PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Membina rumah tangga yang kekal bukan perkara yang mudah, suami istri
sebelumya harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang nilai, norma
dan moral yang benar, harus siap dengan kemungkinan yang akan dihadapi
berupa rintangan yang dapat menyebabkan keretakkan dalam rumah tangga.
Tak jarang juga rumah tangga yang di bangun sejak awal di tengah perjalanan
mengalami perceraian yang di sebabkan berbagai hal.
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian
tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal hidup
bersama antara hidup seorang wanita yang diatur dalam hukum agama serta
peraturan perundang undangan dalam suatu negara. Sedangkan perceraian
adalah akhir dari kehidupan bersama suam istri tersebut. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang
masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit yang dibina dengan susah payah
tersebut berakhir dengan perceraian.
Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Melihat pasal
tersebut, dapat dipahami bahwa aturan perkawinan yang berlaku di Indonesia
mengatur bahwa setiap perceraian baik cerai talak (di ajukan oleh pihak suami)
maupun cerai gugat (di ajukan oleh istri) harus dilakukan di depan sidang
pengadilan dengan adanya alasan yang jelas (Tihami dan sohari sahari,2009).
Talak berasal dari kata “Itlaq”, yang artinya melepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Perceraian dalam bahasa
Indonesia dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak, yang memiliki arti
1
2
Pelaksanaan talak atau cerai dalam perspektif ulama klasik sangat bebas
dan tergantung kepada kehendak suami, sebab dialah yang memiliki hak cerai
dan tidak perlu dengan meminta pertimbangan isteri. Talak dapat dijatuhkan di
mana saja, kapan dan dalam kondisi apapun. Sedangkan Menurut Kompilasi
Hukum Islam, talak atau cerai hanya sah jika dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah upaya damai tidak dapat dicapai.
Perceraian lain halnya yang terjadi di sebagian masyarakat Nagari Guguak
Malalo kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar, berdasarkan survey
didapati beberapa kasus bahwa suaminya menceraikan istrinya di luar
pengadilan agama, karena terjadi berbagai permasalahan dan kedua belah pihak
sepakat untuk mengakhiri pernikahannya. Akan tetapi, kedua belah pihak ini
tidak melakukan perceraian yang sesuai dengan yang telah di atur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Beberapa tokoh masyarakat yang membenarkan fakta bahwa seringnya
terjadi perceraian di luar pengadilan agama yang tidak terdeteksi estimasinya.
setelah penulis melakukan pra penelitian terhadap beberapa tokoh masyarakat
yaitu bapak Drs Djahidin selaku guru pondok pesantren di Malalo dan juga
pensiunan Hakim Pengadilan Agama mengatakah bahwa kerap terjadi
perceraian di luar pengadilan agama di nagari Guguak Malalo. Menurut
pernyataan bapak Drs Djahidin bahwa ada pasangan yang konsultasi secara
langsung kepada bapak Drs Djahidin terkait perceraian yang telah di
langsungkan di luar pengadilan tersebut. Namun menurut bapak Drs Djahidin
mengatakan bahwa perceraian tersebut telah sah secara agama akan tetapi
masih tercatat sebagai suami istri secara administrasi negara. Selanjutnya
penulis mewawancarai bapak Jon Simamora S.Ag selaku penyuluh agama
kamenag kabupaten Tanah Datar mengatakan bahwa fenomena perceraian di
6
luar pengadilan agama sering terjadi di nagari guguak malalo. fenomena ini tidak
bisa di hitung berapa jumlahnya karena tidak adanya pencatatan secara
administrasi di pengadilan agama. namun menurut pernyataan bapak Jon
Simamora S.Ag mengatakan bahwa pelaku perceraian seringkali melakukan
konsultasi ke kantor KUA Batipuh Selatan untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi akibat melakukan perceraian di luar pengadilan agama tersebut.
Penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut apa yang menjadi faktor
penyebab terjadinya perceraian masyarakat Nagari Guguak Malalo kecamatan
Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar melakuka perceraian di luar
pengadilan. Dan penulis juga tertarik ingin mengetahui apa saja dampak yang di
rasakan oleh masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan
Kabupaten Tanah Datar yang melakukan perceraian di luar pengadilan?
Terutama yang berkaitan dengan pernikahan mereka berikut nya, apakah di
catat di KUA atau tidak. Karena mereka tidak mempunyai akta cerai dari
pengadilan agama, kemudian bagaimana proses pernikahan berikutnya?
Bagaimana hak-hak mereka setela melakukan perceraian di luar pengadilan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis tertarik mengkajinya
dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “Perceraian di luar Pengadilan
Agama (studi kasus Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan
Kabupaten Tanah Datar)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terkait masalah talak yang
terjadi di luar pengadilan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: “
BAGAIMANA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA (Studi Kasus Nagari
Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi
Sumatera Barat)?
7
thalak, khuluk, dan li‟an. Selain itu kitab fiqh msih memperkenalkan zhihar dan
ila’ sebagai bentuk perceraian, namun dalam KHI ketentuan ini tidak diatur. Hal
ini disebabkan pristiwa perceraian dengan cara ila’ atau zhihar tidak dikenal
dalam masyarakat Indonesia. Fiqh sebagai bentuk pemahaman hukum Islam
yang disusun oleh ulama dari Timur Tengah memasukkan ila’ dan zhihar sebagai
bentuk upaya menceraikan oleh suami terhadap isteri, karena budaya ini
mereka kenal dilingkungan masyarakat muslim Timur Tengan (budaya arab).
Perceraian dari aspek hukum formilnya terdapat perbedaan antara KHI dengan
kitab fiqh Kifayatul Akhyar. KHI hanya mengakui perceraian yang diproses di
depan sidang Pengadilan Agama, sedangkan fiqh dalam kitab di atas tidak
menyatakan adanya proses pengadilan dalam penjatuhan thalak. Perceraian
yang dilakukan oleh suami dengan menjatuhkan thalak kepada isterinya
dianggap sah dalam fiqh. Namun demikian fiqh imam mazhab tidak
menguraikan thalak harus melalalui proses peradilan. Hal ini bukan berarti
peroses perceraian pada saat sekarang ini yang paling tepat sesuai dengan
aturan yang terdapat dalam fiqh. Peroses perceraian melalui pengadilan
dianggap mempersempit hak suami menjatuhkan thalak dan mengakibatkan
biaya yang berat. Penetapan perceraian melalui proses persidangan didasarkan
pada kemaslahatan yaitu melindungi hak-hak perempuan.
Keempat jurnal Praktik Perceraian di Luar Pengadilan Agama Dalam
Perspektif Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sirahan Kec. Cluwak Kab.
Pati (2017). Masalah perceraian antara hukum Islam dengan hukum positif
memang agak berbeda, salah satunya dalam hukum Islam menurut satu
pendapat perceraian hanya perlu dipersaksikan saja sedangkan dalam hukum
positif perceraian harus disidangkan di Pengadilan Agama. Ketentuan ini
tertuang dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, Pasal 65
Undangundang No. 3 Tahun 2006 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
11
dijatuhkan oleh pihak suami. Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan
perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena tidak ada
kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau
suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua
belah pihak (Muzammil, 2019: 161).
Pertama, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa
talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang
akan datang dengan lafal yang khusus. Kedua, Mazhab Syafi’i, talak adalah
pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. Ketiga,
menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hu kum yang menyebabkan
kgugurnya kehalalan hubungan suami istri(Ghozali, 2012,192)
Perceraian menurut KHI Hal ini ditegaskan dalam pasal 115 KOMPILASI
HUKUM ISLAM yang isinya sebgai berikut: “perceraian hanya dapat dilakukan di
depan siding pengadilan setelah pengadilan yang tersebut mendamaikan kedua
belah pihak”. Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, Pasal 65
Undangundang No.3 Tahun 2006 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak(kompilasi Hukum Islam).
1.8 Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Studi ini menggunakan jenis penelitian penelitian lapangan (field research)
karena data- data yang diperoleh langsung dari kasus yang terjadi di Nagari
Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
2. Jenis Data.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif,
yaitu data yang penulis kumpulkan melalui penelitian yang di lakukan di
lapangan, sehingga penulis dapat memperoleh data sesuai dengan judul
13
penelitan yaitu Perceraian di Luar Pengadilan Agama studi kasus Nagari Guguak
Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
3. Sumber data.
Adapun sumber data yang digunakan dalam studi ini adalah Sumber data
primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari orang yang
bersangkutan, yaitu: tokoh adat dan alim ulama serta para pihak pelaku
perceraian di luar pengadilan agama di Nagari Guguak Malalo Kecamatan
Batipuh Selatan. Selanjutnya Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder,
yaitu data penunjang setelah data primer. Seperti buku-buku tentang hukum
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan undang-undang perkawinan.
4. Lokasi.
Penelitian ini dilakukan di Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh
Selatan Kabupaten Tanah Datar.
5. Teknik Pengumpulan Data.
Tentang teknik pengumpulan data, studi ini menggunakan teknik
wawancara yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan, yang mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan dari informan (Cholid
Narbuko 2009, 83). Apabila wawancara bertujuan untuk mendapatkan
keterangan atau untuk keperluan informasi, maka individu sebagai pelaku yang
menjadi sasaran wawancara dan sebagai informan (Burhan Ashofa 1996, 97).
Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian Perceraian di Luar Pengadilan Agama Studi
Kasus Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar
yaitu tokoh agama dan para pihak pelaku perceraian di luar pengadilan agama di
Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
14
Selain itu informasi penting juga dapat diperoleh dari masyarakat setempat yang
tahu dengan hal tersebut.
b. Dokumentasi.
Teknik pengumpulan data ini memakai cara dengan mengumpulkan
dokumen-dokumen maupun data-data tertulis yang ada yang relevensi dengan
penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses akhir dalam penelitian kualitatif Teknik
atau metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah induktif
dengan menggunakan prosedur fenomenologis. Teknik dipilih karena penelitian
ini akan berawal dari hasil temuan khas yang ada di lapangan yang kemudian
diinterpretasikan secara umum. Menurut Creswell terdapat beberapa langkah
dalam menganalisis data sebagaimana berikut ini:
1) Mengolah data dan mengintrepetasikan data untuk dianalisis.
langkah ini melibatkan transkrip wawancara, menscaning materi, mengerti
data lapangan atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-
jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.
2) Membaca keseluruhan data.
Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan
umum tentang data yang diperoleh.
3) Menganalisis lebih detail dengan mengkoding data.
Koding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi
segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.
a) Menerapkan proses koding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,
kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.
b) Menunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan
kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.
c) Menginterpretasi atau memaknai data (Creswell 2010, 274).