Anda di halaman 1dari 52

TUJUAN SYARIAT ISLAM

DAN KONSEP DARURAT


1. Pengertian Tujuan Syari’at Islam.
2. Lima Kemaslahatan.
3. Peringkat Pemeliharaan Lima Kemaslahatan.
4. Pengertian Darurat.
5. Dalil-dalil Disyari’atkannya Darurat.
6. Kaidah Pokok Tentang Darurat.
7. Kaidah Cabang Tentang Darurat.
1. Pengertian Tujuan Syariat Islam
Tujuan-tujuan syariat (maqashid al-Syari’at) berarti
maksud atau tujuan disyariatkannya hukum Islam.
Tujuan utama disyariatkannya hukum Islam adalah
untuk memelihara
atau menciptakan kemaslahatan manusia,
sekaligus menghindarkan dari mafsadat,
baik di dunia maupun di akhirat.
berkata Al-Syathibi
yang digelari syaikh al-Maqashid bahwa
syariat Islam dibangun untuk kemasalahatan manusia
di dunia dan di akhirat sekaligus.
2. Lima Kemaslahatan.
Kemaslahatan
yang dituju dalam syariat Islam
meliputi pemeliharaan lima hal
yang paling urgen yaitu:
1. Agama
2. Jiwa
3. Keturunan/kehormatan (Nasab)
4. Harta
5. Akal
Tiga di antaranya
secara langsung berhubungan dengan kesehatan manusia
(kedokteran),
yaitu: Jiwa, keturunan, dan akal.
3. Peringkat Pemeliharaan
Lima Kemaslahatan.
Cara untuk memelihara lima kepentingan di atas ada tiga
peringkat, yaitu:
1) Al-Dharuriyyat
adalah segala sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam
kehidupan keagamaan dan keduniaan manusia.
Jika ia tidak ada
maka kehidupan dunia menjadi rusak,
hilang kenikmatan,
dan akan menghadapi siksaan di akhirat.
Kebutuhan esensial itu adalah
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Tidak terpenuhinya kelima pokok itu
akan berakibat terancamnya eksistensinya.
2) Hajjiyat (sekunder)
yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia
dalam menghindari kesempitan
dan menolak kesulitan.
Tidak terpeliharanya kelompok hajjiyat
akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas,
tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf.
Kelompok ini berkaitan erat
dengan rukhshah
atau keringanan dalam hukum Islam.
3) Tahsiniyyat (tertier)
adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan
martabat seseorang dalam masyarakat
dan di hadapan Tuhannya,
sesuai dengan kepatutan.
a. Memelihara Agama (hifzh al-Din)
Memelihara agama
berdasarkan peringkatnya
dibedakan menjadi:
1. Memelihara agama peringkat dharuriyyat
seperti
melaksanakan kewajiban agama yang termasuk primer seperti shalat 5
waktu,
jika diabaikan terancam eksistensi agamanya,
dan diancam siksa di akhirat.
Realisasi dari menjalankan kewajiban agama
di samping mengamalkan-nya
juga membela
dari orang yang bermaksud mengganggunya.
2. Memelihara agama peringkat hajjiyat,
yaitu melaksanakan ketentuan agama
dengan maksud
menghindarkan diri dari kesulitan
seperti
shalat jamak dan qashar bagi musafir.
Jika tidak dilaksanakan
tidak merusak eksistensi agamanya,
hanya akan mempersulit
bagi orang yang tidak melakukannya.
3. Memelihara agama peringkat tahsiniyyat
yaitu mengikuti petunjuk agama
guna mempertinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan,
misalnya menutup aurat,
baik di dalam maupun di luar shalat,
membersihkan najis dari badan, pakaian, dan tempat.
Kalau tidak mungkin dilakukan,
tidak mengancam eksistensi agama
dan tidak pula akan mempersulit
bagi orang yang tidak melakukannya.
Bila tidak ada penutup aurat,
atau dalam keadaan najis,
dia tetap wajib shalat semampunya,
jangan sampai meninggalkannya
karena melaksanakan shalat
termasuk kelompok dharuriyyat.
b. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Berdasarkan tingkat kepentingan dan prioritasnya,
memelihara jiwa dapat dibedakan :
1. Memelihara jiwa dalam peringkat Dharuriyyat
seperti
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan
untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan itu diabaikan
akan terancam eksistensi jiwa manusia.
2. Memelihara jiwa dalam peringkat hajjiyat,
seperti
diperbolehkan berburu binatang
untuk menikmati makanan yang lezat
dan halal.
Jika kegiatan itu diabaikan,
maka tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia,
melainkan ditetapkannya
hanya mempersulit hidupnya.
3. Memelihara jiwa
dalam peringkat tahsiniyyat
seperti
ditetapkannya cara makan dan minum.
Batasan itu hanya berhubungan soal
kesopanan dan etika,
sama sekali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia,
ataupun mempersulit kehidupan manusia.
c. Memelihara Akal (hifzh al-’Aql).
Dilihat dari segi kepentingannya,
memelihara akal dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara akal peringkat Dharuriyyat
seperti
diharamkannya meminum minuman keras.
Jika ketentuan ini dilanggar,
maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal
dan diancam siksa di akhirat.
2. Memelihara akal peringkat Hajjiyat
seperti
dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan.
Jika tidak dilakukan
tidak akan merusak akal
tetapi akan mempersulit diri seseorang
dalam kaitannya dengan pengembangan
ilmu pengetahuan.
3. Memelihara akal peringkat Tahsiniyyat
seperti
menghindarkan diri dari menghayal
atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah,
yang secara etika
tidak akan mengancam
eksistensi akal secara langsung.
d. Memelihara Keturunan
(Hifzh al-Nasl).
Memelihara keturunan,
ditinjau dari segi peringkat
tingkat kebutuhannya
dibedakan menjadi:
1. Memelihara keturunnan
dalam peringkat dharuriyyat
seperti
disyariatkannya nikah
dan dilarang zina.
Jika dilanggar
maka eksistensi keturunan
menjadi terancam
dan diancam azab bagi pezina
di akhirat.
2. Memelihara keturunan
dalam peringkat hajjiyat
seperti
ketentuan disebutkannya mahar dalam akad nikah.
jika dilanggar
maka suami harus membayar mahar mitsil.
Juga,
diberikannya hak talak bagi suami,
jika dalam kesulitan ia dapat menggunakannya.
3. Memelihara keturunan
dalam peringkat tahsiniyyat
seperti
disyariatkannya khitbah (meminang)
dan walimah (pesta),
yang jika dilanggar
tidak mengancam eksistensi keturunan
dan tidak pula mempersulit
orang yang melakukan perkawinan.
e. Memelihara Harta
(Hifzh al-Mal)
Memelihara harta
berdasarkan peringkat dan prioritas,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat,
yaitu:
1. Memelihara harta
dalam peringkat dharuriyyat
seperti
syariat tentang cara kepemilikan harta
dengan cara yang dibenarkan
dan larangan mengambil harta
orang lain tanpa hak.
Jika dilanggar
akan mengancam eksistensi harta
dan diancam siksa di akhirat.
2. Memelihara harta
dalam peringkat hajjiyat
seperti
berjual beli sistem al-Salam
(pesan)
Apabila dilanggar
tidak mengancam eksistensi harta
tetapi akan mempersulit
orang yang memerlukan modal.
3. Memelihara harta
dalam peringkat tahsiniyyat
seperti
menghindarkan diri dari pengecohan
atau penipuan
dalam etika berbisnis
yang berpengaruh pada sah tidaknya akad bisnis.
4. Pengertian Darurat.
Berasal dari bahasa Arab
adh-Dharurat
dibentuk dari kata adh-Dharar
yaitu musibah yang tidak dapat dihindari.
Al-Jashshash (mufassir),
yang berhubungan dengan kelaparan
adalah rasa takut akan ditimpa kerusakan
atau kehancuran terhadap jiwa
atau sebagian anggota tubuh bila tidak makan.
Ulama Syafi’iyyat,
rasa kuatir akan terjadinya kematian
atau sakit yang menakutkan
atau menjadi semakin parahnya penyakit
ataupun membuat semakin lamanya sakit,
atau terpisahnya dengan rombongan seperjalanan,
atau kuatir melemahnya kemampuan berjalan atau
mengendarai jika ia tidak makan,
dan ia tidak mendapatkan yang halal untuk
dimakan, yang ada hanya yang haram,
maka di kala itu ia mesti makan yang haram itu.
Al-Zuhaili (pakar hukum Islam),
datangnya kondisi bahaya
atau kesulitan yang amat berat
kepada diri manusia,
yang membuat dia kuatir akan terjadi kerusakan
(dharar)
atau sesuatu yang menyakiti jiwa,
anggota tubuh, kehormatan, akal, harta,
dan yang bertalian dengannya.
Dalam keadaan demikian,
seseorang boleh atau tak dapat tidak
harus mengerjakan yang diharamkan,
atau meninggalkan yang diwajibkan,
atau menunda waktu pelaksanaannya
guna menghindari kemudaratan
yang diperkirakannya
dapat menimpa dirinya
selama tidak keluar dari syarat-syarat
yang ditentukan oleh syara’.
Definisi ini bersifat umum,
menjangkau semua jenis kemudaratan,
yang berhubungan dengan;
makanan
pengobatan
memanfaatkan harta orang lain
melakukan sesuatu dibawah tekanan
mempertahankan jiwa atau harta, dsb
meninggalkan kewajiban agama, dll
Dalam definisi di atas juga
dipersyaratkan tidak bertentangan
dengan prinsip syara’,
jika bertentangan,
maka dalam keadaan apapun
tidak boleh dilakukan,
seperti;
terpaksa berzina
terpaksa kufur
atau syirik,
dsb.
5. Dalil-dalil Disyari’atkannya Darurat
Ada lima ayat dalam al-Qur’an secara khusus menjelaskan keadaan
darurat
yang dikaitkan dengan keadaan sangat lapar,
yaitu;
al-Baqarat (2): 173
al-Maidat (5): 3
al-An’am (6): 119, 145
al-Nahl (16):115
Diantaranya adalah (2): 173;

‫إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير ومآ أهل به لغير هللا‬
‫فمن اضطر غير باغ وال عاد‬
‫فال إثم عليه‬
.‫إن هللا غفور رحيم‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Adapun hadits Nabi
yang membolehkan mengkonsumsi yang haram
dalam keadaan darurat,
antara lain :
‫عن جابر بن سمرة أن أهل بيت كانوا بالحرة محياجين‬
‫قال فماتت عندهم ناقة لهم أو لغيرهم‬
.‫فرخص لهم النبي صلعم فى أكلها‬
.‫رواه احمد‬
Dari Jabir bin Samurat bahwa
sebuah keluarga yang menghuni sebuah rumah
yang berada di al-Hurrat dalam keadaan kekurangan makanan,
kata Jabir: Lalu unta milik mereka mati,
atau milik orang lain,
maka Rasul memberi keringanan untuk memakannya.
Juga dinyatakan dalam dalam HR.Ahmad;
Dari Abi Waqid al-Laitsi, ia berkata:
Aku bertanya kepada Rasulullah,
Ya Rasulullah,
kami sedang berada di daerah
yang sedang dilanda bencana kelaparan,
apakah kami halal memakan bangkai ?
Nabi menjawab:
Jika kalian menemukan makanan
yang kalian bisa makan pada pagi dan sore hari
dan bahkan tidak mendapatkan sayuran
yang bisa kalian cabut,
maka silahkan kalian makan bangkai itu.
Di antara hikmah diperbolehkan
memakan atau menggunakan yang haram
dalam keadaan darurat
secara umum terpulang
pada upaya menghilangkan kesempitan
dari orang-orang mukallaf.
Juga demi menjaga keselamatan jiwa
yang bersangkutan,
atau untuk kepentingan orang lain.
6. Kaidah Pokok Tentang Dharurat.
‫الضرر يزال‬
Kaidah ini bersumber dari Qs.al-Qashash:77
.‫إن هللا ال يحب المفسدين‬
…Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan
Juga HR. Ibn Majah dan Ahmad;
.‫ال ضرر وال ضرار‬
Jangan membuat mudharat pada diri sendiri
dan pada orang lain.
Contohnya,
meminum khamr atau zat adiktif lainnya
dapat merusak akal,
menghancurkan potensi sosial ekonomi,
bagi peminumnya akan menurun produktivitasnya.
Para ulama
menganggap keadaan darurat sebagai suatu kesempitan,
dan jika kesempitan itu datang
agama memberikan keluasan.
Kesulitan itu menarik kemudahan.
‫المشقة تجلب التيسير‬
.‫اذا ضاق االمر اتسع‬
Jika timbul kesukaran
maka hukumnya menjadi lapang.
Bahwa kesulitan itu
menjadi sebab bagi kemudahan.
Mesti ada toleransi
di waktu dalam kesempitan.
Kesulitan yang menghendaki adanya
keringanan
dalam berbagai ketetapan umum.
Kesulitan yang di luar kebiasaan.
7. Kaidah Cabang Tentang Dharurat.
‫الضرورات تبيح المحظورات‬.
Kemudaratan itu membolehkan larangan-larangan.
. ‫ال حرام مع الضرورات وال كراهة مع الحاجة‬
Tidak ada keharaman beserta darurat
dan tidak ada kemakruhan bersama kebutuhan.
Keharaman dan kemakruhan hilang
selama keadaan darurat atau kebutuhan itu berlaku,
seperti:
Tentang makanan yang haram.
Tentang membongkar kuburan
Tentang berobat dengan yang haram
Tentang membuka aurat pasien
Melihat kemaluan orang yang dikhitan
Melihat kemaluan pasien pada saat persalinan
‫وما ابيح للضرورة يقدر بقدرها‬.
Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat
ditetapkan sekadar kedaruratannya.
Jika suasana darurat sudah dapat diatasi
maka hukum berlaku normal kembali,
contoh:
Makanan yg haram untuk menutupi kelaparan
Obat terlarang untuk kesembuhan
Mengobati pasien lain jenis sesuai kebutuhan
Shalat dikerjakan sesuai kemampuan
Berwuduk/taharah sesuai dg kemampuannya.
‫ وما جاز لعذر بطل بزواله‬.
Sesuatu yang diperkenankan karena udzur
batal dengan hilangnya udzur tersebut.
Contoh:
Tayamum batal karena ada air
Rukhshah sakit karena sehat
Rukhshah musafir karena muqim
.‫الضرر ال يزال بالضرر‬
Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan
dengan kemudaratan yang lain.
contoh:
merampas makanan orang lain
Dua orang yang terancam tenggelam di laut
merampas obat atau alat penyembuhan org lain
.‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
Menolak kerusakan
didahulukan
daripada menarik kemaslahatan.
Contoh;
Berkumur dan istinsyaq pada saat berpuasa.
.‫اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما‬
Apabila ada dua bahaya (resiko) yang berlawanan,
maka harus dipelihara yang lebih berat madharatnya
dengan melaksanakan yang lebih ringan daruratnya.
Contoh:
Menurut Abu Hanifat dan al-Syafi’i,
diperkenankan membedah mayat wanita hamil
untuk menyelamatkan janin,
kepentingan orang hidup lebih diutamakan.
Melaksanakan hukuman qishash
bagi perampok sadis, penodong sadis, dan sejenisnya
demi keselamatan orang banyak.
yang lebih ringan tingkat mafsadahnya adalah
mengorbankan yang sedikit (pelaku kriminal),
dibandingkan banyaknya korban
jika dibiarkan tetap hidup.
Berobat kepada sejenis
lebih diutamakan
daripada kepada yang lain jenis.
.‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة وخاصة‬
Kebutuhan itu diposisikan pada posisi darurat,
baik bersifat umum atau khusus.
Kebutuhan yang sangat mendesak
dapat disamakan dengan keadaan darurat,
apalagi kebutuhan itu bersifat umum.
Contohnya:
Orang laki-laki diperkenankan berhadapan muka
dengan wanita yang bukan mahramnya
dalam tuntutan pergaulan hidup sehari-hari,
seperti:
dalam jual beli
bekerja di kantor
pasien berobat ke dokter
mengajar di kelas
persaksian di pengadilan, dsb.
Untuk keperluan pengobatan dan menyelamatkan pasien,
diperkenankan menggunakan darah.
Agar tidak tertular penyakit,
orang yang sehat terpaksa harus menjauhkan diri
dari penyakit menular
dan menjauhi pengidapnya.
Bagi orang yang sedang haid, nifas, atau junub
diperkenankan memasuki masjid
jika ada keperluan
atau alasan yang menuntut demikian.
‫وهللا اعلم باالصواب‬

Anda mungkin juga menyukai