Anda di halaman 1dari 8

Metodologi Penelitian Hukum

“Kawin Kontrak”

Muhammad Rifki

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
BAB I

PENDAHULUAN

• Latar belakang

Perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dari siklus kehidupan manusia,

dimana dua orang dari jenis kelamin yang berbeda dipertemukan dengan syarat dan hukum-

hukum yang berlaku untuk satu tujuan yang sama, yakni membentuk sebuah keluarga dalam

jangka waktu yang tidak terbatas dan berlaku seumur hidup. Umumnya perkawinan

dilatarbelakangi adanya perasaan saling mencintai satu sama lain. Rasa cinta inilah yang

kemudian mendorong seseorang untuk berkomitmen menuju mahligai kehidupan rumah

tangga. Selain itu, kematangan secara fisik dan psikis juga memegang peranan yang penting

dalam membentuk sebuah keluarga.

Perkawinan dirasa sebagai momentum yang sakral dan istimewa, karena umumnya

pernikahan hanya sekali seumur hidup. Hal ini berarti bahwa perkawinan bersifat kekal tanpa

mengenal batas waktu. Tak heran jika sebagian besar orang mengadakan pesta yang megah

untuk prosesi perkawinannya, bahkan rela mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk

prosesi yang hanya berlangsung dalam hitungan jam. Melihat realita tersebut, perkawinan

dianggap hal yang sangat penting dan bersejarah dalam fase perkembangan hidup manusia.

Mengingat pentingnya masalah perkawinan, maka seluk beluk mengenai perkawinan telah

diatur sedemikian rupa baik dalam hukum negara, agama dan norma masyarakat. Indonesia

sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan norma masyarakat tentunya

sangat kritis dalam menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Hal tersebut dituangkan

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975,

pelaksanaan perkawinan merupakan momentum yang penting dan harus dilestarikan, maka

selain perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan masing- masing agama dan

kepercayaannya, perkawinan hendaklah dicatatkan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat: “ (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.” (2) “ Tiap-Tiap perkawinan

dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.” Namun meskipun telah ada peraturan

mengenai hukum dan syarat melakukan perkawinan baik secara agama maupun pemerintahan,

masih saja ada individu yang melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat tersebut.

Salah satu bentuk perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat dan hukum yang berlaku adalah

kawin kontrak. Kawin kontrak dalam Islam disebut mut‟ah yang secara etimologis memiliki

pengertian “kenikmatan dan kesenangan”, jadi tujuan dari perkawinan tersebut hanya untuk

memperoleh kesenangan seksual, di lain pihak menurut syara‟ mut‟ah adalah orang laki-laki

mengawini wanita dengan imbalan harta (uang) dengan batas waktu tertentu. Dalam

perkawinan mut‟ah, masa perkawinan akan berakhir dengan tanpa adanya perceraian dan tidak

ada kewajiban bagi laki- laki untuk memberi nafkah, tempat tinggal serta kewajiban lainnya.

Hal tersebut tentunya sangat merugikan kaum perempuan dan keturunannya. Karena itulah

kawin kontrak tidak diperbolehkan baik menurut hukum agama maupun hukum negara.

Sejarah adanya kawin kontrak telah berlangsung sejak jama Rasulullah. Pada saat itu Islam

mewajibkan kepada kaum laki-laki untuk berjihad, kaum laki- laki merasa sangat berat

meninggalkan istri mereka dan merasa berat jauh dari kaum wanita, diantara pengikut rasul

dalam berjihad ada yang bertanya kepada rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Hadist

Mas‟ud yang artinya :“kami ikut berperang dengan Rasulullah dan istri-istri kami tidak ada

disamping kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka

Rasulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanna kepada kami untuk

menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan”. (HR. Bukhari

Muslim). Rasulullah kemudian mengharamkan kawin kontrak Hal ini sesuai dengan yang

diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam suatu lafadz disebutkan sabda Rasulullah “Wahai

manusia! Saya pernah mengizinkan kamu kawin mut‟ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa
Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”Mengacu pada hadist diatas, meskipun

Rasulullah pada akhirnya telah mengharamkan kawin kontrak, namun masih terdapat

keragaman hukum mengenai kawin kontrak. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat

antara para ulama dengan para syi‟ah, diantaranya perbedaan antara Ulama Ahlu Sunnah

dengan syi‟ah Imamiyah, yang menurut Jumhur Ulama Ahlu Sunnah, dinyatakan bahwa

kebolehan kawin kontrak sebenarnya sudah dicabut, yang mengandung pengertian bahwa

sekarang hukumnya haram, akan tetapi menurut pandangan kaum syiah menyatakan

kebolehannya melakukan kawin kontrak karena dari dulu sudah merupakan ijma‟ ulama dan

telah diyakini kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut larangannya untuk kawin

kontrak masih diragukan, karena menurut ulama syi‟ah tidak ada sesuatu yang meyakinkan

yang tidak dapat dicabut, dan dinyatakan pula tidak ada hadist nabi shahih yang mencabut

kebolehan untuk melakukan kawin kontrak. Para ulama syi‟ah mendapatkan kesulitan ketika

ingin menjustifikasi kawin kontrak karena hal ini ditolak ulama Sunni sebab nabi dan khalifah

Abu Bakar tidak membenarkan hal tersebut. Oleh karena itu, justifikasi kawin kontrak

didasarkan pada kebutuhan seksual laki-laki yang tidak terpenuhi dan untuk mencegah

terjadinya praktek prostitusi. Hal ini didukung oleh Sayed Husein Nasr dengan pernyataan

sebagai berikut : “Islam adalah agama universal dan memperhitungkan seluruh aspek

kehidupan umat manusia. Melihat kenyataan bahwa perkawinan permanen tidak memberikan

kepuasan seksual bagi laki-laki tertentu dan praktek perzinahan yang menurut Islam merupakan

racun yang mematikan, merusak tatanan dan kesucian kehidupan manusia, Islam telah

membolehkan kawin kontrak dengan syarat-syarat tertentu untuk menghindari terjadinya

praktek perzinahan dan prostitusi serta perbuatan dosa dan kerusakan” Thabathaba‟I dan Nasr

(dalam Sadik, 2005:140). Pendapat diatas menyebutkan bahwa alasan diperbolehkannya

melakukan kawin kontrak sebenarnya adalah untuk menghindari praktik perzinahan, namun

semakin berkembangnya kebudayaan, praktik kawin kontrak justru disalahgunakan hingga


memicu terjadinya prostitusi. Disamping itu, kawin kontrak dianggap merugikan kaum wanita

karena tidak ada hukum yang mengatur secara tegas mengenai keturunan, perceraian, dan janji

palsu. Hal inilah yang kemudian banyak menimbulkan konflik. Pertama, istri kontrak harus

menuruti kontrak untuk tidak menolak berhubungan seksual dengan suaminya, tetapi ia juga

dibebani dengan tanggung jawab untuk mencegah kehamilannya. Kedua, suami mempunyai

wewenang untuk menolak sebagai ayah jika kawin kontrak menghasilkan kehamilan meski

tanpa adanya talak. Tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku wanita.

Salah satunya adalah dampak psikologis yang terutama dirasakan oleh pelaku kawin kontrak

menjadi janda dengan anak tetapi tanpa ada suami yang jelas, sehingga harus menanggung

malu, meratapi nasib dan merelakan sang suami pulang ke negara asal saat kawin kontrak

berakhir (Haryono, 2011:3). Melihat banyaknya sisi negatif praktik kawin kontrak bagi wanita,

hal tersebut tidak lantas membuat praktek kawin kontrak di hentikan. Di Lebanon, jumlah

perkawinan kontrak telah meningkat sejak perang dengan Israel pada 2006, terutama di pusat

Hisbullah seperti Beirut Selatan. Meski para pimpinan Hisbullah sendiri tidak diizinkan untuk

melakukan praktik kawin kontrak, namun praktik kawin kontrak oleh Hisbullah telah

berkembang lepas dari kepentingan prajurit yang diijinkan untuk melakukan kawin kontrak,

hal itu terlihat masuk akal dan bahkan merupakan syarat untuk membentuk pertahanan prajurit

yang kuat (Kara, 2011:25). Senada dengan praktek kawin kontrak di Lebanon, hukum di Iran

mengijinkan perkawinan kontrak yang disebut sigheh, tetapi harus dalam tempo waktu yang

jelas. Perkawinan kontrak telah menjadi topik perdebatan tidak hanya diantara pembuat UU di

Iran tapi juga bagi para feminis Iran (Moghadam, 2004 : 5). Kontras dengan perdebatan

mengenai kawin kontrak di Lebanon maupun Iran, legislator di Meksiko justru mengajukan

lisensi kawin kontrak dengan tujuan mengurangi tingkat perceraian. UU ini akan membuat

pasangan yang tidak bahagia dengan pernikahan mereka dapat mengakhiri pernikahan tanpa

proses perceraian, yang berarti akan semakin sedikit rasa bersalah karena kegagalan pernikahan
mereka atau karena melanggar janji pernikahan. Namun meski demikian hal ini masih menjadi

kontroversi karena dinilai banyak memberikan kerugian disamping mengurangi

tingkat perceraian (www.scienceofrelationships.com)

Tidak jauh berbeda dengan praktek kawin kontrak di Lebanon dan Iran. Di Indonesia,

praktek kawin kontrak bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan. Praktek tersebut biasanya

dilakukan oleh wanita pribumi dengan orang asing. Masyarakat menilai bahwa kawin kontrak

dimaknai sebagai upaya melegalkan bentuk perzinahan, perselingkuhan, dan upaya

melepaskan diri dari tekanan kemiskinan. Akan tetapi seringkali terjadi kawin kontrak ini

dilakukan dengan alasan ekonomi, yaitu perempuan yang melakukan kawin kontrak berharap

mendapatkan perbaikan kesejahteraan setelah melakukan kawin kontrak. Hal ini dikarenakan

perempuan yang melakukan kawin kontrak biasanya mendapatkansejumlah materi atas

kesanggupannya menjadi isteri kontrak. Bentuk materi yang diberikan bermacam-macam,

dapat berupa uang, rumah, perhiasan, mobil dan lain-lain.Menyadari bahwa kawin kontrak

dirasa lebih banyak membawa dampak negatif daripada dampak positifnya, kini Indonesia

telah tegas melarang adanya perkawinan kontrak. Pemerintah kini telah menyiapkan draft

Rancangan Undang- Undang Peradilan Agama tentang Perkawinan yang mengatur nikah siri,

kawin kontrak, serta poligami. Hal ini dimaksudkan dengan adanya Rancangan Undang-

Undang Peradilan Agama tentang pernikahan dapat melindungi para istri dan anak-anak hasil

nikah siri. “Peraturan tersebut dibuat agar di satu sisi masyarakat tidak berzinah dan di sisi lain

supaya perempuan dan anak terlindungi,” kata direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam

Departemen Agama (www.liputan 6.com ). Susunan RUU tersebut adalah pada pasal 143

misalnya disebutkan pelaku pernikahan siri bisa di denda maksimal Rp 6 juta atau kurungan

maksimal enam bulan. Kemudian nikah mut‟ah atau kawin kontrak diancam pidana maksimal

tiga tahun dan perkawinannya batal demi hukum. Sementara bagi para lelaki yang ingin

berpoligami atau menikahi istri kedua, ketiga atau keempat, bukan saja harus mendapatkan izin
dari isteri pertama, tapi izin tersebut harus disahkan di pengadilan. Sebab jika tidak pelaku akan

di denda maksimal Rp 6 juta atau kurungan maksimal enam bulan.

Selain itu, PB NU dan Komisi Fatwa MUI pun menyatakan bahwa kawin kontrak dalam

hukum Islam haram dilakukan karena diindikasikan sebagai pelacuran atau perdagangan

manusia terselubung yang mencari pembenaran. Dengan demikian berdasarkan kajian PBNU,

kawin kontrak dikategorikan sebagai bagian dari perdagangan manusia atau pelacuran

terselubung dan istilah kawin kontrak digunakan hanya bertujuan agar tidak dianggap asusila

saja (Syafrudin,2008:138).

Mengacu pada draft Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama tentang Perkawinan

yang mengatur nikah siri, kawin kontrak dan poligami, serta pernyataan dari PB NU dan

Komisi Fatwa MUI yang mengharamkan praktek kawin kontrak, hal tersebut tidak cukup

dihiraukan oleh sebagian masyarakat. Meskipun dilakukan secara terselubung, namun tetap

saja hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Perkawinan kontrak di Indonesia

terjadi di beberapa daerah tertentu, selain di Bitung dan Pasuruan, praktek tersebut juga banyak

terjadi di daerah Cisarua, Bogor.

Di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Sekitar Juni-Agustus, atau pada musim Arab, sebutan

masyarakat setempat, banyak turis asal Timur Tengah datang berlibur. Mereka nikah kontrak

dengan perempuan Cisarua atau daerah sekitarnya, seperti Cianjur dan Sukabumi. Tapi di sini

tidak ditemukan data pasti berapa jumlahnya, juga kapan “kebiasaan” ini dimulai.

Kawin kontrak menjadi satu-satunya pilihan bagi para turis Arab (Timur Tengah) yang

datang ke kawasan puncak. Mereka beranggapan daripada melakukan zinah, lebih baik

melakukan nikah, baik secara resmi maupun nikah yang tidak resmi (kawin kontrak). Para

wanita yang dijadikan sebagai pasangan kawin kontrak ternyata bukan wanita yang berasal dari

daerah tersebut, melainkan mereka yang berasal dari luar Jawa Barat dan setelah mereka
melakukan kawin kontrak,pasangan tersebut menjadikan kawasan Cisarua sebagai tempat

untuk

menetap atau menghabiskan waktu liburan orang Arab tersebut (www. Kompas.com).

Anda mungkin juga menyukai