0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan18 halaman
Dokumen tersebut membahas landasan hukum kejahatan seksual di Indonesia. Ia mendefinisikan kejahatan seksual, hubungan seksual di luar dan dalam perkawinan serta penyimpangannya. Dokumen ini juga membandingkan konstruksi hukum dalam Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Seksual dengan alternatifnya.
Deskripsi Asli:
Landasan Hukum Kejahatan Seksual; Konsep, Definisi, Cakupan (Memetakan Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dalam Perspektif Perundang-Undangan)
Oleh: Helmi Al Djufri, S.Sy., M.Si., dan Nurul Amalia, S.H., M.H. (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia-DKI Jakarta)
Dokumen tersebut membahas landasan hukum kejahatan seksual di Indonesia. Ia mendefinisikan kejahatan seksual, hubungan seksual di luar dan dalam perkawinan serta penyimpangannya. Dokumen ini juga membandingkan konstruksi hukum dalam Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Seksual dengan alternatifnya.
Dokumen tersebut membahas landasan hukum kejahatan seksual di Indonesia. Ia mendefinisikan kejahatan seksual, hubungan seksual di luar dan dalam perkawinan serta penyimpangannya. Dokumen ini juga membandingkan konstruksi hukum dalam Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Seksual dengan alternatifnya.
(Memetakan Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dalam Perspektif Perundang-Undangan)
Oleh: Helmi Al Djufri, S.Sy., M.Si., dan Nurul Amalia, S.H., M.H. (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia-DKI Jakarta 1. KONSEP DAN DEFINISI KEJAHATAN SEKSUAL DAN PENYIMPANGAN PERILAKU SEKSUAL
• Merumuskan definisi “kejahatan seksual”
dapat dilihat dari bunyi pasal-pasal yang tercantum dalam Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan pada KUHP, hal mana rumusan unsur pasal kejahatan kesusilaan merupakan substansi dari kejahatan seksual itu sendiri Definisi perbuatan cabul menurut R. Soesilo dalam KUHP sebagai berikut: • “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya”. Persepsi “kata cabul” tidak dimuat dalam KUHP, akan tetapi menurut Mr. J.M. Van Bemmelen terhadap arti kata cabul merumuskan: • “…..pembuat undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas tentang pengertian cabul dan sama sekali menyerahkan kepada hakim untuk memutuskan apakah suatu tindakan tertentu harus atau dapat dianggap sebagai cabul atau tidak?”. • Perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam KUHP tidak dapat dipersepsikan sama dengan perkosaan, karena KUHP mengatur kedua bentuk perbuatan yang dimasukkan dalam Bab Kejahatan Kesusilaan. sehingga pada Pasal 292 KUHP yang mengatur mengenai pencabulan orang dewasa terhadap seseorang yang masih di bawah umur yang sama jenis kelaminnya, tentu saja tidak dapat dimaknai perbuatan sodomi, karena dilihat dari ancaman hukumannya timpang dengan perbuatan perkosaan yang korbannya adalah wanita. • Penyimpangan perilaku seksual di dalam KUHP pun tidak disebutkan secara jelas, akan tetapi terkait perbuatan tersebut sebenarnya dapat dilihat dari rumusan Pasal 290 KUHP. Dengan demikian dalam rumusan-rumusan delik yang diatur dalam pasal-pasal pada Bab Kedua tentang Kejahatan Kesusilaan, penyimpangan perilaku seksual dapat dimaknai sebagai berikut: • Tindakan persetubuhan seorang yang sama jenis kelaminnya yaitu pelaku laki-laki dan korban pun laki-laki (gay) • Tindakan persetubuhan seseorang yang sama jenis kelaminnya yaitu perempuan dengan perempuan (lesbian) • Dilakukan dengan kekerasan dan atau ancaman kekerasan • Dilakukan terhadap seseorang yang patut diduganya berumur belum lima belas tahun atau belum waktunya kawin. • Pada definisi Kejahatan Seksual baik Perkosaan maupun pencabulan harus memenuhi syarat adanya “kekerasan dan atau ancaman kekerasan, adanya pemaksaan kehendak terhadaap seseorang dan syarat lain bagi penyimpangan seksual adalah korban masih di bawah umur atau belum patut kawin. • Saat ini KUHP tidak menjangkau perilaku kejahatan dan penyimpangan seksual yang dilakukan secara sukarela atau suka sama suka, sehingga tentu saja dalam mendefinisikan Kejahatan Seksual seharusnya tidak terbatas pada adanya kekerasan ataupun ancaman kekerasan, dan adanya pemaksaan persetubuhan terhadap seseorang yang dilakukan oleh orang lain. 2. TEORI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
• Menurut Utrecht (1958: 82-83) KUHPidana
membagi delik-delik (peristiwa pidana) itu dalam: kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding). Menurut Memorie van Toelichting (KUHP) pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarakan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechts delict) dan apa yang disebut delik undang-undang (wets delict). Perbedaannya: • Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana. Oleh sebab itu, maka termasuk azas- azas hukum positif itu jugalah azas-azas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undang-undang pidana. Dengan kata lain: termasuk azas-azas tersebut jugalah perbuatan-perbuatan yang dapat saya sebut strafwaardig (bukan strafbaar), yaitu perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikenai hukuman tetapi undang-undang pidana tidak menyebutnya sebagai delik. Contoh: • permohonan pengujian undang-undang terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, dalam kesadaran hukum masyarakat bahwa zina adalah dilarang menurut agama, adat dan moral Pancasila, pemohon meminta agar makna zina diperluas, tidak terbatas atau menjadi suatu sarat perbuatan pidana yang pelakunya salah satunya terikat perkawinan. • Dasar pemikiran pemohon sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung, makna zina yang diperluas oleh Mahkamah Agung sebagaimana Yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1976 tanggal 19-11-1977 dinyatakan: “Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dengan KUHP. Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”. • Yang dimaksud dengan delik undang-undang (wets delict) itulah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat. • Menurut Gewin sebagaimana dikutip Utrecht (1958 89) ia melihat kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan, sedangkan pelanggaran lebih boleh dilihat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum (publik) yang dibuat manusia. Menurut Utrecht (1958: 87) bahwa pada hakekatnya setelah tahun 1915 di Indonesia tetap mengenal tiga macam pembagian delik, yaitu: • Kejahatan, • Kejahatan enteng, • Pelanggaran. 3. JENIS HUBUNGAN SEKSUAL DI DALAM DAN LUAR PERKAWINAN DAN PENYIMPANGANNYA
• PERZINAAN dan turunannya
• PENYIMPANGAN SEKSUAL dan turunannya • HOMOSEKSUAL* dan turunannya 4. ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN RUU P-KS & ALTERNATIF No RUU P-KS RUU ALTERNATIF 1 Menghilangkan pertimbangan moral, Menjadikan pertimbangan moral, nilai- nilai-nilai agama, keamanan dan nilai agama, keamanan dan ketertiban ketertiban umum (Pasal 28J UUD umum sebagai landasan utama (Pasal 28J 1945) UUD 1945
2 Memandang agama dan moral Penyusunan didasarkan pada tujuan atas
sebagai salah satu sumber terjadinya besarnya kebutuhan terhadap hukum kekerasan pada perempuan pada untuk melindungi masyarakat dari segala aspek pemaksaan busana dan bentuk kejahatan seksual hubungan seksual
3 Mengadopsi faham HAM Universal Menggali dan meninternalisasi nilai-nilai
secara bulat HAM partikular (nilai-nilai hak asasi manusia yang hidup, berkembang dan diyakini masyarakat) 4 Perlindungan atas kekerasan Perlindungan dari segala bentuk seksual hanya menutup kejahatan seksual bersifat sebagian kecil masalah dari menyeluruh kejahatan seksual
5 Mendasarkan penyusunan pada Mendasarkan penyusunan pada nilai-
pengalaman korban kekerasan nilai dasar agama, moral bangsa dan seksual (kekosongan hukum pada Pancasila beban pembuktian kekerasan seksual)
6 Berfokus pada penindakan pelaku Berfokus pada penghapusan
kekerasan seksual, bukan pada kejahatan seksual dari hulu akar terjadinya kekerasan seksual (pencegahan, penindakan) ke hilir (beban pembuktian, pemenuhan rasa keadilan korban) Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barokatuh