat yang sempurna (100 ekor unta). Demikian menurut pendapat Maliki
dan Hambali.
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi'i: Orang tersebut wajib membayar ½ diyat-
yaitu 50 ekor unta.
Apabila seseorang mencungkil mata, yang sebelah buta dan yang sebelah lagi
masih dapat melihat, dan dilakukan dengan sengaja, maka ia dikenai qisas. Sedangkan
jika dimaafkan, maka ia membayar ½ diyat.
Menurut pendapat Maliki: Orang tersebut tidak berhak qisas. Apakah ia wajib
membayar separuh diyat atau diyat sempurna? Dari Maliki diperoleh dua riwayat.
Menurut pendapat Hambali: Tidak di-qisas, tetapi diwajibkan membayar diyat
yang sempurna.
Para imam mazhab sepakat bahwa kedua tangan dikenai diyat 100 ekor unta,
Sedangkan jika satu tangan dikenai separuh diyat sempurna (50 ekor unta). Demikian
pula had-nya dengan kedua kaki.
Para imam mazhab sepakat bahwa hilangnya pendengaran yang di- sebabkan
pelukaan orang lain menyebabkan pembayaran diyat.
Apabila seseorang memukul orang lain lalu hilang janggutnya dan tidak tumbuh
kembali, hilang rambut kepalanya, hilang bulu alisnya, atau bulu matanya dan tidak
tumbuh lagi, maka ia dikenai diyat. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: Hanya dikenai hukumah.
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat orang perempuan yang merdeka dan
Muslimah terhadap jiwanya adalah separuh diyat laki-laki Muslim yang merdeka.
Kemudian, Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah sama dengan laki-
laki dalam had pelukaan? Menurut pendapat Hanafi dan pendapat Syafi'i dalam
qauljadid-nya Tidak sama. Diyat pelukaannya separuh dari diyat pelukaan laki-laki,
baik sedikit maupun banyak.
Menurut pendapat Maliki, pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya. dan
Hambali dalam salah satu riwayatnya: Sama dengan diyat laki-laki dalam diyat-diyat
yang kurang dari sepertiga. Sedangkan jika lebih dari sepertiga maka dihitung separuh
dari diyat laki-laki.
Adapun menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: Diyat perempuan
menyamai diyat laki-laki sehingga sepertiga diyat, dan jika lebih maka dihitung
separuhnya. Demikian pendapat Hambali yang dipilih oleh al-Khiraqi.
Apabila seorang suami menyetubuhi istrinya, padahal istrinya belum pantas
untuk disetubuhi, karena masih kecil misalnya, lalu rusaklah kemaluannya, maka suami
tersebut tidak dikenai kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat Hanafi dan
Hambali.
Syafi’i berkata: Dikenai diyat.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang paling masyhur
menyatakan bahwa suami dikenai kewajiban membayar kerugian. Pendapat lainnya:
Dikenai diyat.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang diyat ahli kitab, seperti Yahudi
dan Nashrani. Menurut pendapat Hanafi: Diyat-nya adalah seperti diyat orang Islam,
baik dalam keadaan disengaja maupun tidak, tidak ada perbedaan.
Menurut pendapat Maliki: Diyat-nya adalah separuh dari diyat orang Islam, baik
disengaja maupun tidak.
Menurut pendapat Syafi’i: Sepertiga dari diyat orang Islam.
Adapun, menurut pendapat Hanmbali: jika orang Yahudi dan Nashrani tersebut
mempunyai perjanjian keamanan dengan orang Islam lalu dibunuh oleh orang Islam
dengan sengaja, maka diyat-nya adalah seperti diyat orang Islam. Sedangkan jika
melakukannya tidak sengaja maka Hambali mempunyai dua pendapat. Pertama, diyat-
nya separuh dari diyat orang Islam. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua,
diyat-nya adalah sepertiga diyat orang Islam.
Diyat orang Majusyi seperti diyat orang Islam, baik melakukannya dengan
sengaja maupun tidak. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: Diyat orang Majusi adalah 800 dirham,
baik disengaja maupun tidak.
Menurut pendapat Hambali: Jika disengaja maka diyat-nya adalah 1600 dirham,
sedangkan jika tidak disengaja maka diyat-nya adalah 800 dirham.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang diya: perempuan ahli kitab dan
Majusi. Menurut pendapat tiga imam, diyat-nya adalah separuh dari diyat orang laki-
laki di kalangan mereka, baik dengan sengaja maupun tidak.
Sedangkan menurut pendapat Hambali: Jika tidak disengaja maka diyat- nya
adalah separuh dari diyat laki-laki. Jika disengaja maka diyat-nya adalah seperti diyat
orang laki-laki di kalangan mereka.
Budak yang melakukan pembunuhan tanpa disengaja, dibolehkan bagi tuannya
memilih antara membayar tebusan dan memberikan budak tersebut kepada yang
bersangkutan untuk dijual. Jika ada kelebihan dari harganya sesudah diambil diyat yang
menjadi bebannya maka kelebihan dikembalikan kepada tuannya. Demikian menurut
pendapat Syafi’i.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Tuannya boleh memilih antara
memberikan tebusan dan menyerahkan budak tersebut kepada wali korban untuk
dimiliki, baik harganya melebihi diyat maupun tidak.
Budak yang membunuh dengan sengaja dibolehkan bagi wali korban mengambil
qisas, dan boleh memaafkan dengan membayar diyat, tetapi tidak boleh dimiliki dengan
sebab perbuatan pidananya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hanafi.
Maliki dan Hambali mengatakan: Budak tersebut terus menjadi milik wali
korban, dan sesudah dimiliki, ia boleh dibunuh, boleh diperbudak, dan boleh pula
dimerdekakan. Namun, dalam hal ini Maliki memberikan syarat, yaitu cukup bukti-
bukti yang menunjukkan bahwa budak tersebut telah membunuh. Sedangkan jika hanya
pengakuannya maka tidak diterima.
Menurut pendapat tiga imam mazhab, orang merdeka jika membunuh budak
tanpa sengaja, maka diyat-nya ditanggung oleh si pembunuh sendiri, bukan oleh
'ashabah-nya. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: Ditanggung oleh 'ashabah si
pembunuh.
N amun, Syafi’i dalam pendapatnya yang lain mengatakan: Diyat tersebut
ditanggung oleh 'ashabah si pembunuh yang tidak disengaja.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali Tindakan-tindakan pidana
yang mempunyai kadar diyat terhadap orang merdeka diukur menurut kadar si budak
dengan diyat dari harganya.
Maliki berkata: Dibayar kurang dari harga si budak.
Apabila dua orang penunggang kuda bertabrakan, lalu keduanya meninggal,
masing-masing keluarganya dikenai diyat yang sempurna dan diberikan kepada yang
lain. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali.
Dari Hanafi diperoleh beberapa riwayat yang berbeda-beda. Ad-Damaghani
berkata: Sesungguhnya dalam masalah ini ada dua riwayat. Pertama, seperti pendapat
Maliki dan Hambali tersebut di atas. Kedua, masing-masing keluarganya dikenai
separuh diyat yang diberikan kepada yang lain. Seperti ini juga pendapat dalam mazhab
Syafi’i. Syafi’i berkata: Dari peninggalannya diambil separuh diyat untuk diberikan
kepada yang lain. Dalam pendapat yang lain, Syafi’i mengatakan: Keduanya tidak
dikenai apa-apa, karena keduanya meninggal. Hal ini adalah seperti musibah yang
menimpanya, yang tidak dikehendaki.
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat atas pembunuhan yang tidak sengaja
dibebankan kepada 'ashabah si pembunuh, dan wajib dibayar dalam tempo tiga tahun,
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah pembunuh termasuk 'ashabah;
lalu boleh membayar diyat bersama-sama mereka? Hanafi berkata: Pembunuh adalah
seperti seorang 'ashabah. Ia harus memikul satu bagian dari yang dipikul oleh 'ashabah-
nya.
Para ulama pengikut Maliki berbeda pendapat dalam masalah ini.
Ibn al-Qasim berpendapat seperti pendapat Hanafi. Sedangkan yang lain
berpendapat bahwa pembunuh tidak menanggung tanggungan 'ashabah-nya.
Syafi'i berkata: Pembunuh tidak dikenai kewajiban apa pun jika 'ashabah-nya
mampu membayar diyat. Jika tidak mampu maka pembunuh harus menanggung diyat-
nya sendiri.
Hambali berkata: Pembunuh tidak dibebani kewajiban apa pun, baik 'ashabah-
nya mampu membayar diyat maupun tidak. Dengan demikian, apabila semua 'ashabah-
nya. tidak mampu membayar diyat, berpindahlah kewajiban membayar diyat, tersebut
menjadi kewajiban Baitul Mal.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang diyat yang ditanggung oleh
'ashabah-nya. Apakah ada ketentuan khusus mengenai besarnya, menurut kemampuan
atau ditetapkan oleh keputusan hakim?
Hanafi berkata: Disamakan di antara mereka, lalu diambil dari masing-masing
mereka sebesar 3 dirham hingga 4 dirham.
Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak ditentukan ukurannya, melainkan
diserahkan pada kemudahan masing-masing dari mereka, yang tidak memberatkan
mereka.
Syafi’i berkata: Ditentukan kadarnya yang dibebankan kepada 'ashabah yang
kaya sebesar ½ dinar, dan yang pertengahan sebesar 1/4 dinar, tidak boleh kurang.
Apakah disamakan dalam menanggung diyat antara 'ashabah yang miskin dan
yang kaya? Hanafi berkata: Sama saja di antara keduanya. Maliki, Syafi’i dan
Hambali mengatakan: Yang kaya menanggung lebih banyak daripada yang
pertengahan.
Apakah para 'ashabah yang tidak berada di tem pat dikenai juga kewajiban diyat,
sebagaimana yang hadir? Hanafi dan Hambali mengatakan: Kedua- duanya sama-sama
mempunyai beban membayar diyat.
Maliki berkata: Anggota keluarga yang tidak berada di tempat tidak dibebani
kewajiban apa pun, yaitu jika ia berada di negeri yang beriklim berbeda dengan iklim
negeri yang ditempati keluarganya.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat Para imam mazhab
tersebut di atas.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai tertib urutan orang yang
memikul beban diyat. Menurut pendapat Hanafi: yang dekat kekerabatannya dan yang
jauh sama saja bebannya.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali Ditentukan menurut tertib 'ashabah,
yaitu yang dekat didahulukan, lalu yang lebih dekat lagi. Jika yang dekat saja sudah
mencukupi maka yang lainnya tidak dikenai beban apa pun. Sedangkan jika yang dekat
belum mencukupi maka barulah dikenakan beban itu kepada kerabat yang jauh.
Demikian seterusnya dikenakan kepada yang paling jauh derajatnya menurut aturan
penerimaan waris.
Mengenai tahun pembayaran, apakah dihitung dari kematian orang yang
terbunuh atau dihitung sejak hakim memberikan keputusan? Menurut pendapat Hanafi:
Perhitungannya dimulai sejak hakim memberikan keputusan.
Menurut pendapat Maliki, Syafi'i dan Hambali: Sejak kematian korban.
Apabila orang yang menanggung kewajiban diyat menanggungnya selama
setahun lalu meninggal, apakah kewajiban tersebut menjadi gugur? Hanafi berkata:
Gugur, dan tidak diambilkan dari harta peninggalannya.
Adapun dalam mazhab Maliki, Ibn al-Qasim menyatakan: Tanggungan itu
dikenakan pada hartanya, dan diambilkan dari harta peninggalannya.
Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Diambilkan dari
harta peninggalannya.
Apabila tembok seseorang miring kejalan atau ke dalam pekarangan orang lain,
lalu tembok tersebut roboh mengenai seseorang hingga meninggal, padahal pernah
diminta kepada pemilik"tembok agar membongkamya tetapi tidak dikerjakan sedangkan
mungkin ia mampu mengerjakannya, maka ia dimintai pertanggungan atas kematian itu.
Sedangkan jika ia memang tidak memiliki kemampuan untuk membongkarnya maka ia
tidak dikenai pertanggungan. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Menurut pendapat Maliki dan Hambali dalam satu riwayatnya: Jika pernah
dikemukakan kepada pemilik tembok agar membongkamya, tetapi ia tidak mau
membongkar, maka ia dikenai pertanggungan. Maliki menambahkan: Ketika
mengajukan pembongkaran itu, hendaknva disaksikan.
Dalam riwayat lain, Maliki menyatakan: Apabila keadaan tembok tersebut
sudah sangat mengkhawatirkan, lalu menimpa orang tersebut, maka pemilik tembok
dikenai kerugian, baik pernah diminta untuk membongkar maupun tidak.
Menurut pendapat Hambali dalam riwayat yang lain: Orang tersebut tidak
dikenai kerugian sama sekali. Inilah pendapat Hambali yang masyhur: Menurut
pendapat para ulama mazhab Syafi'i yang paling sahib: Hal demikian tidak menjadikan
pemiliknya dikenai kerugian.
Apabila seseorang mengejutkan seorang anak atau orang yang kurang akal, yang
sedang berada diatas atap atau di atas tembok, lalu anak atau orang tersebut jatuh
kemudian meninggal, atau seorang penguasa mengirim utusan kepada orang perempuan
yang hamil untuk datang ke sidang pengadilan, karena terkejutnya keguguran
kandungannya lalu meninggal, maka orang yang mengejutkannya tidak dikenai
kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Syafi'i berkata: Dikenakan diyat kepada 'ashabah orang yang mengejutkan
tersebut, kecuali terhadap orang yang sudah balig, maka tidak ada pertanggungan atas
'ashabah dalam masalah ini.
lbn Hubairah, seorang ulama pengikut Syafi'i, mengatakan: Diwajibkan
menanggung kerugian.
Maliki berkata: Semua diyat ditanggungkan kepada 'ashabah-nya, kecuali
dalam masalah perempuan tersebut. Dalam had ini, seseorang tidak dikenai kewajiban
apa pun.
Hambali berkata: Diyat dalam kasus tersebut ditanggungkan kepada 'ashabah-
nya. Dan penguasa tersebut.
Jika seseorang memukul perut perempuan yang sedang hamil, kemudian
perempuan itu meninggal setelah melahirkan janin, maka orang tersebut dikenai diyat
atas pemukulan saja dengan diyat yang sempurna (100 ekor unta). Sedangkan untuk
kematian janinnya, ia tidak dikenai kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Maliki.
Syafi'i dan Hambali berkata: Orang tersebut dikenai diyat yang sempuma, dan
memberikan budak atas kematian janin.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang nilai harga dari budak
perempuan jika kandungan itu dimilikinya. Maliki, Syafi'i dan Hambali mengatakan:
Nilai harga kandungan budak jika kandungan itu juga dimiliki adalah sepersepuluh
harga ibunya yang ditaksir pada hari terjadinya kejahatan atas ibunya, baik kandungan
itu berisi janin laki-laki maupun perempuan.
Adapun kandungan ummul walad, diyat-nya adalah seorang budak yang nilai
harganya seperdua puluh dari diyat ayahnya. Demikian juga kandungan perempuan
dzimmi jika ayah dari anak yang dikandung itu seorang Muslim. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi'i dan Hambali.
Hanafi berkata: Terhadap janin laki-laki adalah seperdua puluh harganya, dan
terhadap perempuan adalah sepersepuluh harganya.
Apabila seseorang menggali sumur di halaman rumahnya, maka ia dimintai
kerugian atas kerusakan apa pun yang disebabkan sumur itu. Demikian menurut
pendapat Hanafi, Syafi'i, dan Hambali.
Maliki berkata: Tidak dikenai pertanggungan sama sekali.
Apabila seseorang menguruk tanah di sekitar masjid, atau menggali sumur untuk
kemaslahatan masjid, atau memasang lampu tanpa mendapatkan izin tetangganya, lalu
ada orang meninggal disebabkan barang- barang tersebut, maka orang tersebut dapat
dikenai pertanggungan. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, yaitu mewajibkan pertanggungan dan tidak
mewajibkan pertanggungan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang lebih jelas
menyatakan: Tidak dikenai pertanggungan.
Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa seseorang yang menebarkan kerikil di
sekitar rumahnya, lalu tergelincirlah seseorang karenanya, maka ia tidak dikenai
pertanggungan apa pun.
Jika seseorang membiarkan anjing galak di rumahnya, lalu ada orang lain masuk
ke rumah tersebut padahal ia mengetahui bahwa di rumah itu ada anjing galak, lalu ia
digigit anjing tersebut, maka pemilik rumah tidak dikenai pertanggungan apa pun.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi'i.
Maliki berkata: Ia dikenai pertanggungan dengan syarat pemilik rumah
mengetahui bahwa anjing tersebut adalah anjing galak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapat yang paling jelas
menyatakan: Pemilik rumah tidak dikenai pertanggungan apa pun
QASAMAH
Qasamah ialah sumpah para penuntut atau para tertuduh dalam kasus
pembunuhan sebanyak 50 kali.
Para imam mazhab sepakat bahwa qasamah disyariatkan atas suatu
pembunuhan yang tidak diketahui pembunuhnya. Namun, mereka berbeda pendapat
tentang sebab-sebab yang mewajibkan qasamah.
Menurut pendapat Hanafi: Sebab yang menyebabkan dilakukan qasamah adalah
adanya orang yang terbunuh di suatu tempat yang dipelihara oleh suatu kaum, seperti
kampung kecil, rumah, masjid dan suatu desa. Semua itu mewajibkan penduduknya
bersumpah. Adapun, yang dipandang terbunuh adalah setiap mayat yang tidak
mendapatkan izin tetangganya padanya bekas bacokan atau pukulan atau cekikan.
Sedangkan jika darahnya keluar dari hidung dan dubumya maka tidak dipandang
terbunuh. Apabila darah keluar dari telinga atau dari kedua matanya maka itu dianggap
pembunuhan yang mewajibkan dilakukan qasamah.
Menurut pendapat Maliki: Sebab-sebab yang diakui dalam dilakukannya
qasamah adalah jika korban mengatakan, Aku dibunuh oleh si fulan dengan sengaja",
dan juga korban itu sudah dewasa, Muslim dan merdeka, baik ia seorang yang fasik
maupun adil, laki-laki maupun perempuan. Atau, adanya seorang saksi yang
memberikan kesaksian kepada wali korban. Para ulama pengikut Maliki berselisih
pendapat dalam masalah syarat keadilan dan laki-laki bagi seorang saksi. Dalam had ini,
Ibn al-Qasim mensyaratkannya demikian, sedang Asyhab membolehkan saksi fasik dan
perempuan. Adapun, sebab-sebab yang mewajibkan qasamah dalam mazhab Maliki
yang tidak diperselisihkan adalah adanya seorang korban yang terbunuh di tempat yang
sunyi dan di sisi kepalanya terdapat seorang yang membawa pedang atau senjata yang
berlumuran darah.
Menurut pendapat Syafi’i: Adanya bukti yang membenarkan pengakuan
pendakwa. Misalnya, ia melihat korban di suatu tempat atau desa kecil yang di antara
mereka dan korban terdapat permusuhan, atau suatu kelompok meninggalkan mayat,
meskipun antara mereka dan korban tidak ada rasa permusuhan. Kesaksian orang yang
adil dapat diterima juga kesaksian budak, kaum perempuan, atau anak-anak. Demikian
pula, kesaksian orang-orang fasik dan kafir, menurut pendapat yang paling kuat dalam
mazhab Syafi’i. Di antara bukti yang mewajibkan dilakukannya qasamah adalah
tersiarnya pernyataan umum atau khusus, bahwa si fulan dibunuh oleh si fulan. Juga, di
antara bukti-buktinya adalah adanya lumuran darah pada pegangan senjata yang ada di
sisi korban. Sedangkan di antara sebab-sebab qasamah adalah adanya orang yang
berdesakan di suatu tempat atau di suatu pintu, lalu ditemukan di tempat itu seorang
yang terbunuh.
Menurut pendapat Hambali: Tidak di putuskan suatu perkara dengan qasamah,
kecuali terdapat bukti di antara korban yang terbunuh dan pembunuhnya, yakni bukti
yang memberatkan tuduhan. Tetapi, mengenai bukti- bukti yang memberatkan, darinya
diperoleh beberapa riwayat yang berbeda- beda. Ada yang meriwayatkan bahwa di
antara pembunuh dan korban harus ada rasa permusuhan yang nyata, ada sekumpulan
orang tertentu, seperti sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai kabilah yang
menuntut darah; seperti sekumpulan orang antara yang berbuat kejahatan dan orang
yang adil. Inilah pendapat umumnya para ulama pengikut Hambali.
Menurut pendapat para imam. mazhab: Pengakuan pembunuh yang menyatakan
bahwa si fulan (yang terbunuh) itu telah berusaha membunuh dirinya, maka had itu
tidak dianggap sebagai bukti yang memberatkan, kecuali menurut pendapat Maliki.
Apabila sudah diperoleh sebab-sebab yang menyebabkan dilakukannya qasamah
maka para penuntut disuruh bersumpah 50 kali, yang menyatakan bahwa orang itulah
yang telah membunuhnya. Jika sudah demikian maka penuntut berhak atas darahnya
jika pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Demikian menurut pendapat
Maliki, Syafi’i dalam qaul qadim-nya serta pendapat Hambali.
Sedangkan menurut pendapat Syafi’i dalam qauljadid-nya: Mereka berhak atas
diyat yang berat.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah sumpah itu dimulai oleh para
penuntut atau oleh terdakwa? Syafi’i dan Hambali mengatakan: Dimulai dengan
sumpah penuntut. Jika penuntut menolak sumpah, dan mereka tidak mempunyai bukti
yang cukup, maka terdakwa disuruh bersumpah 50 kali, lalu dibebaskan.
Maliki berkata: yang didahulukan adalah sumpah penuntut. Jika mereka
menolak maka dalam had ini pendapat Maliki berbeda-beda. Menurut satu riwayat, hak
menuntut darah menjadi gugur, dan tidak lagi dilakukan qasamah. Sedangkan menurut
riwayat lainnya, terdakwa disuruh bersumpah; jika ia seorang laki-laki maka
dibebaskan. Jika ia menolak untuk bersumpah maka ia dikenai diyat dari hartanya, dan
keluarganya tidak dikenai kewajiban apa pun, sebab penolakan tersebut datang dari
dirinya. Adapun, menurut riwayat lainnya dari Maliki, keluarganya ikut memikul
beban, baik sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, para anggota keluarga yang mau
bersumpah dibebaskan dari membayar diyat; sedangkan yang tidak mau bersumpah
dikenai kewajiban membayar diyat secara angsuran.
Hanafi berkata: Sumpah dalam qasamah tidak dibebankan kecuali kepada para
terdakwa. Sedangkan para penuntut, jika mereka tidak dapat menentukan siapa
pembunuh yang sebenarnya, maka para terdakwa yang terdiri dari lima puluh orang di
antara orang-orang yang dipilih oleh penuntut, disuruh bersumpah bahwa mereka tidak
membunuh dan tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Apabila jumlah mereka kurang
dari 50 orang maka sumpah diulang-ulang sehingga jumlahnya 30 kali. Apabila telah
disumpah dengan sumpah yang mencukupi maka penuntut menentukan pembunuhnya
sehingga tidak ada qasamah. Penentuan tersebut berarti pembebasan bagi penduduk itu
dari tuduhan, dan orang tertuduh diwajibkan bersumpah dengan nama Allah Azza wa
jalla bahwa ia tidaklah membunuh lalu dibebaskan.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apabila wali korban banyak jumlahnya.
Menurut pendapat Maliki, pendapat Syafi’i yang paling masyhur serta pendapat
Hambali: Sumpah dibagi di antara mereka menurut perkiraan. Sedangkan menurut
pendapat Hanafi: Sumpah diulang-ulang terhadap mereka dengan cara bergiliran,
sesudah salah seorang di antara mereka bersumpah dengan cara undian.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah sumpah perempuan dalam
qasamah dapat diterima? Hanafi dan Hambali mengatakan: Tidak dapat diterima
secara mutlak, baik dalam pembunuhan yang disengaja maupun tidak.
Maliki berkata: Jika pembunuhannya tidak disengaja maka dapat diterima,
sedangkan jika pembunuhannya disengaja maka tidak dapat diterima.
Syafi’i berkata: Dapat diterima secara mutlak, baik dalam pembunuhan yang
disengaja maupun tidak.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: Hukum qasamah ditetapkan
pula terhadap para budak.
Maliki berkata: Tidak dapat ditetapkan
KAFARAH PEMBUNUHAN
1. Murtad
Murtad adalah keluar dari Islam, baik dengan perkataan, perbuatan maupun niat.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang keluar dari Islam wajib
dibunuh. Namun, mereka berbeda pendapat, apakah kewajiban membunuh itu harus
segera dilakukan ataukah disuruh bertobat dulu? Apakah perintah bertobat itu wajib
hukumnya ataukah sunnah? Apabila ia meminta ditangguhkan untuk bertobat, tetapi ia
tidak bertobat, apakah boleh diberi kesempatan untuk menangguhkan lagi?
Hanafi berkata: Tidaklah wajib diperintahkan bertobat. Wajib dibunuh dengan
segera, kecuali jika ia meminta ditangguhkan, maka hendaknya diberikan penangguhan
selama tiga hari.
Para ulama pengikut mazhab Hanafi mengatakan: Ditangguhkan dulu,
meskipun ia tidak meminta penangguhan.
Maliki berkata: Wajib disuruh bertobat, dan jika ia segera to bat maka diterima
tobatnya. Sedangkan jika tidak mau bertobat, lalu ia bertobat, maka diterima tobatnya.
Jika ia masih tidak mau bertobat maka dibunuh.
Syafi’i dalam hal ini mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang lebih kuat:
Wajib diperintah bertobat terlebih dahulu sebelum dibunuh. Dalam masalah pemberian
penangguhan, Syafi'i mempunyai dua pendapat dan pendapatnya yang paling kuat: Ia
tidak boleh diberi penangguhan walaupun memintanya, melainkan harus dibunuh
dengan segera jika ia tetap bersikeras untuk keluar dari Islam.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Maliki.Kedua,
tidak wajib diperintah untuk bertobat terlebih dahulu.
Mengenai pemberian penangguhan, dari Hambali diperoleh tiga pendapat yang
berbeda-beda.
Al-Hasan al-Bashri berkata: Orang murtad tidak disuruh bertobat terlebih
dahulu, melainkan wajib dibunuh dengan segera.
'Atha' berkata: Jika ia dilahirkan dalam keadaan Islam, lalu ia murtad, maka
tidak disuruh bertobat dulu, melainkan langsung saja dibunuh. Sedangkan jika ia
asalnya kafir, lalu masuk Islam, kemudian murtad, maka ia disuruh bertobat sebelum
dibunuh.
Ats-Tsawri berkata: Semua orang murtad hendaknya disuruh bertobat. Apakah
perempuan yang murtad sama hukumnya dengan yang diberlakukan terhadap laki-laki
murtad? Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Sama saja sebagaimana yang
diberlakukan terhadap laki-laki murtad. Sedangkan menurut pendapat Hanafi:
Perempuan yang murtad harus dipenjarakan, tidak dibunuh.
Apakah kemurtadan anak kecil yang telah mumayyiz hukumannya sah? Menurut
pendapat Hanafi dan pendapat Maliki yang jelas serta pendapat Hambali yang
masyhur: Sah. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i: Tidak sah kemurtadan anak kecil.
Seperti ini juga diriwayatkan dari Hambali.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang zindiq, yaitu orang yang penampilan
lahiriahnya Islam tetapi hatinya kafir, wajib dibunuh.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang tobatnya orang zindiq. Menurut
pendapat Hanafi dalam riwayatnya yang paling jelas: Diterima tobatnya. Ini juga
pendapat yang paling sahih dari lima pendapat para ulama pengikut Syafi’i.
Maliki dan Hambali mengatakan: Dibunuh, tidak disuruh bertobat. Seperti ini
juga riwayat lain dari Hanafi.
Jika penduduk suatu kampung murtad semuanya, dan berlaku hukuman murtad
terhadap mereka, apakah kampung tersebut menjadi dar al-harb (negeri yang diperangi)
atau tidak? Hanafi berkata: Darul Islam tidak akan menjadi dar al-harb hingga
terpenuhi tiga syarat berikut:
1. nyata padanya hukum-hukum kekufuran;
2. tidak ada seorang pun orang Islam atau dzimmi yang terjamin keamanannya di
daerah itu;
3. berbatasan dengan dar al-harb.
Sedangkan menurut pendapat yang jelas dari Maliki: Dengan telah nyatanya
hukum-hukum kekafiran di daerah itu menjadikan daerah tersebut sebagai dar al-harb.
Demikian juga pendapat Syafi’i dan Hambali.
Para imam mazhab sepakat bahwa harta orang murtad dihukumi sebagai harta
rampasan. Hanafi dan Maliki mengatakan: Anak-anak yang orangtua mereka murtad
tidak dijadikan budak. Namun, mereka dipaksa masuk Islam jika sudah balig.
Bagaimana jika mereka menolak masuk Islam? Hanafi dan Maliki mengatakan:
Mereka dipenjarakan dan diancam akan dipukuli untuk menarik mereka masuk Islam.
Sedangkan keturunan mereka boleh dijadikan budak.
Hambali berkata: Anak-anak mereka dan keturunan mereka boleh diperbudak.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling sahih: Mereka
tidak boleh diperbudak.
2. Memberontak
Para imam mazhab sepakat bahwa mengangkat pemimpin hukumnya adalah
wajib. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim mempunyai pemimpin yang
dapat menegakkan syiar-syiar agama Islam dan dapat menyelamatkan orang yang
teraniaya dari orang-orang zalim. Tidak boleh bagi kaum Muslim di dunia ini dalam
satu waktu pun mempunyai dua pemimpin. Pemimpin itu dari suku Quraisy.
Pemimpin itu tidak boleh seorang perempuan, orang kafir, dan anak yang belum
dewasa, begitu pula orang gila.
Pemimpin yang sempurna wajib ditaati perintahnya selama ia tidak melakukan
kemaksiatan. Membunuh orang yang tidak taat kepada pemimpin yang baik hukumnya
adalah wajib. Hukum-hukum orang yang mendapat limpahan kekuasaan darinya harus
dilaksanakan.
Apabila sekelompok orang yang berkekuatan keluar dari jamaah kaum Muslim,
atau tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka mempunyai alasan yang tidak jelas,
maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah Swt. Jika mereka
kembali ke tengah jamaah kaum Muslim maka dilarang memerangi mereka.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah boleh dikejar orang yang
melarikan diri dari medan pertempuran, ataukah dibunuh orang-orang yang didapati
dalam keadaan luka parah? Menurut pendapat Hanafi.: Apabila ada lagi sekelompok
lain yang melarikan diri dapat menggabungkan diri dengan mereka maka mereka boleh
dibunuh.
Maliki, Syafi'i dan Hambali mengatakan: Tidak boleh dibunuh.
Para imam mazhab sepakat bahwa harta pemberontak tetap menjadi milik
mereka, Para imam mazhab juga sepakat bahwa jizyah (pajak) dzimmi yang telah
dipungut oleh pemberontak harus dianggap telah dibayarkan kepada pemerintah yang
sah. Sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh pemberontak, maka pemerintah yang
sah tidak dikenai pertanggungjawaban apapun.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang harta dan jiwa yang menjadi
korban oleh pemerintah, baik harta pemerintah yang sah maupun milik rakyat. Menurut
pendapat Hanafi., Maliki, dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya serta salah satu riwayat dari
Hambali: Tidak diminta pertanggungan kepada mereka.
Sedangkan menurut pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan riwayat lain
dari Hambali: Diminta pertanggungan mereka.
3. Zina
Para imam mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar,
yang mewajibkan had atas pelakunya. Hukuman had itu berbeda-beda menurut macam
perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina terkadang dilakukan oleh orang-orang yang
belum menikah, seperti jejaka atau gadis, dan kadang-kadang dilakukan juga oleh
muhshan, seperti orang yang sudah menikah, duda, atau janda.
Para imam mazhab sepakat bahwa di antara syarat-syarat muhshan adalah
sebagai berikut:
1. merdeka;
2. dewasa;
3. berakal;
4. sudah menikah dengan suatu pernikahan yang sah;
5. sudah melakukan persetubuhan dengan istrinya.
5. Mencuri
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang batas minimal barang yang
dicuri. Hanafi berkata: Nisab barang yang dicuri adalah senilai 1 dinar, 10 dirham, atau
seharga keduanya. Menurut pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayatnya yang
jelas: Seperempat dinar atau 3 dirham atau yang seharga 3 dirham. Syafi’i berkata:
Seperempat dinar dari dirham dan sebagainya.
Para imam mazhab sepakat bahwa yang dibutuhkan dalam menjatuhkan
hukuman potong tangan adalah barang yang dicuri hendaknya tersimpan dalam suatu
tempat yang terjaga. Namun, mereka berbeda pendapat tentang sifat pemeliharaan harta
tersebut.
Hanafi berkata: Setiap hal yang dapat dipandang sebagai pemeliharaan bagi
sebagian harta dapat dianggap sebagai pemeliharaan bagi semua harta. Maliki, Syafi’i
dan Hambali mengatakan: Hal demikian berbeda menurut perbedaan harta, dan hal itu
diserahkan pada adat kebiasaan setempat.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang memotong tangan yang
disebabkan mencuri barang yang cepat rusak. Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali: Wajib dihukum potong tangan jika harganya mencapai nisab. Sedangkan
menurut pendapat Hanafi: Tidak dijatuhi hukum potong tangan, walaupun harganya
mencapai nisab.
Orang yang mencuri buah yang masih berada di pohonnya, yang tidak dipelihara
dalam suatu tempat pemeliharaan, maka orang tersebut diwajibkan membayar harganya.
Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berkata: Wajib dibayar dua kali lipat dari harganya.
Para imam mazhab sepakat bahwa potong tangan dapat gugur dari pencurinya.
Apakah orang yang mencuri kayu dipotong juga tangannya? Hanafi berkata:
Tidak dipotong, walaupun harta yang dicuri telah mencapai nisab. Maliki, Syafi’i dan
Hambali mengatakan: Wajib dipotong jika harganya mencapai nisab,
Apakah orang yang mengingkari barang titipan dipotong tangannya? Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i mengatakan: Tidak dipotong tangannya. Hambali berkata:
Dipotong tangannya.
Para imam mazhab sepakat apabila sekelompok orang melakukan pencurian
dan masing-masing dari mereka mendapat satu nisab, maka dipotong kedua tangannya.
Apabila mereka bersekutu untuk mencuri barang senilai satu nisab maka tangan
mereka tidak dipotong. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Maliki berkata: Jika barang yang dicurinya tidak dapat dicuri kecuali dengan
jalan saling membantu maka dipotong tangan mereka. Jika barang itu adalah barang
yang mungkin diambil sendiri, yang dipotong adalah tangan orang yang mengambilnya.
Kalau masing-masing mengambil sendiri-sendiri maka tidak dipotong tangan mereka,
kecuali jika masing-masing mendapatkan bagian satu nisab.
Hambali berkata: Tangan mereka dipotong, baik barang tersebut berupa barang
berat yang memerlukan bantuan orang lain untuk mengambilnya, seperti kayu jati dan
sebagainya, maupun barang ringan seperti kain, baik mereka bersekutu mengeluarkan
dari tempat simpanan sekaligus maupun masing-masing mengeluarkannya sendiri-
sendiri, tetapi jumlah nilai yang dikeluarkan mencapai satu nisab.
Apabila dua orang bersekutu untuk mencuri sesuatu yang ada di dalam tempat
penyimpanan barang, lalu salah satunya masuk dan mengambil barang berharga, dan
yang lain berada di luar untuk menerimanya, atau orang yang di dalam melempar keluar
lalu dipungut oleh orang yang berada di luar, maka yang dipotong adalah tangan orang
yang mengambilnya di dalam. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Hambali berkata: Tidak seorang pun di antara mereka yang dipotong tangannya.
Apabila sekelompok orang bersekutu untuk mencuri suatu barang yang berada di
dalam pemeliharaan, lalu mereka semuanya masuk, kemudian sebagian dari mereka
keluar dengan membawa barang yang nilainya satu nisab, sedangkan yang lain tidak
membawa apa-apa, dan mereka bekerja sama dalam mengeluarkannya, maka mereka
semua wajib dipotong tangan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Tidak dipotong, kecuali tangan orang yang
mengeluarkannya.
Apabila dua orang bersekutu melubangi tempat penyimpanan barang, dan
seorang masuk serta mendekatkan barangnya ke lubang, kemudian orang yang di luar
memasukkan tangannya untuk mengambil barang tersebut maka tangan mereka tidak
dipotong. Demikian menurut pendapatb Hanafi.
Maliki berkata: Tangan orang yang mengeluarkan dipotong. Adapun, tentang
memotong tangan orang yang mendekatkan barang ke dinding, maka dari Maliki
diperoleh dua riwayat. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling
sahih: Tangan yang dipotong adalah tangan orang yang mengeluarkannya. Hambali
berkata: "Keduanya dipotong tangannya."
Apabila salah seorang di antara mereka melubangi dinding, dan yang lain
memasukinya, lalu mengeluarkan harta, maka tidak ada yang dipotong tangannya.
Demikian menurut pendapat Syafi’i yang paling sahih.
Apabila seorang anak yang merdeka belum mumayyiz mencuri maka tidak
dipotong tangannya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Maliki berkata: Dipotong tangannya. Sedangkan sebagian ulama pengikut
Maliki memilih pendapat yang mengatakan: Tidak dipotong tangannya.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang paling jelas: Tidak
drpotong tangannya.
Apabila seseorang mencuri mushhaf Al-Quran maka tidak dipotong tangannya.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i
mengatakan: Dipotong tangannya.
Apabila seseorang mencuri barang dalam kubur maka dipotong tangannya.
Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i danHambali. Sedangkan Hanafi berkata:
Tidak dipotong.
Orang yang mencuri tirai Ka'bah (qiswah) maka dipotong tangannya. Demikian
menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki mengatakan:
Tidak dipotong.
Orang yang mencuri, yang dipotong adalah tangan kanannya. Kemudian jika ia
mencuri lagi maka dipotonglah kakinya yang sebelah kiri. Demikian menurut
kesepakatan Para imam mazhab.
Apabila ia mencuri untuk ketiga kalinya maka tidak boleh dipotong lebih
daripada sebelah tangan kanan dan sebelah kaki kiri. Jika ia mencuri lagi yang keempat
kalinya maka ia dipenjarakan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan pendapat
Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat Maliki dan pendapat Syafi’i: Untuk pencurian yang ketiga,
dipotong tangan kirinya. Untuk pencurian yang keempat, dipotong kaki kanannya.
Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat yang lain.
Apakah hukuman mencuri dapat ditetapkan dengan pengakuan orang yang
mencuri itu sendiri dengan sekali pengakuan? Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan:
Dapat ditetapkan dengan sekali pengakuan saja. Hambali berkata: Dapat ditetapkan
dengan dua kali pengakuan. Seperti ini juga pendapat yang dikemukakan oleh Abu
Yusuf.
Para imam mazhab sepakat bahwa barang yang dicuri bila masih berada di
tangan pencurinya, maka ia wajib mengembalikannya.
Apakah pencuri diwajibkan membayar barang dan dipotong tangannya langsung
jika ia tertangkap oleh orang yang kecurian? Hanafi berkata: Tidak dikenakan
keduanya sekaligus, tetapi orang yang kecurian tersebut disuruh memilih. Jika ia
memilih pembayaran barang maka tidak dipotong tangan pencuri. Sedangkan jika ia
memilih potong tangan maka pencuri tidak dibebani pembayaran barang.
Maliki berkata: Jika pencurinya seorang yang kaya maka wajib dipotong
tangannya dan membayar barang. Sedangkan jika ia miskin maka cukup dipotong
tangannya. Syafi’i dan Hambali mengatakan: Dipotong tangan dan dikenai kewajiban
membayar harta.
Apakah salah seorang suami-istri yang mencuri harta milik salah seorang dari
mereka dipotong tangannya? Menurut pendapat Hanafi: Tidak dipotong tangannya,
baik mencuri barang yang berada di rumah khusus salah seorang di antara mereka
maupun dari rumah yang didiami mereka berdua secara bersama-sama.
Menurut pendapat Maliki: Dipotong tangannya jika ia mencuri dari tempat
penyimpanan khusus. Sedangkan jika ia mencurinya dari rumah yang didiami bersama
maka tidak dipotong tangannya.
Syafi’i dalam hal ini mempunyai beberapa pendapat. Pertama, seperti pendapat
Maliki. Kedua, tidak dipotong tangan salah seorang di antara keduanya secara mutlak.
Ketiga, tangan suami saja yang dipotong. Adapun pendapat yang paling kuat di antara
pendapat-pendapatnya: Dipotong tangan salah seorang dari mereka jika mencuri dari
temp at penyimpanan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama; seperti pendapat Maliki. Kedua,
tidak dipotong tangan salah seorang dari keduanya secara mutlak.
Para imam mazhab sepakat bahwa bapak terus keatas jika mencuri barang-
milik anak mereka, tidak dipotong tangannya. Namun, mereka berbeda pendapat
tentang anak yang mencuri harta orang tuanya. Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali: Tidak dipotong tangannya. Sedangkan menurut pendapat Maliki: Dipotong
tangannya.
Apakah seseorang yang mencuri harta kerabatnya dipotong tangan atau tidak?
Hanafi berkata: Seseorang yang mencuri harta muhrimnya, seperti saudara laki-laki dan
paman, maka tidak dipotong tangannya. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan:
Dipotong tangannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa seseorang yang memecahkan patung emas
tidak dikenaipertanggungan apapun. Namun, mereka berbeda pendapat jika patung
emas tersebut dicuri. Hanafi dan Hambali mengatakan: Tidak dipotong tangannya.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Dipotong tangannya.
Para imam mazhab juga berbeda pendapat tentang orang yang mencuri pakaian
di kamar mandi yang ada penjaganya. Hanafi berkata: Jika ia mencuri pada malam hari
maka dipotong tangannya, sedangkan jika pada siang hari tidak dipotong tangannya.
Maliki berkata: Jika ia mencuri di tempat mandi yang dijaga maka dipotong tangannya.
Sedangkan jika tidak ada penjaganya, tetapi ada pengurus yang lengah, maka tidak
dipotong tangannya.
Syafi’i dan Hambali mengatakan dalam salah satu riwayatnya: Dipotong
tangannya secara mutlak.
Orang yang mencuri barang curian dari pencuri lain atau barang rampasan
dipotonglah tangan pencuri barang rampasan, tetapi tidak dipotong tangan pencuri
barang curian, jika pencuri pertama sudah dipotong tangannya. Sedangkan jika belum
dipotong tangannya maka pencuri kedua dipotong tangannya. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Maliki berkata: Masing-masing dikenai potong tangan. Syafi’i dan Hambali
mengatakan: Pencuri barang curian atau hasil rampasan tidak dipotong tangan.
Apabila seorang pencuri mengakui bahwa barang yang dicurinya diambil dari
tempat penyimpanannya sendiri, dan terbukti ia telah mencuri satu nisab dari tempat
penyimpanan orang lain, maka ia dipotong tangannya langsung, dan tidak diterima
pengakuannya. Demikian menurut pendapat Maliki.
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Tidak dipotong tangannya. Namun, Syafi’i
menyebutnya sebagai pencuri yang cerdik.
Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat. Pertama, tidak dipotong. Kedua,
dipotong, Ketiga, pengakuannya dapat diterima, jika ia tidak terkenal sebagai pencuri
dan gugur hukuman potong tangan. Sedangkan jika ia sudah dikenai sebagai pencuri
maka dipotong tangannya.
Apakah pemotongan tangan pencuri itu menunggu tuntutan dari orang yang
kecurian? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam riwayatnya yang jelas:
Diperlukan tuntutan dari korban pencurian. Demikian juga menurut pendapat para
ulama Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat Maliki: Tidak diperlukan. Seperti inijuga
riwayat lain dari Hambali.
Apabila seseorang membunuh orang lain di rumahnya sendiri dan ia
mengatakan, "Ia masuk ke rumahku untuk mengambil hartaku, dan tidak ada jalan lain
kecuali membunuh pencuri itu" maka orang tersebut tidak dikenai qisas jika orang yang
masuk dan dibunuh tersebut dikenal sebagai penjahat. Sedangkan jika tidak dikenal
demikian maka pembunuhnya dikenai hukuman qisas. Demikian menurut pendapat
Hanafi.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Orang tersebut dikenai hukuman
qisas, kecuali jika ia dapat mendatangkan bukti.
Apabila seseorang mencuri barang rampasan perang, sedangkan dirinya
termasuk orang yang berhak menerimanya, apakah dipotong tangannya? Hanafi dan
Hambali mengatakan: Tidak dipotong tangannya. Menurut pendapat Maliki dalam
riwayatnya yang masyhur: Dipotong tangannya.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, yaitu seperti kedua pendapat di atas, tetapi
pendapatnya yang paling sahih: Tidak dikenai potong tangannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang mencuri barang hasil rampasan
perang, sedangkan dirinya tidaklah termasuk orang yang berhak menerimanya, maka
dipotong tangannya.
Apabila seseorang mencuri binatang buruan yang sudah dimiliki oleh orang lain,
apakah dikenai potong tangan juga? Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali:
Dikenai potong tangan, demikian juga pencurian terhadap apa saja yang disimpan
menurut adat kebiasaan, serta dibolehkan mengambil ganti rugi darinya, baik asalnya
liar, seperti binatang buruan, binatang air, batu dan sebagainya, maupun jinak.
Hanafi berkata: Semua yang asalnya liar tidak dipotong tangan pencunnya.
Apakah tangan pencuri kayu yang mencapai nisab wajib dipotong? Menurut
pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Wajib dikenai potong tangan. Sedangkan
menurut pendapat Hanafi: Tidak wajib dipotong, kecuali jika yang dicuri adalah
kayujati, kayu cendana, dan pohon kina.
Para imam mazhab sepakat bahwa pencuri yang wajib dipotong tangannya
adalah pencurian pertama yang dilakukannya dan termasuk orang yang mempunyai
anggota badan yang lengkap. Oleh karena itu, memotong tangannya dimulai dari tangan
kiri pada persendian telapak tangan. Jika ia mencuri lagi maka dipotong kaki kirinya
dari pada persendian telapak kaki. Sedangkan jika ia termasuk orang yang tidak
mempunyai telapak tangan dan telapak kaki maka dipotong bagian atasnya. Demikian
pula jika kedua anggota badan tersebut lumpuh, tidak dapat dimanfaatkan.
Hanafi berkata: Tetap dipotong anggota badan yang lumpuh.
Syafi’i berkata: Pencuri yang tangan kanannya lumpuh, dan menurut orang yang
ahli bahwa jika tangan tersebut dipotong maka tidak ada darahnya, tetap dipotong.
Sedangkan jika menurut keterangan orang ahli bahwa bagian tersebut tidak
mengeluarkan darah dan dapat merusak maka yang dipotong adalah bagian atasnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila tukang potong tangan salah
melakukan pemotongan tangan; yang seharusnya yang kanan, tetapi yang dipotong
adalah tangan kiri. Dalam hal ini, Hanafi dan Maliki berpendapat: Hal demikian
dipandang sah. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i dan Hambali: Tukang potong
tersebut dikenai diyat.
Adapun jika mengulangi pemotongan seperti itu, dari Syafi’i diperoleh dua
riwayat, dan pendapatnya yang paling sahih: Dipotong lagi.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apabila seseorang mencuri barang
senilai satu nisab, lalu dimilikinya dengan cara membeli, hibah, atau pewarisan, apakah
hukuman potong tangan menjadi gugur? Hanafi berkata: Hukuman potong tangan
menjadi gugur. Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Tidak menjadi gugur.
Apabila seorang Muslim mencuri harta orang yang meminta keamanan pada
pemerintahan Islam senilai satu nisab dari tempat penyimpanan maka ia tidak dikenai
hukuman potong tangan. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Tetap dikenai hukuman potong
tangan.
Orang yang meminta keamanan pada pemerintahan Islam apabila mencuri maka
wajib dipotong tangannya. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi berkata: Tidak dikenai hukum potong tangan.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat sebagaimana kedua pendapat di atas.
Namun, pendapatnya yang paling sahih: Dipotong tangannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa pencopet dan perampas sangat besar
kejahatan dan dosa mereka, tetapi mereka tidak dikenai hukuman potong tangan
6. Perampokan
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang hadbagi perampok yang
melakukan perampasan di tengah perjalanan, Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali: Barus sesuai dengan tertib urutan yang tersebut dalam Al-Quran. Sedangkan
menurut pendapat Maliki: Tidak menurut tertib urutan dalam Al-Quran, tetapi
diserahkan pada ijtihad hakim, yakni boleh dibunuh, disalib, dipotong tangan dan
kakinya dengan secara bersilang, diasingkan, atau dipenjarakan.
Para imam mazhab yang berpendapat harus menurut tertib urutan dalam Al-
Quran berbeda pendapat ten tang tata caranya. Menurut pendapat Hanafi: Jika mereka
mengambil harta dan membunuh maka hakim boleh memilih antara memotong tangan
dan kaki mereka secara bersilang, membunuh, atau menyalibnya. Sedangkan sifat
penyaliban, menurut riwayat yang masyhur dari Hanafi, adalah disalib dalam keadaan
hidup dan perutnya ditikam dengan tombak hingga mati. Ia tidak boleh disalib lebih dari
tiga hari. Jika mereka membunuh, tetapi tidak mengambil harta, maka hakim
membunuhnya sebagai had, dan hakim tidak boleh menawarkan pengampunan kepada
walinya. Jika mereka mengambil harta orang Islam atau orang dzimmi, dan barang yang
dirampasnya dibagikan kepada kelompok mereka serta masing-masing mendapat 10
dirham, atau senilai itu, maka hakim memotong tangan dan kaki mereka dengan cara
bersilang. Jika mereka sebelumnya pernah merampas harta, tetapi tidak pernah
membunuh, maka hakim hendaknya memenjarakan mereka hingga mereka bertobat atau
mati.
Menurut pendapat Maliki: Apabila mereka tertangkap maka hakim dapat
menghukum mereka menurut pandangan dan ijtihadnya. Jika di antara mereka ada yang
mempunyai pemikiran yang baik dan mempunyai kekuatan maka ia dibunuh. Jika ada
orang yang mempunyai kekuatan saja maka ia dibuang. Hakim boleh membunuh,
menyalib, dan memotong tangan dan kaki mereka. Jika mereka tidak pernah membunuh
dan merampas harta maka hakim boleh bertindak kepada mereka menurut
pertimbangannya demi kemaslahatan umat manusia.
Tentang sifat pengasingan, menurut pendapat Maliki: Mereka dikeluarkan dari
negara atau daerah tempat mereka tinggal selama ini ke negeri lain atau daerah lain, dan
dipenjara di tempat tersebut. Sedangkan mengenai sifat penyaliban, pendapat Maliki:
Sama dengan apa yang dikemukakan oleh Hanafi.
Syafi'i dan Hambali mengatakan: Apabila mereka tertangkap sebelum sempat
membunuh orang atau merampas harta maka mereka diasingkan. Namun, kedua imam
mazhab ini berbeda pendapat tentang sifat pengasingan. Syafi'i berkata: Mereka
dipenjara di tempat pengasingan. Jika mereka melarikan diri dari penjara maka
hendaknya dicari, lalu dikenai had jika mereka melakukan sesuatu yang mewajibkan
had.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi'i di atas.
Kedua, mereka diusir dan dibiarkan, tidak boleh diberi tempat tinggal di negerinya atau
daerahnya.
Syafi'i dan Hambali sependapat, apabila mereka sudah pernah merampas harta
dan belum pernah membunuh maka mereka dipotong satu tangan dan satu kakinya, lalu
dilepaskan. Sedangkan jika mereka sudah pernah merampas dan membunuh maka wajib
dibunuh serta disalib. Jika mereka pernah membunuh, tetapi belum pernah merampas
harta, maka wajib dibunuh. Adapun, penyaliban dilakukan sesudah ia dibunuh.
Sebagian ulama Syafi'i mengatakan: Penyaliban dilakukan dalam keadaan
hidup, lalu dibunuh.
Lama penyaliban adalah tiga hari. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki,
dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berkata: Cukup disalib saja, asalkan memenuhi
pengertian penyaliban.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang apakah disyaratkan nisab dalam
membunuh para perampok. Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Diperlukan hal
itu. Maliki berkata: Tidak diperlukan.
Apabila para perampok berkumpul, lalu sebagian mereka sudah melaksanakan
pembunuhan dan perampasan, tetapi sebagian yang lain hanya menolong dan
membantu, apakah hukum peerampokan diberlakukan kepada mereka semua? Hanafi,
Maliki, dan Hambali mengatakan: Hukum pembantu perampokan disamakan dengan
yang diberlakukan terhadap pembunuh dan perampas. Syafi’i berkata: Pembantu atau
penolong dikenai ta'zir, yaitu dipenjara, diasingkan, dan sebagainya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang memperlihatkan senjatanya
untuk menakut-nakuti para pejalan di luar kota, yaitu di suatu tempat yang tidak mudah
diperoleh pertolongan, duhukumi sebagai perampok, dan padanya berlaku hukuman
para perampok. Namun, mereka berbeda pendapat tentang orang yang melakukan
perbuatan demikian di dalam kota. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Sama
saja, dihukumi sebagai perampok. Hanafi berkata: Tidak dapat disamakan dengan
perampok, kecuali dilakukan di luar kota.
Apabila di antara para perampok tersebut terdapat seorang perempuan, yang ikut
membunuh dan merampas harta, lalu tertangkap maka ia dikenai hukum bunuh sebagai
had atasnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i danHambali. Sedangkan
Hanafi berkata: Dibunuh sebagai qisas dan dikenai pertanggungan.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang pemah membunuh dan
merampas harta wajib dikenai hukuman had. Walaupun wali korban memaafkan, hal itu
tidak dapat membebaskan orang tersebut dari hukuman.
Sedangkan orang yang mati sebelum ditangkap tidak dikenai had. Hal itu karena
had adalah hak Allah ‘Azza wa jalla, danyang dapat dituntut manusia adalah hak
manusia saja, sepertijiwa, harta dan pelukaan, kecuali mereka memaafkannya.
Apabila seseorang minum minuman keras, lalu berzina, dan mencuri, maka
wajib baginya hukuman bunuh karena merampok dan sebagainya, yaitu tidak dipotong
tangannya dan tidak dicambuk, tetapi dibunuh. Sebab, hal demikian adalah hak
manusia; Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Syafi’i berkata: Hendaknya segala hukumannya disempurnakan. Apabila
seseorang meminum minuman keras, lalu menuduh perempuan baik berbuat zina, maka
ia tidak dikenai dua had. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Maliki berkata: Dikenai dua had.
Orang yang bukan perampok, yakni peminum khamar, pezina dan pencuri,
apabila bertobat, apakah had-nya menjadi gugur? Hanafi dan Maliki mengatakan:
Tobat mereka tidak menggugurkan had-nya.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat. Pertama, seperti pendapat Hanafi dan
Maliki di atas. Kedua; had mereka menjadi gugur apabila mereka berada dalam
keadaan tobat selama satu tahun.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang paling jelas: had
mereka gugur, tanpa syarat harus berlangsung selama satu tahun.
Para perampok yang bertobat, tetapi belum terlihat amal kebaikannya, apakah
kesaksian mereka dapat diterima? Maliki dan Syafi’i mengatakan: Tidak diterima
hingga nyata kebaikan amalnya. Hanafi dan Hambali mengatakan: Diterima
kesaksiannya, meskipun tidak tampak kebaikan amalnya.
Apabila di antara para perampok terdapat seorang kafir atau budak, atau anak
kecil, maka dia tidak dibunuh. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam
riwayatnya yang jelas.
Maliki berkata: Dibunuh juga.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat di atas. Tetapi,
pendapatnya yang paling sahih: Ia dibunuh pula.
Ta'zir disyariatkan untuk setiap kemaksiatan yang tidak dikenai had dan tidak
pula kafarah. Hukum ini tidak diperselisihkan lagi di antara Para imam mazhab.
Apakah ta'zir itu suatu perkara yang wajib ataukah tidak? Syafi'i berkata: 'Tidak
diwajibkan, hanya disyariatkan. Hanafi dan Maliki mengatakan: Apabila menurut
dugaan kuat seseorang yang di-ta'zir bisa menjadi baik maka ia wajib di-ta'zir.
Sedangkan jika menurut dugaan bahwa orang yang bermaksiat itu dapat diperbaiki
dengan cara lain maka tidak wajib di-ta'zir; Hambali berkata: Apabila seseorang pantas
dikenai ta'zir karena telah mengerjakan kemaksiatan maka hukumnya wajib.
Apabila seorang hakim melakukan ta'rir terhadap seseorang, lalu orang tersebut
mati karenak ta'zir itu, maka hakim tidak dibebani membayar pertanggungan. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Syafi’i berkata: Hakim tersebut dikenai pertanggungan.Seorang bapak yang
memukul anaknya, atau seorang ustadyang memukul muridnya demi untuk pelajaran,
lalu anak tersebut mati, maka tidak dikenai pertanggungan. Demikian menurut pendapat
Maliki dan Hambali.
Hanafi danSyafi’i mengatakan: Dikenai pertanggungan.
Apakah dibolehkan ta'rir melebihi batas had yang paling tinggi? Hanafi, Syafi’i,
dan Hambali mengatakan: Tidak boleh. Maliki berkata: Hal demi- kian terserah pada
pertimbangan hakim. Jika pertimbangannya menghendaki lebih, hendaknya dilakukan.
Apakah hukuman ta'rir berbeda-beda menurut perbedaan sebab perbuatannya?
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Ta'zir yang paling tinggi adalah sejumlah had yang
paling rendah.
Adapun serendah-rendahnya ta'zir, menurut pendapat Hanafi, adalah 40 kali jika
penyebabnya adalah meminum khamar. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i dan
Hambali: Serendah-rendahnya adalah 20 kali.
Setinggi-tingginya hukuman ta'zir; menurut Hanafi, adalah 39 kali. Menurut
pendapat Syafi’i dan Hambali adalah 19 kali. Sedangkan Maliki berkata: Hakim boleh
melakukan ta'zir sebanyak yang menjadi pertimbangannya.
Hambali berkata: Ta'zir itu berbeda-beda menurut perbedaan sebabnya. Apabila
penyebabnya berupa persetubuhan yang syubhat pada kemaluan perempuan, atau
menyetubuhi tidak pada kemaluannya, maka boleh dikenai ta’zir lebih dari ukuran
minimal had, tetapi tidak boleh melebihi batas maksimalnya, yaitu dipukul 99 kali.
Sedangkan jika perbuatannya bukan soal kemaluan, seperti mencium orang lain,
memaki, atau mencuri kurang dari satu nisab, maka ta'zir-nya tidak boleh melebihi batas
minimal had.
Apabila orang sakit dijatuhi had, apakah boleh ditunda hukuman ta'zir- nya?
Hanafi berkata: Apabila had itu berupa rajam maka tidak boleh ditunda, kecuali
seorang wanita yang sedang hamil. Sedangkan jika berupa cambuk maka boleh ditunda
jika memang diharapkan kesembuhannya.
Maliki dan Hambali mengatakan: Apabila had disebabkan pembunuhan maka
tidak boleh ditunda, kecuali perempuan yang sedang hamil hmgga telah melahirkan.
Sedangkan jika berupa jilid (cambukan dengan kulit), jika diharapkan kesembuhannya
maka boleh ditunda. Jika tidak dapat diharapkan kesembuhannya maka tidak boleh
ditunda.
Hambali berkata: Tidak boleh ditunda secara mutlak,
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang sifat pelaksanaan had terhadap
orang sakit. Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Orang sakit itu terus dipukul
sebanyak yang dikenainya. Tetapi, jika dikhawatirkan ia meninggal, hendaknya dipukul
dengan ujung kain atau dengan sesuatu yang diperkirakan tidak mematikan Demikian
juga terhadap orang yang lemah.
Maliki berkata: Tidak boleh diberlakukari had, kecuali dengan cambukan,
Pencambukan itu tidak harus terus menerus, danharus dipukul sebanyak yang
diperlukan, tidak boleh kurang. Sedangkan jika orang yang terkena had tersebut merasa
sakit maka ditunggulah sampai sembuh.
Apakah orang yang dikenai ta'zir harus dalam keadaan berdiri ataukah duduk?
Maliki berkata: Di-ta'zir dalam keadaan duduk. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Dalam
keadaan berdiri. Dari Hambali dalam masalah ini diperoleh dua riwayat.
Apakah dilepaskan bajunya? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Tidak dilepas, jika
had-nya berupa had qadzaf. Sedangkan dalam had lainnya boleh dilepas bajunya.
Maliki berkata: Dalam semua had bajunya harus dilepas.
Sedangkan Hambali berkata: Untuk semua jenis had tidak dilepas bajunya Para
imam mazhab berbeda pendapat tentang memukul pada anggota badan. Hanafi dan
Hambali mengatakan: Seluruh anggota badan boleh dipukul, kecuali muka, kemaluan,
dan kepala. Syafi’i berkata: yang tidak boleh dipukul adalah muka, kemaluan,
pinggang, dan bagian-bagian yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian. Maliki
berkata: yang dipukul adalah pinggang dan sisi-sisinya.
Orang laki-laki yang dikenai hukuman rajam boleh digalikan tanah untuknya.
Sedangkan orang perempuan boleh digalikan untuknya jika ia terbukti berzina.
Sedangkan jika ia hanya mengaku saja maka tidak boleh. Demikian menurut pendapat
Maliki dan Hambali.
Hanafi berkata: Dalam hal ini, hakim boleh memilihnya.
Syafi’i berkala: Orang laki-laki yang dirajam boleh digalikan lubang dan boleh
juga tidak. Sedangkan jika yang dirajam itu perempuan, hendaklah digalikan lubang dan
dibenamkan sebagian badannya ke dalam lubang tersebut.
Apakah boleh berbeda pukulan dalam had? Hanafi berkata: Pukulan yang paling
keras adalah ta'zir; lalu zina, minum khamar, kemudian qadzaf.
Maliki berkata: Pukulan dalam semua had adalah sama saja. Hambali berkata:
Pukulan dalam had zina harus lebih keras daripada pukulan dalam had qadzaf; dan
dalam had qadzaf harus lebih keras daripada pukulan dalam meminum khamar.
PENOLAKAN BAHAYA SERTA PERTANGGUNGAN
PEMILIK BINATANG DAN BINATANGNYA.
Para imam. mazhab sepakat bahwa jihad hukumnya adalah fardu kifayah.
Apabila telah ada salah seorang di antara kaum Muslim yang melaksanakannya maka
gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.
Sa'id bin al-Musayyab berkata: Jihad hukumnya adalah fardu 'ain atas setiap
Muslim.
Para imam mazhab sepakat bahwa jihad diwajibkan atas penduduk yang
bertempat tinggal di perbatasan negeri untuk mempertahankan diri dari serangan orang-
orang kafir dan lainnya. Jika mereka lemah, hendaknya dibantu oleh penduduk yang
berdekatan letaknya.
Para imam mazhab juga sepakat bahwa orang yang belum terkena fardu 'ain
untuk berjihad tidak dibolehkan ikut berjihad, kecuali mendapat izin dari kedua
orangtuanya jika keduanya Muslim. Orang yang mempunyai tanggungan utang tidak
boleh berjihad kecuali mendapat izin dari pemberi utang. Apabila dua pasukan (Muslim
dan musuh) telah saling berhadapan maka kaum Muslim diwajibkan bertahan, tidak
boleh mundur melarikan diri, kecuali mereka berbelok untuk membunuh musuh atau
mencari tempat yang lebih tepat untuk melakukan perlawanan dan penyerangan. Atau,
jika ia seorang diri melawan tiga orang musuh, atau 100 orang melawan musuh 300
orang, maka ia boleh melarikan diri. Ia boleh pula bertahan jika menurut perkiraannya
dirinya akan menang.
Bagi setiap Muslim yang sanggup berhijrah dari negeri kafir maka wajib
baginya berhijrah.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah di antara syarat-syarat jihad itu
harus berbekal dan berkendaraan? Hanafi, Syafi'i, dan Ham.bali mengatakan: Harus
mempunyai perbekalan dan kendaraan. Maliki berkata: Tidak disyaratkan demikian.
Adapun, letak perselisihan adalah apabila penduduk suatu negeri sudah terkena
kewajiban jihad secara fardu 'ain, sedangkan jarak antara tempat mereka dan medan
pertempuran sangatjauh, yaitu sejarak dibolehkannya shalat qashar, maka tidak
diwajibkan jihad kecuali terhadap orang yang mempunyai bekal dan kendaraan yang
dapat mengantarkannya ke tempat pertempuran. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Syafi'i, dan Hambali.
Hambali berkata: Wajib secara mutlak.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bolehnya menghancurkan harta
musuh yang dirampas oleh kaum Muslim yang tidak memungkinkan dibawa ke negara
Islam, dan dikhawatirkan akan diambil kembali oleh musuh. Hanafi dan Maliki
mengatakan: Boleh hukumnya, yaitu disembelih semua binatang, dibakar harta benda
mereka, dan dihancurkan senjata mereka.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Tidak boleh dimusnahkan, melainkan cukup
dimiliki.
Para imam mazhab sepakat bahwa perempuan-perempuan kafir tidak boleh
dibunuh, kecuali yang mempunyai kontribusi dalam peperangan.
Orang buta, orang tua renta, dan orang cacat dari pihak musuh, apabila mereka
turut menyumbangkan pikirannya dalam pertempuran, maka harus dibunuh. Demikian
menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
Adapun, jika mereka yang tidak ikut menyumbangkan pikiran maka tidak boleh
dibunuh. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Syafi’i
mempunyai dua pendapat dalam hal ini, dan pendapatnya yang paling jelas: Mereka
boleh dibunuh .
Orang yang tidak tersentuh dakwah agama Allah ‘Azza wa jalla jika dibunuh,
apakah pembunuhnya dikenai diyat? Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Tidak
dikenai diyat. Syafi’i berkata: Dikenai diyat, yaitu jika seorang dzimmi maka diyat-nya
sepertiga diyat biasa, dan jika Majusi maka diyat-nya adalah 800 dirham.
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i: Memberikan perlindungan kepada orang
kafir adalah tidak sah dilakukan, kecuali oleh orang Islam yang dewasa, berakal, dan
berkemampuan sendiri. Oleh karena itu, perlindungan yang diberikan oleh anak kecil
dan orang gila tidak dibolehkan. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hanafi.
Sedangkan Maliki dan Hambali mengatakan: Perlindungan itu boleh dilakukan oleh
anak kecil yang baru dewasa.
Para imam mazhab sepakat bahwa jika orang musyrik yang bersengketa
dengan orang Islam maka kaum Muslim boleh melempari dan menghancurkan mereka.
Apabila salah seorang Muslim terkena lemparan maka tidak dikenai kafarah atau diyat.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, wajib kafarah: tanpa wajib diyat.
Kedua, wajib diyat, tetapi tidak wajib kafarah,.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat di atas.
Tetapi pendapatnya yang kuat: Wajib kafarah saja.
Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: Perlindungan yang diberikan
oleh seorang budak beragama Islam harus dibenarkanjika ia orang yang dikerahkan
untuk berperang.
Apabila orang Islam memulai perang, lalu ia meminta mubarazali (pertarungan
satu lawan satu) maka tidak dibolehkan sebelum dimulai oleh musuh. Demikian
menurut pendapat Ibn Abi Hubairah dari Syafi’i.
Disukai melakukan mubararah sesudah dibenarkan oleh panglima perang. Tetapi
dibolehkan kalau ia maju untuk mubararah tanpa izin panglima perang. Hanafi berkata:
Haram, kecuali melakukan mubarazah. di tempat yang terpelihara.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang memperbudak orang yang tidak
mempunyai kitab suci dan tidak mempunyai serupa kitab, seperti penyembah berhala,
Hanafi berkata: Boleh memperbudak orang yang bukan orang Arab di antara mereka.
Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: Tidak boleh secara mutlak.
Para imam mazhab sepakat apabila seseorang membunuh tawanan yang berada
di dalam penahanannya maka pembunuhnya tidak dikenai apa-apa kecuali dikenai ta'zir
Al-Awza'i berkata: Wajib diyat atasnya.
Apabila tawanan masuk Islam maka terpeliharalahjiwanya. Apakah ia
diperbudak setelah masuk Islam? Syafi’i dalam hal ini mempunyai dua pendapat.
Apabila orang kafir masuk Islam sebelum tertawan maka dipelihara jiwanya,
meskipun ia berada di daerah musuh. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali
Hanafi berkata: Seluruh kebun yang berada di daerah musuh menjadi rampasan
perang. Sedangkan yang lain yang berada di tangannya atau di tangan orang Islam atau
orang dzimmi, tidak dijadikan rampasan. Jika berada di tangan orang yang berperang
maka dijadikan rampasan.
Apabila musuh masuk ke daerah Islam maka tidak boleh ditawan. Demikian
menurut pendapat Maliki, Syafi’i danHambali. Sedangkan Hanafi berkata: Boleh
ditawan.
FA'I DAN GHANIMAH
Para imam mazhab sepakat bahwa apa saja yang dirampas dari tangan orang-
orang kafir oleh kaum Muslimin sesudah peperangan, maka dijadikan ghanimah.
Jika di antaranya terdapat pakaian maka dimiliki oleh pembunuhnya, baik hal
demikian diisyaratkan oleh panglima perang maupun tidak. Demikian menurut pendapat
Syafi’i.
Hambali berkata: Pembunuh berhak memiliki pakaian dan alat-alat yang
terdapat pada diri si terbunuh jika yang membunuh melibatkan diri dalam peperangan
untuk membunuh orang musyrik dan menghancurkan semua yang merintanginya.
Hanafi dan Maliki mengatakan: Tidak boleh dimilikikecuali diisyaratkan oleh
panglima perang.
Kemudian setelah pertempuran, seperlima (khumus) dari ghanimah dipisahkan.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang pembagian khumus tersebut.
Hanafi. dan Maliki mengatakan: Khumus dibagi menjadi tiga saham, yaitu satu saham
untuk anak-anak yatim, satu saham untuk orang-orang miskin, dan satu saham lagi
untuk ibn sabil. Masuk ke dalam bagian orang miskin adalah orang fakir dari dzawil
qurba (kerabat Nabi Saw.), tetapi tidak termasuk orang kaya. Adapun, saham untuk
Nabi Saw, maka itulah yang dikatakan khumus untuk Allah dan Rasul-Nya. Hal
demikian sudah tidak ada sekarang, karena Nabi Saw. sudah wafat, sebagaimana
gugurnya hak mengambil seluruh harta. Sedangkan saham dzaioil qurba yang berhak
atas ghanimah hanya terbatas pada masa beliau Saw. dengan ditentukan orang-
orangnya. Sesudah masa itu, telah tidak ada lagi. Yang berhak mendapatkannya adalah
kerabat beliau yang fakir saja, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun, Maliki berkata: Khumus ini tidak ditentukan untuk seseorang, tetapi
diserahkan pada keputusan imam (kepala negara) untuk menentukan siapa yang
dipandang perlu untuk mendapat ghanimah tersebut. Dzawil qurba boleh diberi bagian
khumus Ja'i, kharaj, dan jizyah.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Dibagi menjadi lima saham, yaitu: (1) satu
saham untuk Rasulullah Saw., dan ini tetap berlaku, tidak hilang hukumnya meskipun
beliau telah wafat; (2) satu saham untuk Bani Hasyim dan Bani Muththalib, khusus
untuk kedua keluarga tersebut, bukan untuk Bani Syam dan Bani Naufal karena Bani
Hasyim dan Bani Muththalib adalah dzawil qurba Rasulullah Saw. Yang tidak boleh
menerima zakat. Oleh karena itu, ghanimah diperuntukkan bagi mereka, baik yang kaya
maupun yang miskin.
Bagian untuk laki-laki adalah dua bagian perempuan. Keturunan dari anak
perempuan tidak mendapatkan bagian ghanimah tersebut; (3) satu saham untuk anak-
anak yatim; (4) satu saham untuk orang-orang miskin; (5) satu saham sisanya untuk
ibnu sabil. Ketiga kelompok terakhir diberi bagian karena kefakiran dan kepapaan.
Artinya, jika kaya mereka maka mereka tidak memperoleh bagian.
Syafi’i dan Hambali berbeda pendapat tentang kepada siapa bagian Rasulullah
Saw. diberikan. Syafi’i berkata: Dibelanjakan untuk kemaslahatan umat, seperti untuk
perbekalan perang, membangun masjid, dan sebagainya. Hukumnya adalah seperti yang
berlaku pada harta Fa'i.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan salah satunya adalah seperti pendapat
Syafi’i di atas. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Menurut pendapat lain:
Diberikan kepada pasukan perang dan orang-orang yang siap berperang setiap kali
diperlukan, serta para penjaga perbatasan. Masing-masing diberi bagian menurut kadar
keperluannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa empat perlima dari harta ghanimah
dibagikan kepada orang-orang yang ikut berperang dengan niat berperang dan mereka
termasuk orang-orang yang berperang. Masing-masing memperoleh satu saham.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bagian tentara yang menunggang
kuda. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Untuk penunggang kuda diberikan
tiga saham, yaitu satu untuk kuda dan dua untuk penunggang kuda.
Hanafi berkata: Mendapat dua saham, yaitu satu untuk dirinya dan satu lagi
untuk kudanya.
Al-Qadhi 'Abdul Wahab al-Maliki berkata: Pendapat yang menyatakan dua
bagian untuk penunggang kuda adalah pendapat 'Umar bin al- Khaththab r.a. dan 'Ali
bin Abi Thalib r.a., dan tidak diperselisihkan di antara para sahabat. Sedangkan di
antara para tabi'in yang berpendapat demikian adalah 'Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan
al-Bashri, Ibn Sirin, para fuqaha Madinah, al-Awza'i, ulama Syam, al-Laits bin Sa'ad
dan para ulama Mesir, Sufyan ats-Tsawri, Syafi’i dan para ulama penduduk Irak,
Ahmad bin Hanbal, Ibn Tsawr, Abu Yusuf, dan Muhammad bin al-Hasan.
Ada yang berpendapat: Tidak ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini
selain Hanafi, dan tidak ada yang berpendapat seperti pendapatnya meskipun seorang
ulama.
Apabila penunggang kuda membawa dua kuda maka ia tetap diberi untuk seekor
kuda. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berkata: Diberikan untuk dua saja, tidak boleh lebih. Seperti ini juga
pendapat Abu Yusuf dan pendapat Maliki dalam salah satu riwayatnya.
Kuda itu, baik dari jenis kuda Arab maupun bukan, sama-sama diberi saham.
Hambali berkata: Apabila kudanya jantan maka diberi dua bagian, tetapi kuda
pembawa beban mendapat satu bagian.
Al-Awza'i dan Makhul mengatakan: Tidak ada bagian, selain kuda jenis Arab.
Apakah unta juga mendapat bagian jika ditunggangi.? Hanafi, Maliki, dan
Syafi’i mengatakan: Tidak ada bagian. Hambali berkata: Mendapat satu bagian.
Apabila seseorang memasuki daerah pertempuran dengan mengendarai kuda,
lalu kudanya mati sebelum berperang, maka kuda tersebut tidak mendapat bagian. Lain
halnya jika kudanya mati dalam pertempuran atau sesudahnya, maka ia mendapat
bagian. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berkata: Tetap mendapat satu bagian.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah segala sesuatu yang diambil oleh
orang kafir dari orang-orang Islam juga menjadi milik orang- orang kafir? Maliki,
Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Tidak.
Ibn Abi Hubairah berkata: Banyak hadis sahih yang menunjukkan demikian,
karcna Ibn 'Umar pergi berperang dengan membawa kuda, lalu diambil oleh musuh.
Setelah musuh dikalahkan oleh kaum Muslimin, kuda tersebut dikembalikan kepadanya,
yaitu pada masa Rasulullah Saw. Begitu juga budaknya ketika menghadapi raja Rum.
Hanafi berkata: Dimiliki oleh orang kafir. Seperti ini juga pendapat Hambali
dalam salah satu riwayatnya yang lain.
Para imam mazhab sepakat apabila para tentara sudah membagi ghanimah,
lalu datang tentara lain yang ikut membantu pertempuran, maka yang membantu itu
tidak mendapat apa-apa.
Sedangkan,jika mereka datang sesudah pertempuran selesai, tetapi harta
ghanimah belum dibagikan kepada yang berhak, atau sudah dibawa ke negeri Islam,
maka yang membantu tersebut hendaknya diberi bagian. Demikian menurut pendapat
Hanafi.
Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak mendapat bagian sama sekali.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, diberi bagian. Kedua, tidak diberi
bagian.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang-orang yang hadir pada waktu
pembagian harta rampasan (ghanimah), baik budak, perempuan, anak- anak, maupun
orang dzimmi, diberi bagian menurut pertimbangan panglima perang, tetapi tidak sama
dengan bagian yang diperoleh tentara.
Maliki berkata: Jika anak kecil sudah menginjak dewasa dan mampu berperang
serta mendapat izin, maka hendaknya panglima perang memberi mereka bagian yang
sama dengan para tentara, meskipun ia belum dewasa penuh.
Apakah dibolehkan membagi harta ghanimah tersebut di daerah perang?
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Membagi rampasan perang boleh
dilakukan di negeri rampasan sendiri. Hanafi berkata: Tidak boleh.
Para ulama pengikut Hanafi mengatakan: Jika panglima perang tidak
mempunyai kendaraan untuk mengangkut ghanimah tersebut: maka hendaknya
ghanimah tersebut dibagikan di tempat itu, karena dikhawatirkan akan dirampas
kembali oleh pihak musuh.
Namun jika panglima perang membaginya di tempat itu maka pembagiannya
adalah sah. Demikian menurut kesepakatan Para imam mazhab.
Makanan binatang dan binatangnya sendiri yang beruda di daerah perang,
apakah boleh dipergunakan tanpa seizin dari panrrlima perang? Hanafi dan Hambali
dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Tidak apa-apa dipergunakan, meskipun tidak
seizin panglima perang. Jika ada kelebihan dan dibawa keluar dari daerah tersebut maka
dihukumi sebagai harta ghanimah, sedikit ataupun banyak.
Sedangkan menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: Jika kelebihan
tersebut agak banyak maka dihukumi sebagai ghammah; dan jika sedikit maka tidak
dihukumi sebagai ghanimah.
Syafi’i berkata: Jika besar nilai harganya, hendaknya dikembalikan kepada
panglima perang. Adapun jika sedikit maka Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan
pendapatnya yang paling sahih: Harus demikian.
Maliki berkata: Segala sesuatu yang dibawa ke negara Islam dianggap
ghanimah.
Apabila panglima perang mengatakan, "Barangsiapa yang mengambil sesuatu di
daerah pertempuran, maka itu jadi miliknya. Hal demikian boleh dilakukan oleh
panglima perang. Tetapi, yang lebih baik adalah tidak membuat syarat seperti itu.
Demikian menurut pendapat Hanafi.
Maliki berkata: Hal demikian adalah makruh, yaitu agar niat para pejuang tidak
bercampur dengan keinginan untuk memperoleh keduniaan. Bagian yang diambil adalah
sebagian dari khumus, bukan seluruhnya.
Syafi’i berkata: Syarat tersebut tidak harus dipenuhi. Inilah pendapat Syafi’i
yang paling jelas.
Hambali berkata: Syarat demikian boleh dan dibenarkan,
Para imam mazhab sepakat bahwa panglima perang boleh memberikan lebih
ban yak atau tidak sama kepada sebagian tentara, asalkan dilakukan sebelum dibagi
kepada yang berhak.
Para imam mazhab sepakat bahwa panglima perang boleh memilih antara
membunuh para tawanan dan menjadikannya budak.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah dibolehkan panglima perang
membebaskan para tawanan perang dengan begitu saja tanpa pertukaran, tebusan, atau
dengan tebusan dan pertukaran? Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Panglima
perang boleh memilih antara membebaskan begitu saja, membebaskan dengan tebusan
harta, dan ditukar dengan tentara musuh.
Hanafi berkata: Tidak boleh dibebaskan begitu saja atau dengan tebusan.
Adapun menjadikan tawanan sebagai seorang dzimmi, maka panglima perang
boleh melakukan demikian, dan mereka menjadi orang merdeka. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Tidak boleh berbuat demikian, karena mereka
sudah dimiliki.
Apabila tentara Muslim tertawan, lalu disumpah oleh orang musyrik untuk tidak
meninggalkan daerah mereka dan tidak melarikan diri, maka ia wajib menepati
sumpahnya dan tidak boleh melarikan diri. Demikian menurut pendapat Maliki.
Syafi’i berkata: Ia tidak boleh memenuhi sumpah tersebut, dan ia pun harus
melarikan diri. Sumpahnya dianggap sumpah terpaksa. Seperti ini juga pendapat
Hanafi.
Tanah-tanah yang berada di negeri Mesir dan di Irak yang terampas dalam suatu
pertempuran, apakah boleh dibagi oleh para tentara untuk mereka? Hanafi berkata:
Panglima perang boleh memilih antara membaginya dan menetapkan untuk ditempati
penduduknya lalu mereka dikenai wajib pajak, atau mengambil dari kekuasaan mereka
lalu diserahkan kepada orang lain yang didatangkan, kemudian mereka dikenai pajak.
Panglima perang tidak boleh mewakafkannya kepada kaum Muslim dan tidak boleh
kepada para tentara.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, panglima perang tidak boleh
membagi-bagikannya, tetapi dengan jatuhnya tanah tersebut ke tangan tentara Muslim
maka jadilah tanah itu sebagai wakaf bagi umat Islam. Kedua, tanah tersebut boleh
dibagi-bagikan oleh panglima perang dan boleh pula diwakafkan untuk kemaslahatan
umat Islam.
Syafi’i berkata: Panglima perang wajib membagi-bagikannya untuk para tentara,
sebagaimana harta rampasan lain, kecuali para tentara tersebut mewakafkan untuk
kemaslahatan umat Islam. Jika demikian halnya, gugurlah hak mereka, dan imam boleh
mewakafkannya.
Dari Hambali diperoleh tiga riwayat. Pertama, pahglima perang boleh berbuat
menurut pertimbangannya, baik ia membagikannya kepada para tentara maupun
mewakafkannya. Inilah pendapat Hambali yang paling kuat. Kedua, seperti pendapat
Syafi’i. Ketiga, menjadi tanah wakaf karena telahjatuh ke tangan kaum Muslim.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang kharaj (pajak) yang dikenakan
atas tanah yang diperoleh melalui pertempuran. Hanafi berkata: Dari setiap karung
gandum pajaknya adalah 1 qafiz dan 2 dirham.
Syafi’i berkata: Dari setiap karung gandum pajaknya adalah 4 dirham, dan dari
setiap karung sya'ir (padi belanda) pajaknya adalah 2 dirham.
Menurut pendapat Hambali dalam riwayatnya yangjelas: Gandum dan sya'ir
sama saja, yakni setiapkarung pajaknya adalah 1 qafiz dan 1 dirham.
Satu qafiz adalah 8 rithl Hijaz, yaitu 16 rithl Irak.
Adapun, dari sekarung kurma pajaknya adalah 10 dirham. Demikian menurut
pendapat Hanafi.
Para ulama pehgikut Syafi’i dalam hal ini berbeda pendapat. Sebagian dari
mereka menyatakan 10 dirham. Sebagian lain mengatakan 8 dirham.
Hambali berkata: Kharaj-nya adalah 8 dirham.
Sedangkan untuk sekarung anggur kharaj-nya adalah 10 dirham. Demikian
menurut pendapat Hanafi danHambali.
Para ulama Syafi’i menetapkan bahwa kharaj-nya adalah sama dengan kharaj
kurma.
Zaitun kharaj-nya adalah 12 dirham. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan
Hambali. Hanafi berkata: Tidak ada ketentuan pajaknya. Sedangkan Maliki berkata:
Tidak ada ukuran pajaknya, melainkan dikembalikan pada beban tanah yang berbeda-
beda. Oleh karena itu, hal tersebut diserahkan kepada imam untuk menentukan kharaj-
nya dengan bantuan para ahli.
Ibn Hubairah mengatakan dalam kitab al-Ifiah: Perbedaan pendapat di antara
Para imam mazhab tersebut disebabkan perbedaan riwayat dari
'Umas bin al-Khadithab r.a. dan riwayat 'Ali bin Abi Thalib r.a., tetapi semuanya
adalah sahih. Adapun yang menjadikan mereka berbeda pendapat adalah karena
perbedaan sudut pandang mereka.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah boleh imam mengambil kharaj
dan jizyah melebihi ketentuan dari 'Umar bin al-Khaththab? Hanafi dalam masalah ini
tidak mempunyai ketentuan, tetapi diriwayatkan dari al-Qaduri dari Hanafi: yang
diwajibkan adalah sebanyak yang telah ditentukan 'Umar r.a. Ia berkata: Dikeluarkan
menurut kemampuan tanah dalam menghasilkan panenan. Jika tanah tidak mampu
menghasilkan sesuatu yang jumlahnya seperti ketentuan 'Umar maka imam boleh
menguranginya.
Kedua sahabat Hanafi juga berbeda pendapat dalam masalah ini. Abu Yusuf
berkata: Imam tidak boleh melebihkan dan tidak boleh pula menguranginya. Sedangkan
Muhammad bin al-Hasan berkata: Boleh lebih dan boleh juga kurang.
Syafi’i berpendapat: Imam boleh melebihkannya, tetapi tidak boleh
menguranginya.
Dari Hambali diperoleh tiga riwayat. Pertama, boleh melebihkan jika sanggup,
dan boleh pula mengurangi jika tidak sanggup. Kedua, boleh melebihkan jika sanggup,
tetapi tidak boleh mengurangi. Ketiga, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Maliki berkata: Diserahkan pada pertimbangan imam dengan bantuan para ahli.
Ibn Abu Hubairah berkata: Tidak boleh menetapkan pajak yang merusak hak
Baitul Mal karena semata-mata untuk mengejar kemaslahatan bagi seseorang saja.
Tidak boleh pula menetapkan pajak yang memberatkan orang yang terkena wajib pajak.
Oleh karena itu, hendaknya dibebankan sekadar yang diperoleh dari tanah tersebut.
Saya memandang baik sekali apa yang dikemukakan oleh Abu Yusuf dalam kitabnya al-
Kharaj yang disusun untuk Harun al-Rasyid. la mengatakan: Menurut pendapatku, dari
biji-bijian diambil 2/5 dan dari buah-buahan diambil 1/3 untuk diberikan ke Baitul Mal.
Apakah kota Makkah dikalahkan dengan cara damai ataukah dengan cara jalan
paksaan? Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam riwayatnya yang jelas mengatakan:
Dengan jalan paksaan. Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan:
Dengan cara damai.
Apabila seseorang muslim berdamai dengan suatu kaum yang kafir, dengan
syarat bahwa tanah mereka tetap menjadi miliknya dan diwajibkan membayar pajak,
maka hal itu dihukumi jizyah. Jika mereka masuk Islam maka gugurlah kewajiban
tersebut, demikian juga apabila tanah tersebut dibeli oleh orang Islam. Demikian
menurut pendapat Syafi'i.
Hanafi berkata: Kharaj tanah mereka tidak bisa gugur lantaran mereka masuk
Islam atau dibeli oleh orang Islam.
Apakah dibolehkan orang Islam meminta bantuan orang-orang musyrik untuk
memerangi musuh atau orang Islam membantu orang-orang musyrik untuk menyerang
musuh mereka? Maliki dan Hambali mengatakan: Orang Islam tidak boleh meminta
atau memberi bantuan kepada orang-orang musyrik secara mutlak. Tetapi menurut
pendapat Maliki: Kecuali jika orang musyrik tersebut menjadi pelayan bagi orang Islam
m aka hal itu diperbolehkan.
Hanafi berkata: Boleh orang Islam meminta bantuan orang musyrik dan
menolong mereka jika diberlakukan hukum Islam atas mereka. Sedangkan jika hukum
syirik yang banyak mengendalikan mereka maka hukumnya adalah makruh.
Menurut pendapat Syafi’i: Boleh memberi atau meminta bantuan kepada orang
musyrik dengan dua syarat. Pertama, hendaknya jumlah orang Islam lebih sedikit, dan
jumlah orang musyrik lebih banyak. Kedua, hendaknya diketahui bahwa orang-orang
musyrik itu nyata-nyata cenderung pada Islam.
Apabila bantuan mereka diterima, hendaknya mereka diberi bagian rainpasan
perang.
Apakah boleh diberlakukan hukum hudud di daerah perang atas orang-orang
yang wajib terkena had di negeri Islam? Maliki berkata: Tetap wajib. Oleh sebab itu,
semua pekerjaan yang dilakukan oleh orang Islam di daerah Islam yang mewajibkan
had, apabila dilakukan di daerah musuh maka ia dikenai had, baik mengenai hak Allah
‘Azza wajalla maupun hak manusia. Dengan demikian jika orang Islam berzina,
mencuri, meminum minuman keras atau menuduh zina maka ia dikenai had. Demikian
juga menurut pendapat Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berkata: Tidak boleh dijatuhi hukuman had semua perbuatan tersebut,
kecuali jika imam berada di daerah perang tersebut.
Menurut pendapat Syafi’i dan Maliki: Orang yang dikenai hukuman had,
hendaknya tidak dilaksanakan hukumannya melainkan setelah kembali ke negeri Islam.
Hanafi berkata: Jika di daerah musuh itu kepala negara ikut serta bersama
tentara Muslim maka dilaksanakan hukuman di daerah tersebut. Sedangkan jika yang
ikut serta hanya panglima perang maka hukuman tidak dilaksanakan di daerah musuh
tersebut. Jika sudah kembali pulang ke negeri Islam maka had-nya gugur, kecuali
kejahatan pembunuhan. Dalam hal ini, hendaknya diganti dengan hartanya, baik
pembunuhan tersebut disengaja maupun tidak.
Apakah para pedagang yang ikut dalam barisan tentara Islam diberi bagian
rampasan perang, meskipun ia tidak ikut berperang di kancah pertempuran? Hanafi dan
Maliki mengatakan: Tidak diberi bagian, kecuali jika mereka ikut berperang di medan
pertempuran. Syafi’i dan Hambali mengatakan: Diberi bagian, meskipun tidak ikut
bertempur di medan perang.
Dari Syafi’i ada pendapat lain, yaitu mereka tidak diberi bagian meskipun ikut
berperang di medan pertempuran.
Apakah dibolehkan memberi ganti dalam jihad? Hanafi, Syafi’i, dan Hambali
mengatakan: Tidak boleh, baik dengan cara memberi upah maupun tidak, baik perang
tersebut adalah menjadi kewajibannya maupun tidak. Maliki berkata: Boleh jika dengan
cara memberikan upah dan jihad tersebut belum menjadi wajib 'ain atas orang itu,
seperti budak perempuan dan laki-laki.
Para imam mazhab sepakat tentang tidak boleh salah seorang di antara para
perampas menyetubuhi seorang jarryah (budak perempuan) di antara budak-budak yang
tertawan sebelum dibagikan. Namun, mereka berbeda pendapat tentang hukuman yang
diberlakukan kepada orang yang melakukan persetubuhan tersebut. Hanafi berkata:
Apabila terjadi persetubuhan sebelum dibagikan maka ia tidak dikenai hukuman had,
tetapi disiksa saja. Anak hasil persetubuhan itu tidak dinasabkan kepada orang tersebut.
Budak itu tidak dihukumi sebagai budak yang telah dimiliki dan harus dikembalikan ke
dalam harta rampasan perang. Ia wajib diberi sekadar yang berhubungan dengan
perbuatannya.
Maliki berkata: Orang tersebut dihukumi sebagai orang yang berzina, maka ia
dikenai had.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Tidak dikenai had, dan anak dari budak itu
dinasabkan kepadanya dan dianggap sebagai anak yang merdeka. Ia dikenai harga dan
mahar yang dikembalikan kepada harta rampasan perang.
Apakah budak tersebut statusnya menjadi ummul walad? Hambali berkata:
Benar, ia menjadi ummul walad. Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini,
dan pendapatnya yang paling sahih: Tidak menjadi ummul walad.
Apabila sekelompok orang Islam berada di dalam sebuah kapal, lalu kapal itu
terbakar, apakah boleh mereka menerjunkan diri ke lautan ataukah tetap berada di kapal
tersebut? Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Jika
tidak dapat diharapkan keselamatannya antara menerjunkan diri dan tetap di kapal
tersebut maka mereka boleh memilih antara terjun ke lautan atau diam di dalam kapal.
Hambali berkata: Jika dengan terjun ke laut dapat diharapkan keselamatan maka
ia harus terjun. Atau, jika tetap di kapal dapat diharapkan keselamatan maka ia harus
tetap di kapal. Sedangkan jika keduanya sama maka ia boleh memilih mana yang ia
kehendaki. Jika menurut keyakinannya terjun kelaut membahayakan maka ia tidak
boleh terjun ke laut sebab tidak ada harapan baginya akan selamat. Seperti inijuga
pendapat Muhammad bin al-Hasan al-Hanafi dan sebuah riwayat lain dari Maliki.
Apabila seekor unta lari dari daerah musuh menuju ke daerah Islam, atau
seorang kafir harbi masuk ke wilayah Islam tanpa ada yang menjamin keamanannya,
maka hal itu menjadi harta bagi orang Islam. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i. Namun, Syafi’i mengecualikan jika orang kafir harbi tersebut
masuk Islam sebelum ditangkap.
Hambali berkata: Unta terse but menjadi hak orang yang menangkapnya.
Apakah hadiah-hadiah yang diberikan kepada panglima perang dihukumi
menjadi hak miliknya sendiri atau menjadi harta fa'i? Maliki berkata: Termasuk harta
ghanimah, yaitu diambil khumus-nya. Demikian pula sesuatu yang diberikan kepada
salah seorang kepala pasukan dalam pasukan Islam, sebab hal demikian berdasarkan
oleh perasaan takut dari pihak musuh Islam. Sedangkan jika seorang musuh memberi
hadiah kepada seorang tentara Islam yang tidak berpengaruh maka ia boleh
mengambilnya dan memilikinya.
Muhammad bin al-Hasan dari mazhab Hanafi meriwayatkan seperti pendapat
Maliki di atas. Sedangkan menurut pendapat Abu Yusuf, sesuatu yang dihadiahkan oleh
raja Rum kepada panglima perang Islam di daerah perang dihukumi sebagai hak milik
panglima itu sendiri, demikian juga yang diberikan kepada para utusan. Abu Yusuf
tidak menyebutkan adanya perbedaan dalam mazhab Hanafi.
Syafi’i berkata: Apabila seseorang memberikan hadiah kepada panglima perang,
jika dimaksudkan untuk sesuatu yang merusak baginya atau meriguntungkan pihak
musuh, maka panglima perang itu haram mengambilnya. Jika tujuan pemberian itu tidak
jelas maka tidak boleh diterima. Sedangkan jika terpaksa diterima, hendaknya
disedekahkan. Jika diberikan sebagai rasa terima kasih dan penghormatan maka tidak
boleh diterima. Apabila terpaksa diterima maka menjadi sedekah. Tidak bisa selainnya
kecuali jika ia memberikan balasan. Adapun, jika hadiah tersebut dari seseorang yang
tidak ia kuasai dan bukan di dalam negeri yang dikuasainya, sebagai rasa terima kasih
atas kebaikannya, maka mustahab jika diterima, lalu diberikan kepada penduduk
wilayah itu atau ditinggalkan dan tidak diambil apa-apa sebagai balas jasa. Sedangkan
jika diambil dan dimiliki maka hal itu tidak diharamkan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, hal demikian tidak menjadi milik
orang yang diberi, melainkan termasukghanimah yang wajib dikeluarkan khumus-nya.
Kedua, menjadi milik panglima perang sendiri.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang membuat tipuan dalam harta
ghanimah sebelum disimpan dalam penyimpanan khusus jika ia mempunyai hak dalam
harta tersebut, maka tidak dipotong tangannya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang penipuan yang dilakukan orang
yang tidak berhak atas harta tersebut, apakah dibakar tunggangannya dan diharamkan
mendapat bagian ataukah tidak? Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan:
Kendaraannya tidak dibakar dan bagiannya pun tidak diharamkan. Hainbali berkata:
Kendaraan dan segala isinya harus dibakar, kecuali mushhaf Al-Quran, hewan, dan
persenjataan nya. Adapun, tentang bagiannya, diperoleh dua riwayat dari Hambali
Harta fa'i ialah harta yang diambil dari orang-orang musyrik karena
kekafirannya tanpa melalui peperangan, seperti jizyah yang diambil dari orang-orang
yang sudah dikalahkan, sewa tanah yang diambil sebagai kharaj (pajak), atau segala
sesuatu yang ditinggalkan karena ketakutan dan lan untuk menyelamatkan diri.
Termasuk ke dalamnya adalah harta orang murtad yang dibunuh karena kemurtadannya.
Demikian juga harta orang kafir yang mati tanpa meninggalkan warisan, dan
sepersepuluh harta sebagai bea cukai barang yang masuk ke negeri Islam, serta harta-
harta yang dibayar sebagai tanda perdamaian.
Apakah semua itu dibagi lima atau tidak? Hanafi dan Hambali mengatakan:
Semua itu untuk kepentingan seluruh kaum Muslim, maka tidak boleh dibagi lima,
Semuanya digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
Maliki berkata: Semuanya merupakan fa'i yang tidak dibagi. Imam hendaknya
mempertimbangkan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan umat
Islam dengan hartaja'i tersebut sesudah diambil sekadar keperluannya.
Syafi’i berkata: Dibagi lima. Hal demikian untuk Rasulullah Saw. Dan
keluarganya.
Apa yang harus dilakukan terhadap kelebihannya? Dalam hal ini, Syafi’i
mempunyai dua pendapat. Pertama, untuk kemaslahatan umat Islam. Kedua, untuk
orang yang berperang.
Apakah yang harus dibagi lima itu adalah harta fa'i seluruhnya? Syafi’i
mengatakan dalam qauljadid-nya: Seluruh harta fa'i tadi. Seperti ini pula pendapat
Hambali.
Sedangkan menurut qaul qadim-nya. Syafi’i menyatakan: Tidak dibagi lima
seluruhnya, kecuali harta yang ditinggalkan orang-orang kafir yang ketakutan dan
melarikan diri untuk menghindari serangan tentara kaum Muslim.
JIZYAH
Para imam mazhab sepakat bahwa hukum jizyah diberlakukan terhadap orang-
orang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang Majusi. Oleh karena itu, tidak
boleh diambil jizyah dari para penyembah berhala secara mutlak.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang keadaan orang Majusi, apakah
mereka termasuk ahli kitab ataukah serupa saja? Hanafi, Maliki, dan Hambali
mengatakan: Mereka bukan ahli kitab, hanya serupa saja. Dari Syafi’i diperoleh dua
pendapat.
Para imam mazhab berbeda pendapat pula tentang orang-orang yang tidak
memiliki kitab suci dan tidak serupa dengan ahli kitab, seperti para penyembah berhala,
baik orang Arab maupun bukan Arab. Apakah dari mereka diambil jizyah ataukah
tidak? Hanafi berkata: Diambil jizyah dari orang-orang bukan Arab, dan tidak dari
orang-orang Arab. Maliki berkata: Jizyah diambil dari semua orang kafir, baik mereka
orang Arab maupun bukan Arab, tetapi tidak dari orang musyrik suku Quraisy.
Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Secara mutlak
jizyah dari para penyembah berhala tidak diterima.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang kadar jizyah, apakah telah
ditentukan atau tidak? Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan.
jizyah sudah ditentukan kadarnya, baik sedikit maupun banyaknya. Bagi mereka yang
fakir atau papa dan yang; tidak punya usaha adalah 12 dirham. Atas orang pertengahan
adalah 24 dirham. Atas orang kaya adalah 48 dirham.
Riwayat kedua dari Hambali: Kadar jizyah diserahkan pada pertimbangan imam
dan tidak ada ketentuan tertentu. Dalam riwayat ketiga, Hambali berpendapat:
Ditentukan kadar minimalnya, bukan maksimalnya. Sedangkan pendapat keempat:
Untuk negeri Yaman ada ketentuan khusus yaitu 2 dinar, karena adanya hadis yang
menentukan demikian.
Maliki dalam riwayatnya yang masyhur mengatakan: Atas setiap orang kaya
ataupun miskin adalah 4 dinar atau 40 dirham. Syafi'i berkata: Wajib membayar jizyah
sebesar 1 dinar baik bagi orang kaya, fakir, maupun menengah.
Para imam mazhab berbeda pendapat ten tang orang fakir di antara mereka
yang dikenai jizyah, dan ia tidak memiliki usaha dan tidak memiliki apa-apa. Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i mengatakan: Ia tidak dikenai kewajiban apa pun. Syafi’i
mempunyai dua pendapat. Pertama, dikeluarkan dari negeri Islam. Kedua, tidak
dikeluarkan dari negen Islam, tetapi dibebaskan.
Apabila dibebaskan, bagaimana hukumnya? Dalam masalah ini, Syafi’i
mempunyai beberapa pendapat. Pertama, tidak dikenai kewajiban apa pun. Kedua,
wajib dikenai jizyah, dan diminta ketika mampu. Ketiga. apabila telah sampai satu
tahun tidak membayar maka ia dikeluarkan ke dar al-harb.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang orang drimmi yang mati padahal
ia wajib membayar jizyah. Hanafi dan Hambali mengatakan: Kewajibannya menjadi
gugur disebabkan kematiannya. Maliki dan Syafi’i mengatakan: Tidak gugur.
Apakah jizyah diwajibkan pada akhir tahun ataukah pada awal tahun? Hanafi
berkata: Pada awal tahun, dan boleh diminta sesudah dilakukan akad dzimmah. Maliki
dalam riwayatnya yang masyhur, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Wajib pada akhir
tahun, dan tidak boleh diminta sesudah dilakukan akad dzimmah, sebelum berlalu genap
satu tahun.
Jika ia mati pada pertengahan tahun? Hanafi dan Hambali mengatakan:
Kewajibannya menjadi gugur. Maliki dan Syafi’i mengatakan: Kewajibannya tidak
gugur, tetapi harus diambil dari hartanya untuk setahun yang telah lalu.
Jika seseorang yang berkewajiban membayar jizyah, tetapi tidak membayarnya
hingga ia masuk Islam, apakah yizyah-nya menjadi gugur disebabkan keislamannya
ataukah tidak? Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Menjadi gugur disebabkan
keislamannya. Demikian pula, jika ia tidak membayar jizyah selama beberapa tahun,
lalu masuk Islam, maka jizyah itu menjadi gugur. Syafi’i berkata: Jika ia masuk Islam
maka berlaku kewajiban jizyah tahun sebelumnya.
Apabila tahun pertama sudah berlalu dan masuk tahun kedua, tetapi jizyah tahun
pertama belum dibayar, apakah jizyah tahun pertama menjadi gugur lantaran memasuki
tahun kedua? Ataukah ia berkewajiban membayar jizyah untuk dua tahun itu? Hanafi
berkata: jizyah untuk tahun pertama menjadi gugur lantaran memasuki tahun kedua,
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Tidak: gugur, tetapi ia berkewajiban membayar
jizyah untuk dua tahun.
Para imam mazhab sepakat bahwa jizyah tidak diberlakukan kepada para
wanita dari ahli kitab, demikian juga terhadap anak-anak mereka hingga dewasa, orang
gila, orang buta, orang tua renta, dan para pendeta mereka. Seperti ini juga pendapat Ibn
Hubairah.
Namun, ar-Rafi'i berkata: Di dalam akad jizyah terhadap mereka ada dua cara.
Pertama, sebagaimana pendapat jamaah, yaitu didasarkan pada perselisihan tentang
boleh atau tidaknya memerangi mereka. Jika kita berpendapat boleh maka dikenakan
jizyah terhadap mereka. Sedangkan jika kita berpendapat tidak boleh maka kaum wanita
dan anak-anak mereka tidak boleh dipungut jizyah. Kedua, tidak dikenai jizyah sama
sekali.
Para imam mazhab sepakat bahwa jika orang Islam membuat perjanjian
dengan orang musyrik maka wajib dipenuhi, kecuali Hambali yang mensyaratkan harus
adanya kemaslahatan. Apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan kemaslahatan
orang Islam maka hendaknya dibatalkan.
Apabila perempuan-perempuan musyrik berhijrah ke negeri Islam, sedangkan
kepala negara Islam berjanji akan mengembalikan siapa saja dari mereka yang datang,
maka dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam menyebabkan mereka tidak
boleh dikembalikan. Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang maharnya, apakah dikembalikan
ataukah tidak? Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Maharnya tidak
dikembalikan. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling sahih:
Dikembalikan.
Jika orang-orang kafir harbi membawa barang-barang perdagangan melalui
negeri Islam, apakah mereka dikenai sesuatu? Hanafi berkata: Tidak dikenai apa-apa
kecuali jika mereka mengambil sesuatu dari orang Islam. Maliki dan Hambali
mengatakan: Dikenai kewajiban membayar sepersepuluh dari barang dagangan mereka,
jika disyaratkan mengambil lebih dari sepersepuluhnya maka haruslah dilaksanakan.
Syafi’i berkata: Jika disyaratkan sepersepuluh maka boleh diambil, sedangkan jika tidak
maka tidak boleh.
Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat: Diambil sepersepuluh dari barang
dagangan mereka, walaupun tidak disyaratkan.
Apabila orang kafir dzimmi berdagang dari suatu negeri ke negeri lain maka
diambil sepersepuluh dalam setiap perdagangannya, meskipun dilakukan berulang-
ulang dalam setahun. Demikian menurut pendapat Maliki.
Syafi’i berkata: Tidak diambil dari mereka kecuali apa yang telah disyaratkan.
Hanafi dan Hambali mengatakan: Diambil dari orang dzimmi seperdua puluh,
dan juga perlu dilihat nisabnya.
Pendapat Hanafi: Nisabnya adalah seperti nisab harta orang Islam.
Sedangkan menurut pendapat Hambali; Nisab bagi orang kafir harbi dalam
masalah ini adalah 5 dinar dan bagi orang kafir dzimmi adalah 10 dinar.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang rusaknya perjanjian dengan
orang kafir dzimmi; Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Perjanjian itu menjadi
rusak jika mereka ia membayar jizyah, dan tidak mau menjalankan hukum Islam yang
dibebankan kepadanya oleh hakim Islam. Hanafi berkata: Tidak bisa dihukumi rusak
perjanjiannya, kecuali jika ia telah mendirikan benteng pertahanan atau melarikan diri
ke dar al-harb.
Seorang kafir dzimmi mengerjakan sesuatu yang wajib diringgalkan dan
meninggalkan sesuatu yang harus dikerjakan yang dapat membahayakan orang Islam
atau masyarakat Muslim, baik terhadap diri maupun hartanya yang berada dalam
delapan perkara sebagai berikut:
1. bersekutu untuk memerangi orang Islam;
2. menzinahi perempuan Muslimah;
3. menyetubuhinya melalui pernikahan;
4. memfitnah seorang Islam dari agamanya;
5. merampok orang-orang Islam;
6. memberikan tempat kepada mata-mata musyrik;
7. memberikan bantuan kepada orang-orang musyrik dengan cara mengirimkan
berita tentang orang-orang Islam yang menguntungkan pihak musuh Islam;
8. membunuh orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan dengan sengaja.
Dalam hal ini, apakah perjanjian dengan orang kafir dzimmi dapat menjadikan
batal lantaran ia mengerjakan delapan perkara tersebut? Hanafi berkata: Perjanjian
tidak batal lantaran delapan perbuatan tersebut dan dua perbuatan yang disebutkan
sebelumnya, kecuali pada diri mereka terdapat pertahanan yang melindungi mereka dari
serangan orang Islam, atau mereka menguasai suatu tempat dan menyerang kita, atau
mereka menggabungkan diri ke dalam dar al-harb.
Syafi’i berkata: Jika orang kafir dzimmi tersebut memerangi kaum Muslim
maka perjanjiannya menjadi batal, baik ia merupakan syarat yang harus ditinggalkan
dalam perjanjian maupun tidak. Jika mereka mengerjakan tujuh perbuatan lainnya maka
harus diperhatikan dalam perjanjian, jika tidak disyaratkan maka perjanjian tidak batal.
Sedangkan jika disyaratkan maka Syafi’i mempunyai dua pendapat, Pertama, batal
perjanjiannya. Inilah pendapat yang paling kuat dalam mazhabnya. Kedua, tidak batal.
Maliki berkata: Perjanjian tidak batal disebabkan terjadi perzinaan dengan
perempuan Islam dan menyetubuhi melalui pernikahan. Perjanjian dapat batal lantaran
dikerjakan perbuatan selainnya, kecuali merampok. Ibn Qasim, ulama mazhab Maliki,
berpendapat bahwa perjanjiannya menjadi batal.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, yang paling jelas adalah
perjanjian menjadi batal lantaran dikerjakan delapan perkara tersebut, baik disyaratkan
maupun tidak, Kedua, perjanjian tidak batal, kecuali mereka tidak mau membayar
jizyah dan tidak menuruti perintah-perintah yang dibebankan pemerintah Islam terhadap
mereka.
Jika orang kafir dzimmi berbuat sesuatu yang dapat merendahkan Islam, yaitu
dalam empat hal berikut:
1. menyebut nama Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan kebesaran,
kesucian, dan ketinggian Allah Swt.;
2. melecehkan penyebutan kitab suci Al-Quran;
3. melecehkan penyebutan agama Allah;
4. menyebut Rasulullaah Saw. dengan cara yang tidak pantas.
Dalam hal ini, apakah perjanjian mereka dapat menjadi batal lantaran perbuatan
tersebut? Hambali berkata: Perjanjiannya menjadi batal, baik hal demikian disyaratkan
dalam perjanjian maupun tidak. Maliki berkata: Apabila mereka mencaci maki Allah
dan Rasul-Nya, agama-Nya, atau kitab- Nya, meskipun tidak menunjukkan kekafiran,
maka perjanjian mereka menjadi batal, baik disyaratkan dalam perjanjian untuk
ditinggalkan maupun tidak.
Dalam masalah ini, kebanyakan para ulama Syafi’i berpendapat: Hukum mereka
adalah seperti hukum mengerjakan tujuh perkara yang membahayakan Islam, yang telah
disebutkan, yakni jika hal itu tidak disyaratkan dalam perjanjian maka tidak batal,
Sedangkan jika disyaratkan maka Syafi’i mempunyai dua pendapat Abu Ishaq al-
Mawardi berkata: Hukumnya adalah seperti melakukan tiga perbuatan yang disebutkan,
yaitu tidak mau membayar fidyah, bersekutu untuk memerangi umat Islam, dan tidak
mau mengikuti perintah pemerintahan Islam.
Hanafi berkata: Perjanjiannya tidak menjadi batal karena perbuatan-perbuatan
tersebut. Namun, dapat rusak karena dua perbuatan mereka, yaitu mempunyai
pertahanan dan menggabungkan diri ke dar al-harb.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang orang dzimmi yang merusak
perjanjiannya, apa yang harus dilakukan terhadap mereka? Hanafi berkata:Jika orang
dzimmi merusak perjanjiannya maka boleh dibunuh jika kita sanggup melakukannya.
Maliki mengatakan dalam riwayatnya yang masyhur: Dia dibunuh atau
dijadikan budak, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap Bani
Abil Haqiq.
Syafi’i dalam salah satu pendapatnya dan Hambali mengatakan: Mereka tidak
dikembalikan ke tempat yang aman, tetapi imam hendaknya memilih antara
membunuhnya atau menjadikannya budak.
Orang kafir yang masuk ke dar al-harb, apakah harus ditolak? Hanafi berkata:
Boleh ia memasukinya dan menetap di sana, sebagaimana menetapnya musafir, tetapi
tidak boleh terus menetap di sana. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Mereka
dilarang memasuki tanah al- Haram.
Menurut pendapat Hanafi: Seorang kafir boleh masuk ke dalam Ka'bah.
Apakah boleh orang kafir harbi dan dzimmi menetap di Makkah, Madinah, dan
Yamamah serta daerah sekitarnya? Hanafi berkata: Tidak dilarang. Maliki, Syafi’i dan
Hambali mengatakan: Harus dicegah, kecuali sebagai pedagang. Jika demikian, imam
boleh mengizinkannya menetap selama tiga hari, dan setelahnya disuruh pindah.
Bagaimana jika ia masuk selain Masjid al-Haram? Hanafi berkata: Boleh orang
musyrik memasukinya, walaupun tanpa izin. Syafi’i berkata: Tidak dibolehkan, kecuali
mendapatkan izin dari orang Islam. Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak boleh
secara mutlak.
Para imam mazhab sepakat tentang tidak bolehnya membangun gereja dan
tempat peribadatan orang-orang Yahudi di kota-kota negara Islam.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah boleh membangun gereja dan
tempat peribadatan Yahudi di dekat kota-kota Islam? Maliki, Syafi’i dan Hambali
mengatakan: Tidak boleh. Hanafi berkata: Jika bangunan gereja dan tempat peribadatan
orang-orang Yahudi tersebut sejauh kurang dari satu mil dari kota maka tidak boleh.
Sedangkan jika lebih jauh dari satu mil maka dibolehkan.
Jika gereja atau tempat peribadatan orang Yahudi berada di daerah Islam, yang
telah lama rusak, apakah boleh diperbaiki atau dibangun bangunan baru? Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i mengatakan: Boleh diperbaiki. Namun, Hanafi mensyaratkan
hendaknya gereja tersebut berada di daerah yang telah dikalahkan secara damai.
Sedangkan jika tanpa cara damai maka tidak diperbolehkan.
Menurue pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya yang jelas dan yang
telah dipilih oleh sebagian ulama pengikutnya, dan juga telah dipilih oleh sekelompok
ulama Syafi’i, seperti Abu Sa'id al-Isthakhri dan Abu Ali bin Abi Hubairah: Tidak
boleh mereka memperbaiki bangunan tempat ibadat yang telah rusak dan tidak boleh
membangun yang baru. Sedangkan pendapat Hambali yang keduanya: Boleh diperbaiki
yang rusak, tetapi tidak boleh dibangun yang baru. Sedangkan menurut pendapatnya
yang ketiga: Boleh diperbaiki dan boleh pula dibangun yang baru.
HUKUM-HUKUM PERADILAN (AQDHIYAH)
Para imam mazhab sepakat bahwa pembagian itu dibolehkan untuk barang
yang dapat dibagi, karena terkadang orang yang berserikat dapat membahayakan
sekutunya sendiri. Namun, mereka berbeda pendapat, apakah pembagian itu dengan
cara dijual atau dibagi barangnya? Hanafi berkata: Pembagian kadang-kadang berarti
dijual, yaitu dalam hal yang bisa berlebih dan berkurang, seperti pakaian dan kebun,
maka tidak boleh dijual dengan maksud memperoleh keuntungan. Kadang-kadang
pembagian bermakna membagi bendanya, yaitu dalam perkara yang tidak bisa berlebih
dan berkurang, seperti benda-benda yang dapat ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti
kelapa dan telur, maka dalam hal ini masing-masing pemiliknya boleh menjualnya
dengan cara mendapat keuntungan.
Maliki berkata: Jika benda dan sifatnya sama maka harus dibagi. Sedangkan jika
berbeda-beda maka cara membaginya adalah dengan dijual.
Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini. Pertama, dijual. Kedua,
dibagi.
Hambali berkata: Dibagi.
Apabila salah seorang di antara dua orang yang bersekutu menuntut pembagian,
tetapi hal itu dapat membahayakan pihak lain, dan penuntut tersebut ikut pula mendapat
kerugian, maka tidak boleh dibagi.Tika penuntut dapat memperoleh manfaat dari
pembagian itu maka ia dibolehkan memaksa orang yang menghalanginya dalam
pembagian. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Maliki berkata: Penuntut boleh memaksa orang yang melarang pembagian
secara mutlak.
Menurut pendapat para ulama pengikut Syafi’i: Jika penuntut ikut menanggung
kerugian maka dalam masalah ini Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya
yang paling sahih: Boleh memaksakannya.
Hambali berkata: Tidak dengan cara dibagi, tetapi dijual kemudian uang hasil
penjualannya dibagi Apakah upah pembagian menurut kadar modal kedua orang yang
hendak membagi ataukah berdasarkan banyaknya bagian mereka? Hanafi dan Maliki
dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Berdasarkan banyaknya modal mereka.
Syafi’i, Hambali dan Maliki dalam riwayat lainnya mengatakan: Menurut banyaknya
bagian mereka.
Apakah ongkos tersebut dibebankan kepada si penuntut saja? Maliki, Syafi’i
dan Hambali mengatakan: Dibebankan kepada mereka berdua.
Para imam mazhab sepakat bahwa barang-barang yang tidak dapat dipindah-
pindahkan, seperti rumah, dapat dibagi-bagi atas dasar kerelaan kedua belah pihak.
Dapat pula atas dasar bagian masing-masing apabila sudah sepadan harganya, asalkan
tidak mengurangi faedah sekutu-sekutunya.
Menµrut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Jika pembagian tersebut
menyebabkan hilangnya faedah, tidak dapat diambil manfaat, boleh dibagi atas dasar
tuntutan salah seorang yang berhak.
Ibn al-Qasim berkata: Tidak boleh dibagi, kecuali jika masing-masing yang
menerima bagian dapat mengambil manfaat dari bagiannya tanpa kerugian.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Apabila pembagian menyebabkan pertukaran
manfaat dengan manfaat lain, seperti tempat mandi jika dibagi bertukar manfaatnya,
maka tidak boleh dibagi.
Apabila ada beberapa rumah maka hendaknya masing-masing rumah dibagi
sendiri-sendiri, bukan dihargakan jika jenisnya sama. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Syafi’i.
Maliki berkata: Jika jenisnya sama, dibagi dengan cara dihargakan dan
diimbangi harga serta bagiannya.
Para imam mazhab sepakatbahwa binatang dan permata tidak boleh dibagi
karena akan menyebabkan kerusakan.
Apabila dua orang yang berkongsi bertengkar mengenai suatu benda, masing-
masing pihak tidak mau mengambil manfaat secara bersama-sama, dan yang seorang
mau menjual bagiannya kepada kongsinya, maka ia boleh dipaksa untuk dibeli dan
boleh juga pembelinya membayar sebesar harga asalnya. Demikian menurut pendapat
jumhur ulama, di antaranya adalah Maliki.
Para ulama Zahiriyah mengatakan: Tidak boleh dipaksa.
Para imam mazhab sepakat apabila permata tersebut lebih dari satu jenis maka
boleh dibagi atas dasar kerelaan kedua belah pihak.
Dapat dipaksa pembagian manfaat. Pembagian manfaat itu dilakukan berdasarkan masa
atau benda. Berdasarkan masa ialah masing-masing pihak mengambil manfaaat sama
lamanya dengan masa yang dipergunakan oleh temannya. Adapun, membagi
berdasarkan benda ialah ditentukan benda- benda itu untuk masing-masing, untuk masa
tertentu, sedang benda-benda tersebut tetap berada dalam perkongsian. Demikian
menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab.
DAKWAAN DAN PEMBUKTIAN
Para imam mazhab sepakat apabila seorang penggugat datang kepada hakim,
lalu menggugat seseorang dan meminta didatangkan dari negeri lain yang memiliki
hakim tersendiri ke negeri penggugat, maka tuntutan itu tidaklah dapat diterima.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika di negerinya tidak ada hakim,
Hanafi berkata: Terdakwa tidak wajib datang, kecuali jika jarak antara pendakwa dan
terdakwa memungkinkan kembali ke negerinya dalam sehari itu juga. Syafi’i dan
Hambali mengatakan: Harus datang menghadap hakim yang menerima gugatan
penggugat, baik tempatnyajauh maupun dekat.
Para imam mazhab sepakat bahwa hakim boleh mendengar dakwaan dan
keterangan yang dikemukakan oleh orang yang datang terhadap tergugat yang belum di
panggil.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah hakim benda-benda itu
memutuskannya, sedangkan yang lain tidak datang? Hanafi berkata: Tidak boleh
dijatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak hadir dan orang yang melarikan diri
sebelum jatuh vonis dan sesudah diajukan bukti- bukti. Yang diperlukan hanya tiga
orang untuk menemui terdakwa untuk diminta datang ke pengadilan. Jika ia tetap tidak
mau datang maka boleh dipaksa.
Diriwayatkan bahwa Abu Yusuf membolehkan dijatuhkannya hukuman kepada
tergugat yang tidak mau datang ke pengadilan.
Hanafi berkata: Hakim tidak boleh memutuskan hukum kepada tergugat yang
tidak mau datang ke pengadilan, kecuali jika hakim tersebut bergantung kepada orang
yang telah datang. Misalnya, orang yang tidak datang itu adalah wakil dari orang yang
sudah datang, pengemban wasiatnya, atau sekelompok orang dalam suatu perkongsian,
lalu seorang pesero mengadu terhadap pesero yang datang dan yang tidak datang,
kemudian diputuskan perkaranya, baik terhadap yang hadir maupun terhadap yang tidak
hadir.
Maliki berkata: Boleh dijatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak hadir ke
pengadilan, jika orang yang telah datang telah mengemukakan bukti-bukti dan meminta
dijatuhkan hukuman.
Syafi’i berkata: Boleh hakim memutuskan perkara terhadap orang yang tidak
hadir, jika bukti-bukti sudah diberikan dengan cukup oleh pendakwa.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, mutlak dibolehkan hal demikian.
Kedua, seperti pendapat Syafi’i di atas.
Apabila dijatuhkan hukuman atas orang yang tidak hadir dalam pengadilan, anak
kecil, atau orang gila, berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan oleh pendakwa,
hendaknya penggugat tersebut disumpah. Demikian menurut pendapat Maliki
danpendapat Syafi’i yang paling sahih.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, hendaknya disumpah. Kedua,
tidak perlu disumpah.
Para imam mazhab sepakat apabila suatu hak sudah dapat ditetapkan atas diri
seseorang yang datang di pengadilan berdasarkan dua saksi yang adil maka hakim boleh
memutuskan dan tidak perlu menyumpah penggugat dan kedua orang saksi.
Apabila seorang laki-laki mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki Islam
dan seorang anak laki-laki Nashrani, lalu masing-masing mengakui bahwa bapaknya
mati dalam agama masing-masing dania mengakui bahwa dirinya berhak menerima
warisannya serta memberikan bukti-bukti, padahal diketahui oleh umum bahwa
bapaknya beragama Nashrani, dan seseorang bersaksi bahwa bapak tersebut mati
sesudah mengucapkan kalimat syahadat, lalu saksi lain bersaksi bahwa bapak itu mati
dalam keadaan kafir, maka kedua saksi tersebut harus digugurkan karena saling
bertentangan. Seakan-akan tidak ada pembuktian sama sekali. Oleh karena itu,
hendaknya anak yang beragama Nashrani itu disumpah, lalu diberikan warisan
kepadanya jika ia mau bersumpah. Demikian menurut salah satu pendapat Syafi’i.
Sedangkan pendapat Syafi’i yang lain: Keduanya dipergunakan, lalu diundi.
Jika tidak diketahui asal agamanya maka Syafi’i mempunyai dua pendapat.
Adapun jika kedua saksitersebut digugurkan maka harta dikembalikan kepada
anak yang menguasainya. Jika keduanya diakui maka hams diundi. Sedangkan jika
perkara itu dibekukan, hendaknya ditangguhkan hingga diperoleh bukti-bukti yang lebih
jelas. Jika dibagi maka hendaknya dibagi sesuai dengan nas. Dalam masalah ini, bapak
yang mati itu hendaknya dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di pekuburan
Muslim. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan juga pendapat Hambali.
Hanafi berkata: Dalam masalah ini, hendaknya pembuktian yang diberikan oleh
anak yang Islam didahulukan.
Apabila dua orang berselisih tentang pagar yang berada di antara barang milik
mereka yang tidak menjadi bagian dari milik masing-masing, melainkan sebagai
pembatas di antara keduanya, maka menjadi milik kedua orang tersebut meskipun
cabang-cabang kayu pohon milik salah seorang di antara mereka menjulur di atas
tembok itu. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hambali .
Hanafi berkata: Jika cabang-cabang pohon milik salah seorang di antara mereka
menjulur di atasnya maka pohon tersebut dihukumi menjadi miliknya.
Apabila seseorang memelihara anak yang telah dewasa dan berakal, lain ia
mengatakan bahwa anak tersebut adalah budaknya, sedangkan anak tersebut
mengingkari pengakuan itu, maka yang dibenarkan adalah perkataan anak itu yang tidak
mendustakan perkataan orang tersebut, yaitu dengan disumpah bahwa dirinya merdeka.
Sedangkan jika anak itu masih kecil dam belum mumayyiz maka yang diterima adalah
pengakuan pemeliharanya. Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam
mazhab.
Para imam mazhab sepakat jika seseorang mengakui bahwa dirinya adalah
keturunan si fulan maka tidak dapat diterima, kecuali ada bukti.
Apabila anak tersebut belum sempurna umurnya maka Syafi’i mempunyai dua
pendapat. Pertama, dihukumi seperti anak yang sudah dewasa. Kedua, dihukumi seperti
anak yang masih kecil.
Para imam mazhab sepakat bahwa kewajiban pembuktian merupakan tugas
dari penggugat dan sumpah merupakan tugas tergugat yang mengingkari gugatan.
Apabila seseorang mengatakan, "Tidak ada bukti padaku" atau ia mengatakan,
"Semua pembuktianku palsu", lalu orang tersebut memberikan pembuktian lagi, maka
hal demikian dapat diterima. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berkata: Tidak dapat diterima.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang bukti yang diberikan orang yang
tidak menguasai barang, apakah diutamakan atas bukti yang dikemukakan oleh orang
yang menguasai barang? Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya
mengatakan: Bukti yang diberikan oleh orang yang tidak menguasai barang lebih
diutamakan daripada bukti dari orang yang menguasai barang.
Dalam riwayat lain, Hambali mengatakan: Bukti dan orang yang menguasai
barang lebih diutamakan.
Apakah bukti-bukti penggugat didahulukan atas bukti-bukti yang dikemukakan
oleh tergugat dalam segala perkara atau hanya dalam beberapa perkara tertentu? Hanafi
berkata: Bukti-bukti penggugat harus didahulukan atas bukti-bukti yang diajukan oleh
tergugat dalam harta milik secara mutlak. Jika berkaitan dengan sebab yang tidak
berulang-ulang, seperti penenunan kain-kain yang tidak ditenun, kecuali sekali saja,
maka didahulukan bukti- bukti dari orang yang memegang barang. Apabila masing-
masing mengemukakan tanggal pemilikannya maka didahulukan tanggal lebih dahulu.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Bukti-bukti orang yang memegang barang
harus didahulukan secara mutlak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, bukti-bukti orang yang tidak
memegang barang harus didahulukan secara mutlak. Kedua, seperti pendapat Hanafi.
Apabila dua bukti keterangan saling bertentangan, tetapi salah satu saksi dari
satu pihak yang berperkara lebih adil, apakah kesaksiannya harus dikuatkan lagi?
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: Tidak perlu diperkuat lagi. Maliki berkata:
Dikuatkan dengan orang yang lebih adil.
Apabila seorang laki-laki mengakui sebuah rumah yang berada di tangan orang
lain dan bukti-bukti yang diberikan oleh kedua belah pihak saling bertentangan maka
kedua kesaksian itu tidak gugur, dan rumah dibagikan kepada keduanya. Demikian
menurut pendapat Hanafi.
Maliki berkata: Kedua pihak disumpah, lalu rumah itu dibagi dua. Sedangkan
jika yang seorang mau bersumpah dan yang lain menolak maka dimenangkan yang
bersumpah.
Adapun jika kedua-duanya menolak untuk bersumpah maka dari Maliki
diperoleh dua pendapat. Pertama, dibagi menjadi dua.Kedua, dibekukan hingga
diketahui mana yang benar.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat. Pertama, kedua pengakuannya gugur,
karena merupakan gugatan yang tak terbukti. Kedua, keduanya menjadi gugur.
Jika demikian, apa yang harus diperbuat? Dalam hal ini. Syafi’i mempunyai tiga
pendapat. Pertama, dibagi. Kedua, diundi. Ketiga, dibekukan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, keduanya gugur. Kedua, dibagi
menjadi dua.
Apabila dua orang memperkarakan barang yang berada di tangan orang ketiga,
tetapi pada keduanya tidak ada bukti, sedangkan orang ketiga mengakui bahwa barang
itu milik salah seorang di antara mereka, tetapi tidak dijelaskan siapa pemiliknya,dan
mereka mau berdamai, maka dibagilah barang tersebut di antara keduanya. Jika ia tidak
mau menentukan siapa yang pemiliknya maka orang ketiga disumpah bahwa barang ini
bukan milik si fulan ini dan bukan pula milik si fulan itu. Jika ia mau bersumpah
demikian, kedua orang tersebut tidak memiliki hak apa pun, dan jika ia menolak maka
barang tersebut atau nilainya diambil darinya. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: Perkaranya dibekukan hingga diketahui siapa
pemiliknya atau keduanya mau berdamai.
Hambali berkata: Diundi di antara keduanya, dan siapa yang keluar maka
disumpah dan berhak memilikinya.
Apabila seseorang mengakui bahwa dirinya telah menikah dengan seorang
perempuan dengan pemikahan yang sah maka pengakuannya diterima tanpa disebutkan
syarat-syarat pernikahan yang sah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: Hakim tidak boleh menerima pengakuannya
hingga ia menyebutkan syarat-syarat yang diperlukan dalam sahnya pernikahan, seperti
ia mengatakan, "Kami telah menikahinya dengan wali mursyid, dua orang saksi yang
adil, dan kerelaan perempuan itu sendiri jika perempuan tersebut masih gadis.
Apabila terdakwa menolak untuk bersumpah maka apakah sumpah
dikembalikan kepada pendakwa? Hanafi berkata: Tidak dikembalikan, tetapi hakim
harus memutuskan perkara secara langsung untuk si terdakwa. Maliki berkata: Sumpah
harus dikembalikan kepada pendakwa dan perkara diputuskan dengan kemenangan
pendakwa berdasarkan penolakan terdakwa untuk bersumpah, yaitu dalam perkara yang
diputuskan berdasarkan seorang saksi laki-laki beserta sumpah dan perkara yang dapat
diputuskan berdasarkan seorang saksi laki-laki beserta dua orang perempuan.
Syafi'i berkata: Dikembalikan sumpah itu kepada pendakwa lalu dimenangkan
si pendakwa.
Apakah sumpah itu perlu diberatkan karena suatu tempat dan masa? Hanafi
berkata: Tidak diberatkan. Maliki dan Syafi’i mengatakan: Diberatkan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat pendapat, yaitu seperti kedua pendapat di
atas.
Apabila suami-istri berselisih tentang peralatan rumah yang mereka tinggali dan
diurus oleh keduanya, tetapi tidak ada bukti sama sekali. Hanafi berkata: Apa yang ada
di tangan keduanya, itulah milik mereka. Akan tetapi, yang dihukumi masuk dalam
pengurusan keduanya, yang layak untuk laki-laki hendaklah diberikan kepada laki-laki,
dan barang yang layak untuk perempuan hendaklah diberikan kepada perempuan. Apa
saja yang layak bagi keduanya, dimiliki oleh laki-laki selama ia masih hidup, dan
sesudah matinya diberikan kepada yang masih hidup.
Maliki berkata: Segala hal yang layak untuk salah seorang di antara keduanya
diberikan kepada laki-laki. Syafi’i berkata: Dibagi di antara keduanya sesudah mereka
disumpah. Hambali berkata: Jika yang diperselisihkan itu adalah barang yang layak
untuk laki-laki, seperti kopiah dan serban, maka dibenarkanlah pengakuan laki-laki.
Sedangkan jika yang layak untuk perempuan, seperti rukuh dan kerudung, maka
dibenarkan pengakuan perempuan. Sementara itu, barang yang layak bagi keduanya
dibagi di antara keduanya sesudah yang satu meninggal. Tidak ada perbedaan pendapat
tentang barang-barang yang berada dalam kekuasaannya dengan cara persaksian atau
menurut hukum. Demikian pula, keputusan yang harus diambil dalam perselisihan di
antara ahli waris keduanya atau salah seorang di antara mereka.
Abu Yusuf berkata: yang dibenarkan adalah barang yang diakui oleh perempuan
yang menurut adat kebiasaan merupakan pakaiannya.
Seseorang yang mempunyai piutang pada orang lain, tetapi tidak diakui oleh
orang yang berutang, lalu orang yang berpiutang memperoleh kesempatan untuk
mengambil haknya dari orang yang berutang, apakah ia boleh mengambil haknya tanpa
seizin orang yang berutang? Ha:nafi berkata: Ia boleh mengambilnyajika yang diambil
itu sejenis dengan miliknya.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, jika orang yang berutang itu tidak
punya utang lain maka ia boleh mengambil tanpa izinnya. Jika ia mempunyai utang lain
maka ia boleh mengambil sebanyak utangnya, dan sisanya dikembalikan. Kedua, tidak
boleh mengambilnya, kecuali dengan izinnya, baik yang diambil itu dari jenis yang
diutangkan maupun bukan. Seperti inilah pendapat Hambali.
Syafi’i berkata: Dibolehkan mengambilnya secara mutlak.
Apabila seseorang mempunyai suatu barang yang berada di tangan orang lain
dengan bukti-bukti cukup dan dapat diambil dengan perantaraan hakim maka ia boleh
mengambilnya. Sedangkan jika pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh yang
berutang, tetapi ia tidak mau membayar karena sedang menguasainya, maka pemberi
utang boleh mengambilnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Apabila dua orang laki-laki mendakwa seorang budak, bahwa budak tersebut
adalah miliknya, lalu budak itu mengakui bahwa dirinya hanya milik salah seorang di
antara kedua laki-laki itu, maka diterima pengakuan budak tersebut. Demikian menurut
pendapat Syafi’i.
Hanafi berkata: Tidak diterima pengakuan budak tersebut jika orang yang
mendakwanya dua orang. Sedangkan jika pendakwanya hanya seorang maka boleh
diterima.
Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak diterima pengakuan budak tersebut
jika ia mengaku milik salah seorang di antara keduanya. Sedangkan jika pendakwanya
hanya seorang maka diterima pengakuannya.
Apabila dua orang saksiyang adil bersaksibahwa si fulan telah memerdekakan
budaknya, sedangkan budak tersebut mengingkarinya, maka budak itu dihukumi
merdeka. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berkata: Tidak sah kesaksiannya jika budaknya sendiri mengingkarinya
PERSAKSIAN
Para imam mazhab sepakat bahwa kesaksian merupakan syarat dalam
pernikahan. Adapun, dalam akad-akad lainnya, seperti jual-beli, maka tidak disyaratkan
adanya saksi.
Para imam mazhab sepakat bahwa hakim tidak boleh mengajarkan kesaksian
kepada saksi, tetapi wajib mendengarkan apa saja yang dituturkannya. Namun, mereka
berselisih pendapat, apakah pernikahan dapat ditetapkan dengan saksi seorang laki-laki
dan dua orang perempuan? Hanafi berkata: diterima jika terjadi pertengkaran. Maliki
dan Syafi’i berkata: tidak ditetapkan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang lebih jelas
mengatakan: hal demikian tidak dapat ditetapkan.
Para imam mazhab juga berbeda pendapat, apakah sesuatu dapat ditetapkan
dengan kesaksian dua orang budak? Hanafi dan Hambali mengatakan: pernikahan
adalah sah dengan kesaksian dua orang budak. Menurut pendapat Hambali: Dua orang
budak dapat ditetepkan sebagai saksi.
Para pengikut Syafi’i berbeda pendapat dalam masalah ini, dan pendapat yang
terpilih: kesaksian dalam jual-beli hukumnya mustahab, bukan wajib.
Diriwayatkan dari Dawud bahwa ia berpendapat: persaksian dalam jual-beli
diperlukan.
Kesaksian perempuan tidak dapat diterima dalam perkara hudud dan qisas.
Tetapi diterima kesaksiannya dalam perkara-perkara yang tidak dilihat oleh kamum
laki-laki, seperti melahirkan anak dan menyusui dan segala sesuatu yang biasanya tidak
dapat dilihat laki-laki.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah dalam perkara yang biasanya
dilihat laki-laki, seperti pernikahan dan talak, kesaksian perempuan dapat diterima?
Hanafi: Dalam hal demikian, kesaksian perempuan dapat diterima, baik perempuan itu
sendiri maupun bersama orang laki-laki.
Maliki berkata: dalam hal tersebut, kesaksian perempuan tidak dapat diterima.
Namun menurutnya, kesaksian perempuan dapat diterima dalam perkara selain harta
penda dan sesuatu yang berkaitan dengannya seperti kecacatan perempuan dan bagian-
bagian yang tidak dapat dilihat selain oleh mereka. Seperti ini juga pendapat Syafi’i dan
Hambali.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang jumlah saksi perempuan yang
diperlukan. Hanafi dan Hambali dalam riwayatnya yang masyhur mengatakan:
kesaksian seorang perempuan saja dapat diterima. Maliki dan Hambali dalam riwayat
lainnya mengatakan: tidak dapat diterima, kecuali dua orang perempuan. Syafi’i
berkata: Tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang perempuan.
Berdasarkan apakah menetapkan kelahiran anak dalam keadaan hidup? Hanafi
berkata: berdasarkan kesaksian dua orang laiki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, karena hal itulah yang menjadi dasar penetapan adanya waris. Adapun,
dalam hal dishalatkan dan dimandikan, cukuplah disaksikan oleh seorang perempuan
saja.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang saksi penyusuan. Hanafi
berkata: Kesaksian perempuan saja tidak dapat diterima dalam soal ini. Adapun, yang
diterima adalah kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan. Maliki dan Syafi’i mengatakan: diterima kesaksian perempuan saja dalam
soal ini. Tetapi dalam riwayatnya yang masyhur, Maliki berkata: Harus dua orang
perempuan. Sedangkan Syafi’i mensyaratkan empat orang perempuan. Dari Maliki
diperoleh riwayat lainnya: Dapat diterima kesaksian seorang perempuan saja, jika hal
itu telah tersiar dikalangan tetangganya.
Hambali berkata: dalam hal ini, hanya kesaksian perempuan yang dapat
diterima, dan cukup seorang perempuan saja.
Kesaksian anak-anak tidak dapat diterima. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Syafi’i dan Hambali.
Maliki berkata: dapat diterima dalam perkara pelukaan jika mereka berkumpul
karena suatu sebab yang diperbolehkan, sebelum mereka bubar. Seperti ini juga riwayat
lain dari Hambali. Sedangkan dalam riwayat ketiga, Hambali mengatakan: kesaksian
anak-anak dapat diterima dalam semua perkara.
Orang yang telah menjalani hukum had lantaran melakukan tuduhan zina kepada
seseorang, apakah kesaksiannya dapat diterima? Hanafi berkata: Tidak diterima,
meskipun ia bertobat setelah menjalani hukum had.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: Diterima jika ia bertobat, baik
tobatnya dilakukan setelah menjalani hukuman had maupun sebelumnya. Maliki
mensyaratkan, hendaknya yang dipersaksikan itu bukan masalah tuduhan zina.
Apakah dalam tobatnya disyaratkan harus telah mengamalkan kebaikan dan
meninggalkan kemaksiatan selama satu tahun? Maliki berkata: Harus terlihat perbuatan
baiknya serta pendekatan dirinya kepada Allah ‘Azza wa jalla dengan menjalankan
ketaatan. Maliki juga tidak memberikan batas masa satu tahun. Hambali berkata:
Cukup dengan bertobat saja.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai sifat tobatnya.
Syafi’i berkata: Ia harus mengucapkan, "Menuduh zina adalah: perbuatan batil
yang diharamkan, dan aku tidak akan mengulangi lagi apa yang telah aku lakukan."
Maliki dan Hambali mengatakan: Harus mengakui kebohongan dirinya.
Kesaksian anak hasil dari perzinaan dapat diterima, baik dalam masalah
perzinaan maupun masalah lain. Demikian menurut pendapar Hanafi, Syafi'i, dan
Hambali.
Maliki berkata: Dalam masalah perzinaan, kesaksiannya tidak dapat diterima.
Bermain catur adalah makruh. Demikian menurut kesepakatan pendapat Para
imam mazhab.
Apakah mereka mengharamkan? Hanafi berkata: Haram, karena jika ia sering
lalai karena bermain catur maka ditolak kesaksiarmya. Syafi’i berkata: Tidak haram jika
tidak memakai uang (berjudi) dan tidak membuat lupa akan kewajiban shalat dan
bacaan dalam shalat.
Orang yang minum tuak (nabidz) yang diperselisihkan hukumnya, selama tidak
memabukkan, kesaksiannya tidak ditolak. Sedangkan jika memabukkan maka dilolak
menjadi saksi. Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Hanafi berkata: Tuak itu mubah sehingga tidak ditolak kesaksian peminumnya
selama tidak sampai mabuk.
Maliki berkata: Tuak itu hukumnya adalah haram diminum, peminumnya
dihukumi fasik, dan kesaksiannya ditolak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi. Kedua,
seperti pendapat Maliki.
Apakah kesaksian orang buta dapat diterima? Hanafi berkata: Tidak diterima
sama sekali. Maliki dan Hambali mengatakan: Dapat diterima jika perkaranya dapat
disaksikan dengan cara mendengar, seperti masalah nasab, kematian, kepemilikan
secara mutlak, wakaf, pemikahan, jual-beli, perdamaian, persewaan, dan pengakuan.
Menurut pendapat Syafi’i: Kesaksian orang buta dapat diterima dalam tiga
perkara. Pertama, dalam masalah yang sudah dikenal di tengah masyarakat. Kedua,
dalam menerjemahkan bahasa. Ketiga, dalam masalah kematian.
Syafi’i juga berpendapat bahwa kesaksian orang buta tidak dapat diterima dalam
perkara yang memerlukan keakuratan sehingga pengakuan orang yang bersangkutan
dapat dipercaya dan terus dihadapkan ke muka hakim. Kesaksian orang bisu tidak dapat
diterima, meskipun ia mempunyai isyarat yang dipahami. Demikian menurut pendapat
Hanafi dan Hambali. Menurut Maliki: Dapat diterima jika mempunyai isyarat yang
dapat dipahami.
Para ulama pengikut mazhab Syafi’i berbeda pendapat dalam masalah ini.
Sebagian mereka menyatakan tidak dapat diterima. Inilah pendapat yang paling sahih.
Sebagian lain menyatakan dapat diterima jika mempunyai isyarat yang dapat dipahami.
Kesaksian berdasar kemasyhuran di tengah masyarakat dapat diterima dalam
lima perkara sebagai berikut:
1. pernikahan;
2. mencampuri istri;
3. keturunan;
4. kematian;
5. otoritas peradilan (ulayah qadha).
Para imam mazhab sepakat bahwa apabila seorang tuan mengatakan kepada
budaknya, "Engkau merdeka sesudah kematianku" maka budak itu menjadi mudabbar
dan ia menjadi merdeka setelah kematian tuannya.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah budak mudabbar boleh dijual?
Hanafi berkata: T'idak boleh dijual jika tadbir itu mutlak. Sedangkan jika ia tadbir itu
bersyarat, umpamanya setelah kembali dari safar tertentu atau sembuh dari sakit
tertentu, maka budak itu boleh dijual.
Maliki berkata: Tidak boleh dijual ketika tuannya masih hidup. Boleh dijual
sesudah kematian tuannya jika tuannya mempunyai utang. Sedangkan jika tidak
mempunyai utang dan dapat dilunasi dari sepertiga hartanya, maka ia merdeka
sepenuhnya. Jika tidak dapat dilunasi dari sepertiga harta maka ia menjadi merdeka
sebanyak yang dapat dilunasi dari sepertiga harta tersebut. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara tadbir yang mutlak dan tadbir yang bersyarat.
Syafi’i berkata: Budak mudabbar boleh dijual lagi oleh tuannya secara mutlak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua,
boleh dijual dengan syarat tuannya itu mempunyai utang.
Menurut pendapat Hanafi: Anak dari budak mudabbar hukumnya sama dengan
hukum ibunya. Namun, Hanafi membedakan antara tadbir mutlak dan tadbir bersyarat.
Maliki dan Hambali berpendapat seperti pendapat Hanafi tersebut. Namun,
menurut pendapat Maliki dan Hambali : Tidak ada perbedaan antara tadbir mutlak dan
tadbir bersyarat.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, seperti pendapat Maliki dan
Hambali. Kedua, anak seorang budak mudabbar tidak mengikuti hukum ibu-nya dan
tidak dihukumi sebagai mudabbar.
BUDAK KITABAH
Para imam mazhab sepakat bahwa meminta budak agar membayar kembali
harganya dengan cara diangsur supaya menjadi merdeka dari perbudakannya jika ia
mempunyai usaha, adalah sangat disukai dalam syara'. Bahkan, Hambali mengatakan:
Jika budak itu memiliki usaha, lalu diminta oleh tuannya agar membayar harganya
dengan cara diangsur, ia maka wajib memenuhi permintaan tuannya.
Sifat budak mukatabah ialah tuan meminta kepada budaknya untuk berusaha dan
menebus kemerdekaan dirinya dari hasil usahanya dengan cara diangsur.
Budak yang tidak mempunyai usaha tidak dimakruhkan menjadi budak
mukatabah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, makruh. Kedua, tidak, makruh.
Para imam mazhab sepakat bahwa membuat mukatabah (perjanjian untuk
memerdekakan budak dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu)
dengan budak perempuan yang tidak mempunyai usaha adalah makruh.
Tidak dibolehkan membuat mukatabah dengan cara membayar sekaligus, dan,
pembayaran itu harus dilakukan sekurang-kurangnya dalam dua kali pembayaran.
Demikian menurut pendapat Syafi’i danHambali .
Hanafi danMaliki mengatakan: Boleh dengan cara memberikan pembayaran
angsuran dan boleh juga dengan pembayaran sekaligus.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali : Apabila budak mempunyai uang untuk
membayar, tetapi ia tidak mau membayar, maka tuannya boleh membatalkan
perjanjiannya.
Hanafi berkata: Jika ia mempunyai harta maka ia boleh dipaksa untuk
membayarnya. Sedangkan jika ia tidak mempunyai harta maka ia boleh dipaksa untuk
berusaha.
Maliki berkata: Jika budak tidak menampakkan kelemahan dirinya dan ia
mampu untuk berusaha maka ketika itu ia boleh dipaksa untuk berusaha. Wajib bagi
tuan melakukan mukatabah atas budaknya yang mempunyai penghasilan. Demikian
menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki mengatakan:
Tidak diwajibkan, melainkan disunnahkan.
Menurut pendapat Syafi’i: Tidak ditentukan kadar yang harus diberikan oleh
budak yang mempunyai penghasilan untuk menebus dirinya, Semuanya diserahkan pada
pertimbangan tuannya.
Hambali berkata: Hendaklah diberikan kepada budak mukatabah seperempat
dari penghasilan yang diperoleh dari usahanya.
Budak muhatabah tidak boleh dijual lagi. Demikian menurut pendapat Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i dalam qauljadid-nya. Namun, Maliki membolehkan tuannya
menjual harta berupa budak muhatabali jika ia mempunyai ut,ilng yang hams dibayar
segera senilai harga budak mukatabah. Hambali membolehkan menjualnya, tetapi
kitabah itu diteruskan oleh tuannya yang baru.
Apabila seseorang berkata kepada budaknya, "Aku melakukan mukatabah
denganmu sebesar 1000" maka untuk mewujudkan kemerdekaan budak tersebut harus
dikatakan pula kalimat, 'jika engkau telah membayar seharga itu, maka engkau
merdeka". Demikian menurut pendapat Syafi’i.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Perkataan tersebut tidak perlu
disebutkan.
Melakukan mukatabah dengan budak perempuan dengan syarat boleh disetubuhi
dalam masa belum mukatabah itu berakhir adalah tidak diperboleh kan. Demikian
menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Hambali berkata: Boleh.
UMMUL WALAD
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang budak yang telah diambil menjadi
ummul walad (budak perempuan yang disetubuhi tuannya sehingga melahirkan anak
yang merdeka) tidak boleh dijual. Seperti ini juga pendapat para ulama salaf dan khalaf
ahli fiqih di kota-kota besar, kecuali diriwayatkan dari sebagian sahabat yang
membolehkan dijual lagi.
Dawud berkata: Boleh menjual ummul walad.
Apabila seseorang menikahi budak milik orang lain, dan budak melahirkan anak,
lalu menjadi miliknya, maka ia tidak menjadi ummul walad. Ia boleh dijual lagi dan
tidak menjadi merdeka dengan kematian orang yang menikahinya. Demikian menurut
pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berkata: Ia tidak boleh dijual lagi karena telah dianggap menjadi ummul
walad.
Apabila seseorang membeli seorang budak yang sedang mengandung anak dari
orang yang membelinya maka budak itu tidak menjadi ummul walad. Demikian
menurut pendapat Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berkata: Ia menjadi ummul walad.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, ia menjadi ummul walad. Kedua, ia
tidak menjadi ummul walad.
Apabila seseorang menjadikan budak anaknya sebagai ibu anaknya maka budak
itu menjadi ummul walad. Ayahnya menanggung harga dan mahar kepada anaknya.
Demikian menurut salah satu pendapat Syafi’i. Sedangkan menurut pendapatnya yang
lain: la tidak menjadi ummul walad.
Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Ia
menjadi ummul walad dan ayahnya hanya diharuskan menanggung harganya.
Dalam riwayat lain dari Hambali : Ayahnya tidak harus membayar harga budak
tersebut dan maharnya.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali : Seorang tuan boleh
menyewakan ummul walad miliknya. Maliki berkata: Tidak boleh.
Wallahu ta'ala a'lam