PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin yaitu agama yang menjadi
rahmat bagi seluruh alam mengatur tentang perkawinan dengan sangat teliti
yang mulia diantara makhluk Allah yang lain.1 Walaupun pada dasarnya
perkawinan itu disebut sebagai mitsaqon ghalidzan tetapi ada saat tertentu
dimana ikatan itu akan terlepas juga. Islam adalah agama yang realistis dengan
hal tersebut, karena pada dasarnya memang tidak ada satupun yang abadi
dalam dunia ini, termasuk juga perkawinan. Untuk itulah ada salah satu
gerbang yang boleh dibuka dan dimasuki oleh pasangan suami isteri yang
dipertahankan sedapat mungkin agar tidak terjadi perceraian. Oleh karena itu,
berlangsung. Namun apabila semua harapan dan kasih sayang telah musnah
1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Hlm. 1
dan perkawinan menjadi suatu yang membahayakan, maka perpisahan di
Seandainya Islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami isteri
dan tidak membolehkan mereka berceraia pada saat yang sangat kritis, niscaya
hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut, yang akan berakibat
Islam menyerahkan hak talak sepenuhnya kepada seorang suami. Hal ini
seorang isteri adalah laki-laki, maka hak talak tersebut juga melekat kepada
mejadi hak prerogratif laki-laki, sehingga bisa saja seorang suami bertindak
karena dua hal; pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian.
2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hlm. 145
3
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, terj. M. Abdul Ghaffar EM, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), Hlm. 205-206
4
Rahmat Hakim, Op.Cit., Hlm. 115
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Kamal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikihm UU No. 1 tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), Hlm. 214
mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Sedangkan menurut hukum Islam
yang disebut dengan talak adalah hak mutlak seorang suami, dan dia dapat
menggunakanya dimana saja dan kapan saja. Untuk itu tidak perlu memberi
tahu atau meminta izin kepada siapapun. Dalam pandangan fiqih perceraian
tidak perlu diatur oleh ketentuan publik.6 Pandangan yang demikian masih
menganggap bahwa aturan fikih klasik sebagai hukum Islam yang murni dan
bahwa pendapat tersebut sudah bersifat final, termasuk dalam aturan hukum
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), Hlm. 227-228
7
Norma hukum perkawinan merupakan norma yang setiap agama mempunyai aturan
masing-masing, sehingga menyulitkan adanya keseragaman aturan perkawinan. Walaupun
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan sebagai hukum perkawinan
yang bertaraf nasional, namun tidak menutup kepercayaan yang dianut oleh masinng-masing
warga negara, sebagaimana dsebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) undang-undang No. 1 tahun 1974
yang berbunyi: “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-msaing
agama dan keercayaanya itu”.
8
Saifudin Zuhri, Menempatkan Nilai-Nilai Fikih Islam dalam Proses Modernisasi dan
Perubahan Sosial, Studi tentang Teori al Tufi Mazhab Hanbali, Al-Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum
dan Kemanusiaan, Vol. 14, No. 2, 2014, Hlm. 167-187.
berasumsi bahwa ketika cerai talak tidak dilakukan di Pengadilan Agama
talak. Oleh karena itu terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ini.
atau dilakukan di depan hakim, namun ada pula yng longgar sekali, seperti
alasan sekecil apapun dan tanpa saksi, asalkan syarat dan rukun talak
terpenuhi.10
9
Banyak tokoh agama yang mengetahui mengenai peraturan tentang talak yang terdapat
dalam hukum positif, akan tetpi mereka masih beranggapan bahwa talak yang dilakukan diluar
Pengadilan Agama tetap jatuh talaknya. Karena dalam hal talak mereka masih perpedoman pada
aturan talak yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Lihat dalam Ulfatul Khasanah, Pandangan
Tokoh Agama Desa Jatiroo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak Mengenai Jatuhnya Ikrar
Talak Di Luar Sidang Pengadilan Agama, Skripsi, Universitas Islam Sultan Agung, 2019. Dalam
penelitian lain juga menyebutkan bahwa mayoritas kyai pondok pesantren berpendapat bahwa
talak yang dilakukan diluar pengadilan hukumnya adalah sah atau sudah dianggap jatuh. Karena
pada dasarnya hak talak ada ditangan suami, jadi ketika suami mengucapkan kalimat talak dan
sudah memenuhi syarat dan rukun meskipun tidak diucapkan di depan sidang pengadilan maka
talaknya tetap jatuh. Lihat dalam Rizki Dwi Nofayanti, Talak Di Luar Pengadilan Perspektif Kyai
Pondok Pesantren Kabupaten Kediri, Skripsi, IAIN Tulungagung, 2021. Achmad Abror dalam
penelitianya menyampaikan hasil yang sedikit berbeda. Dalam kesimpulan penelitianya Achmad
Abror menyebutkan bahwa pendapat mayoritas tokoh masyarakat tentang talak diluat sidang
pengadilan adalah sah, karena dalam hukum agama dan kitab-kitab fiqih menyatakan demikian.
Namun mereka juga berpendapat bahwa perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan
agama juga sah, karena aturan-aturan yang dibuat juga mengambil dari kitab-kitab fiqih dan
kesepakatan para ulama. Dari ketiga hasil kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam
di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok, seperti apa yang telah dijelaskan oleh Amir Syarifuddin,
Pertama, tidak mengakui Undang-undang perkawinan sebagai aturan pengganti fikih, sehingga
mereka tetap patuh menjalakan aturan fikih klasik. Kedua, mengakui Undang-undang perkawinan
sebagai aturan yang harus dipatuhi dalam kedudukan mereka sebagai warga negara dan dalam
waktu yang sama tetap mengakui dan menjalankan aturan fikih. Ketiga, menganggap UUP sebagai
peraturan perundang-undangan yang sah dalam mengatur urusan perkawinan umat Islam
Indonesia. Kelompok ini memandang materi UUP sebagai fikih perkawinan Indonesia. Lihat
dalam Amir Syarifuddin, Meretas Kekuatan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Ciputat Pree, 2002), Hlm. 49-51
10
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), Hlm. 1201
menjatuhkan talak di luar pengadilan adalah perceraian yang telah memnuhi
syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa
undang.11
pihak”.
belah pihak”. Berkenaan dengan hal tersebut dalam Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan hal yang sama
Masalah talak dalam hukum Islam dengan hukum positif yang berlaku di
Islam adalah ketika terpenuhinya rukun dan syarat talak, maka secara
fiqhiyyah talak tersebut sudah sah. Akan tetapi secara yuridis belum dikatan
11
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982), Hlm. 49
Perkawinan menyatakan bahwa perceraian dikatakan sah secara yuridis
harus memiliki kekuatan hukum yang tetap. Dengana danya perceraian yang
kekuatan hukum.
dan melihat lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul “Eklektisisme
undangan di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
berikut:
Perundang-undangan di Indonesia?
undangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan talak dalam perspektif Hukum
keabsahan talak dan akibat hukum talak dalam hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
undangan di Indonesia.
1. Eklektisisme Hukum
cara dalam memilih yang terbaik dari semua sistem hukum yang ada di
Indoensia.
2. Talak
3. Peraturan Perundang-undangan
saat ini untuk masyarakat dalam suatu wilayah dalam suatu waktu
ini adalah hukum positif yang mengatur tentang tentang hukum keluarga,
12
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan yang
mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Lihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 129.
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yohyakarta: Liberty,
2007) Hlm. 127-128
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991
4. Hukum Islam
F. Telaah Pustaka
Setelah melakukan kajian dari berbagai karya tulis ilmiah, berupa jurnal,
skripsi, thesis dan karya tulis ilmiah lain, penulis menemukan beberapa karya
bahwa tokoh agama di desa Jatirogo masih menggunakan kitab fikih sebagai
pedoman dalam hal talak, sehingga mereka tetap menganggap talak yang
14
Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hlm. 12
15
Ulfatul Khasanah, Pandangan Tokoh Agama Desa Jatirogo Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak Mengenai Jatuhnya Ikrar Talak Di Luar Sidang Pengadilan Agama, (Skripsi
S1Fakultas Agama Islam, Jurusan Syariah, Program Studi Ahwal Asy-Syakhsiyyah
terkait tentang objek penelitian yang diambil. Objek penelitian yang akan diteliti
penulis adalah aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan
pengadilan agama yang ditinjau dari filsafat hukum, antara lain: Pertama,
tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam hukum Islam.
aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam hukum
terbatasnya cerai talak dibanding cerai gugat. Talak dalam norma fikih
menjadi domain kuasa suami yang hampir mutlak, kini dalam ppraktiknya
aktor hukum, baik suami, isteri ataupun hakim sehingga berdampak pada
limitasi talak, baik dari segi kuantitas perkara maupun kuasa suami dalam
17
Miti Yarmunida dan Busra Febriyani, Kedudukan Talak di Pengadilan Agama
Perspektif Siyasah Syar’iyah, (Al-Istimbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 4, No. 2, 2019)
penyelesaian cerai talak.18 Yang menjadi perbedaan dengan skripsi penulis
Menjelaskan bahwa cerai tanpa putusan pengadilan itu tidak sah, sesuai
penulis adalah bahwa dalam penelitian ini peneliti hanya mencari jawaban
18
Mohamad Abdun Nasir, Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam: Cerai Talak di
Pengadilan Agama di Lombok, (Al-Ahwal, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018)
19
Hasyim Fahmi, Keabsahan Talak Dalam Perspektif Hukum Positif dan Fiqh
Munakahat (Konflik Norma), ( Skripsi S1 Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum, Program Studi
Hukum Perdata Murni, 2016)
tetang aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
dengan pembahasan.
2. Pendekatan Penelitian
3. Sumber Data
tentang talak seperti QS. ath-Thalaq ayat 1, QS. Al-Baqarah ayat 229,
talak dan akibat hukum talak dalam hukum Islam maupun dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
23
Yakni jenis penelitian yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-
buku atau peraturan yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Lihat Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rieneka Cipta, cet-13, 2006), Hlm. 11
24
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dinamakan data primer ( atau data dasar); sedangkan yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang mencakup dua diantaranya adalah: penelitian
terhadap sejarah hukum dan perbandingan hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, cet. 15, 2013),
Hlm.12-14
5. Analisis Data
objek yang akan diteliti yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan
terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.25 Dalam skripsi ini analisis data
H. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab secara
sistematis, yang setiap babnya terdiri dari beberapa sub bab yang tersusun
sebagai berikut:
latar belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis menuliskan
25
Ibrahim Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, (Malang: Banyu Media, 2006),
Hlm.393
Pada bab kedua, dikemukan tinjauan teoritis tentang tinjauan umum
hukum.
Indonesia..
Pada bab kelima, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian