Anda di halaman 1dari 18

NIKAH MUT’AH, ANTARA HALAL DAN HARAM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Ulumul Hadits


pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pascasarjana IAIN Sorong

Oleh :
NURFAIDAH
NIM. P060120021
Email: boelam.faidah@yahoo.com
EKO IRIANTO
NIM. P0601200..
Email : 851eko.irianto@gamil.com

TUTI S
NIM. P060120012
Email :

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SORONG
2021

1|Page
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan salah satu syariat Allah dan
Rasulnya yang memiliki tujuan-tujuan yang mulia, di antaranya melestarikan
keturunan manusia, memenuhi kebutuhan biologis, dan sebagai latihan memikul
tanggung jawab dengan pembagian kerja yang proporsional serta memperat
hubungan antar keluarga dengan menguatkan rasa cinta kasih di antara mereka. 1
Namun, pernikahan bukan hanya sekedar formalisasi hubungan suami istri,
pergantian status, serta upaya pemenuhan kebutuhan fitrah manusia. Ia merupakan
ibadah yang memiliki aturan dan ketentuan yang berlaku sebagaimana yang
diiinginkan oleh Allah dan Rasulnya.

Agama Islam mengisyaratkan pernikahan sebagai satu-satunya bentuk hidup


secara berpasangan yang dibenarkan. Hingga Nabi wafat, tidak ada bentuk
pencampuran antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dihalalkan
kecuali melalui akad nikah yang sesuai dengan syara’. Yaitu harus dengan adanya
wali dan dua orang saksi adil, sehingga akad tersebut memberikan pengaruh adanya
iddah, warisan, dan nasab.2

Secara sederhana, pernikahan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun
yang telah ditetapkan. Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak dipenuhi, maka suatu
pernikahan dianggap batal (tidak sah).3 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14,
dirumuskan bahwa rukun nikah terdiri dari lima macam, calon suami, calon isteri,
wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Kelima rukun ini merupakan hasil

1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2 (Beirut: Daar al Fikr, 1992, hlm. 10
2
DR. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khatthab, terj. H. Masturi Irham, Lc.
(Jakarta Timur: Khalifa, 2005), hlm. 309
3
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 81.

2|Page
analisis dari berbagai pendapat di kalangan fuqaha yang berkaitan dengan rukun
dalam pernikahan.

Dalam beberapa kasus pernikahan, didapati proses yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ulama, misalnya dengan tidak menjadikan
keharusan adanya persetujuan wali, menetapkan syarat sampai batas waktu tertentu,
yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu, serta tidak
berlakunya konsekuensi hukum pasca perpisahan, baik berpisah karena habis waktu
kesepakatan pernikahan atau berpisah karena meninggal dunia, seperti ketiadaan
hukum kewarisan bagi suami isteri. Kasus pernikahan yang seperti ini biasanya
didapati dalam praktek pernikahan yang dikenal dengan Nikah Mut’ah. Selanjutnya
lebih lanjut akan dielaborasi dalam makalah ini dengan rumusan-rumusan masalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di Maksud dengan Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana Sikap Golongan Pro dan Kontra terhadap Nikah Mut’ah?
3. Bagaimana Implikasi Akibat Penghalalan Nikah Mut’ah Terhadap
Kehidupan?

3|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Mut’ah

Sebelum membahas lebih jauh terkait nikah mut’ah, sekiranya penting untuk
diketahui bahwasanya dalam pemahaman masyarakat umum, terdapat beberapa
macam jenis pernikahan yang berlaku, di antaranya:

1. Nikah secara tertulis

Pernikahan dalam literatur bahasa Arab biasanya diungkapkan kedalam kata


yaitu al-nikah atau al-zawaj. Dua kata ini sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari
orang Arab dan banyak disebut di dalam literatur al-Quran dan Hadis. 4 Secara
etimologi, al-nikah atau al-zawaj dimaknai dengan penggabungan dan saling
memasukkan serta percampuran.5 Secara istilah nikah adalah akad yang
menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan
naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara
timbal balik hal-hal dan kewajiban-kewajiban. 6 Dan kaitannya dengan apa itu nikah
secara tertulis adalah nikah sebagaimana syara' memerintahkan dan sebagaimana
negara memperbolehkan atau menganjurkan, dengan cara mendaftarkan secara
tertulis di KUA sebagai syarat wajib administratif.

2. Nikah Sirri

Ada dua problem pemahaman masyarakat mengenai nikah ini. Pertama,


nikah dengan adanya wali, dua orang saksi, dan lain-lain yang menjadi rukun sahnya

4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm 35
5
Al-Shan'ani, Subul al-Salam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: AL-Ikhlas,
1995), hlm. 393
6
Ibid, hlm 39.

4|Page
nikah. Namun hanya tidak memenuhi syarat administratif di KUA. Kedua, nikah
dengan tanpa wali dari mempelai wanita.7

Nikah sirri yang pertama, ditinjau dari segi agama hukumnya sah dan
diperbolehkan. Namun kaitannya dengan negara hal ini ilegal. Dan beberapa hal
yang terkait dengan nikah ini, yang nantinya juga akan berkaitan dengan hal-hal
keduniaan lainnya. Seperti akta kelahiran dan yang terpenting adalah untuk
menghindari masing-masing personal dari buruk sangka orang lain. Sedangkan yang
kedua, ditinjau dari segi agama adalah tidak sah. Sebagaimana riwayat dari Aisyah
Radhiyallahu 'anha berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bathil -“tiga
kali”.8

3. Nikah Mut’ah

Nikah Mut'ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan dengan memakai lafaz 'tamattu, istimta' atau sejenisnya yang diperjelas
dengan lafaz yang menunjukkan temporal ‘muaqqat’. Dalam artian, nikah mut’ah
adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah
tertentu tanpa perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah
habis kontraknya. 9

7
Dikutip dari Makalah Saudara Afif dalam mata kuliah Hadis yang di ampuh oleh Agung Danarto
pada Universitas Ahmad Dahlan dengan Judul ‘Hadis Tentang Nikah Mut’ah’. 2008. Atau bisa juga
diakses melalui situs https://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/hadis-tentang-nikah-mutah.html.
8
HR. Ahmad 6/156 dan Abu Dawud 2069
9
Syarat-syarat nikah mut'ah menurut Syi'ah Imamiyah adalah sebagai berikut: 1) Ucapan ijab
qabulnya dengan lafaz 'zawwajtuka atau ankahtuka atau matta'tuka. 2) Isterinya harus seorang
muslimah atau kitabiyah. Tetapi diutamakan muslimah yang tahu menjaga diri atau tidak suka
berzina. 3) Harus dengan mahar dan harus disebutkan maharnya (boleh dengan membawa saksi) yang
diperhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka, sekalipun jumlahnya hanya segenggam gandum.
4) Batas waktunya jelas dan hal ini menjadi syarat dalam pernikahan. 5) Diputuskan berdasarkan
persetujuan masing-masing umpamanya sehari, sebulan atau setahun, pokoknya harus ada batasan
waktu. Lihat Sayyid Sabiq, Jilid 3, hlm 37

5|Page
Di antara hukum yang berkaitan dengan nikah mut'ah adalah antara lain
sebagai berikut:

1. Kalau maharya tidak disebutkan tapi batas waktunya disebut, akad


nikahnya batal. Tapi kalau maharnya disebutkan sedangkan batas
waktunya tidak disebutkan, maka perkawinannya menjadi kawin biasa.
2. Tidak ada hukum untuk membuat syarat-syarat sebelum akad nikah,
sekiranya disebutkan harus dipatuhi.
3. Suami boleh mensyaratkan bahwa ia akan mendatangi wanita itu pada
malam saja, atau siang saja. Boleh juga disyaratkan bahwa ia akan
melakukan azal tanpa izin wanita itu.
4. Boleh suami menyaratkan bahwa ia akan melakukan azal tanpa izin
wanita itu
5. Anak yang lahir menjadi anaknya, walaupun ia melakukan azal.
6. Tidak ada talak dan tidak ada lian
7. Tidak ada hak pusaka (warisan) antara suami isteri
8. Anaknya berhak mewarisi dari ayahnya dan ibunya, dan ayah atau ibunya
berhak mewarisi dari anaknya.
9. Masa iddah dua kali masa haidh, abgi yang masih berhaidh. sedangkan
wanita yang sudah berhenti haidhnya, maka masa iddahnya 45 hari dan
iddah wafatnya 4 bulan 10 hari.
10. Tidak dibenarkan memperbaharui akad sebelum habis masa yang telah
ditentukan, tapi suami boleh denga ridhanya menghibahkan sisa waktu
untuk isterinya.10

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut'ah disebut juga nikah sementara
atau nikah putus, karena laki-laki yang mengawini perempuannya itu menentukan

10
Sayyid Sabiq, Jilid 2, hlm. 64-66

6|Page
waktu, sehari atau seminggu atau sebulan. Dengan Demikian, Nikah mut'ah adalah
jenis pernikahan yang dilakukan seseorang dengan tujuan semata-mata untuk
melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah
tersebut dilarang karena dilakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak
sesuai dengan tujuan perkawinan yang disyariatkan.11

B. Hukum Nikah Mut’ah

Nikah mut'ah pada awal Islam merupakan perkara yang diperbolehkan,


sebagaimana dalam hadis dijelaskan bahwa Nabi pernah mengizinkan dalam suatu
peperangan dan sahabat dalam kondisi berat membujang (meninggalkan isteri
berbulan-bulan), namun kemudian ditetapkan secari pasti bahwa beliau melarang
pernikahan mut'ah dan menasakh (menghapus) kebolehannya. Bahkan larang ini bisa
dikatakan mutawatir dikarenakan beliau Nabi melarangnya terjadi sampai enam kali
dalam enam peristiwa dalam rangka memperkuat penghapusan atas kebolehannya.12

Tidak ada perbedaan pendapat Fuqaha dari kalangan ahlu sunnah dan syi'ah
tentang kebolehan nikah mut'ah pada masa Rasulullah. Namun kemudian nikah
mut'ah menjadi perbedaan dikalangan mereka. Menurut Fuqaha ahlu sunnah bahwa
nikah mut'ah hukumnya telah berubah dari awalanya diperbolehkan kemudian
diharamkan pada masa Nabi dan masa setelah Nabi sampai sekarang, bahkan sampai
hari kiamat. Sedangkan kalangan Fuqaha Syi'ah tetap membolehkannya dengan
alasan bahwa tidak ada satu ayat pun yang melarang nikah mut'ah dan itu kehalalan
ini berlaku bagi laki-laki yang dalam keadaan safar (bepergian) maupun yang muqim
(menetap), dan hukumnya kebolehan dan kehalalnnya berlaku hingga sekarang.13

C. Hadis-Hadis Tentang Nikah Mut’ah

11
Moh. Rifa'i, Mutiara Fiqih Jilid II, (Semarang: CV. Wicaksan, 1998), hlm, 86
12
Muhammad Abi Zahrah. al-Ahwal al-Syakhsiyah Qism al-Zuwaj (Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi,
1947), hlm 14.
13
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyq, Fiqih Empat Mazhab (Bandung:
Hasyimi 2013), Cet XVI, hlm 330

7|Page
1. Hadis yang Memperbolehkan14

‫سنَ بْنَ ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫س ِمعْتُ ا ْل َح‬ َ ‫ش ْعبَةُ عَنْ َع ْم ِرو ْب ِن ِدينَا ٍر قَا َل‬ُ ‫و َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ بَشَّا ٍر َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر َح َّدثَنَا‬
َّ‫سلَّ َم فَقَا َل إِن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ ُ ‫ع قَااَل َخ َر َج َعلَ ْينَا ُمنَا ِدي َر‬ِ ‫سلَ َمةَ ْب ِن اأْل َ ْك َو‬
َ ‫ِّث عَنْ َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ َو‬ُ ‫يُ َحد‬
15
.‫تَ ْستَ ْمتِ ُعوا يَ ْعنِي ُم ْت َعةَ النِّ َسا ِء‬ ْ‫سلَّ َم قَ ْد أَ ِذنَ لَ ُك ْم أَن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬
ُ ‫َر‬

Artinya: “telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, menceritakan


kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari
Amr bin Dinar, dia berkata: aku mendengar al-Hasan bin Muhammad dia berkata,
dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, berkata: telah sampai kepada
kami ajakan Rasulullah saw, dia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw telah
mengizinkan kepada kamu sekalian untuk bermut’ah, yakni nikah mut’ah”.

Sebab turunnya hadis yang membolehkan nikah mut’ah sebagaimana yang


diriwayatkan oleh al-Maziri bahwa sahabat dizinkan oleh Nabi untuk mut'ah
dikarenakan mereka sedang bepergian ke medan perang untuk mempertahankan diri
dari serangan musuh Islam, sementara mereka jauh dari Isteri dan tuntutan biologis
sangat mendesak. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa mereka datang mengadu
kepada Nabi dan bertanya perihal ketiadaan isteri-isteri di tengah mereka, dan
mereka pun meminta pendapat Nabi terkait pilihan untuk mengebiri diri. Namun
Rasulullah melarang mereka untuk melakukan hal tersebut dan mengizinkannya
untuk menikahi seorang wanita dalam jangka waktu tertentu dengan maskawin
pakaian.16

14
Dalam riwayat lain, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, kitab Awwal Musnad al-Mudinniina Ajma’in, no.
15907ِ ‫ ِد هَّللا‬Rْ‫ ا ِب ِر ب ِْن َعب‬R‫ ِن ب ِْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ِل ٍّي ع َْن َج‬R‫ار ع َْن َح َس‬R ٍ Rَ‫ رُو بْنُ ِدين‬R‫ر ِني َع ْم‬R َ َ‫ال أَ ْخب‬Rَ َ‫ْج ق‬ ٍ ‫ال أَ ْخبَ َرنَا ابْنُ ج َُري‬ ِ ‫ال َح َّدثَنَا َع ْب ُد ال َّر َّز‬
َ َ‫اق ق‬ َ َ‫ق‬
‫ ِه‬R‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬R‫ص‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ R ‫س‬ُ ‫ر‬
َ ‫ل‬
ُ ‫و‬ R ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ ‫ا‬R
R َ ‫ن‬‫ء‬ َ ‫ا‬ ‫ج‬
َ َ ‫ف‬ ‫ة‬
ٍ ‫ا‬ َ‫ز‬R
R‫غ‬َ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫ا‬َّ ‫ن‬ ُ
‫ك‬ ‫اَل‬‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬ُ
َ َ‫ه‬ َّ ‫ن‬َ ‫أ‬ ‫م‬َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ ‫و‬
َ ‫ه‬
ِ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬َ ِ ‫هَّللا‬ ‫ُول‬
ِ ‫س‬ ‫ر‬
َ ‫ب‬ِ ‫ا‬ ‫ح‬
َ ْ‫ص‬ َ ‫أ‬ ‫ن‬ْ ‫م‬
ِ ‫ُل‬
ٍ ‫ج‬ ‫ر‬
َ ‫ع‬ ‫و‬َ ْ
‫ك‬ َ ‫أْل‬‫ا‬ ‫ْن‬ َ
ِ َ َ ‫َو‬
‫ب‬ ‫ة‬ ‫م‬َ ‫ل‬ ‫س‬
ِ
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل ا ْستَ ْمتِعُوا‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ال إِنَّ َرس‬ َ َ‫َو َسلَّ َم فَق‬
HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab al-Nikah, no. 4725
‫ول‬ِ R ‫و ُل َر ُس‬R ‫ا َر ُس‬RRَ‫ش فَأَتَان‬ ٍ ‫ع قَااَل ُكنَّا فِي َج ْي‬ ِ ‫ال َع ْمرٌو ع َْن ْال َح َس ِن ب ِْن ُم َح َّم ٍد ع َْن َجابِ ِر ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ َو َسلَ َمةَ ب ِْن اأْل َ ْك َو‬ َ َ‫َح َّدثَنَا َعلِ ٌّي َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ ق‬
َ ُ َ ُ َّ
‫ال إِنهُ قَ ْد أ ِذنَ لك ْم أ ْن تَ ْستَ ْمتِعُوا فَا ْستَ ْمتِعُوا‬ َّ َ
َ َ‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم فَق‬ ‫هَّللا‬ َّ َ ِ ‫هَّللا‬
15
Muslim. Shahih Muslim, kitab al-nikah (CD ROM Mausu’ah al-Hadits). No. 2494.
16
Imam Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz 5 (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t),
hlm.180-182

8|Page
Adanya izin nikah mut’ah dahulu tidak serta merta berupa hal yang
diperbolehkan, kecuali ada sebab yang mengharuskan diperbolehkannya nikah ini.
“Dharurat” adalah satu-satunya hal yang menyebabkan nikah semacam ini
diperbolehkan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, “Kita berperang
bersama Rasulullah dengan tidak disertai kaum wanita. Maka kami berkata, tidakkah
sebaiknya kami mengebiri diri kami?. Mendengar hal itu, maka Rasulullah melarang
kami untuk melakukan hal itu, dan memberikan kemurahan berupa diperbolehkannya
kami menikahi wanita, hanya dengan mahar pakaian dan dengan batas waktu
tertentu.”17

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa kebolehan nikah mut'ah


bukanlah kebolehan longgar yang bisa dimanfaatkan di sembarang waktu dan oleh
setiap orang. Kebolehan ini ada untuk mengatasi problem yang terjadi pada waktu
sulit. Dalam hal ini perang misalnya, dan kebolehan ini juga bukan hukum asal tetapi
rukhsah atau keringanan yang dibutuhkan dalam keadaan sulit.18

2. Hadis yang Melarang

Hukum nikah mut'ah sebagaimana hukum Islam lainnya, pernah mengalami


beberapa kali perubahan. Hal demikian menjadi keistimewaan hukum Islam yang
senantiasa sesuai dengan keadaan umat yang menjadi sasaran hukum tersebut. Di
awal-awal pensyariatan hukum Islam, nikah mut'ah pernah diizinkan oleh Nabi
dalam situasi tertentu seperti ketika misalanya dalam perjalanan jauh dan medan
perang. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah membolehkan nikah
mut'ah ketika sahabat sedang berada di rumah atau lagi muqim. Kemudian setelah itu
tatkala iman umat Islam sudah semakin kuat dan kesiapan untuk mematuhi suatu

17
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad dalam DR. Muhammad Baltaji, Metodologi
Ijtihad Umar bin al-Katthab, terj. H. Masturi Irham, Lc. (Jakarta Timur: Khalifa, 2005), hlm. 310
18
Isnawati Rais, Praktek Kawin Mut'ah di Indonesia, dalam jurnal Ahkam: Vol.XIV, No 1, Januari
2014, hlm 101

9|Page
aturan yang ditetapkan terutama menyangkut larangan sehingga aturan itu benar-
benar dipatuhi, barulah kemudian diharamkan.19

Namun sebelum dilarang secara permanen tercatat bahwa nikah mut'ah ini
melewati beberapa kali perubahan hukum, mengingat masa masa awal dakwah Islam
adalah masa transisi dari budaya jahiliyah yang permisif pada budaya Islam yang
beradab dan berakhlak mulia. Tercatat pelarangan pertama terjadi pada waktu perang
Khaibar kemudian dibolehkan secara terbatas pada waktu penaklukan Mekah(Fath
Makkah/Perang Awthas),20 pada waktu umrah al-Qada, dan pada waktu peristiwa
pertempuran Tabuk.21 Dan setelah itu dilarang untuk selamanya pada akhir hari-hari
Rasulullah Saw pada haji Wada'.

Di antara hadis-hadis yang melarang, sebagai berikut:

- Larangan pertama pada saat perang Khaibar


‫سنُ بْنُ ُم َح َّم ِد ْب ِن َعلِ ٍّي‬ َ ‫ي َيقُو ُل أَ ْخبَ َرنِي ا ْل َح‬ ُّ ‫س ِم َع‬
َّ ‫الز ْه ِر‬ َ ُ‫س َما ِعي َل َح َّدثَنَا ابْنُ ُعيَ ْينَةَ أَنَّه‬
ْ ِ‫َح َّدثَنَا َمالِ ُك بْنُ إ‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫س إِنَّ النَّبِ َّي‬ ِ ‫َوأَ ُخوهُ َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد عَنْ أَبِي ِه َما أَنَّ َعلِيًّا َر‬
ٍ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل اِل ْب ِن َعبَّا‬
‫وم ا ْل ُح ُم ِر اأْل َ ْهلِيَّ ِة َز َمنَ َخ ْيبَ َر‬
ِ ‫سلَّ َم نَ َهى عَنْ ا ْل ُم ْت َع ِة َوعَنْ لُ ُح‬
َ ‫َو‬

19
Di zaman jahiliyah perzinaan tidak dilarang dan merupakan bagian dari kebiasaan pada umumnya
masyarakat, sehingga seorang laki-laki bisa saja melakukan hubungan tanpa nikah dengan perempuan
yang dinginkannya. Kemudian Islam datang dengan memabawa aturan yang membatasi kebolehan
seseorang bergaul hanya dengan isteri dan budaknya. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan,
untuk kepentingan dakwah dan syiar, ada kewajiban muslim untuk pergi berpean yang mengharuskan
mereka harus jauh dari pasangan dalam waktu yang lama. Hal demikian bisa menyebabkan yang
belum kuat iman kembali pada kebiasaan buruk di zaman jahiliyah, yaitu berzina. Di sisi lain yang
sudah siap mental berpisah dikhawatirkan akan kesulitan memnbendung nafsu biologis mereka,
sampai-sampai di kalangan mereka ada yang siap mengebiri diri mereka sendiri.
20
HR. Muslim , Hadis no 2499
‫ص‬ َ Rَ‫ ِه ق‬R‫لَ َمةَ ع َْن أَ ِبي‬R‫اس ب ِْن َس‬R
َ ‫ال َر َّخ‬R ِ Rَ‫س ع َْن إِي‬ ٍ ‫و ُع َم ْي‬RRُ‫اح ِد بْنُ ِزيَا ٍد َح َّدثَنَا أَب‬
ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْنُ أَ ِبي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا يُونُسُ بْنُ ُم َح َّم ٍد َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َو‬
‫س ِفي ْال ُم ْت َع ِة ثَاَل ثًا ثُ َّم نَهَى َع ْنهَا‬
ٍ ‫ا‬ َ ‫ط‬ ْ‫و‬َ ‫أ‬ ‫م‬ ‫َا‬
‫ع‬ ‫م‬َّ
َ َ َ َ ِ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬َّ ‫ل‬‫ص‬َ ِ ‫هَّللا‬ ‫ل‬
ُ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ر‬َ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami
[Yunus bin Muhammad] telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahid bin Ziyad] telah
menceritakan kepada kami [Abu Umais] dari [Iyas bin Salamah] dari [bapaknya] ia berkata;
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah pada tahun Authas (tahun
penaklukan kota Makkah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya."
21
. Imam Syaukani, Nailul Authar Muntaqa al-AKhbar nim Ahadis Sayyid al-Akhyar, terj. Adib Bisri
Mustafa dkk, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), hlm 521

10 | P a g e
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Malik bin Isma'il] Telah
menceritakan kepada kami [Ibnu Uyainah] bahwa ia mendengar [Az Zuhri]
berkata; Telah mengabarkan kepadaku [Al Hasan bin Muhammad bin Ali]
dan saudaranya [Abdullah bin Muhammad] dari [bapak keduanya]
bahwasanya; [Ali] radliallahu 'anhu berkata kepada Ibnu Abbas,
"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikat
Mut'ah dan memakan daging himar yang jinak pada zaman Khaibar."22

- Larangan selamanya sampai hari kiamat pada haji Wada‘


‫ي قَا َل ُكنَّا ِع ْن َد ُع َم َر ْب ِن‬ ُّ ْ‫س َم ِعي َل ْب ِن أُ َميَّةَ عَن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬ ْ ِ‫ث عَنْ إ‬ ِ ‫س ْر َه ٍد َح َّدثَنَا َع ْب ُد ا ْل َوا ِر‬
َ ‫س َّد ُد بْنُ ُم‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬
َّ‫َّث أَن‬
َ ‫ش َه ُد َعلَى أَبِي أَنَّهُ َحد‬ ْ َ‫س ْب َرةَ أ‬
َ ُ‫سا ِء فَقَا َل لَهُ َر ُج ٌل يُقَا ُل لَهُ َربِي ُع بْن‬ َ ِّ‫َع ْب ِد ا ْل َع ِزي ِز فَتَ َذا َك ْرنَا ُم ْت َعةَ الن‬
ِ ‫سلَّ َم نَ َهى َع ْن َها فِي َح َّج ِة ا ْل َود‬
‫َاع‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬
ُ ‫َر‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin Musarhad], telah


menceritakan kepada kami [Abdul Warits] dari [Isma'il bin Umayyah] dari
[Az Zuhri], ia berkata; kami pernah berada di sisi Umar bin Abdul Aziz,
kemudian kami saling menyebutkan menikahi wanita secara mut'ah. Lalu
terdapat seorang laki-laki yang dipanggil [Rabi' bin Sabrah] yang berkata;
aku bersaksi atas [ayahku] bahwa ia telah menceritakan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang darinya pada saat haji wada'.23

Riwayat lain:

َ ُ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن نُ َم ْي ٍر َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا َع ْب ُد ا ْل َع ِزي ِز بْنُ ُع َم َر َح َّدثَنِي ال َّربِي ُع بْن‬
‫س ْب َرةَ ا ْل ُج َهنِ ُّي‬
‫اس إِنِّي قَ ْد ُك ْنتُ أَ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِي‬ ُ َّ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا أَيُّ َها الن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬ِ ‫س‬ ُ ‫أَنَّ أَبَاهُ َح َّدثَهُ أَنَّهُ َكانَ َم َع َر‬
ُ‫سبِيلَه‬ َ ‫سا ِء َوإِنَّ هَّللا َ قَ ْد َح َّر َم َذلِ َك إِلَى يَ ْو ِم ا ْلقِيَا َم ِة فَ َمنْ َكانَ ِع ْن َدهُ ِم ْن ُهنَّ ش َْي ٌء فَ ْليُ َخ ِّل‬َ ِّ‫َاع ِمنْ الن‬ ِ ‫ستِ ْمت‬ ْ ‫ااِل‬
ُ ْ
َ َّ‫َواَل تَأ ُخذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموهُن‬
‫ش ْيئًا‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin


Numair(1) telah menceritakan kepada kami ayahku(2) telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz bin Umar(3) telah menceritakan kepadaku Ar Rabi'

22
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3 (Beirut: Daar al-Fikr,
2000), hlm 129
23
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‘asy al-Azadi al-Sijistani, Sunan Abu Dawud dalam CD Rom
Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, Kitab al-Nikah, hadis nomor 1774

11 | P a g e
bin Sabrah Al Juhani(4) bahwa ayahnya(5) telah menceritakan kepadanya
bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (dalam
Fathu Makkah), beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
saya pernah mengizinkan kepada kalian nikah mut'ah terhadap wanita, dan
sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah mengharamkannya sampai Hari
Kiamat, oleh karena itu barangsiapa yang masih memiliki (wanita yang
dimut'ah), maka ceraikanlah dia dan jangan kamu ambil kembali apa yang
telah kamu berikan padanya."24

D. Nikah Mut’ah Antara Pro dan Kontra

Dari hadis-hadis nikah tentang nikah mut’ah ini di atas, telah membuat
perbedaan persepsi dalam memahaminya, antara muslim sunni dan muslim syi’i
sehingga sampai tingkatan aqidah. Muslim sunni meyakini pernikahan mut’ah adalah
haram hukumnya, dan aqidah syi’i menghalalkan pernikahan mut’ah. Masing-masing
memiliki hujjah untuk mendukung pendapatnya. Pada akhirnya, kedua kubu ini
tampaknya tidak bisa berdamai. Syiah tetap mempertahankan pendapat mereka akan
kebolehan melakukan nikah mut’ah. Sementara, jumhur pun tetap kokoh dengan
keyakinan dalam mengharamkan nikah mut’ah.

Perbedaan hukum ini terjadi dikarenakan perbedaan cara mereka dalam


melakukan istinbath hukum, di antaranya:

Pertama; Pertama, Jumhur Fuqaha ahli sunnah memandang kata "naha" (larangan)
yang terdapat dalam hadis mengindikasikan ketidakbolehan baik dari sudut bahasa
maupun dari sudut pandangan syara'.25 Berdaarkan kaidah ushul fiqh ‫ل فى النهي‬R‫االص‬
‫ريم‬RRR‫ للتح‬maka 'nahi' larang yang ada pada hadis tersebut menunjukkan atas
keharamannya.26

Kedua, dari segi sanad, hadis yang melarang mut'ah termasuk kategori hadis Ahad.
sedangkan kelompok syi'ah tidak mengakui kehujjahan hadis Ahad, kecuali kalau
24
Imam Nawawi, Shahih uslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz 5 , hlm.186
25
Saifuddin al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1 (Beirut: Daar al-Fikr, 1996) hlm.322.
26
Abd. Mukhsin, Nikah Mut'ah : Perbincangan Dari Perspektif Hadis Ahkam, dalam jurnal al
Muqaranah, (perbandingan Mazhab), 2017. hlm 84

12 | P a g e
hadis tersebut bersumber dari sahabat yang mengakui adanya imamah. Berbeda
dengan jumhur ahlu sunnah mengakui kedudukan hadis Ahad dalam berhujjah.

Ketiga, perbedaan sikap terhadap hadis sebagai penghapus (nasikh) hukum dari al-
Qur'an. Kalangan Syiah berpendapat bahwa ayat yang ada pada QS. An-Nisa ayat 24
tidak dapat di hapus (nasakh) oleh hadis yang melarang mut'ah. Berbeda dengan ahli
sunnah yang memandang hadis yang merlarang mut'ah dapat menghapus (menasakh)
hukum kehalalan nikah mut'ah sebagaimana dalam ayat dimaksud.27

Keempat, Kalangan Ahlu sunnah berpegang pada kaedah Ushul yang mengatakan ‫درء‬
‫ المفاسد مقدم علي جلب المصالح‬dan juga berdasar pada QS. al-Qasas: 77 yang melarang
berbuat kerusakan di muka bumi. Bagi mereka, jika mut'ah dibolehkan maka akan
timbul kerusakan (mafsadah) yang lebih besar ketimbang maslahatnya. Seperti
berpotensinya anak akan terlantar dan hidup melarat diakibatkan suami setelah
perceraian tidak memiliki kewajiban menafkahi anak dan istrinya.

E. Antara Nikah Mut’ah Dengan Pelacuran

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang MA (Mahkamah Agung)


menyatakan kawin kontrak merupakan prostitusi terselubung yang dibingkai dengan
bahasa agama (syariat), sehingga para pelaku dapat melakukan aktivitas untuk
mendapatkan materi, dengan berusaha menutupi perilaku pelanggaran perkawinan
dengan istilah nikah mut'ah. Kesimpulan ini diperkuat karena kawin kontrak tidak
selalu berdampak baik, bahkan cenderung merugikan kaum perempuan.

Ulama Indonesia yang bergabung dalam Majelis Ulama Indonesia melalui


Komisi Fatwa telah mengharamkan nikah mut‘ah dan pelaku nikah mut`ah harus
dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
27
Mustafa al-khin, Asar al-khilad fi al-Qawaid al-Ushuliyah, (Beirut: Ar-Risalah, 2003) hlm.588

13 | P a g e
berlaku. Dalam fatwa itu dinyatakan, bahwa nikah mut'ah bertentangan dengan
tujuan pensyariatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan
melahirkan keturunan (at-tanasul). Selain itu, nikah mut'ah disebutkan juga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah Indonesia. Lebih
lanjut wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul
Huda, dalam wawancara dengan redaksi Republika mengatakan bahwa “nikah
kontrak lebih hanya untuk pemenuhan hasrat nafsu belaka bagi lelaki, sementara
pihak perempuan bertujuan untuk mendapatkan uang, dan boleh dikata ini adalah
bentuk prostitusi terselubung yang 'dimaklumi' sebagian masyarakat“.28

Afif dalam penelitiannya terkait nikah mut’ah yang memiliki banyak


kesamaan dengan pelacuran, antara lain:29

- Nikah mut’ah (Penyewaan tubuh)


Nikah mut’ah adalah penyewaan tubuh wanita sebagaimana yang dikatakan oleh
Abu Abdillah30, dia berkata: menikah dengan seribu wanita karena wanita yang
dimut’ah adalah wanita sewaan. Hal ini juga memiliki persamaan dengan pelacuran
yang terletak kepada berapa banyak kita menyewa para pelacur, karena hakikatnya
mereka juga wanita sewaan.

- Kesamaan adanya mahar


Dalam kitab al-Kafi al-Kulaini karangan al-Kulaini,31 nikah mut’ah juga
memerlukan mahar yaitu paling sedikitnya segenggam tepung, gandum, atau korma.
Begitu pula dengan pelacur mereka meminta “mahar” atau bayaran kepada penyewa,
mereka tidak akan mau ketika mereka tidak dibayar terlebih dahulu.

- Ada atau tidaknya batasan waktu

28
https://www.republika.co.id/berita/q34if4320/mui-soal-kawin-kontrak-sudah-difatwa-haram-tetap-
saja-ada, di akses pada hari Rabu, 10 Februari 2020, Pukul 21.00
29
Afif, Ibid, hlm 7-8
30
Al-Kulaini, al-Kafi al-Kulaini (www.hakikat.com), Juz 5, hlm 452
31
Ibid, juz 5, hlm. 457

14 | P a g e
PSK atau pelacur biasanya mereka disewa dengan waktu yang dibatasi saat
transaksi awal, disewa untuk sehari misalnya, atau sampai kapanpun tergantung
kesepakatan. Adapun nikah mut’ah juga sama, juga bisa hanya untuk sehari ataupun
lebih sesuai kesepakatan pada waktu akad.32

- boleh nikah dengan wanita yang sama beberapa kali.


Suami istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si istri harus
menikah dengan lelaki lain. Tidak demikian dengan nikah mut’ah, orang boleh nikah
mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, asal tidak bosan saja. Karena wanita
yang dinikah secara mut’ah pada hakekatnya sedang disewa tubuhnya oleh si laki-
laki. Sama persis dengan pelacuran.33

- Nafkah untuk istri yang dimut’ah


Istri mut’ah yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapat
nafkah, si istri mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah disepakati
sebelumnya. Bayaran dari mut’ah sudah all in dengan nafkah, hendaknya istri mut’ah
sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik sehingga bisa menetapkan harga yang
tepat untuk mahar mut’ah.

BAB III

PENUTUP

32
Lihat: Al-Kulaini, al-Kafi al-Kulaini…………… juz 5, hlm. 460
33
Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Kafi al-Kulaini. Dari Zurarah, bahwa dia bertanya
pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu
dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki
yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki
apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah
mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah
adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. (jilid 5 hal 460)

15 | P a g e
A. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat ditarik kesimpulan dari apa yang telah dipaparkan
panjang lebar di atas, yang berkaitan dengn bahasan utama dari makalah ini sebagai
berikut, bahwa:

1. Nikah mut'ah berasal dari kegelisahan (madharat) ketika sahabat dan nabi
sedang berperang. Yaitu ketika para sahabat hendak mengebiri diri
mereka sendiri, sebagaimana yang dipaparkan di atas.
2. Pelarangan terhadap nikah mut'ah sangat bervariasi, yaitu pada Perang
Khaibar, Fathu Makkah, Haji Wada' dan perang Authas. Namun hal itu
tidak berimplikasi apapun terhadap pelarangan (pengharaman) nikah
mut'ah.
3. Tentang persamaan antara nikah mut'ah dengan pelacuran yang
semuanya akan menunjukkan implementasi terhadap pengaharaman
nikah mut'ah.

B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, masukan dan kritikan sangat
diharapkan dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

- Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2 (Beirut: Daar al Fikr, 1992


- DR. Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khatthab, terj. H.
Masturi Irham, Lc. (Jakarta Timur: Khalifa, 2005)
- Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003)
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2007)

16 | P a g e
- Al-Shan'ani, Subul al-Salam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad,
(Surabaya: AL-Ikhlas, 1995)
- Moh. Rifa'i, Mutiara Fiqih Jilid II, (Semarang: CV. Wicaksan, 1998)
- Muhammad Abi Zahrah. al-Ahwal al-Syakhsiyah Qism al-Zuwaj (Kairo: Daar
al-Fikr al-Arabi, 1947)
- Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyq, Fiqih Empat
Mazhab (Bandung: Hasyimi 2013), Cet XVI
- Imam Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz 5 (Beirut: Daar al-
Kutub al-Ilmiyah, t.t)
- Imam Syaukani, Nailul Authar Muntaqa al-AKhbar nim Ahadis Sayyid al-
Akhyar, terj. Adib Bisri Mustafa dkk, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994)
- Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3
(Beirut: Daar al-Fikr, 2000)
- Imam Nawawi, Shahih uslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz 5
- Saifuddin al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1 (Beirut: Daar al-Fikr,
1996)
- Mustafa al-khin, Asar al-khilad fi al-Qawaid al-Ushuliyah, (Beirut: Ar-
Risalah, 2003)

Sumber Jurnal dan Makalah

- Isnawati Rais, Praktek Kawin Mut'ah di Indonesia, dalam jurnal Ahkam:


Vol.XIV, No 1, Januari 2014
- Abd. Mukhsin, Nikah Mut'ah : Perbincangan Dari Perspektif Hadis Ahkam,
dalam jurnal al Muqaranah, (perbandingan Mazhab), 2017.
- Makalah Saudara Afif dalam mata kuliah Hadis yang di ampuh oleh Agung
Danarto pada Universitas Ahmad Dahlan dengan Judul ‘Hadis Tentang Nikah
Mut’ah’. 2008

17 | P a g e
Sumber Web Online
- https://www.republika.co.id/berita/q34if4320/mui-soal-kawin-kontrak-sudah-
difatwa-haram-tetap-saja-ada
- https://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/hadis-tentang-nikah-
mutah.html
- Al-Kulaini, al-Kafi al-Kulaini (www.hakikat.com), Juz 5, hlm 452

Sumber Aplikasi
- Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‘asy al-Azadi al-Sijistani, Sunan Abu
Dawud dalam CD Rom Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, Kitab al-Nikah
- Muslim. Shahih Muslim, kitab al-nikah (CD ROM Mausu’ah al-Hadits)

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai