Anda di halaman 1dari 2

Kontroversi yang berkaitan dengan penodaan agama, seringkali membangun

polarisasi dalam masyarakat, yang pada derajat tertentu, bisa menjurus menjadi
perpecahan. Hal ini bisa dipahami, mengingat substansinya yang berhubungan dengan
keyakinan pribadi, menjadikan setiap orang seolah-olah memiliki kepentingan dalam
kejadian tersebut. Meskipun perkara penodaan agama bukan perkara dengan jumlah
yang signifikan di Indonesia, Namun setiap kali ada kejadian yang dianggap sebagai
penodaan agama, kontroversi pasti meluas di tengah masyarakat. Rasanya, semua orang
harus berhati-hati menghadapi dan menyikapinya.

Sayannya, Pasal 156a KUHP, yang mengatur tentang tindak pidana penodaan
agama, tidak cukup menjelaskan maksud dari unsur-unsur tidak pidana tersebut. Pasal
ini juga tidak memiliki batasan yang jelas tentang perbuatan apa yang dapat dikatakan
sebagai penodaan agama. Permusan yang demikian menyebabkan tindak pidana
penodaan agama, dapat ditafsirkan secara luas dan multiinterpretasi. Tak ayal,
penerapan ketentuan Pasal 156a KUHP ini seringkali justru memunculkan dan
memperluas ketegangan sosial dalam masyarakat.

Dalam beberapa kasus, tuduhan penodaan agama mencakup perbuatan-


perbuatan yang sebenarnya, bukan termasuk penodaan agama, seperti “kesalahan”
dalam menjalankan ritual keagamaan akibat ketidaktahuan, dalam kasus makan hosti
misalnya, dengan terdakwa Ronald Tambunan dan Herison Yohanis Riwu. Atau
setidaknya dalam kasus yang belum jelas, apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan
telah menodai agama tertentu, seperti kasus Alfred Wang yang memaksa anak kecil
yang beragama Islam untuk memakan babi denganya.

Selain itu, penodaan agama juga diartikan sebagai penyimpangan dari keyakinan
atau penafsiran yang mainstream, seperti dalam kasus Gafatar, Tajul Muluk, Andreas
Guntur, dll. Di mana ajaran mereka dinyatakan menyimpang atau sesat dan dipidana
dengan pasal penodaan agama. Dari beberapa kasus ini, dapat dilihat bahwa pasal
penodaan agama digunakan untuk perbuatan atau pernyataan yang pada dasarnya
tidak bersifat menyerang atau menghina suatu agama, namun untuk menyebarkan
suatu ajaran yang keagamaan yang berbeda dari ajaran atau paham mainstream. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada batasan yang jelas untuk menyatakan sebuah perbuatan
adalah sebuah “penodaan agama”, sehingga perbuatan itu dapat dipidana dengan pasal
penodaan agama. Ini adalah poin pokok dari ketidakjelasan yang mendasar dalam
menafsirkan dan menerapkan Pasal 156a KUHP.

Dengan di sahkanya KUHP yang baru dalam rapat paripurna yang dilaksanakan
DPR RI, Selasa (6/12), Perdebatan mengenai tindak pidana penodaan agama di
Indonesia, menapaki babak baru. Terdapat hal menarik dalam KUHP yang baru saja di
sahkan ini. Dalam Pasal 300 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan,
tidak ditemukan frasa “penodaan agama”. Artinya, frasa ini dihapus dalam KUHP yang
baru. Dalam Pasal 300, hal-hal yang diatur adalah mengenai perbuatan, perkataan, dan
hasutan yang mengakibatkan permusuhan, kebencian, kekerasan, dan deskriminasi
terhadap agama, kepercayaan, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau
kepercayaan di Indonesia.

Penghapusan frasa “penodaan agama” dalam KUHP yang baru, menunjukkan


adanya perubahan sudut pandang dan titik tekan bahwa, penodan agama lebih pada
dampak yang timbul dari tindakan intoleran, deskriminasi, dan kejahatan-kejahatan
terhadap perasaan penganut agama maupun perdamaian masyarakat. Pandangan ini
sejalan dengan pendapat Immanuel Kant dalam tulisanya, Science of right, menyatakan
bahwa setiap individu yang tidak memenuhi kewajiban sosialnya untuk menjaga
ketertiban sosial, maka harus dicabut hak sosialnya.

Hal ini tentu berbeda sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 156a KUHP yang
lama, bahwa penodaan agama, pada derajat tertentu, juga dimasukkan dalam konteks
penyimpangan dari keyakinan atau penafsiran yang mainstream.

Kendati demikian, sebelum di terapkan secara efektif, kiranya ada beberapa hal
yang penting untuk diperhatikan, bahwa, asas pokok dalam hukum pidana adalah asas
legalitas, atau sering dikenal sebagai asas nullum crimen sine lege. Asas ini mempunyai
makna, diantaranya bahwa ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana
berdasarkan ketentuan kebiasaan (nullum crimen poena sine lege scripta), rumusan
ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen poena sine lege certa) dan ketentuan
hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan adanya analogi (nullum
crimen poena sine lege stricta).

Akhirul Kalam, Hukum Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan, masih
sangat diperlukan untuk mencegah konflik atau ketegangan sosial. Sehingga kita bisa
melihat titik keseimbangan antara ekspresi dan kepercayaan yang dilindungi, dan
tindakan yang secara adil dapat dikriminalisasi sesuai dengan norma-norma HAM,
prasyarat konstitusional dari suatu masyarakat yang demokratis, dan prinsip-prinsip
dasar legalitas. Selain itu, aturan ini juga dalam rangka memanifestasikan salah satu
dari lima keniscayaan (dharuriyyat al-khoms) dalam Islam, yakni mengenai
pemeliharaan Agama (hifzh al-din).

Anda mungkin juga menyukai