Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Membina rumah tangga yang kekal bukan perkara yang mudah, suami istri
sebelumya harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang nilai, norma
dan moral yang benar, harus siap dengan kemungkinan yang akan dihadapi
berupa rintangan yang dapat menyebabkan keretakkan dalam rumah tangga.
Tak jarang juga rumah tangga yang di bangun sejak awal di tengah perjalanan
mengalami perceraian yang di sebabkan berbagai hal.
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian
tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal hidup
bersama antara hidup seorang wanita yang diatur dalam hukum agama serta
peraturan perundang undangan dalam suatu negara. Sedangkan perceraian
adalah akhir dari kehidupan bersama suam istri tersebut. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang
masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit yang dibina dengan susah payah
tersebut berakhir dengan perceraian.
Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Melihat pasal
tersebut, dapat dipahami bahwa aturan perkawinan yang berlaku di Indonesia
mengatur bahwa setiap perceraian baik cerai talak (di ajukan oleh pihak suami)
maupun cerai gugat (di ajukan oleh istri) harus dilakukan di depan sidang
pengadilan dengan adanya alasan yang jelas (Tihami dan sohari sahari,2009).
Talak berasal dari kata “Itlaq”, yang artinya melepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah agama, talak artinya melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Perceraian dalam bahasa
Indonesia dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak, yang memiliki arti

1
2

bubarnya pernikahan. Sebagaimana hukum perkawinan, hukum perceraian


dalam islam juga seringkali kerap menimbulkn kesalah fahaman, seakan-akan
ajaran islam memberikan hak lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan.
Padahal, betapa hati-hatinya hokum islam dalam mengatur soal perceraian, dan
tidak salah kalau dikatakan bahwa tiada satu agama atau peraturan manusia
pun yang dapat menyamainya. Hak laki-laki dan perempuan begitu seimbang
sehingga mencerminkan rasa keadilan yang luhur (Muhamad,2011,255).
Menurut bahasa, at-talaq berasal dari kata al-itlaq yang berarti
melepaskan atau meninggalkan. Misalnya, ketika mengatakan “saya melepaskan
tawanan” berarti telah melepaskannya. Menurut istilah talak adalah melepaskan
ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut Al_Jaziry talak
adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan kata-kata terntentu(Abidin,1999,198).
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak ialah melepaskan tali akad nikah
dengan kata talak dan yang semacamnya. Menurut Al-Jaziry ialah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu. Menurut ubuku yang dikutip oleh Ibnu
Mas’ud dan Zainal Abidin talak adalah perbuatan halal yang dimurkai Allah
(Ghozali, 2012,192).
Menurut mazhab Syafi'i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafaz
talak atau yang semakna dengan itu. Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu
sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.
Perbedaan definisi ini,mengakibakan perbedaan akibat hukum, jika suami
menjatuhkan talak raj'i (talak satu atau dua) pada istrinya. Menurut mazhab
Hanafi, perceraian yang terjadi tidak membatalkan hubungan suami isteri secara
total dan hak-hak lainnya. Hubungan suami isteri terputus secara sempurna
apabila telah masa iddahnya. Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa bila suami
melakukan hubungan seksual dengan istrinya dalam masa iddah, perbuatan itu
3

dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki, berpendapat


bahwa jika perbuatan suami pada waktu menggauli isterinya disertai dengan
niat untuk rujuk, maka berarti rujuk. Berbeda dengan ulama Syafi'i yang
mengatakan bahwa suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan
istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah
pertanda rujuk. Menurut mazhab Syafii, rujuk harus dilakukan dengan
perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.
Pendapat mazhab Syafii ini tampak dianut oleh banyak masyarakat terutama di
Indonesia dan bahkan sudah dimasukkan dalam Kompilasi Hukum
Islam(Asmuni,2016,1).
Dari uraian-uraian terdahulu lafaz talak itu ada sarih (jelas) dan ada lafaz
kinayah (sindiran). Dilihat dari aspek sesuai tidaknya dengan sunah, talak dapat
dibagi menjadi talak sunni (sesuai dengan sunnah) dan talak bid’i (tidak sesuai
dengan sunnah Rasul. Dilihat dari aspek keberlakuannya, talak dapat dibagi
menjadi talak munjiz yaitu talak yang berlaku secara spontanitas dan talak
muallaq (dikaitkan dengan suatu peristiwa). Dalam pembahasan para ulama
klasik juga didapati bahwa talak boleh dilakukan dengan main-main atau
sungguhan, boleh langsung dan boleh diwakilkan, boleh melalui surat, boleh
juga dengan isyarat (Sayyid Sabiq, 208).
Cara menjatuhkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Suami yang akan menceraikan isterinya, harus membuat permohonan baik
lisan maupun tulisan kepada pihakn pengadilan Agama di tempat domisili
isterinya.
2. Permohoan tersebut harus dilengkapi dengan alasan-alasan cerai dan
suami meminta Pengadilan Agama agar menyidangkannya (pasal 129).
4

3. Permohonan tersebut dapat dikabulkan dan ditolah oleh pihak Pengadilan


Agama. Putusan Pengadilan Agama dimaksud dapat dilakukan upaya
hukum dengan banding atau kasasi ke Mahkamah Agung (pasal;30).
4. Permohonan suami untuk cerai, akan dipelajari oleh pihak Pengadilan
Agama selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
5. Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari Pengadilan Agama
memanggil pemohon dan isterinya untuk dimintai keterangan terkait
dengan permohonan cerai yang diajukan (pasal 31 ayat 1).
6. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak dan
ternyata cukup alasan untukmenjatuhkan talak serta yang bersangkutan
tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama
menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan
talak (pasal 31 ayat 2).
7. Pelaksanaan ikrar talak dilakanakan di depan sidang Pengadilan Agama
dan dihadiri oleh isteri atau kuasanya (pasal 31 ayat 3).
8. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam waktu 6 (enam) bulah
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak, hak
suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
Tegasnya, mereka tetap sebagai pasanagan suami isteri yang sah (pasal 31
ayat 4).
9. Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat
ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai
kedua dan ketiga masing- masing diberikan kepada suami isteri dan helai
keempat disimpan oleh Pengadilan Agama (pasal 31 ayat 4).
5

Pelaksanaan talak atau cerai dalam perspektif ulama klasik sangat bebas
dan tergantung kepada kehendak suami, sebab dialah yang memiliki hak cerai
dan tidak perlu dengan meminta pertimbangan isteri. Talak dapat dijatuhkan di
mana saja, kapan dan dalam kondisi apapun. Sedangkan Menurut Kompilasi
Hukum Islam, talak atau cerai hanya sah jika dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah upaya damai tidak dapat dicapai.
Perceraian lain halnya yang terjadi di sebagian masyarakat Nagari Guguak
Malalo kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar, berdasarkan survey
didapati beberapa kasus bahwa suaminya menceraikan istrinya di luar
pengadilan agama, karena terjadi berbagai permasalahan dan kedua belah pihak
sepakat untuk mengakhiri pernikahannya. Akan tetapi, kedua belah pihak ini
tidak melakukan perceraian yang sesuai dengan yang telah di atur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Beberapa tokoh masyarakat yang membenarkan fakta bahwa seringnya
terjadi perceraian di luar pengadilan agama yang tidak terdeteksi estimasinya.
setelah penulis melakukan pra penelitian terhadap beberapa tokoh masyarakat
yaitu bapak Drs Djahidin selaku guru pondok pesantren di Malalo dan juga
pensiunan Hakim Pengadilan Agama mengatakah bahwa kerap terjadi
perceraian di luar pengadilan agama di nagari Guguak Malalo. Menurut
pernyataan bapak Drs Djahidin bahwa ada pasangan yang konsultasi secara
langsung kepada bapak Drs Djahidin terkait perceraian yang telah di
langsungkan di luar pengadilan tersebut. Namun menurut bapak Drs Djahidin
mengatakan bahwa perceraian tersebut telah sah secara agama akan tetapi
masih tercatat sebagai suami istri secara administrasi negara. Selanjutnya
penulis mewawancarai bapak Jon Simamora S.Ag selaku penyuluh agama
kamenag kabupaten Tanah Datar mengatakan bahwa fenomena perceraian di
6

luar pengadilan agama sering terjadi di nagari guguak malalo. fenomena ini tidak
bisa di hitung berapa jumlahnya karena tidak adanya pencatatan secara
administrasi di pengadilan agama. namun menurut pernyataan bapak Jon
Simamora S.Ag mengatakan bahwa pelaku perceraian seringkali melakukan
konsultasi ke kantor KUA Batipuh Selatan untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi akibat melakukan perceraian di luar pengadilan agama tersebut.
Penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut apa yang menjadi faktor
penyebab terjadinya perceraian masyarakat Nagari Guguak Malalo kecamatan
Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar melakuka perceraian di luar
pengadilan. Dan penulis juga tertarik ingin mengetahui apa saja dampak yang di
rasakan oleh masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan
Kabupaten Tanah Datar yang melakukan perceraian di luar pengadilan?
Terutama yang berkaitan dengan pernikahan mereka berikut nya, apakah di
catat di KUA atau tidak. Karena mereka tidak mempunyai akta cerai dari
pengadilan agama, kemudian bagaimana proses pernikahan berikutnya?
Bagaimana hak-hak mereka setela melakukan perceraian di luar pengadilan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis tertarik mengkajinya
dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “Perceraian di luar Pengadilan
Agama (studi kasus Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan
Kabupaten Tanah Datar)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terkait masalah talak yang
terjadi di luar pengadilan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: “
BAGAIMANA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN AGAMA (Studi Kasus Nagari
Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi
Sumatera Barat)?
7

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis paparkan di atas, bisa di
temukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu:
1.3.1 Apa saja faktor yang menyebabkan masyarakat Nagari Guguak Malalo
Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar melakukan perceraian
di luar Pengadilan Agama?
1.3.2 Bagaimana proses perceraian di luar pengadilan agama yang di lakuan
masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan?
1.3.3 Apa Akibat Hukum bagi masyarakat Nagari Guguak Malalo kecamatan
Batipuah Selatan Kabupaten Tanah Datar yang melakukan perceraian Di
luar Pengadilan Agama?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Untuk mengetahui Apa saja faktor yang menyebabkan masyarakat Nagari
Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar
melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama.
1.4.2 Untuk mengetahui proses perceraian di luar Pengadilan Agama yang di
lakuan masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan.
1.4.3 Apa saja Akibat Hukum bagi masyarakat Nagari Guguak Malalo kecamatan
Batipuah Selatan Kabupaten Tanah Datar yang melakukan perceraian Di
luar Pengadilan Agama.
1.5 Signifikansi Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menambah wawasan dan bermanfaat. Adapun
manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis Bagaimana proses perceraian di luar pengadilan agama yang
dilakuan masyarakat Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan.
2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
kepada masyarakat Nagari Guguk Malalo terhadap pentingnya pencatatan
perceraian di pengadilan.
8

1.6 Studi Literatur


Penulis memaparkan studi literatur terdahulu untuk mendapat gambaran
terhadap hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang
pernah dilakukan penelitia sebelumnya yang membahas tentang tradisi-tradisi
dalam perkawinan agar tidak ada unsur persamaan atau pengulangan judul dan
materi secara mutlak:
Pertama, jurnal Al-Syakhsyiyah journal of Law and Family Studies, dengan
judul Talak di Luar Pengadilan Perspektif Fikih dan Hukum Positif, talak ialah
melepaskan ikatan pernikahan dan melepaskan ikatan perkawinan. Menurut
hukum fikih perceraian di angap jatuh hukumnya ketika suami mengucapkan
kata talak kepada istrinya baik secara jelas maupun kiasan. Sedangkan menurut
undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Muhsin,
2021:67).
Kedua, jurnal Asmuni, dengan judul Perceraian Dalam Perspektif Fikih
Klasik dan Kompilasi Hukum Islam, Sampai hari ini, masyarakat Islam di seluruh
dunia, meyakini bahwa akad nikah mempunyai makna yang sakral.
Pelaksanaannya dilakukan dalam suasana hikmat dan dalam satu majlis
pernikahan. Pelaksanaan akad nikah sangat formalistik dan verbalistik.
Pelaksanaan talak atau cerai dalam perspektif ulama klasik sangat bebas dan
tergantung kepada kehendak suami, sebab dialah yang memiliki hak cerai dan
tidak perlu dengan meminta pertimbangan isteri. Talak dapat dijatuhkan di
mana saja, kapan dan dalam kondisi apapun. Menurut Kompilasi Hukum Islam,
talak atau cerai hanya sah jika dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah upaya damai tidak dapat dicapai (Asmuni, 2016:1).
Ketiga, Jurnal El-Qanuny, dengan judul Perceraian Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Fiqih. Berdasarkan uraian dalam jurnal ini, dapat
9

disimpulkan bahwa perceraian melalui proses sidang pengadilan merupakan


ijtihad para ulama Indonesia yang didasarkan pada kemaslahatan yang harus
diwujudkan pada masa diterapkannya aturan tersebut. Perceraian semstinya
diproses melalui Pengadilan Agama agar perbuatan hukum ini dapat berjalan
lebih adil dan lebih sempurna.
Keempat, skripsi, dengan judul Perceraian di Luar Pengadilan. Berdasarkan
uraian dalam skripsi ini, dapat di simpulkan bahwa banyak nya terjadi kasus
perceraian di Desa Daon Kecamatan Rajeg Kabupaten Tangerang. Masyarakat
Desa Daon dalam melakukan perceraian hanya pergi ke rumah amil setempat,
ada juga yang disaksikan oleh kedua orang tuanya, bahkan perceraiannya tidak
disaksikan oleh siapapun, dan ada yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya.
b). Faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Daon melakukan perceraian di
luar Pengadilan yaitu: Pertama, tidak memiliki biaya, karena perceraian di
Pengadilan membutuhkan biaya. Kedua, mereka juga ada yang tidak tahu bahwa
perceraian harus di Pengadilan. Ketiga, tidak mengerti cara mengurus
perceraian di Pengadilan, dan keempat, malas karena proses perceraian di
Pengadilan lama. c). Dampak yang dialami masyarakat Desa Daon setelah
melakukan perceraian di luar Pengadilan yaitu, istri tidak mendapatkan nafkah
ketika waktu iddah dan tidak mendapatkan mut‟ah berupa apapun dari
perceraiannya. Begitu juga, nafkah terhadap anak tidak dipenuhi oleh bapaknya.
Tidak hanya itu, ketika janda tersebut ingin menikah lagi, mereka menikah tidak
dapat melalui prosedur pencatatan di KUA karena tidak mempunyai akta cerai
dari Pengadilan. Dengan demikian, mereka melakukan perkawinan berikutnya
itu dengan cara sirri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa percerain dari segi hukum materilnya
tidak ada perbedaan antara KHI dengan fiqh Kifayatul Akhyar. Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menjelaskan perceraian dapat terjadi karena thalak, khuluk, dan
lian, dalam kitab fiqh tersebut juga menjelaskan perceraian dapat terjadi karena
10

thalak, khuluk, dan li‟an. Selain itu kitab fiqh msih memperkenalkan zhihar dan
ila’ sebagai bentuk perceraian, namun dalam KHI ketentuan ini tidak diatur. Hal
ini disebabkan pristiwa perceraian dengan cara ila’ atau zhihar tidak dikenal
dalam masyarakat Indonesia. Fiqh sebagai bentuk pemahaman hukum Islam
yang disusun oleh ulama dari Timur Tengah memasukkan ila’ dan zhihar sebagai
bentuk upaya menceraikan oleh suami terhadap isteri, karena budaya ini
mereka kenal dilingkungan masyarakat muslim Timur Tengan (budaya arab).
Perceraian dari aspek hukum formilnya terdapat perbedaan antara KHI dengan
kitab fiqh Kifayatul Akhyar. KHI hanya mengakui perceraian yang diproses di
depan sidang Pengadilan Agama, sedangkan fiqh dalam kitab di atas tidak
menyatakan adanya proses pengadilan dalam penjatuhan thalak. Perceraian
yang dilakukan oleh suami dengan menjatuhkan thalak kepada isterinya
dianggap sah dalam fiqh. Namun demikian fiqh imam mazhab tidak
menguraikan thalak harus melalalui proses peradilan. Hal ini bukan berarti
peroses perceraian pada saat sekarang ini yang paling tepat sesuai dengan
aturan yang terdapat dalam fiqh. Peroses perceraian melalui pengadilan
dianggap mempersempit hak suami menjatuhkan thalak dan mengakibatkan
biaya yang berat. Penetapan perceraian melalui proses persidangan didasarkan
pada kemaslahatan yaitu melindungi hak-hak perempuan.
Keempat jurnal Praktik Perceraian di Luar Pengadilan Agama Dalam
Perspektif Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Sirahan Kec. Cluwak Kab.
Pati (2017). Masalah perceraian antara hukum Islam dengan hukum positif
memang agak berbeda, salah satunya dalam hukum Islam menurut satu
pendapat perceraian hanya perlu dipersaksikan saja sedangkan dalam hukum
positif perceraian harus disidangkan di Pengadilan Agama. Ketentuan ini
tertuang dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, Pasal 65
Undangundang No. 3 Tahun 2006 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
11

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil


mendamaikan kedua belah pihak. Penelitian ini dilakukan di Desa Sirahan
Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati. penelitian ini menggunakan penelian
kualitatif yaitu dengan cara penelitian lapangan dengan langsung terjun ke
masyarakat sehingga diperoleh data yang jelas, tekhnik pengumpulan data,
observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini Berdasarkan analisis hukum
positif dan hukum Islam terhadap data hasil penelitian, dapat disimpulkan
bahwa perceraian di luar sidang lebih banyak mendatangkan kemafsadatan
dibanding kemaslahatannya. Karena dengan perceraian di luar sidang maka
pelaku perceraian tidak akan mendapatkan akta cerai dan hak-haknya terlantar.
Jadi, agar tidak terjadi suatu kemafsadatan maka harus adanya langkah
pencegahan dari kemafsadatan tersebut, yaitu dengan bercerai di muka sidang
Pengadilan (Majid, 2017: 1256).
Berdasarkan beberapa jurnal di atas, terdapat beberapa peredaan
terhadap peneliian penulis yatu latar belakang masyarakat, tempat kejadian dan
waktu kejadian terjadinya perceraian di luar pengadilan agama di nagari guguak
malalo kecamatan batipuh selatan kabupaten tanah datar.
1.7 Landasan Teori
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar
“cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk
melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah
dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”.
Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan
Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan
talaq dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum
berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang
12

dijatuhkan oleh pihak suami. Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan
perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena tidak ada
kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau
suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua
belah pihak (Muzammil, 2019: 161).
Pertama, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa
talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang
akan datang dengan lafal yang khusus. Kedua, Mazhab Syafi’i, talak adalah
pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. Ketiga,
menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hu kum yang menyebabkan
kgugurnya kehalalan hubungan suami istri(Ghozali, 2012,192)
Perceraian menurut KHI Hal ini ditegaskan dalam pasal 115 KOMPILASI
HUKUM ISLAM yang isinya sebgai berikut: “perceraian hanya dapat dilakukan di
depan siding pengadilan setelah pengadilan yang tersebut mendamaikan kedua
belah pihak”. Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974, Pasal 65
Undangundang No.3 Tahun 2006 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak(kompilasi Hukum Islam).
1.8 Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Studi ini menggunakan jenis penelitian penelitian lapangan (field research)
karena data- data yang diperoleh langsung dari kasus yang terjadi di Nagari
Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
2. Jenis Data.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif,
yaitu data yang penulis kumpulkan melalui penelitian yang di lakukan di
lapangan, sehingga penulis dapat memperoleh data sesuai dengan judul
13

penelitan yaitu Perceraian di Luar Pengadilan Agama studi kasus Nagari Guguak
Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
3. Sumber data.
Adapun sumber data yang digunakan dalam studi ini adalah Sumber data
primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari orang yang
bersangkutan, yaitu: tokoh adat dan alim ulama serta para pihak pelaku
perceraian di luar pengadilan agama di Nagari Guguak Malalo Kecamatan
Batipuh Selatan. Selanjutnya Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder,
yaitu data penunjang setelah data primer. Seperti buku-buku tentang hukum
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan undang-undang perkawinan.
4. Lokasi.
Penelitian ini dilakukan di Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh
Selatan Kabupaten Tanah Datar.
5. Teknik Pengumpulan Data.
Tentang teknik pengumpulan data, studi ini menggunakan teknik
wawancara yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan, yang mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara
langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan dari informan (Cholid
Narbuko 2009, 83). Apabila wawancara bertujuan untuk mendapatkan
keterangan atau untuk keperluan informasi, maka individu sebagai pelaku yang
menjadi sasaran wawancara dan sebagai informan (Burhan Ashofa 1996, 97).
Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian Perceraian di Luar Pengadilan Agama Studi
Kasus Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar
yaitu tokoh agama dan para pihak pelaku perceraian di luar pengadilan agama di
Nagari Guguak Malalo Kecamatan Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar.
14

Selain itu informasi penting juga dapat diperoleh dari masyarakat setempat yang
tahu dengan hal tersebut.
b. Dokumentasi.
Teknik pengumpulan data ini memakai cara dengan mengumpulkan
dokumen-dokumen maupun data-data tertulis yang ada yang relevensi dengan
penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses akhir dalam penelitian kualitatif Teknik
atau metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah induktif
dengan menggunakan prosedur fenomenologis. Teknik dipilih karena penelitian
ini akan berawal dari hasil temuan khas yang ada di lapangan yang kemudian
diinterpretasikan secara umum. Menurut Creswell terdapat beberapa langkah
dalam menganalisis data sebagaimana berikut ini:
1) Mengolah data dan mengintrepetasikan data untuk dianalisis.
langkah ini melibatkan transkrip wawancara, menscaning materi, mengerti
data lapangan atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-
jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.
2) Membaca keseluruhan data.
Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan
umum tentang data yang diperoleh.
3) Menganalisis lebih detail dengan mengkoding data.
Koding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi
segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.
a) Menerapkan proses koding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,
kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.
b) Menunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan
kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.
c) Menginterpretasi atau memaknai data (Creswell 2010, 274).

Anda mungkin juga menyukai