Anda di halaman 1dari 4

Toleransi dan Intoleransi Umat Beragama di Indonesia

Indonesia adalah negara yang sangat bhinneka. Kebhinnekaan Indonesia itu terdapat dalam
hampir seluruh aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam hal agama. Republik Indonesia
mengakui 6 agama sebagai agama resmi yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,
Kong Hu Chu (Confucianism), dan juga aliran-aliran kepercayaan lainnya.

Tentu saja, dengan adanya keberagaman masyarakat Indonesia ini seringkali terjadi gesekan-
gesekan. Akar dari gesekan-gesekan tersebut adalah perbedaan-perbedaan paham dalam
melihat sesuatu hal, yang mana ini sangat kental terdapat di dalam agama. Toleransi dan
intoleransi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh hal itu.

Menurut Profesor Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, dalam hubungan antar agama banyak muncul kasus-kasus yang terjadi di masa
reformasi ini, seperti pelanggaran terhadap para penganut Ahmadiyah, penganut Syi’ah,
pelarangan terhadap pembangunan gereja, dan lain-lain.

Menurut Komnas HAM, selama 3 tahun terakhir, pengaduan tentang peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu tinggi. Pada 2010 Komnas HAM menerima 84
buah pengaduan, yang terdiri dari kasus perusakan, gangguan dan penyegelan rumah ibadah
sebanyak 26 kasus, kekerasan terhadap “aliran sesat” 14 kasus, konflik dan sengketa internal 7
kasus dan yang terkait pelanggaran terhadap Jama’ah Ahmadiyah 6 kasus, dan sisanya
pelanggaran lain-lain.

Pada 2011, pengaduan yang masuk sebanyak 83 kasus dengan 32 kasus terkait gangguan dan
penyegelan atas rumah ibadah, 21 kasus terkait Jama’ah Ahmadiyah, gangguan dan pelarangan
ibadah 13 kasus, dan diskriminasi atas minoritas agama 6 kasus.

Pada tahun 2012, tercatat 68 pengaduan dengan perincian; perusakan dan penyegelan rumah
ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan pelarangan
ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan 6 kasus. Pada tahun
2013 Komnas HAM menerima 39 berkas pengaduan.

Diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas,


penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah sebanyak 9 berkas dan
penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas (Asshiddiqie, 2013).
Kemudian, lebih lanjut dikatakan bahwa sikap intoleransi sudah merasuk ke dalam masyarakat
termasuk birokrasi. Hal ini dikatakan oleh staf khusus Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari
Pramodhawardani, yang mendasarkan kesimpulan ini dari data intelejen di daerah.

Pramodhawardani mengungkapkan temuan intelejen di daerah menemukan ada Pengawai


Negeri Sipil (PNS) yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran, menolak Pancasila, dan
mendirikan khilafah atau negara Islam.

“Bahkan sampai diceritakan PNS di suatu daerah demo dengan organiasi Islam garis keras ini
dan mendapatkan sanksi dari atasannya, tetapi itu hanya sebagian kecil,” jelas
Pramodhawardani dalam diskusi tentang Kebebasan Agama, Gerakan Takfiri dan Deradikalisasi,
di Jakarta, hari Senin, 22 Februari 2016.

Dia mengatakan birokrasi pemerintahan tidak steril dengan nilai-nilai fundamentalisme dan itu
tidak dapat dikontrol. Ketika ditanya mengenai wali kota Bogor yang hadir dalam acara
organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Pramodhawardani mengatakan kondisi seperti itu tidak
terjadi di semua daearah (BBC, 2016).

Melihat toleransi dari definisinya, toleransi mempunyai kata dasar ‘toleran’, yang menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti “bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri,”.

Sedangkan toleransi sendiri menurut KBBI berarti sifat atau sikap toleran. Benjamin Kaplan
mengemukakan bahwa toleransi adalah suatu “bentuk perilaku: hidup berdampingan secara
damai dengan orang lain yang menganut agama yang berbeda,” (Kaplan, 2007).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa toleransi umat beragama adalah bentuk pelaksanaan
dari kebebasan beragama. Tanpa toleransi, maka kebebasan beragama tidak akan ada.

Di Indonesia, kebebasan beragama mempunyai jaminan konstitusional. Konstitusi Republik


Indonesia yakni UUD NRI 1945 menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 28E ayat (1) yang
berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.”

Kemudian Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Jaminan tersebut
diperkuat oleh Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing


dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Menurut Prof. Jimly, pasal-pasal ini menjamin prinsip tidak ada paksaan (non-coercive) dalam
agama dan keyakinan (Asshiddiqie, 2013). Kemudian, hak beragama ini juga merupakan hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogation rights) sesuai
dengan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945 (Asshiddiqie, 2013).

Hal tersebut ditegaskan kembali pada Pasal 4 UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Di samping memberikan penghormatan (respect) dan pengakuan (recognition) terhadap hak


warga negara (citizen’s right) akan kebebasan beragama dan berkeyakinan, UU no. 39 juga
menentukan kewajiban negara memberikan jaminan perlindungan (protect) sebagaimana
mestinya (Asshiddiqie, 2013).

Pasal 22 UU No. 39/1999 menyatakan: “(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” “(2) Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.

Negara juga telah menegaskan larangan diskriminasi berdasarkan agama. Prinsip


nondiskriminatif ini ditegaskan UUD 1945 ayat (2) Pasal 28I bahwa, ”Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.

Pengertian diskriminasi telah didefinisikan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 39


Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan 11 kriteria, yang salah satunya
adalah pembedaan manusia atas dasar agama (Asshiddiqie, 2013).

Jika dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan seperti yang sudah disebutkan di atas, maka
kebebasan beragama di Indonesia sangat mutlak untuk dilindungi.

Kasus-kasus yang berkenaan dengan intoleransi, seperti yang sudah disebutkan di atas
merupakan suatu bentuk pelanggaran yang jelas terhadap konstitusi Indonesia. Hal-hal itu
merupakan suatu bentuk penghinaan dan pengkhianatan terhadap konstitusi negara. Terlebih
lagi, jika intoleransi ini sudah merasuk ke dalam birokrasi.

Menurut Prof Jimly, kepada pejabat penyelenggara negara dikenakan kewajiban untuk bertuhan
dan beragama sebagaimana mestinya untuk menjadi contoh bagi rakyat atau warganegara biasa
agar juga hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dan beragama karena kepercayaan kepada Tuhan
YME dan beragama merupakan sesuatu yang ideal (Asshiddiqie, 2013).

Jika intoleransi masuk ke dalam birokrasi, yang mana birokrasi tersebut dianggap sebagai contoh
bagi rakyat, maka hal itu akan menjadi contoh yang sangat tidak baik bagi warga negara biasa.

Bahayanya tentu saja jika yang menjadi contoh bagi masyarakat tidak benar, masyarakat akan
ikut mencontoh hal yang tidak benar itu dan intoleransi akan mendapat legitimasi oleh
karenanya. Data-data yang disebutkan di atas juga menggambarkan kepada kita bahwa toleransi
masih merupakan suatu hal yang harus diperjuangkan.

Di dalam menjalankan kewajiban beragamanya seseorang harus mendapatkan berbagai


hambatan seperti dalam paparan di atas, padahal hal itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi
oleh siapapun juga. Tindakan yang demikian jelas merupakan suatu pengkhianatan terhadap
konstitusi negara, dan pemerintah seyogianya mengambil peranan utama dalam menyelesaikan
persoalan semacam ini.

Menurut Prof. Jimly, tugas dan peran pemerintahan serta para pemegang jabatan sebagai
penyelenggara negara adalah untuk (Asshiddiqie, 2013):
1. melayani, mendukung dan membantu warganegaranya, penduduk, dan semua orang
yang ada dalam wilayah kekuasaannya menjalankan ajaran agamanya melalui fasilitasi
dan dukungan administrasi pemerintahan dalam rangka pembentukan perilaku ideal
dalam bermasyarakat, sehingga terbentuk pula perilaku ideal warga dalam bernegara;

2. menjaga kerukunan hidup bersama antar umat beragama dan antar kelompok internal
umat bersama yang dapat atau ternyata mengganggu ketertiban dan ketenteraman
yang lebih luas, dalam rangka kerukunan hidup berbangsa dan bernegara; dan

3. yang lebih pentingnya lagi menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat luas dalam
berperilaku ideal sesuai tuntunan agama atau prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
yang diyakini masing-masing untuk peningkatan peri-kehidupan bersama dalam wadah
negara.

Kewajiban negara c.q. pemerintah dalam hal ini mutlak. Dalam menghormati dan melindungi
hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, harus diingat bahwa kita telah meratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Menurut Prof Jimly, ada 2 jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara, dalam hal
ini, yaitu

(i) Negara harus menghormati hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, karenanya tidak
boleh melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur-tangannya
yang dapat disebut sebagai violation by action atau disebut juga violation by commission;

(ii) Negara haruslah bertindak aktif meskipun secara terbatas untuk melindungi hak-hak
tersebut, jika tidak, berarti negara lalai, lupa, atau absen. Hal inilah yang disebut sebagai
pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission) (Asshiddiqie, 2013).

Selain itu, membersihkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari norma-norma yang
bertentangan dengan hak asasi manusia, termasuk dalam urusan kebebasan beragama. Karena
itu, diperlukan ‘executive review’ terhadap semua produk hukum yang berlaku untuk
memastikan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dapat diwujudkan (Asshiddiqie,
2013).

Dengan demikian, terang bahwa toleransi umat beragama di Indonesia merupakan hal yang
amat fundamental dan harus menjadi perhatian pemerintah. Toleransi masih merupakan hal
yang harus diperjuangkan, dan peranan aktif pemerintah adalah mutlak diperlukan untuk
menjalankan toleransi itu.

Anda mungkin juga menyukai