Anda di halaman 1dari 8

KARYA ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN

KEWARGANEGARAAN

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PANDANGAN


PANCASILA

Muhammad Hasan Noor


11210510000215

Pendahuluan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) menyebutkankan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum” ketentuan tersebut memiliki keterlibatan pada segala tindakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku. Pandangan terkait negara hukum menurut R. Soepomo
menyatakan bahwa Negara hukum adalah Negara yang tunduk pada hukum,
peraturan-peraturan hukum berlaku bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan
Negara. [1] Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat
yang artinya memberikan perlindungan hukum, dan hubungan timbal-balik antara
hukum dan kekuasaan. Indonesia adalah negara hukum yang menghendaki
perlindungan dan penegakan terhadap hak asasi manusia. Jaminan atas hak
asasi manusia merupakan hal yang wajib dipenuhi dalam suatu negara yang
berlandaskan hukum. Adanya ketentuan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28A hingga pasal 28J merupakan
pembuktian upaya melindungi kepentingan rakyat dari tindakan-tindakan yang
mengancam hak asasi yang seharusnya mereka miliki. Indonesia merupakan
negara kebangsaan yang religius, kebebasan beragama di Indonesia merupakan
salah satu hak asasi manusia dalam memilih kepercayaan. Ketentuan kebebasan
beragama terdapat dalam pasal 28E Ayat (2) yang berbunyi “bahwa setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dimana dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Begitu pula dengan Sila Pertama Pancasila yang menekankan prinsip ke-
Tuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Namun yang terjadi jaminan
terhadap hak kebebasan beragama tersebut tidak lantas membuat kehidupan
antar agama menjadi damai dan rukun. Hal tersebut terbukti dengan masih
banyaknya pelanggaran maupun konflik karena perbedaan agama dan perbedaan
cara penerimaan serta pemahaman terhadap agama. Kata Kunci: hak asasi
manusia, kebebasan, agama.
Pembahasan Terminologi Kebebasan Beragama Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia

Secara terminologi kebebasan beragama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia


adalah :
Kebebasan /ke·be·bas·an/ (n) kemerdekaan; keadaan bebas.
Beragama /ber·a·ga·ma/ (v) 1 menganut (memeluk) agama; 2 mematuhi segala
ajaran agama; taat kepada agama.
Jadi, definisi kebebasan beragama adalah “Kebebasan untuk memilih, meyakini,
dan menganut agama”. [2]
Peran Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam Kebebasan Beragama
Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila dalam UUD NRI
1945 sebagai aktualisasi filsafat hidup yang diamanatkan oleh pendiri negara.
Pancasila dipilih karena mengedepankan nilai-nilai moral yang universal. Pancasila
tidak mengunggulkan religius atau sekularilisme, individualisme atau
kolektivitisme, mayoritas ataupun minoritas. [3] Artinya, Pancasila merupakan jalan
tengah semua unsur perbedaan yang tidak pernah memihak kepada salah satu
kelompok, golongan, atau agama tertentu. Kehidupan berke-Tuhanan dan
beragama tertuang dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang
Maha Esa” dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berhak memilih dan
memeluk agama yang diyakininya secara bebas. Kebebasan beragama
merupakan kebebasan konstitusional yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas
oleh siapa pun. [4] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi
manusia bersifat kodrat, tidak dapat diganggu-gugat, dicabut maupun
dipindahtangankan, dan hak asasi manusia berfungsi sebagai jaminan moral dan
legal. Jaminan kebebasan beragama yang tertulis dalam UUD NRI 1945 :
Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Pasal 28E Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Setiap Orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.”
Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain itu kebebasan beragama juga tertulis di dalam UU :
Pasal 18 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik
di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan
pengajaran”
Pasal 22 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan “Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kata “setiap orang” berarti “semua orang”, tidak membedakan ras, suku, warga
negara mana, dan latar belakang primordial lainnya. [5] Maka dari itu ketentuan
jaminan kebebasan beragama memang ditujukan untuk melindungi hak asasi
manusia yang paling asasi, berlaku universal dan lintas batas teritorial, adat,
budaya, dan perbedaan sosial-politik lainnya.
Norma-norma Kebebasan Beragama
Zakiyudin Baidhawi mengungkapkan kebebasan beragama dalam dua kategori,
yaitu kebebasan beragama dan kebebasan berkepercayaan. [6] Kebebasan
beragama adalah perbedaan dan keragaman agama-agama yang hidup bersama
dan berdampingan seperti agama monoteistik, agama non monoteistik, maupun
agama lokal. Kebebasan agama yang dimaksud juga merupakan kebebasan
dalam menjalankan ritual-ritual, mengekspresikan nilainilai, maupun mengajarkan
ajaran-ajaran dari ketiga jenis agama tersebut. Golongan agama monoteistik
antara lain Yahudi, Kristen, dan Islam. Golongan agama non-monoteistik seperti
Budha, Kong Hucu. Sementara animisme dan dinamisme merupakan golongan
agama lokal. Kebebasan berkepercayaan adalah pengakuan hak, perlindungan,
dan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk memiliki
pandangan hidup apa pun, baik pandangan hidup bercorak keagamaaan maupun
sekuler. Setiap orang berhak untuk memiliki pandangan hidup humanis, sekuleris,
ateis, kapitalis, sosialis, religius, neoliberalis, dan sebagainya. Setiap individu pun
berhak pula atas perlindungan dan akses untuk mengekspresikan dan
menyiarkan pandangan hidup mereka masing-masing. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia 1948, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966,
dan Konvensi Eropa bagi Perlinduangan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-
kebebasan Dasar 1950 menyebutkan bahwa terdapat delapan norma-norma inti
yang menyusun hak asasi manusia dalam hal beragama dan berkepercayaan [7] ,
antara lain : 1. Norma kebebasan internal menegaskan bahwa setiap orang
berhak dan bebas untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan, atau
mengubah agama dan kepercayaan mereka. Dalam hal ini, Negara berkewajiban
untuk mencegah upaya pemaksaan, manipulasi, dan

Tore Lindholm, 2010. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh?


Yogyakarta: Kanisius, 21.
indoktrinasi dari kelompok agama maupun kelompok swasta lain terhadap
kebebasan internal individu dalam soal beragama dan berkepercayaan. 2. Norma
kebebasan eksternal menegaskan bahwa setiap orang berhak memanifestasikan
agama dan kepercayaannya ke dalam bentuk ajaran, praktik, ibadah dan
ketaatan, baik secara individu, atau dalam komunitas bersama-sama penganut
lainnya, dalam wilayah pribadi maupun publik. Artinya kebebasan eksternal
menjamin setiap pemeluk agama atau kepercayaan untuk menjalankan
keyakinannya itu dalam berbagai bentuk manifestasi. 3. Norma tanpa paksaan
menegaskan bahwa tidak seorang pun di muka bumi ini harus tunduk pada
paksaan, tekanan, intimidasi, represi yang akan mengganggu atau menghalangi
kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan
yang didasarkan atas pilihan masing-masing. Negara bertanggungjawab untuk
mengatasi setiap upaya pemaksaan dan intimidasi oleh perorangan maupun
kelompok kepada individu untuk menganut atau tidak menganut, mengamalkan
atau tidak mengamalkan agama atau kepercayaan tertentu adalah tidak
dibenarkan. 4. Norma tanpa diskriminasi menegaskan bahwa negara diwajibkan
menghargai, menjamin, dan memastikan bahwa setiap warga negara yang
menghuni wilayahnya mendapatkan hak kebebasannya untuk mengamalkan
agama dan kepercayaan mereka masingmasing tanpa membeda-bedakan dengan
alasan dan tujuan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
perbedaan pandangan politik, asal usul kebangsaan, strata ekonomi, status
sosial, atau yang lain. 5. Norma hak-hak orang tua dan wali menegaskan bahwa
negara harus menghargai kebebasan para orang tua dan para wali yang sah
secara hukum, untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinan mereka sendiri, dan harus
memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau
berkepercayaan sesuai dengan kemampuan-kemampuan mereka sendiri. Setiap
orang tua atau wali diperkenankan memilihkan dan menentukan pendidikan
agama untuk anak-anaknya, membesarkan anak dengan ajaran-ajaran moral
menurut keyakinannya, dengan syarat tidak memaksa mereka untuk
menjalankan agama dan kepercayaan orang tua melampaui batas kemampuan si
anak. 6. Norma kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum
menegaskan bahwa setiap komunitas agama dan kepercayaan memiliki
kebebasan untuk mengorganisir diri dan mengekspresikan hak-hak dan
kepentingan mereka sebagai sebuah komunitas. Oleh karena itu, kewajiban
negara untuk memberi peluang yang sama bagi para penganut agama dan
kepercayaan untuk membentuk organisasi, perkumpulan, asosiasi, atau institusi
lain sebagai sarana untuk mewadahi ekspresi dari hak-hak beragama atau
berkepercayaan itu. Negara juga berkewajiban untuk memberi perlindungan
hukum dan jaminan keamanan terhadap organisasi atau asosiasi atau institusi
keagamaan/kepercayaan yang ada agar dapat tumbuh dan berkembang secara
baik dan wajar, termasuk melindungi mereka dari penyerangan dan intimidasi
kelompok-kelompok lain yang berbeda keyakinan. 7. Norma pembatasan
kebebasan eksternal yang diperkenankan menegaskan bahwa kebebasan untuk
memanifestasikan atau mengekspresikan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat tunduk pada pembatasanpembatasan yang ditentukan oleh hukum
dan diperlukan dalam rangka melindungi keselamatan umum, tatanan,
kesehatan, moral, atau hak-hak fundamental orang lain. Pembatasan-
pembatasan yang dibuat bertujuan untuk menjaga lima hal, yaitu : menjaga
keselamatan publik, menjaga tatanan publik, menjaga kesehatan publik, menjaga
moral, dan menjaga hak dan kebebasan orang lain. Untuk itu pembatasan
terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan diperkenankan hanya dalam
rangka melindungi kebebasan beragama/ berkepercayaan itu sendiri dan hak-hak
asasi manusia yang lain. 8. Norma nonderogability (tidak dapat dihilangkan)
menegaskan bahwa negara sama sekali dilarang mengurangi hak untuk bebas
beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun. Dalam
kondisi dan situasi bagaimanapun, hak orang dan kelompok untuk beragama dan
berkeyakinan harus tetap dijunjung tinggi. Hak beragama dan berkepercayaan
adalah hak yang dilekatkan oleh Tuhan pada diri setiap individu sejak dia terlahir
di dunia, bukan hak yang diberikan negara kepada seorang warga negara.
Namun demikian, pembatasan dan pengurangan terhadap hak beragama dan
berkeyakinan tetap dibenarkan dalam rangka menjaga keselamatan masyarakat,
melindungi tatanan masyarakat, menjaga kesehatan masyarakat, menjaga moral,
dan menjaga hak dan kebebasan orang lain.
Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama
Antisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama dalam Pancasila
sila pertama yang menekankan prinsip ke-Tuhanan yang berkebudayaan dan
berkeadaban, yang jauh-jauh hari sudah dinyatakan oleh Bung Karno
“Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya
berTuhan secara kebudayaan, yakni tiadanya egoisme agama .... Ketuhanan
yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama
lain”. Namun Penegakkan hak kebebasan beragama yang dijamin oleh Pancasila
dan UndangUndang Negara Republik Indonesia 1945 nyatanya masih belum
memuaskan. Terbukti dengan masih banyaknya kasus pelanggaran akan hak
kebebasan beragama di dalam masyarakat pada beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan laporan The Wahid Institute, sepanjang tahun 2015 tercatat 190
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 249 jumlah
tindakan. Sedangkan tahun sebelumnya merekam 158 peristiwa serta 187
tindakan, yang artinya persentase 2015 meningkat 23 persen. Jawa barat menjadi
daerah dengan jumlah pelanggaran terbanyak. Sedangkan, Aceh dan Jakarta di
posisi kedua dan ketiga. Kelompok intoleran dan kelompok beragama yang
fundamentalis adalah pelaku paling banyak yang melakukan pelanggaran hak
kebebasan beragama. Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang marak
terjadi seperti : Penyerangan terhadap kelompok beragama lain, pelarangan
beribadat, pelarangan pembangunan tempat ibadat, perusakan tempat ibadat,
dan intimidasi terhadap kelompok beragama lain. Contoh kasus pelanggaran
kebebasan beragama : 1. Kasus para penganut syiah mendapatkan tekanan untuk
menghentikan segala aktifitas keagamaannya karena bertentangan dengan
paham mayoritas agama setempat (daerah Sampang) hal itu dianggap sebagai
tindakan penodaan terhadap pemurnian agama dan berpotensi mengganggu
ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Alasan tersebut
dijadikan para tokoh masyarakat untuk menghentikan segala ritual keagamaannya
yang berujung pada aksi kekerasan berupa pembakaran dan pengusiran terhadap
warga syiah dari kampung halamannya. [8] 2. 27 Juli 2015 terjadi Aksi
pembakaran terhadap komplek masjid dan pertokoan milik umat muslim pada
saat melaksanakan shalat idul fitri di Tolikara, Papua. 3. Dan diketahui
pemberitaan baru, pada tanggal 27 September 2016 pernyataan gubernur Jakarta
yang di anggap menistakan agama dalam pidato Pilgub DKI 2017 di Kepulauan
Seribu yang menyinggung Surat Al-Maidah
ayat 51 "Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu
enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu.
Itu hak bapak ibu.” Ujar Gubernur Jakarta tersebut. 4. Dan lain-lain.
Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
Kebebasan beragama merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada
setiap individu sejak dia terlahir ke dunia. Setiap bentuk penghapusan terhadap
kebebasan beragama pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran dan
pencideraan terhadap kodrat manusia. Pelanggaran terhadap kebebasan
seseorang untuk berkeyakinan dan beribadah merupakan tindakan yang tidak
dibenarkan oleh hukum. Hukum tersebut tertulis pada RUU KUHP.
Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan
perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Kategori III.
Pasal 343
Setiap orang yang dimuka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan
sifatNya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Kategori IV.
Pasal 344
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan
agama, Rasull, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Kategori IV.
Pasal 345
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan
tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu
rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 342 atau Pasal 344, dengan maksud agar isi tulisan,
gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih ditahui oleh umum, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak
Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu
belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah
memperoleh kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama,
maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk
menjalankan profesi tersebut.
Pasal 346
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan
maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 347
(1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan
hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan
keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Kategori IV.
(2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk
menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 348
Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan
ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Kategori III.
Pasal 349
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau
membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk
beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Kategori IV.

Penjelasan
Pasal 343
Menghina Ke-Agungan Tuhan, Firman, dan sifat-Nya, merupakan penghinaan
secara tidak langsung terhadap umat yang menghormati Ke-Agungan Tuhan,
Firman, dan sifat-Nya, dan akan dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok
umat yang bersangkutan. Di samping mencela perbuatan penghinaan tersebut,
Pasal ini bertujuan pula untuk mencegah terjadinya keresahan dan benturan
dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 344
Mengejek, menodai atau merendahkan Agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, Ajaran,
dan Ibadah Keagamaan harus dianggap sebagai perbuatan yang dapat merusak
kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia, dan karena itu harus
dilarang dan diancam pidana.
Pasal 345 (Cukup Jelas.)
Pasal 346
Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk
agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.
Pasal 347
Perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini diancam pidana lebih berat
daripada perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 342, karena secara
langsung dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok
masyarakat. Pasal 348
Seseorang atau umat yang sedang menjalankan ibadah atau seorang petugas
agama yang sedang melakukan tugasnya harus dihormati. Karena itu, perbuatan
mengejek atau mengolok-olok hal tersebut patut dipidana karena melanggar asas
hidup bermasyarakat yang menghormati kebebasan memeluk agama dan
kebebasan dalam menjalankan ibadah, di samping dapat menimbulkan benturan
dalam dan di antara kelompok masyarakat.
Pasal 349
Merusak, membakar, atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah
merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang
bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan
ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan
hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan melawan hukum.

Penutup

Kebebasan beragama masyarakat telah terjamin oleh Pancasila,


UndangUndang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Namun
meskipun telah terjamin, pelaksanaan kebebasan beragama masih belum
memuaskan, terbukti dengan masih banyak nya kasus pelanggaran hak
kebebasan beragama serta konflik antar umat beragama. Setiap bentuk
penghapusan terhadap kebebasan beragama merupakan bentuk pelanggaran
dan pencideraan terhadap kodrat manusia. Pelanggaran terhadap kebebasan
seseorang untuk berkeyakinan dan beribadah merupakan tindakan yang tidak
dibenarkan oleh hukum. Dan hukum tertulis tersebut diatur dalam RUU KUHP
BAB VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama.

Daftar Pustaka

Fadjar, A. Mukhtie, 2005. Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia Publishing.


hlm 7.
Kamus Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Jakarta: Pusat Bahasa. hlm 18 dan 155.
Moh. Mahfud, “Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Dasar Solusi Persoalan
Bangsa”, makalah ceramah umum Universitas Merdeka Malang, 2
Februari 2012.
El-Muhtaj, Maida, 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,
Jakarta: Kencana. hlm 159.
Fahmi, Agung Ali. 2011. Implementasi Jaminan Hukum HAM Atas Kebebasan
Beragama di Indonesia. Yogyakarta: Interpena. hlm 57.

Anda mungkin juga menyukai