Anda di halaman 1dari 5

Teori Hukum

Problematika Penerapan Hukum Dalam RUU Penghapusan Kekerasan


Seksual
D o s e n P e m b i m b i n g : Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MS.

Oleh:

M u h a m m a d D z a k y / 216010101111035

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2021
Problematika Penerapan Hukum Dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual
Hukum itu bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang
akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. 1 Apabila kita berpegangan pada
apa yang dikatakan di atas, maka kita perlu terlebih dahulu mengetahui masyarakat yang
bagaimana yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia. Baru setelah diketahui masyarakat
yang bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum
yang bagaimana yang dapat membawa rakyat kita ke arah masyarakat yang dicit-citakan
itu, dan politik hukum yang bagaimana yang dapat menciptakan sistem hukum nasional
yang dikehendaki itu. bahwa paket undang-undang dalam bidang politik, dapat dijadikan
salah satu tolak ukur untuk melihat bangunan sistem kelembagaan negara yang dipakai. 2

Kekerasan seksual dianggap sebagai perilaku berbahaya yang dapat dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan kepada siapa pun. Korban dari kekerasan seksual dapat
mencakup istri atau suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat
hingga orang tak dikenal. World Health Organization (WHO) mengartikan kekerasan seksual
sebagai suatu perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual
seseorang tanpa mendapatkan persetujuan dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. 3

Dengan latar belakang keresahan dan tindak kekerasan seksual yang semakin sulit
dikendalikan serta laporan atas kasus yang terus bertambah setiap tahunnya, Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual hadir dengan harapan dapat membantu
melindungi korban seksual terutama perempuan yang jauh lebih berpotensi menjadi sasaran
kekerasan seksual. Peraturan yang ada sebelum dicanangkannya RUU PKS rupanya belum
kuat dan tidak cukup mengikat, misalnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang hanya fokus pada isu kekerasan rumah
tangga.

Rancangan Undang-Undang Pengahpusan Kekerasan Seksual atau yang biasa


dikenal dengan (RUU PKS), secara resmi ditarik dari prolegnas prioritas 2020, hal ini menuai
pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita ulas
definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang
1
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu? Alumni, Bandung, 1976, Hlm. 17.
2
Yuliandri, Membentuk Undang-Undang Berkelanjutan, Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Bekerjasama
dengan Pusako, Volume 2, Nomor 2, 2009, Hlm. 10
3
Mila Novita, Kenali Beragam Bentuk Kekerasan Seksual, Beda Dengan Pelecehan,
https://cantik.tempo.co/read/1340595/kenali-beragam-bentuk-kekerasan-seksual-beda-dengan-
pelecehan/full&view=ok, (diakses pada 17 November 2021).
terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi,
secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas,
karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual,
kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.4

Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek
penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum,
dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut: 5

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan
dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai
hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya
kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara
yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah
hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan
sistem hukum positif yang berbedabeda, membentuk konsep dasar yang dapat
menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori
umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum
sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan
akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law
menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental
dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi
dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan
pengalaman manusia.
4
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
5
W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal
Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 170.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini
mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-
juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun
dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law
berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten
menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak
hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum. 6

Dalam hubungan dengan pembaharuan hukum, Mochtar Kusumaatmadja


mengatakan bahwa suatu konsepsi yang erat hubungannya dengan usaha pembaharuan
hukum yakni hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat atau sarana pembaharuan
masyarakat. Konsepsi ini mirip dengan lal as a tool of social enginering yang di negara barat
pertama kali dipopulerkan oleh apa yang dikenal sebagai aliran pragmatic legal realisme.7
Dalam hubungan dengan pendapat Mochtar di atas, kita sudah berbicara mengenai fungsi
hukum atau sering juga disebut sebagai tujuan hukum, secara umum fungsi hukum ialah: a)
memelihara kepastian hukum; b) menjamin kepastian hukum; c) sebagai pengayom
masyarakat; d)pelerai perselisihan-perselisihan dalam masyarakat; e) membagi kekuasaan
dan kewenagan dalam negara dan pemerintahan; dan menegakan keadilan.8

Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Adalah adil jika suatu aturan diterapkan
pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan.
Adalah tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain
yang sama.9Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan
dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan
bahwa tindakan individu adalah adil atau tidak adil berarti legal atau ilegal, yaitu tindakan
tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai bagian
dari tata hukum positif. Hanya dalam makna legalitas inilah keadilan dapat masuk ke dalam
ilmu hukum. 10

Urgensi terkait percepatan pegesahan RUU PKS sebagai payung hukum yang
komprehensif dalam mengatur kekerasan seksual di Indonesia sudah beralasan sangat jelas.
Mulai dari terciptanya peluang, sudut pandang pelaku, dan korban dalam kasus kekerasan

6
Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition,
Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967).
7
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Bina Cipta, 1986,
Hlm. 8-9.
8
Bintan Regen Saragih, Op.cit, Hlm. 13.
9
Kelsen, Introduction …, Op.Cit., hal. 16 dan 25
10
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 14.
seksual. Keberadaan peraturan perundang-undangan yang mampu mengakomodasi dengan
baik menjadi sebuah landasan utama dari pertanyaan terkait mengapa kekerasan seksual ini
terus terjadi. Isu RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas 2020 menjadi perguncingan dari
segala penjuru negeri ini. Hal tersebut dapat terjadi karena jika melihat dari fakta yang ada
seakan tidak membenarkan jika rancangan undang-undang yang diharapkan mengisi
perlindungan hukum terkait kekerasan seksual ini dikesampingkan sedemikian rupa. Maka,
pembahasan mengenai urgensi ini telah tepat jika merujuk pada kesimpulan pentingnya
undang-undang yang bersifat lex specialis dan dibuat khusus untuk mengakomodasi
kekerasan seksual ini diupayakan untuk ada.

Hampir tidak ada norma yang memiliki bentuk sebagai motivasi secara langsung bagi
individu. Lebih dari itu, perilaku sosial selalu terkait dengan pembenaran nilai yang
menentukan bahwa tindakan sesuai aturan adalah baik dan yang bertentangan adalah
buruk. Jadi kesesuaian dengan tata aturan biasanya terkait dengan persetujuan orang
banyak sebagai reaksi. Reaksi dari kelompok sosial terhadap perilaku seseorang inilah yang
menjadi sanksi dari tata aturan tersebut. 11

Dari sudut pandang realistis, perbedaan yang menentukan adalah tidak antara tata
aturan yang keberlakuannya tergantung pada sanksi dan yang tidak tergantung pada sanksi.
Semua tatanan sosial paling tidak memiliki sanksi berupa reaksi spesifik dari komunitas atas
perbuatan anggotanya.Perbedaannya adalah bahwa tata aturan sosial tertentu di dalamnya
menentukan sanksi tertentu, sedangkan dalam tata aturan yang lain sanksinya adalah reaksi
otomatis dari komunitas.12

11
Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 27-28
12
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 16

Anda mungkin juga menyukai