Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan
(Dr. Deddy Effendy, S.H., M.H.)
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan merupakan bagian dalam
untuk jangka waktu selama-lamanya sampai maut memisahkan, akan tetapi dalam
sementara disebut dengan kawin kontrak Istilah kawin kontrak dalam agama Islam sering
disebut dengan nikah mut’ah. Yang mana. Secara etimologi mut’ah berarti bersenang-
senang atau menikmatai. Kawin kontak tidak ada tujuan untuk membentuk rumah
tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawwadah warahmah dan itu bertentangan dengan
Kawin kontrak yang bersifat sementara ini sangat bertentangan dengan hukum, agama,
dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Bagi seseorang yang
melaksanakan nikat mut’ah ini menganggap bahwa prosedur tidak berbelit-belit tidak
tidak permanen, bisa diatur bersama bahkan terkadang lebih ditentukan oleh pria,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975,
pelaksanaan perkawinan merupakan momentum yang penting dan harus dilestarikan, maka
selain perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan masing- masing agama dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat : “ (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” (2) “ Tiap-Tiap perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan
Perkawinan adalah suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai atau sepasang calon
suami atau isteri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau kepala agama tertentu,
para saksi dan sejumlah hadlirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami-
Adanya ikatan lahir dan batin dalam perkawinan, berarti bahwa sebuah perkawinan itu
perlu adanya kedua ikatan tersebut. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang tampak,
ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yanga ada. Ikatan formal ini adalah nyata,
baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain, yaitu masyarakat
luas. Oleh karena itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas
Maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dan wanita dalam balutan perjanjian suci dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai
pembuktian janjinya ini, maka pasangan yang menikah berkewajiban untuk saling mencintai
hubungan yang baik dengan keluarga besarnya guna mewujudkan rumah tangga yang
Kawin kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah nikah mut’ah. Nikah mut’ah
adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah. Nikah secara bahasa
adalah akad dan watha’. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata nikah ini kemudian
disandingkan dengan kata mut’ah.2 mut’ah berasal dari kata متعة-يمت>>ع- مت>>عsecara literal
Terdapat beberapa pengertian tentang mut’ah, yaitu: Pertama, mut’ah adalah uang, barang,
dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup
(penghibur hati) bekas istrinya4. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi
1
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
2
Sahfra, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia, Jurnal Marwah, Vol. IX, No. 1, Juni
2010, hlm. 16.
3
Husaini bin Muhammad al-Damaghany. Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Ilm, 1985), hlm. 12
4
DEPDIKBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 677
laki-laki untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya, dan birahinya dari wanita tanpa
syarat. Ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang diistilahkan dengan “kawin
Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan menetapkan batas waktu
tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri.6 Bila habis masa (waktu)
yang ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut
sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah
Sejarah adanya kawin kontrak telah berlangsung sejak lama Rasulullah. Pada saat itu
Islam mewajibkan kepada kaum laki-laki untuk berjihad, kaum laki-laki merasa sangat berat
meninggalkan istri mereka dan merasa berat jauh dari kaum wanita, diantara pengikut Rasul
dalam berjihad ada yang bertanya kepada Rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Hadist
Mas‟ud yang artinya : “Kami ikut berperang dengan Rasulullah dan istri-istri kami tidak Ada
Maka Rasulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami
untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan”. (HR.
Bukhari Muslim). 7
5
Fuad Mohd. Fahruddin. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) hlm. 70
6
Quraish Shihab, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa dari Bias Lama
Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 189
7
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
Rasulullah kemudian mengharamkan kawin kontrak Hal ini sesuai dengan yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam suatu lafadz disebutkan sabda Rasulullah “Wahai
manusia! Saya pernah meng- izinkan kamu kawin mut‟ah,tetapi sekarang ketahuilah bahwa
Pada masa sahabat, larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan
mayoritas sahabat. Akan tetapi minoritas sahabat lainnya masih membenarkannya, bahkan
melakukan praktek kawin kontrak, seperti yang dilakukan Jabir Ibn Abdullah. 9 Kemudian,
Khalifah Umar ibn al-Khattab (581-644) secara tegas melarang kawin kontrak, bahkan pada
masa pemerintahannya, pelakunya diancam dengan hukuman rajam. Larangan Umar ini
dapat menghentikan secara total praktek kawin kontrak. Keadaan ini terus berlanjut sampai
generasi berikutnya. Lalu, pada masa pemerintahan al-Makmun (khalifah ke-7 dari Dinasti
Abbasiyah, 198 H / 813 M- 218 H / 833 M), kawin kontrak secara formal diberlakukan
kembali. Akan tetapi kemudian dilarang pada masa khalifah berikutnya, yaitu pada masa al-
Terlepas dari kontroversi para fukaha’ tentang hukum nikah kontrak dalam hadis-hadis
tersebut, yang jelas keberadaan hadis-hadis tersebut menggambarkan bahwa di masa lalu
(masa rasul dan sahabatnya) nikah kontrak pernah terjadi. Dua kali dibolehkan dan kemudian
diharamkan sebanyak dua kali pula; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi
kemudian diharamkan ketika perang Khaibar (7 H / 628 M). Kemudian dibolehkan selama
8
Ibid.
9
Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), hlm. 1345
10
Fiqh Umar Ibn Khattab Muwasinan bi Fiqh ashuri al-Mujtahidin. yang dikarang oleh Ruway ibn Rajih al-Ruhaili.
1994. Alih bahasa Abbas M.B. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. hlm. 90-104
tiga hari ketika Fathu Makkah, atau perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk
selamanya.
Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa kawin kontrak/nikah
mut’ah hukumnya haram dan tidak sah (batal). Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang
ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui atau yang tidak diketahui
(temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara
Hakikat dari nikah mut’ah adalah pernikahan dengan akad yang waktunya ditentukan.
Misalnya, “Aku menikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun”. Hal tersebut dilakukan
karena perbedaan pemahaman tentang kandungan surat an-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya
atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-
istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang
maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
“Ujrah” yang oleh mayoritas mufassirin (ahli tafsir) diartikan sebagai mahar ini oleh
kalangan yang membolehkan kawin kontrak/nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak
Dalam perspektif hukum Islam, perjanjian perkawinan dijelaskan dalam QS. An-Nisa
ayat 4. Kawin kontrak dalam Islam dikenal dengan istilah nikah mut’ah (mu’aqqat) yang
berarti perkawinan untuk waktu tertentu atau munqathi yang berarti perkawinan yang
terputus.11 Nikah mut’ah pada awalnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW pada saat
pasukan perang dari kaum Muslimun berperang di wilayah yang berada jauh dari istri dan
1. Ijab qabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan dengan kata mut’ah;
2. Tanpa wali;
3. Tanpa saksi;
11
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 36.
12
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 16.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat
sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang
sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak
semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan. Demikian juga dengan
perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.13
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang syarat sah perjanjian.
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang,
digolongkan ke dalam:14
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subjektif);
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif).
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam
perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum
(unsur objektif).
Kawin kontrak adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan memberikan sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana
perkawinan akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta
tidak adanya kewajiban untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.
13
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-hukumnya.html diakses pada
tanggal 10 oktoer 2022 jam 19.00
14
Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa sesuatu yang
dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat
diperdagangkan, namun dalam perjanjian kawin kontrak yang dijadikan objek perjanjian
adalah perkawinan yang dibatasi waktu itu sendiri di mana perkawinan yang dibatasi oleh
waktu bukanlah merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Hal ini secara jelas
melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari
Syarat objektif selanjutnya yang tidak dipenuhi adalah suatu sebab yang halal.
Perjanjian perkawinan yang terdapat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan
perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang Perkawinan (Pasal 1) dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 2, 5 dan 6). Suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang dalam undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan
yang baik dan ketertiban umum. Isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur
tentang jangka waktu atau lamanya perkawinan, imbalan yang diperoleh oleh salah satu
pihak, hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
Praktik kawin kontrak apabila dilihat dari Undang-Undang Perkawinan maka jelas
sangat bertentangan dengan Pasal 2 yang mengandung syarat sah dari suatu perkawinan:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
15
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-hukumnya.html diakses pada
tanggal 10 oktoer 2022 jam 19.00
16
Ibid.
Menurut Yuli Purnomosidi, S.H, M.H apabila suatu perkawinan didasarkan atas suatu
perjanjian mengenai jangka waktu dari perkawinan tersebut atau yang biasa disebut dengan
istilah kawin kontrak itu secara legalistik formal tidak diperbolehkan dan memang tidak dapat
dibenarkan, karena berpacu kepada fakta bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga
harus berpegangan pada formalitas. Oleh karena itu, sepanjang kawin kontrak tidak diatur
dalam undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Menteri
harta bersama, dan oleh karenanya apabila terjadi perceraian harta tersebut dibagi
dua sama besar. Akan tetapi di dalam kawin kontrak ketentuan tersebut sama sekali
tidak berlaku. 18
Dengan demikian putusnya perkawinan dalam kawin kontrak, Selain tidak ada
harta bersama, kawin kontrak juga tidak menyebabkan hubungan saling mewarisi antara
syarat kawin kontrak, salah tidak akan menyebabkan dilakukan pembagian harta
bersama. satunya menyatakan bahwa “Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak
waris”. Artinya bahwa walaupun suami kontrak meninggal pada saat kawin kontrak
masih berlangsung, istri kontrak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan
dari suaminya.19
17
Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No.
1, Februari 2020, hlm. 738.
18
Andreas Resa Ari Krisharyanto, AKIBAT HUKUM KAWIN KONTRAK TERHADAP KEDUDUKAN ISTRI,
ANAK, DAN HARTA KEKAYAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,Jurnal Krisna Law Volume 1,
Nomor 3, 2019, 7-16
19
Ibid.
Di dalam sistem hukum di Indonesia keinginan istri kontrak untuk mewarisi harta
suami kontraknya tidak dapat dimintakan secara hukum. Hal ini dikarenakan secara
hukum kawin kontrak tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sehingga
akibatnya:20
b. Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika dia meninggal
dunia; dan
c. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara
sama sekali tidak dapat diprotes oleh pihak istri ataupun diajukan ke depan
pengadilan.
Hal ini dikarenakan status perkawinan yang mereka lakukan tidak diakui dalam
sistem hukum di Indonesia. Selain itu dari awal istri kontrak juga menyadari
konsekuensi dari perkawinan kontrak yang mereka lakukan akan membuat dia tidak
memiliki hak sebagaimana perkawinan pada umumnya. Kompilasi Hukum Islam BAB XIV
“Anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b.
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”
20
Ratna Bataramurti, “Perlindungan Hukum Bagi Wanita”
Dalam perkawinan kontrak apabila berdasar dengan hal diatas, apabila terlahir seorang anak
dari hasil perkawinan kontrak tersebut maka anak tersebut merupakan anak luar kawin, karena
kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia hanya
Singkatnya, kawin kontrak yang merupakan ikatan perkawinan tanpa legalitas dan tidak
memiliki kepastian hukum, menimbulkan dampak negatif terutama kepada wanita dan anak
BAB II
KESIMPULAN
A. Simpulan
,
Kawin kontrak merupakan perkawinan yang tidak diperbolehkan dalam agama islam.
Selain dapat merugikan perempuan sebagai isteri. Kawin kontrak juga dapat merugikan
kedudukan anak hasil dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kawin kontrak bukan
merupakan perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan bukan karena tujuan
mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia
melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan ekonomi atau
biologis semata.
Anak dari hasil perkawinan kontrak terlahir tersebut merupakan anak luar kawin, karena
kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia hanya
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam
DEPDIKBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Fuad Mohd. Fahruddin. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam
Husaini bin Muhammad al-Damaghany. Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi
al-Qur’an al-Karim
Mardani, Hukum Perkawinan Islam
Ruway ibn Rajih al-Ruhaili. 1994. Alih bahasa Abbas M.B. Fiqh Umar Ibn Khattab Muwasinan
bi Fiqh ashuri al-Mujtahidin
Quraish Shihab, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa
dari Bias Lama Sampai Bias Baru
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974
Jurnal:
Andreas Resa Ari Krisharyanto, Akibat Hukum Kawin Kontrak Terhadap Kedudukan Istri,
Anak, dan Harta Kekayaan dalam Perspektif Hukum Islam.
Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum
Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris
Ratna Bataramurti, “Perlindungan Hukum Bagi Wanita”,
Sahfra, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat
Sumber Internet:
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-
hukumnya.html