Anda di halaman 1dari 16

AKIBAT HUKUM KAWIN KONTRAK DALAM PEMBAGIAN HARTA WARIS

MENURUT HUKUM ISLAM

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan
(Dr. Deddy Effendy, S.H., M.H.)

Nama: Suci Setiawati


Npm: 20040122010

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA


MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BAB I

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan merupakan bagian dalam

menyempurnakan ibadah dalam agama islam, Pada dasarnya perkawinan ditujukan

untuk jangka waktu selama-lamanya sampai maut memisahkan, akan tetapi dalam

praktiknya sering kali orang yang melangsungkan perkawinan yang bersifat

sementara disebut dengan kawin kontrak Istilah kawin kontrak dalam agama Islam sering

disebut dengan nikah mut’ah. Yang mana. Secara etimologi mut’ah berarti bersenang-

senang atau menikmatai. Kawin kontak tidak ada tujuan untuk membentuk rumah

tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawwadah warahmah dan itu bertentangan dengan

tujuan pernikahan yang disyariatkan dalam Islam.

Kawin kontrak yang bersifat sementara ini sangat bertentangan dengan hukum, agama,

dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Bagi seseorang yang

melaksanakan nikat mut’ah ini menganggap bahwa prosedur tidak berbelit-belit tidak

seperti halnya dalam perkawinan permanen. Biayanya pun murah, karena

pelaku tidak terlalu dibebani harus menyelenggarakan resepsi pernikahan

sebagaimana lazim terjadi pada perkawinan permanen. Jangka waktu perkawinan

tidak permanen, bisa diatur bersama bahkan terkadang lebih ditentukan oleh pria,

tergantung pada berapa lama dia membutuhkannya.


B. Definisi Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975,

pelaksanaan perkawinan merupakan momentum yang penting dan harus dilestarikan, maka

selain perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan masing- masing agama dan

kepercayaannya, perkawinan hendaklah dicatatkan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat : “ (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” (2) “ Tiap-Tiap perkawinan

dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan adalah suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai atau sepasang calon

suami atau isteri dipertemukan secara formal dihadapan penghulu atau kepala agama tertentu,

para saksi dan sejumlah hadlirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami-

isteri, dengan upacara dan ritus-ritus tertentu.

Adanya ikatan lahir dan batin dalam perkawinan, berarti bahwa sebuah perkawinan itu

perlu adanya kedua ikatan tersebut. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang tampak,
ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yanga ada. Ikatan formal ini adalah nyata,

baik yang mengikat dirinya, yaitu suami dan istri, maupun bagi orang lain, yaitu masyarakat

luas. Oleh karena itu perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas

agar masyarakat dapat mengetahuinya.

Maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dan wanita dalam balutan perjanjian suci dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai

pembuktian janjinya ini, maka pasangan yang menikah berkewajiban untuk saling mencintai

dan menyayangi, hormat-menghormati, beker- jasama, saling membantu, serta membina

hubungan yang baik dengan keluarga besarnya guna mewujudkan rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera.1

C. Definisi Kawin Kontrak

Kawin kontrak, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah nikah mut’ah. Nikah mut’ah

adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah. Nikah secara bahasa

adalah akad dan watha’. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata nikah ini kemudian

disandingkan dengan kata mut’ah.2 mut’ah berasal dari kata ‫متعة‬-‫يمت>>ع‬-‫ مت>>ع‬secara literal

mempunyai ragam pengertian, antara lain manfaat, bersenang-senang, menikmati, bekal. 3

Terdapat beberapa pengertian tentang mut’ah, yaitu: Pertama, mut’ah adalah uang, barang,

dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup

(penghibur hati) bekas istrinya4. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi

1
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
2
Sahfra, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia, Jurnal Marwah, Vol. IX, No. 1, Juni
2010, hlm. 16.
3
Husaini bin Muhammad al-Damaghany. Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Dar al-Ilm, 1985), hlm. 12
4
DEPDIKBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 677
laki-laki untuk mencapai keinginannya, hawa nafsunya, dan birahinya dari wanita tanpa

syarat. Ini dilakukan dengan perkawinan sementara atau yang diistilahkan dengan “kawin

kontrak” dalam jangka waktu yang dibatasi menurut perjanjian.5

Secara definitif, nikah mut’ah berarti : pernikahan dengan menetapkan batas waktu

tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan isteri.6 Bila habis masa (waktu)

yang ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut

sesuai kesepakatan semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah

mut’ah, sekaligus pembeda dari nikah biasa.

D. Sejarah Kawin Kontrak

Sejarah adanya kawin kontrak telah berlangsung sejak lama Rasulullah. Pada saat itu

Islam mewajibkan kepada kaum laki-laki untuk berjihad, kaum laki-laki merasa sangat berat

meninggalkan istri mereka dan merasa berat jauh dari kaum wanita, diantara pengikut Rasul

dalam berjihad ada yang bertanya kepada Rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Hadist

Mas‟ud yang artinya : “Kami ikut berperang dengan Rasulullah dan istri-istri kami tidak Ada

disamping kami,kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, bolehkah kami mengebiri?

Maka Rasulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami

untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan”. (HR.

Bukhari Muslim). 7

5
Fuad Mohd. Fahruddin. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992) hlm. 70
6
Quraish Shihab, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa dari Bias Lama
Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 189
7
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat, Jurnal Hukum
JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
Rasulullah kemudian mengharamkan kawin kontrak Hal ini sesuai dengan yang

diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam suatu lafadz disebutkan sabda Rasulullah “Wahai

manusia! Saya pernah meng- izinkan kamu kawin mut‟ah,tetapi sekarang ketahuilah bahwa

Allah telah mengharamkanny sampai hari kemudian.”8

Pada masa sahabat, larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan

mayoritas sahabat. Akan tetapi minoritas sahabat lainnya masih membenarkannya, bahkan

melakukan praktek kawin kontrak, seperti yang dilakukan Jabir Ibn Abdullah. 9 Kemudian,

Khalifah Umar ibn al-Khattab (581-644) secara tegas melarang kawin kontrak, bahkan pada

masa pemerintahannya, pelakunya diancam dengan hukuman rajam. Larangan Umar ini

dapat menghentikan secara total praktek kawin kontrak. Keadaan ini terus berlanjut sampai

generasi berikutnya. Lalu, pada masa pemerintahan al-Makmun (khalifah ke-7 dari Dinasti

Abbasiyah, 198 H / 813 M- 218 H / 833 M), kawin kontrak secara formal diberlakukan

kembali. Akan tetapi kemudian dilarang pada masa khalifah berikutnya, yaitu pada masa al-

Mu’tashim (218 H/ 833 M – 227 H / 842 M).10

Terlepas dari kontroversi para fukaha’ tentang hukum nikah kontrak dalam hadis-hadis

tersebut, yang jelas keberadaan hadis-hadis tersebut menggambarkan bahwa di masa lalu

(masa rasul dan sahabatnya) nikah kontrak pernah terjadi. Dua kali dibolehkan dan kemudian

diharamkan sebanyak dua kali pula; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi

kemudian diharamkan ketika perang Khaibar (7 H / 628 M). Kemudian dibolehkan selama

8
Ibid.
9
Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997), hlm. 1345
10
Fiqh Umar Ibn Khattab Muwasinan bi Fiqh ashuri al-Mujtahidin. yang dikarang oleh Ruway ibn Rajih al-Ruhaili.
1994. Alih bahasa Abbas M.B. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. hlm. 90-104
tiga hari ketika Fathu Makkah, atau perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk

selamanya.

E. Kawin Kontrak menurut Perspektif Hukum Islam

Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa kawin kontrak/nikah

mut’ah hukumnya haram dan tidak sah (batal). Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang

ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui atau yang tidak diketahui

(temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara

kedua pasangan suami istri. 

Hakikat dari nikah mut’ah adalah pernikahan dengan akad yang waktunya ditentukan.

Misalnya, “Aku menikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun”. Hal tersebut dilakukan

baik dihadapan saksi atau dihadapan wali. Keduanya sama saja.

Adanya perbedaan pandangan terhadap kawin kontrak ini diantaranya disebabkan

karena perbedaan pemahaman tentang kandungan surat an-Nisa ayat 24 yang berbunyi:

ۚ َ‫ْ>ر ُم ٰ َس>فِ ِحين‬


َ ‫ص>نِينَ َغي‬ ۟ ‫ب ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َوُأ ِح َّل لَ ُكم َّما َو َرٓا َء ٰ َذلِ ُك ْم َأن تَ ْبتَ ُغ‬
ِ ْ‫وا بِ>َأ ْم ٰ َولِ ُكم ُّمح‬ َ َ‫ت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۖ ِك ٰت‬ ُ َ‫ص ٰن‬
ْ ‫ت ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما َملَ َك‬ َ ْ‫َو ْٱل ُمح‬

َ ‫ض ْيتُم بِِۦه ِم ۢن بَ ْع ِد ْٱلفَ ِري‬


‫ض ِة ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫فَ َما ٱ ْستَ ْمتَ ْعتُم بِ ِهۦ ِم ْنه َُّن فَـَٔاتُوه َُّن ُأجُو َره َُّن فَ ِري‬
َ ‫ضةً ۚ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما تَ ٰ َر‬

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-

budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya

atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-

istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang

telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka

maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

َ ‫ فَـَٔاتُوه َُّن ُأجُو َره َُّن فَ ِري‬ . Kata


Perbedaan tersebut yaitu dalam memahami maksud kalimat ً‫ضة‬

“Ujrah” yang oleh mayoritas mufassirin (ahli tafsir) diartikan sebagai mahar ini oleh

kalangan yang membolehkan kawin kontrak/nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak

yang merujuk pada konsep kawin kontrak.

Dalam perspektif hukum Islam, perjanjian perkawinan dijelaskan dalam QS. An-Nisa

ayat 4. Kawin kontrak dalam Islam dikenal dengan istilah nikah mut’ah (mu’aqqat) yang

berarti perkawinan untuk waktu tertentu atau munqathi yang berarti perkawinan yang

terputus.11 Nikah mut’ah pada awalnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW pada saat

pasukan perang dari kaum Muslimun berperang di wilayah yang berada jauh dari istri dan

keluarganya, namun kemudian Rasulullah melarang dan mengharamkannya sampai kiamat.

Nikah mut’ah atau kawin kontrak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:12

1. Ijab qabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan dengan kata mut’ah;

2. Tanpa wali;

3. Tanpa saksi;

4. Ada ketentuan dibatasi waktu;

5. Tidak ada waris mewarisi antara suami istri

6. Tidal ada talak

F. Kawin Kontrak Menurut Hukum Positif Indonesia

11
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 36.
12
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 16.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat

sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang

sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak

semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan. Demikian juga dengan

perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.13

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang syarat sah perjanjian.

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang,

digolongkan ke dalam:14

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian

(unsur subjektif);

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur

objektif).

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam

perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum

(unsur objektif).

Kawin kontrak adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita

dengan memberikan sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana

perkawinan akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta

tidak adanya kewajiban untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.

13
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-hukumnya.html diakses pada
tanggal 10 oktoer 2022 jam 19.00
14
Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa sesuatu yang

dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat

diperdagangkan, namun dalam perjanjian kawin kontrak yang dijadikan objek perjanjian

adalah perkawinan yang dibatasi waktu itu sendiri di mana perkawinan yang dibatasi oleh

waktu bukanlah merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Hal ini secara jelas

melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari

suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.15

Syarat objektif selanjutnya yang tidak dipenuhi adalah suatu sebab yang halal.

Perjanjian perkawinan yang terdapat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan

perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-

Undang Perkawinan (Pasal 1) dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 2, 5 dan 6). Suatu sebab

adalah terlarang apabila dilarang dalam undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan

yang baik dan ketertiban umum. Isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur

tentang jangka waktu atau lamanya perkawinan, imbalan yang diperoleh oleh salah satu

pihak, hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Praktik kawin kontrak apabila dilihat dari Undang-Undang Perkawinan maka jelas

sangat bertentangan dengan Pasal 2 yang mengandung syarat sah dari suatu perkawinan:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.16

15
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-hukumnya.html diakses pada
tanggal 10 oktoer 2022 jam 19.00
16
Ibid.
Menurut Yuli Purnomosidi, S.H, M.H apabila suatu perkawinan didasarkan atas suatu

perjanjian mengenai jangka waktu dari perkawinan tersebut atau yang biasa disebut dengan

istilah kawin kontrak itu secara legalistik formal tidak diperbolehkan dan memang tidak dapat

dibenarkan, karena berpacu kepada fakta bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga

harus berpegangan pada formalitas. Oleh karena itu, sepanjang kawin kontrak tidak diatur

dalam undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Menteri

dan peraturan lainnya maka dapat dikatakan tidak terjadi perkawinan.17

G. Akibat Hukum Kawin Kontrak

Dalam Undang-Undang Perkawinan, harta yang tercipta dalam perkawinan menjadi

harta bersama, dan oleh karenanya apabila terjadi perceraian harta tersebut dibagi

dua sama besar. Akan tetapi di dalam kawin kontrak ketentuan tersebut sama sekali

tidak berlaku. 18

Dengan demikian putusnya perkawinan dalam kawin kontrak, Selain tidak ada

harta bersama, kawin kontrak juga tidak menyebabkan hubungan saling mewarisi antara

suami dengan istri kontrak. Karena sebagaimana dikemukakan dalam syarat-

syarat kawin kontrak, salah tidak akan menyebabkan dilakukan pembagian harta

bersama. satunya menyatakan bahwa “Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak

waris”. Artinya bahwa walaupun suami kontrak meninggal pada saat kawin kontrak

masih berlangsung, istri kontrak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan

dari suaminya.19
17
Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris, Jurnal Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No.
1, Februari 2020, hlm. 738.
18
Andreas Resa Ari Krisharyanto, AKIBAT HUKUM KAWIN KONTRAK TERHADAP KEDUDUKAN ISTRI,
ANAK, DAN HARTA KEKAYAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM,Jurnal Krisna Law Volume 1,
Nomor 3, 2019, 7-16
19
Ibid.
Di dalam sistem hukum di Indonesia keinginan istri kontrak untuk mewarisi harta

suami kontraknya tidak dapat dimintakan secara hukum. Hal ini dikarenakan secara

hukum kawin kontrak tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sehingga

akibatnya:20

a. Istri tidak dianggap istri sah;

b. Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika dia meninggal

dunia; dan

c. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara

hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.Adanya kenyataan yang demikian

sama sekali tidak dapat diprotes oleh pihak istri ataupun diajukan ke depan

pengadilan.

Hal ini dikarenakan status perkawinan yang mereka lakukan tidak diakui dalam

sistem hukum di Indonesia. Selain itu dari awal istri kontrak juga menyadari

konsekuensi dari perkawinan kontrak yang mereka lakukan akan membuat dia tidak

memiliki hak sebagaimana perkawinan pada umumnya. Kompilasi Hukum Islam BAB XIV

Pasal 99 yang berbunyi bahwa:

“Anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b.

Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya”

20
Ratna Bataramurti, “Perlindungan Hukum Bagi Wanita”
Dalam perkawinan kontrak apabila berdasar dengan hal diatas, apabila terlahir seorang anak

dari hasil perkawinan kontrak tersebut maka anak tersebut merupakan anak luar kawin, karena

kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Singkatnya, kawin kontrak yang merupakan ikatan perkawinan tanpa legalitas dan tidak

memiliki kepastian hukum, menimbulkan dampak negatif terutama kepada wanita dan anak

yang dilahirkan akibat dari perkawinan kontrak tersebut.

BAB II

KESIMPULAN
A. Simpulan

,
Kawin kontrak merupakan perkawinan yang tidak diperbolehkan dalam agama islam.

Selain dapat merugikan perempuan sebagai isteri. Kawin kontrak juga dapat merugikan

kedudukan anak hasil dari perkawinan tersebut. Oleh karena itu, kawin kontrak bukan

merupakan perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan bukan karena tujuan

mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia

melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan ekonomi atau

biologis semata.

Anak dari hasil perkawinan kontrak terlahir tersebut merupakan anak luar kawin, karena

kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Aziz Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV
Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam
DEPDIKBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Fuad Mohd. Fahruddin. Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam
Husaini bin Muhammad al-Damaghany. Kamus al-Qur’an an Ishah al-Wujuh wa al-Nazhair fi
al-Qur’an al-Karim
Mardani, Hukum Perkawinan Islam
Ruway ibn Rajih al-Ruhaili. 1994. Alih bahasa Abbas M.B. Fiqh Umar Ibn Khattab Muwasinan
bi Fiqh ashuri al-Mujtahidin
Quraish Shihab, Perempuan : Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Biasa
dari Bias Lama Sampai Bias Baru

Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974

Jurnal:
Andreas Resa Ari Krisharyanto, Akibat Hukum Kawin Kontrak Terhadap Kedudukan Istri,
Anak, dan Harta Kekayaan dalam Perspektif Hukum Islam.
Muhyidin, Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum
Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris
Ratna Bataramurti, “Perlindungan Hukum Bagi Wanita”,
Sahfra, Nikah Kontrak Menurut Hukum Islam dan Realitas di Indonesia
Sri hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita dalam Masyarakat
Sumber Internet:
https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-
hukumnya.html

Anda mungkin juga menyukai