KEWARGANEGARAAN
Pendahuluan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) menyebutkankan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum” ketentuan tersebut memiliki keterlibatan pada segala tindakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku. Pandangan terkait negara hukum menurut R. Soepomo
menyatakan bahwa Negara hukum adalah Negara yang tunduk pada hukum,
peraturan-peraturan hukum berlaku bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan
Negara. [1] Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat
yang artinya memberikan perlindungan hukum, dan hubungan timbal-balik antara
hukum dan kekuasaan. Indonesia adalah negara hukum yang menghendaki
perlindungan dan penegakan terhadap hak asasi manusia. Jaminan atas hak
asasi manusia merupakan hal yang wajib dipenuhi dalam suatu negara yang
berlandaskan hukum. Adanya ketentuan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28A hingga pasal 28J merupakan
pembuktian upaya melindungi kepentingan rakyat dari tindakan-tindakan yang
mengancam hak asasi yang seharusnya mereka miliki. Indonesia merupakan
negara kebangsaan yang religius, kebebasan beragama di Indonesia merupakan
salah satu hak asasi manusia dalam memilih kepercayaan. Ketentuan kebebasan
beragama terdapat dalam pasal 28E Ayat (2) yang berbunyi “bahwa setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dimana dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Begitu pula dengan Sila Pertama Pancasila yang menekankan prinsip ke-
Tuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Namun yang terjadi jaminan
terhadap hak kebebasan beragama tersebut tidak lantas membuat kehidupan
antar agama menjadi damai dan rukun. Hal tersebut terbukti dengan masih
banyaknya pelanggaran maupun konflik karena perbedaan agama dan perbedaan
cara penerimaan serta pemahaman terhadap agama. Kata Kunci: hak asasi
manusia, kebebasan, agama.
Pembahasan Terminologi Kebebasan Beragama Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia
Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain itu kebebasan beragama juga tertulis di dalam UU :
Pasal 18 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik
di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran”
Pasal 22 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan “Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kata “setiap orang” berarti “semua orang”, tidak membedakan ras, suku, warga
negara mana, dan latar belakang primordial lainnya. [5] Maka dari itu ketentuan
jaminan kebebasan beragama memang ditujukan untuk melindungi hak asasi
manusia yang paling asasi, berlaku universal dan lintas batas teritorial, adat,
budaya, dan perbedaan sosial-politik lainnya.
Norma-norma Kebebasan Beragama
Zakiyudin Baidhawi mengungkapkan kebebasan beragama dalam dua kategori,
yaitu kebebasan beragama dan kebebasan berkepercayaan. [6] Kebebasan
beragama adalah perbedaan dan keragaman agama-agama yang hidup bersama
dan berdampingan seperti agama monoteistik, agama non monoteistik, maupun
agama lokal. Kebebasan agama yang dimaksud juga merupakan kebebasan
dalam menjalankan ritual-ritual, mengekspresikan nilainilai, maupun mengajarkan
ajaran-ajaran dari ketiga jenis agama tersebut. Golongan agama monoteistik
antara lain Yahudi, Kristen, dan Islam. Golongan agama non-monoteistik seperti
Budha, Kong Hucu. Sementara animisme dan dinamisme merupakan golongan
agama lokal. Kebebasan berkepercayaan adalah pengakuan hak, perlindungan,
dan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk memiliki
pandangan hidup apa pun, baik pandangan hidup bercorak keagamaaan maupun
sekuler. Setiap orang berhak untuk memiliki pandangan hidup humanis, sekuleris,
ateis, kapitalis, sosialis, religius, neoliberalis, dan sebagainya. Setiap individu pun
berhak pula atas perlindungan dan akses untuk mengekspresikan dan
menyiarkan pandangan hidup mereka masing-masing. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966,
dan Konvensi Eropa bagi Perlinduangan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-
kebebasan Dasar 1950 menyebutkan bahwa terdapat delapan norma-norma inti
yang menyusun hak asasi manusia dalam hal beragama dan berkepercayaan [7] ,
antara lain : 1. Norma kebebasan internal menegaskan bahwa setiap orang
berhak dan bebas untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan, atau
mengubah agama dan kepercayaan mereka. Dalam hal ini, Negara berkewajiban
untuk mencegah upaya pemaksaan, manipulasi, dan
Penjelasan
Pasal 343
Menghina Ke-Agungan Tuhan, Firman, dan sifat-Nya, merupakan penghinaan
secara tidak langsung terhadap umat yang menghormati Ke-Agungan Tuhan,
Firman, dan sifat-Nya, dan akan dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok
umat yang bersangkutan. Di samping mencela perbuatan penghinaan tersebut,
Pasal ini bertujuan pula untuk mencegah terjadinya keresahan dan benturan
dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 344
Mengejek, menodai atau merendahkan Agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, Ajaran,
dan Ibadah Keagamaan harus dianggap sebagai perbuatan yang dapat merusak
kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia, dan karena itu harus
dilarang dan diancam pidana.
Pasal 345 (Cukup Jelas.)
Pasal 346
Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk
agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.
Pasal 347
Perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini diancam pidana lebih berat
daripada perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 342, karena secara
langsung dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok
masyarakat. Pasal 348
Seseorang atau umat yang sedang menjalankan ibadah atau seorang petugas
agama yang sedang melakukan tugasnya harus dihormati. Karena itu, perbuatan
mengejek atau mengolok-olok hal tersebut patut dipidana karena melanggar asas
hidup bermasyarakat yang menghormati kebebasan memeluk agama dan
kebebasan dalam menjalankan ibadah, di samping dapat menimbulkan benturan
dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 349
Merusak, membakar, atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah
merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang
bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan
ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan
hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan melawan hukum.
Penutup
Daftar Pustaka