Anda di halaman 1dari 8

TEAM 6 - JDEA

Dina Marlena 2502129152


Maghreza Perdana Alyafata 2502132582
Muhamad Resa Pangestu 2502129663
Sonny Al Fajri 2502129146

Tugas Kelompok ke-3

Week 8

Susunlah sebuah Paper/Makalah dengan pikiran dasar bersumber dari dua pernyataan di
bawah ini:

1. Kelompok-kelompok garis keras kerapkali membenarkan tindakan pembunuhan


untuk membela Tuhan. Pendapat demikian ditolak oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU)
dan juga mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Gus
Dur mengatakan bahwa 'Tuhan Tidak Perlu Dibela' (Tempo, 28 Juni
1982, Kompas.com, 7/9/2017), Gus Dur lebih setuju pendekatan yang positif-
konstruktif.

2. Pasal 29 UUD 1945 memberikan jaminan bagi kebebasan beragama di Indonesia.


Akan tetapi, dalam kenyataanya, kebebasan beragama kerapkali mengalami Padahal
tidak ada satupun agama di Indonesia yang mengajarkan tentang kekerasan dan
intoleransi.

Ketentuan Paper/Makalah sbb:

- Panjang Makalah 3-5 halaman


- Makalah ditulis dengan menggunakan huruf Calibri, Font 12, Spasi 1.5, ukuran
Normal, Justify, kertas A4.
- Wajib mencantumkan referensi minimal 3 buku/jurnal. Boleh menggunakan referensi
lain yang berasal dari Media, tapi itu tidak termasuk dalam jumlah 3 buku/jurnal.

Character Building: Agama


Globalisasi yang semakin berkembang, terutama dalam hal teknologi komunikasi dan
transportasi, telah meningkatkan tekanan pada aspek kemanusiaan dalam agama. Oleh
karena itu, penting untuk membangun dasar spiritual yang kuat untuk menjaga identitas
positif kita sendiri dan mempromosikan sikap saling menghargai dan pluralisme. Agama
tidak terpisahkan dari Tuhan, yang diyakini sebagai pencipta segala sesuatu. Manusia adalah
mahakarya Tuhan dan ketaatan pada-Nya dilakukan dengan mengikuti firman-Nya. Ketaatan
tanpa pamrih, mengikuti firman Tuhan, dan memenuhi rencana-Nya adalah suatu
kebahagiaan.
Menurut Gus Dur, Islam dapat dianggap sebagai etika sosial atau etika
kemasyarakatan yang disebut sebagai akhlaq. Konsep etika sosial ini adalah bagian dari
pemahaman Gus Dur mengenai tiga aspek utama dalam agama Islam, yaitu teologi (tauhid),
hukum (fiqh), dan akhlaq (etika sosial). Dalam konteks ini, akhlaq merujuk pada kepedulian
umat Islam terhadap kondisi masyarakat yang kurang mampu, sehingga keimanan mereka
tidak hanya berfokus pada diri sendiri, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain atau
masyarakat secara umum.
Manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk percaya kepada Tuhan dan
menyembah-Nya, dan karena latar belakang yang berbeda dari setiap manusia yang
berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu waktu ke waktu, agama menjadi
beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk
percaya kepada wujud Maha Tinggi tersebut. Hubungan antara manusia dengan Tuhan
adalah hubungan yang istimewa. Manusia sebagai makhluk tidak dapat dipisahkan dari sang
pencipta. Disadari atau tidak, sebenarnya semua kebutuhan manusia akan selalu tertuju
pada sang Pencipta. Bagi Gus Dur perbedaan adalah hal yang wajar, selama kita
berkeyakinan bahwa “Tuhan adalah Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT”.
Sama halnya dengan sikap kaum muslimin itu sendiri, selama orang Kristen percaya bahwa
Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan
Tuhan. Karena hal itu tidak ada pengaruhnya terhadap hakikat dan kebenaran Tuhan itu
sendiri sebagai kebenaran yang Tunggal dan Tertinggi. Dalam pandangan Gus Dur,

Character Building: Agama


pendidikan agama atau keagamaan meniscayakan lahirnya sebuah pandangan tentang
Tuhan yang lebih konkret, bukan Tuhan yang abstrak.
Bagi Gus Dur, selain kebenaran yang dapat dicapai melalui pengalaman esoterik,
Islam juga menawarkan kesempatan untuk mencapai kebenaran melalui proses dialetis.
Justru proses dialetis inilah yang membutuhkan tingkat toleransi yang sangat tinggi dari
pemeluk suatu keyakinan, dan Islam menyediakan wadah untuk itu, yaitu lingkungan sosial
terkecil yang disebut keluarga. Sikapnya yang begitu konsisten terhadap pluralisme
membuat banyak orang menaruh simpati dan berlindung padanya, khusunya kaum
minoritas atau yang juga disebut sebagai mustadh’afin. Secara teoritis, sebagai contoh
mungkin saja kemiskinan diberantas dalam suatu masyarakat, dengan masih ada satu dua
orang yang hidup dalam kemiskinan. Ini tidak mengurangi kemutlakan kekuasaan Allah,
tetapi akomodotif terhadap kebutuhan manusia.
Kebebasan beragama merupakan HAM dan HAM termasuk kepentingan manusia
yang paling penting di dalam masyarakat. Kebebasan beragama itu harus diikuti dengan rasa
tanggung jawab oleh pemeluknya untuk mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan
dalam agamanya masing-masing termasuk juga tidak menambah atau mengurangi kaidah-
kaidah keyakinan yang ada dalam agama yang dianutnya. Mengatur agar kebebasan
seseorang dalam beragama tidak mengganggu kebebasan beragama orang lain bukan soal
gampang. Di titik ini rambu-rambu hukum harus diperjelas seterang mungkin. Hukum mesti
menjadi penengah antara kebebasan satu individu/ kelompok dengan individu/kelompok
lain.
Kebebasan beragama adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara dan berrbangsa, sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh
negara maupun masyarakat. Oleh karena itu prinsip-prinsip kebebasan yang saat ini
semakin kencang dihembuskan, sepatutnya kebebasan itu tetap dalam koridor dan konteks
hukum yang berlaku di Indonesia. Posisi yang demikian ini mengharuskan semua pihak
tunduk dan patuh pada prinsip-prinsip negara hukum serta wajib menjunjung tinggi hukum
dan pemerintahan.
Kebebasan beragama dan menjalankan agamanya sepenuhnya dijamin oleh undang-
undang. Namun demikian, sepanjang sejarah keberagaman hidup dan pemikiran manusia

Character Building: Agama


dalam beragama, jalan untuk menemukan Tuhan dan agama itu tidak selalu mulus dan
sampai pada sasaran yang dituju karena, hampir bisa dipastikan terdapat sekelompok orang
maupun perorangan yang memiliki ritual-ritual menyimpang dari agama yang dianutnya.
Akibatnya, selalu ada pihak yang dinyatakan salah, sesat menyimpang dan keluar dari jalan
keagamaan.
Jaminan kebebasan beragama dan berkepercayaan warga negara dijamin secara
konstitusional dalam Pasal 29 UUD 1945. Setelah perubahan UUD 1945, kebebasan
memeluk agama dan kepercayaannya dimuat dalam bab tentang hak asasi manusia (HAM)
yang dijamin dan dilindungi oleh negara yaitu Bab XA Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I.
Pasal 28E ayat (1) : “ setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak kembali.” Pasal
28E ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hak beragama juga diakui sebagai hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensi dari adanya jaminan tersebut, setiap orang wajib menghormati kebebasan
beragama orang lain (Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945). Sebagai hak konstitusional dan hak
asasi, negara bertanggungjawab atau berkewajiban untuk mempromosikan (to promote),
melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), kebebasan beragama dan berkepercayaan
(Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).
Pasal 29 UUD 1945 secara tegas memberikan tugas kepada negara untuk menjamin
kebebasan beragama dan beribadah bagi para pemeluknya. UUD 1945 sebagai sebuah
konstitusi ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). UUD 1945
dirancang oleh Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal
29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945 (Sri Soemantri, 1987 : 3). Dalam Sidang
Pertama BPUPKI .Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Character Building: Agama


Kandungan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini adalah pasal hak asasi
manusia (HAM) yang tegas dan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebuah
aksi yang telah dirancang dengan sistematis, dilakukan secara profesional, dan didukung
pendanaan yang sangat besar. Setidaknya ada beberapa penyebab ideologi kekerasan dan
terorisme. adanya beberapa ajaran dalam agama yang disalah pahami. Dalam Islam ada
ajaran jihad dan mati syahid, yang dianggap membenarkan aksi-aksi keras teroris. Padahal,
jihad dan mati syahid tidak seperti yang mereka pahami. Ajaran ini merupakan
penghormatan puncak dari Tuhan kepada mereka yang menegakkan Ajaran-Nya dengan
cara-cara luhur, bukan dengan cara kekerasan hina seperti bom bunuh diri. Atas usul Otto
Iskandardinata dan Wongsonegoro, Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil tidak keberatan
untuk menerimanya. Radj iman mengambi l keputusan dan menyakan rumusan itu diterima
dengan suara bulat, Pasal 29 UUD 1945 berbunyi:
1. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Demikianlah kebebasan beragama yang berhasil disepakati dan dimasukan di dalam


UUD 1945. Pendiri negara Indonesia menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang
bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Suatu pilihan bahwa negara Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat (1) UUD
1945). Ketentuan ini mengikat negara sebagai organisasi. Ketentuan tersebut menguatkan
sila pertama dari dasar negara Pancasila. Akhirnya muncul beberapa spekulasi-spekulasi
tentang agama islam sebagai agama yang keras, ekstrim, terorisme, penghancur, jahat, tidak
memiliki nilai-nilai keberagaman dan lain sebagainya. Hal-hal inilah yang menjadikan
masyarakat menilai terhadap suatu yang dilihatnya, padahal islam adalah agama yang
damai, karena agama islam belum tentu muslimnya, pada syariatnya islam. Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah para ulama- ulama dan cendekiawan muslim harus mengambil
peran aktif dalam menjaga nilai-nilai Islam dan melindungi umat dari setiap paham dan
aliran yang menyimpang. Di antaranya dengan menetapkan pedoman untuk menyikapi

Character Building: Agama


suatu kelompok aliran tersebut sesat atau tidak berdasarkan analisa, kajian, dan dalil-dalil
yang bisa dipertanggung jawabkan.
Keberadaan peraturan perundang-undang dalam rangka menjamin kebebasan
beragama dan berkepercayaan, secara filosofis memiliki latar belakang dan landasan yang
kuat di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pembentukan undang-
undang di samping harus berdasarkan pada landasan filosofis, tentu perlu disesuaikan
dengan kemajuan dan perkembangan serta tuntutan masyarakat. Selain itu, harus pula
berdasarkan nilainilai agama, adat istiadat, dan budaya yang diyakininya. Hal ini merupakan
landasan sosiologis dalam pembentukan hukum. Penetapan ini akan menjadi pedoman bagi
umat Islam dalam suatu paham sehingga bisa menyikapi dengan benar. Undang-undang
perlindungan Agama yang tengah di godok oleh kementerian agama diasumsikan akan
menjawab beberapa tantangan persoalan keagamaan yang semakin kompleks dan rumit
dari waktu ke waktu. Karena regulasi setingkat UU yang terkait kerukunan dan perlindungan
umat beragama masih sangat minim. Hingga saat ini hanya ada UU no 1/1974 tentang
penodaan agama. Bahkan definisi tentang “agama” sendiri tidak ditemukan rujukannya
secara legal formal dalam UU manapun. Adapun semangat yang dibangun dalam
pembuatan UU tersebut diwarnai dengan semangat perlindungan, Pelayanan dan
penghormatan bukan mengontrol dan belenggu.

Character Building: Agama


Referensi:

Abdulah, Taufik. 1998. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara. Jakarta :
Widya Komputer Indonesia.

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, 139.

Ahmad Sukarja, 1995, piagam Madinah dan Undang-Undang dasar 1945, Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk,
UI Press, Jakarta

Asih Rachmani Endang Sumiwi Dan Joseph Christ Santo, Menerapkan Konsep Pelayan
Tuhan Perjanjian Baru Pada Masa Kini, Dalam Epigraphe Jurnal Teologi Dan
Pelayanan Kristiani Vol 3, No 2, November 2019, 102.

Deliar Noer, 1990, Muhammad Hatta: Biografi Politik, LP3ES, Jakarta.

Elyna Setyawati, “Analisis Nilai Moral Dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes
Davonar (Pendekatan Pragmatik)”, 27.

Jajim, Hamidi dan M. Husnu Abadi, 2001, Intervensi Negara terhadap Agama. UII Press,
Yogyakarta.

https://news.detik.com/berita/d-5491922/pasal-29-ayat-2-uud-1945--bunyi-dan-
implementasinya

https://media.neliti.com/media/publications/35396-ID-tindak-kekerasan-yang-
mengatasnamakan-agama-ditinjau-dari-tindak-pidana-penyalah.pdf

https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/implementasi-rekomendasi-kunci-terkait-
penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluang

Character Building: Agama


Machrus Ali, Kontribusi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Terhadap Pendidikan Islam
Di Indonesia,Skripsi, (Malang: Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, UIN
Maulana Malik Ibrahim, 2018), 74.M.Yamin, 1960, Naskah persiapan UUU 1945

Majda El-Muhtaj. 2007. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.

Nurcholis, Madjid. 1999. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta Selatan: Paramadina.

Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem perubahan Konstitusi. Bandung.

1992. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang dasar yang berlaku dan pernah berlaku di
Indonesia, dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung.

Syarif, Arif. 2013. Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. hlm 116.

Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013

Character Building: Agama

Anda mungkin juga menyukai