Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin yaitu agama yang menjadi

rahmat bagi seluruh alam mengatur tentang perkawinan dengan sangat teliti

dan terperinci. Islam mengatur perkawinan dengan sedemikian rupa untuk

membawa umat manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukanya

yang mulia diantara makhluk Allah yang lain.1 Walaupun pada dasarnya

perkawinan itu disebut sebagai mitsaqon ghalidzan tetapi ada saat tertentu

dimana ikatan itu akan terlepas juga. Islam adalah agama yang realistis dengan

hal tersebut, karena pada dasarnya memang tidak ada satupun yang abadi

dalam dunia ini, termasuk juga perkawinan. Untuk itulah ada salah satu

gerbang yang boleh dibuka dan dimasuki oleh pasangan suami isteri yang

telah diujung kehancuran hubungan rumah tangganya yaitu perceraian, yang

dalam Islam dikenal dengan Istilah talaq.

Abu A’la al-Maududi sebagaimana dikutip oleh Rahmat Hakim dalam

bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam mengatakan, salah satu

prinsip hukum perkawinan Islam adalah bahwa perkawinan itu harus

dipertahankan sedapat mungkin agar tidak terjadi perceraian. Oleh karena itu,

segala usaha harus dilakukan agar persekutuan tersebut dapat terus

berlangsung. Namun apabila semua harapan dan kasih sayang telah musnah

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), Hlm. 1
dan perkawinan menjadi suatu yang membahayakan, maka perpisahan di

antara mereka boleh dilakukan.2

Seandainya Islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami isteri

dan tidak membolehkan mereka berceraia pada saat yang sangat kritis, niscaya

hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut, yang akan berakibat

buruk terhadap anak-anak dan bahkan akan mempersulit kehidupan mereka.

Karena jika pasangan suami isteri mengalami kegoncangan, maka anak-anak

mereka pasti menderita dan menjadi korban.3

Islam menyerahkan hak talak sepenuhnya kepada seorang suami. Hal ini

dikarenakan yang memiliki hak untuk menikahi perempuan untuk dijadikan

seorang isteri adalah laki-laki, maka hak talak tersebut juga melekat kepada

seorang suami.4 Jika diamati aturan-aturan fikih menganai talak seolah-olah

memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada laki-laki. Seolah-olah talak

mejadi hak prerogratif laki-laki, sehingga bisa saja seorang suami bertindak

otoriter, misalnya menjatuhkan talak secara sepihak.5

Berkenaan dengan putusnya sebuah perkawinan, pada dasarnya terjadi

karena dua hal; pertama karena kematian, dan kedua karena perceraian.

Dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian, kemudian terdapat

ketentuan pandangan di Indonesia dan beberapa Negra Muslim yang

2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hlm. 145
3
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, terj. M. Abdul Ghaffar EM, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), Hlm. 205-206
4
Rahmat Hakim, Op.Cit., Hlm. 115
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Kamal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikihm UU No. 1 tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), Hlm. 214
mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Sedangkan menurut hukum Islam

menyerahkan hak cerai sepenuhnya terhadap suami.

Talak dalam hukum Islam memang tidak diharuskan melalui Pengadilan.

Ketentuan perceraian melalui persidangan di pengadilan tidak diatur dalam

fiqih mazhab siapapun, dengan pertimbangan bahwa perceraian khususnya

yang disebut dengan talak adalah hak mutlak seorang suami, dan dia dapat

menggunakanya dimana saja dan kapan saja. Untuk itu tidak perlu memberi

tahu atau meminta izin kepada siapapun. Dalam pandangan fiqih perceraian

sebagaimana keadaanya perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya

tidak perlu diatur oleh ketentuan publik.6 Pandangan yang demikian masih

diyakini oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia, mereka masih

menganggap bahwa aturan fikih klasik sebagai hukum Islam yang murni dan

sulit tergantikan.7 Hal ini disebabkan karena kebanyakan masyarakat Islam di

Indonesia yang terpolarisasi dengan pemahaman hukum yang diadopsi dari

pandangan para imam madzhab dalam fikih,8 dan mereka menganggap

bahwa pendapat tersebut sudah bersifat final, termasuk dalam aturan hukum

tentang ikrar talak. Praktisnya di masayarakat Islam masih ada yang

6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), Hlm. 227-228
7
Norma hukum perkawinan merupakan norma yang setiap agama mempunyai aturan
masing-masing, sehingga menyulitkan adanya keseragaman aturan perkawinan. Walaupun
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan sebagai hukum perkawinan
yang bertaraf nasional, namun tidak menutup kepercayaan yang dianut oleh masinng-masing
warga negara, sebagaimana dsebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) undang-undang No. 1 tahun 1974
yang berbunyi: “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-msaing
agama dan keercayaanya itu”.
8
Saifudin Zuhri, Menempatkan Nilai-Nilai Fikih Islam dalam Proses Modernisasi dan
Perubahan Sosial, Studi tentang Teori al Tufi Mazhab Hanbali, Al-Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum
dan Kemanusiaan, Vol. 14, No. 2, 2014, Hlm. 167-187.
berasumsi bahwa ketika cerai talak tidak dilakukan di Pengadilan Agama

sudah dianggap sah dan perkawinan sudah putus.9

Al-Qur’an dan Hadits tidak mengatur secara rinci tata ca menjatuhkan

talak. Oleh karena itu terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ini.

Terdapat ulama yang memberikan aturan ketat, seperti harus dipersaksiskan

atau dilakukan di depan hakim, namun ada pula yng longgar sekali, seperti

pendapat yang mengatakan bahwa suami bisa menjatuhkan talak dengn

alasan sekecil apapun dan tanpa saksi, asalkan syarat dan rukun talak

terpenuhi.10

Menjatuhkan talak di luar pengadilan hukumnya sah menurut agama, akan

tetapi tidak sah menurut Undang-undang. Yang dimaksud dengan

9
Banyak tokoh agama yang mengetahui mengenai peraturan tentang talak yang terdapat
dalam hukum positif, akan tetpi mereka masih beranggapan bahwa talak yang dilakukan diluar
Pengadilan Agama tetap jatuh talaknya. Karena dalam hal talak mereka masih perpedoman pada
aturan talak yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Lihat dalam Ulfatul Khasanah, Pandangan
Tokoh Agama Desa Jatiroo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak Mengenai Jatuhnya Ikrar
Talak Di Luar Sidang Pengadilan Agama, Skripsi, Universitas Islam Sultan Agung, 2019. Dalam
penelitian lain juga menyebutkan bahwa mayoritas kyai pondok pesantren berpendapat bahwa
talak yang dilakukan diluar pengadilan hukumnya adalah sah atau sudah dianggap jatuh. Karena
pada dasarnya hak talak ada ditangan suami, jadi ketika suami mengucapkan kalimat talak dan
sudah memenuhi syarat dan rukun meskipun tidak diucapkan di depan sidang pengadilan maka
talaknya tetap jatuh. Lihat dalam Rizki Dwi Nofayanti, Talak Di Luar Pengadilan Perspektif Kyai
Pondok Pesantren Kabupaten Kediri, Skripsi, IAIN Tulungagung, 2021. Achmad Abror dalam
penelitianya menyampaikan hasil yang sedikit berbeda. Dalam kesimpulan penelitianya Achmad
Abror menyebutkan bahwa pendapat mayoritas tokoh masyarakat tentang talak diluat sidang
pengadilan adalah sah, karena dalam hukum agama dan kitab-kitab fiqih menyatakan demikian.
Namun mereka juga berpendapat bahwa perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan
agama juga sah, karena aturan-aturan yang dibuat juga mengambil dari kitab-kitab fiqih dan
kesepakatan para ulama. Dari ketiga hasil kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam
di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok, seperti apa yang telah dijelaskan oleh Amir Syarifuddin,
Pertama, tidak mengakui Undang-undang perkawinan sebagai aturan pengganti fikih, sehingga
mereka tetap patuh menjalakan aturan fikih klasik. Kedua, mengakui Undang-undang perkawinan
sebagai aturan yang harus dipatuhi dalam kedudukan mereka sebagai warga negara dan dalam
waktu yang sama tetap mengakui dan menjalankan aturan fikih. Ketiga, menganggap UUP sebagai
peraturan perundang-undangan yang sah dalam mengatur urusan perkawinan umat Islam
Indonesia. Kelompok ini memandang materi UUP sebagai fikih perkawinan Indonesia. Lihat
dalam Amir Syarifuddin, Meretas Kekuatan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Ciputat Pree, 2002), Hlm. 49-51
10
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak Tahun 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), Hlm. 1201
menjatuhkan talak di luar pengadilan adalah perceraian yang telah memnuhi

syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa

penetapan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam Undang-

undang.11

Menurut hukum positif bahwa setiap perceraian harus dilakukan di

pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak”.

Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “Perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan

Agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak”. Berkenaan dengan hal tersebut dalam Inpres Nomor 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan hal yang sama

tentang keabsahan perceraian.

Masalah talak dalam hukum Islam dengan hukum positif yang berlaku di

Indonesia terjadi perbedaan. Perceraian atau jatuhnya talak dalam hukum

Islam adalah ketika terpenuhinya rukun dan syarat talak, maka secara

fiqhiyyah talak tersebut sudah sah. Akan tetapi secara yuridis belum dikatan

sah karena menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

11
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982), Hlm. 49
Perkawinan menyatakan bahwa perceraian dikatakan sah secara yuridis

formal apabila dilakukan didepan persidangan, dan setiap putusan pengadilan

harus memiliki kekuatan hukum yang tetap. Dengana danya perceraian yang

dilakukan di luar persidangan menyebabkan tidak sah dan tidak memiliki

kekuatan hukum.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk mengkaji

dan melihat lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul “Eklektisisme

Hukum Talak Dalam Hukum Islam dan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana keabsahan talak dalam perspektif hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum talak dalam perspektif hukum Islam dan

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?

3. Bagaimana tinjauan eklektisisme hukum terhadap keabsahan talak dan

akibat hukum talak dalam hukum Islam dan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan talak dalam perspektif Hukum

Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum talak dalam Perspektif

Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan eklektisisme hukum terhadap

keabsahan talak dan akibat hukum talak dalam hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

jelas dan diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis maupun

teoritis, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Secara umum, penelitian ini diharapkan untuk memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dibidang hukum. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat

menjadi referensi dan akan memperkaya pengetahuan bagi masyarakat dan

khususnya bagi mahasiswa hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberi pengetahuan bagi masyarakat tentang

tinjauan eklektisisme hukum terhadap keabsahan talak dan akibat

hukum talak dalam dalam hukum Islam dan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia.

b. Hasil penelitian ini juga daharapkan dapat meningkatkan kesadaran

hukum masyarakat tentang keharusan ikrar talak di Pengadilan Agama.


E. Penegasan Istilah

Sebelum penulis membahas lebih lanjut yang menjadi inti permasalahan

dan unuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu penulis tegaskan

istilah-istilah yang berkaiatan dengan judul diatas, antara lain:

1. Eklektisisme Hukum

Eklektisisme hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

cara dalam memilih yang terbaik dari semua sistem hukum yang ada di

Indoensia.

2. Talak

Talak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ucapan suami

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.12 .

3. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Perundaang-undnagan adalah hukum yang berlaku pada

saat ini untuk masyarakat dalam suatu wilayah dalam suatu waktu

tertentu.13 Peraturan Perundaang-undnagan yang dimaksd dalam penelitian

ini adalah hukum positif yang mengatur tentang tentang hukum keluarga,

terkhusus dalam bidang perceraian. Peraturan Perundaang-undnagan di

Indonesia yang mengatur tentang perceraian adalah Undang-undang No. 1

12
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan yang
mewilayahi tempat tinggal isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Lihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 129.
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yohyakarta: Liberty,
2007) Hlm. 127-128
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam.

4. Hukum Islam

Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu

Allah dan sunnah Rasul tentang perbuatan orang-orang yang sudah

mukallaf yang berupa perintah untuk melakukan atau untuk meninggalkan

suatu perbuatan.14 Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah hukum Islam yang mengatur dan menjelaskan tentang perceraian.

F. Telaah Pustaka

Setelah melakukan kajian dari berbagai karya tulis ilmiah, berupa jurnal,

skripsi, thesis dan karya tulis ilmiah lain, penulis menemukan beberapa karya

terdahulu yang serupa dengan penelitian ini, namun secara spesifik

pembahasan dan hasil karya terdahulu tersebut berbeda dengan pembahasan

pada penelitian ini. Karya-karya terdahulu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ulfatul Khasanah dalam skripsinya yang berjudul “Pandangan Tokoh

Agama Desa Jatirogo Kecamatan Bonang Kabupaten Demak Mengenai

Jatuhnya Ikrar Talak Di Luar Sidang Pengadilan Agama. ” Menjelaskan

bahwa tokoh agama di desa Jatirogo masih menggunakan kitab fikih sebagai

pedoman dalam hal talak, sehingga mereka tetap menganggap talak yang

dilakukan suami di luar pengadilan tetap jatuh talaknya walaupun sejatinya

mereka telah mengatahui peraturan yang mengharuskan talak dilakukan di

Pengadilan Agama.15 Yang menjadi perbedaan dengan skripsi penulis adalah

14
Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hlm. 12
15
Ulfatul Khasanah, Pandangan Tokoh Agama Desa Jatirogo Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak Mengenai Jatuhnya Ikrar Talak Di Luar Sidang Pengadilan Agama, (Skripsi
S1Fakultas Agama Islam, Jurusan Syariah, Program Studi Ahwal Asy-Syakhsiyyah
terkait tentang objek penelitian yang diambil. Objek penelitian yang akan diteliti

penulis adalah aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan

dalam hukum Islam.

2. Abustam dalam penelitianya yang berjudul “Pelaksanaan Ikrar Talak Di

Hadapan Sidang Pengadilan Agama (Suatu Tinjauan Filsafat Hukum)”.

Menjelasakan tentang hikmah pelaksanaan ikrar talak di depan sidang

pengadilan agama yang ditinjau dari filsafat hukum, antara lain: Pertama,

bertujuan untuk menyelamatkan perkawinan, sebab sebelum talak

dijatuhkan, suami-isteri dianjurkan untuk berdamai. Kedua, agar

penggunaan hak talak tidak menyimpang dengan jaran syariat. Ketiga,

menjamin ketentraman hidup para isteri. Keempat, menjamin hak masing-

masing pihak akibat dari perceraian. 16 Yang menjadi perbedaan dengan

skripsi penulis adalah tentang pendekatan yang dilakukan. Pendekatan

yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah eklektisisme

hukum, yang akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap aturan

tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam hukum Islam.

3. Dalam penelitian Miti Yarmunida dan Busra Febriyani yang berjudul “

Kedudukan Talak di Pengadilan Perspektif Siyasah Syar’yah.”

Mendeskripsikan analisis siyasah syar’iyah terhadap talak di pengadilan.

Hasil pembahasan ini bahwa negara mempunyai otoritas untuk

menetapkan peraturan yang dapat mewujudkan kemaslahatan bagi

rakyatya. Kedudukan pemerintah dalam Islam berada pada posisi ke tiga

yang wajib di taati dalam urusan bermasyarakat setelah Allah dan


16
Abustam, Pelaksanaan Ikrar Talak di Hadapan Sidang Pengadilan Agama, Suatu
Tinjauan Filsafat Hukum, ( Al-Risalah: Jurnal Hukum Keluarga Islam, Vol. II. No 2. 2016)
Rasulullah. Demikian juga dengan pengaturan talak talak yang dilakukan

di pengadilan karena dapat mewujudkan kemaslahatan bagi suami, isteri

dan anak-anak dalam keluarga yang melakukan talak. Penertiban

pelaksanaan talak di pengadilann sesuai dengan maqashid syariah pada

level dharuriyat, yaitu menjaga keturunan dan harta. 17 Yang menjadi

perbedaan dengan skripsi penulis adalah penulis ingin mendeskripsikan

aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam hukum

Islam dengan teori eklektisisme hukum, sedangkan penelitian ini

menggunakan siyasah syar’iyah.

4. Dalam penelitian Mohamad Abdun Nasir yang berjudul “Yudisialisasi dan

Limitasi Hukum: Cerai Talak di Pengadilan Agama di Lombok.”

Menjelaskan bahwa cerai talak di pengadilan agama menerminkan

perubahan-perubahan penting dalam penerapan hukum Islam kontemporer

di Indonesia. Perubahan itu antara lain tentang yudisialisasi, yaitu proses

administrasi dan birokratisasi penyelesaian perkara di pengadilan agama

yang mengakibatkan berkurangnya pengaruh fikih dalam hukum

perceraian. Perubahan yang kedua yakni tentang limitasi talak, yakni

terbatasnya cerai talak dibanding cerai gugat. Talak dalam norma fikih

menjadi domain kuasa suami yang hampir mutlak, kini dalam ppraktiknya

di pengadilan agama menjadi wilayah yang di kontestasikan oleh para

aktor hukum, baik suami, isteri ataupun hakim sehingga berdampak pada

limitasi talak, baik dari segi kuantitas perkara maupun kuasa suami dalam

17
Miti Yarmunida dan Busra Febriyani, Kedudukan Talak di Pengadilan Agama
Perspektif Siyasah Syar’iyah, (Al-Istimbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 4, No. 2, 2019)
penyelesaian cerai talak.18 Yang menjadi perbedaan dengan skripsi penulis

adalah tentang tujuan yang ingin di capai dalam penelitian. dalam

penelitian yang akan dilakukan penulis, tujuanya adalah untuk

memasttukan bahwa peraturan tentang ikrar talak di Indonesia sudah

melalui proses yang eklektis. Sedangkan penelitian ini berusaha untuk

menyingkap pergeseran pemaknaan dan prktik talak kontemporer.

5. Dalam penelitian Hasyim fahmi yang berjduul “Keabsahan Talak dalam

Perspektif Hukum Positif dan Fiqh Munakahat (Konflik Norma)”.

Menjelaskan bahwa cerai tanpa putusan pengadilan itu tidak sah, sesuai

dengan pasal 39 ayat 1 undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan persidangan

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam penelitia ini juga

dijelaskan bahwa perceraian yang diucapkan melalui putusan dalam sidang

pengadilan dimaksudkan untuk membela hak dan kewajiban status hukum

suami-isteri secara hukum, agar tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa

adanya proses dan pembuktian.19 Yang membedakan dengan penelitian

penulis adalah bahwa dalam penelitian ini peneliti hanya mencari jawaban

tentang bagaimana keabsahan dan akibat hukum talak. Sedangkan

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis akan berusaha menjelaskan

18
Mohamad Abdun Nasir, Yudisialisasi dan Limitasi Hukum Islam: Cerai Talak di
Pengadilan Agama di Lombok, (Al-Ahwal, Vol. 11, No. 2, Tahun 2018)
19
Hasyim Fahmi, Keabsahan Talak Dalam Perspektif Hukum Positif dan Fiqh
Munakahat (Konflik Norma), ( Skripsi S1 Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum, Program Studi
Hukum Perdata Murni, 2016)
tetang aturan tentang ikrar talak dalam hukum positif di Indonesia dan dalam

hukum Islam dengan menggunakan teori eklektisisme hukum.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi

kepustakaan (Library Reseach) yang menggunakan bahan pustaka sebagai

sumber data Utama.20 Menurut Abdul rahman Sholeh, penelitian

kepustakaan aialah penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan

data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan

seperti buku, majalah, dokumen, kitab-kitab21 yang memiliki keterkaitan

dengan pembahasan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan Normatif-Yuridis, yaitu pendekatan yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dibangun

adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran).22

3. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber utama (primer) dari penelitian ini adalah UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang


20
Faisar Ananda Arfa, Metodologi Penelitian Hukum Islam (Bandung: Citapusaka Media,
2010), Hlm. 14.
21
Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2005), Hlm. 63
22
Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet-IV, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 33
Kompilasi Hukum Islam, dan ayat-ayat Al-Qur’an yang menbahsan

tentang talak seperti QS. ath-Thalaq ayat 1, QS. Al-Baqarah ayat 229,

QS. An-Nisa ayat 20-21, QS. An-Nisa ayat 34- 35.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah literatur yang

terkait dengan pembahasan ini. Dalam data sekunder ini penulis

memanfaatkan peraturan perundang-undangan, buku dan penelitian

terdahulu berupa jurnal, skripsi, tesis dan desertasi yang berkaitan

dengan pembahasan ini. Tidak lupa penulis juga akan mengambil

beberapa data dari internet jika diperlukan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan studi kepustakaan23 yakni dengan mengumpulkan, membaca

dan menelaah karya tulis ilmiah untuk mendapatkan teori-teori yang

mendukung tema dalam penelitian ini yang diperoleh dari berbagai

literatur.24 Dengan mengumpulkan.data yang membahas tentang kebasahan

talak dan akibat hukum talak dalam hukum Islam maupun dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

23
Yakni jenis penelitian yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-
buku atau peraturan yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Lihat Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rieneka Cipta, cet-13, 2006), Hlm. 11
24
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dinamakan data primer ( atau data dasar); sedangkan yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang mencakup dua diantaranya adalah: penelitian
terhadap sejarah hukum dan perbandingan hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, cet. 15, 2013),
Hlm.12-14
5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara

sistematis dengan mengguakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang

berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan

objek yang akan diteliti yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan

terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.25 Dalam skripsi ini analisis data

menggunakan tekik data reduction, data display, dan data conclusion.

H. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab secara

sistematis, yang setiap babnya terdiri dari beberapa sub bab yang tersusun

secara sistematis pula. Maka penelitian ini disusun berdasarkan sistematika

sebagai berikut:

Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari

latar belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis menuliskan

kronologis permasalahan yang muncul berkenaan dengan ikrar talak di

Pengadilan Agama. Selain itu juga permasalahan tentang budaya hukum

masyarakat muslim Indonesia tentang dengan ikrar talak di Pengadilan

Agama. Setelah itu. dikemukakan rumusan permasalahan yang akan

ditemukan pada skripsi ini. Kemudian penulis menjelaskan tentang tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan pada skripsi ini.

25
Ibrahim Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, (Malang: Banyu Media, 2006),
Hlm.393
Pada bab kedua, dikemukan tinjauan teoritis tentang tinjauan umum

tentang talak dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Selain itu juga dipaparkan tinjauan teoritis tentang eklektisisme

hukum.

Pada bab ketiga, dikemukan pembahasan tentang keabsahan dan akibat

hukum talak dalam hukum Islam dan Peraturan perundang-undnagan di

Indonesia..

Pada bab keempat, dikemukakan analisa penulis tentang tinjauan

eklektisisme hukum terhadap keabsahan dan akibat hukum talak.

Pada bab kelima, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian

dalam tulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai