Anda di halaman 1dari 10

BIDANG LEGISLASI

FRAKSI PKS DPR-RI

USULAN FRAKSI PKS TERHADAP


RUU TENTANG TINDAK PIDANA SEKSUAL/
RUU TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
(DRAFT 28 OKTOBER 2021)

1. FPKS mengusulkan untuk mengganti judul RUU menjadi: “RUU tentang


Tindak Pidana Seksual”

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR... TAHUN…
TENTANG
TINDAK PIDANA SEKSUAL

Argumentasi penggantian Judul RUU tersebut adalah sebagai berikut:

 Menurut pakar hukum pidana, Prof. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.,


nomenklatur “Tindak Pidana Seksual” bisa mencakup semua tindak
pidana yang berkaitan dengan seksualitas, baik yang menggunakan
kekerasan, maupun yang tidak menggunakan kekerasan bisa termasuk
di dalamnya. FPKS memandang nomenklatur “Tindak Pidana Seksual”
lebih efektif dan komprehensif untuk menggambarkan rumusan
tindak pidana yang terdiri atas kekerasan seksual, perzinahan, dan
penyimpangan seksual;

 RUU tentang Tindak Pidana Seksual ini merupakan Hukum Pidana


Khusus yaitu peraturan perundang-undangan di bidang tertentu yang
memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam
perundang-undangan khusus di luar KUHP. Di Indonesia, perkembangan
Hukum Pidana Khusus yang merupakan undang-undang di luar KUHP
sudah dilakukan, antara lain UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah
dengan uu Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai
Hukum Pidana Khusus, RUU tentang Tindak Pidana Seksual ini
mengatur secara lebih komprehensif hukum pidana yang terdapat
dalam Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan, sehingga rumusan
deliknya tidak hanya berkaitan dengan kekerasan seksual saja, tetapi
juga delik lainnya yang oleh hukum dapa ditentukan sebagai tindak
pidana seperti perzinahan dan penyimpangan seksual;
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

 KUHP yang merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia


masih membedakan Tindak Pidana menjadi Kejahatan dan Pelanggaran.
Sedangkan RUU KUHP tidak lagi membedakan kualifikasi Tindak
Pidana (Strafbaarfeit) berupa Kejahatan (Missdrijven) dan
Pelanggaran (Overtredingen). Hal ini disebabkan oleh: 1) Tidak dapat
dipertahankannya lagi kriteria pembedaan kualitatif antara “rechtsdelict”
dan “wetdelict” yang melatarbelakangi penggolongan dua jenis tindak
pidana itu; 2) Penggolongan dua jenis tindak pidana itu pada zaman
Hindia Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu
itu. “Pelanggaran” pada dasarnya diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan
Kepolisian) dengan hukum acaranya sendiri, dan “Kejahatan” diperiksa
oleh Landraad (Pengadilan negeri) atau Raad van Justitie (Pengadilan
Tinggi) dengan hukum acaranya sendiri pula. Pembagian kompetensi
seperti itu tidak dikenal lagi saat ini;

 Walaupun Konsep Tindak Pidana tidak lagi mengenai pembagian


Kejahatan dan Pelanggaran sebagai suatu “kualifikasi delik”, namun di
dalam pola kerjanya, konsep masih mengadakan pengklasifikasian
bobot delik sebagai berikut: 1) Delik yang dipandang “sangat ringan”
yaitu yang hanya diancam dengan pidana denda ringan (kategori 1 atau
II) secara tunggal; 2) Delik yang dipandang “berat”, yaitu delik-delik
yang pada dasarnya patut diancam dengan pidana penjara di atas 1
(satu) tahun s/d 7 (tujuh) tahun; 3) Delik yang dipandang “sangat
berat/sangat serius”, yaitu delik yang diancam dengan pidana penjara
di atas 7 (tujuh) tahun atau diancam dengan pidana lebih berat (yaitu
pidana mati atau penjara seumur hidup).

2. Mengubah Poin “Menimbang” dengan Menegaskan bahwa Tindak


Pidana Seksual Bertentangan dengan Nilai Kemanusiaan, Harkat dan
Martabat sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945

a. bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat dan berhak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan derajat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa Tindak Pidana Seksual bertentangan dengan nilai-nilai agama,


nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan bertentangan dengan harkat
dan martabat manusia serta mengganggu keamanan dan ketentraman
masyarakat;
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

Argumentasi perubahan klausul “Menimbang” sebagai landasan filosofis


penyusunan RUU yaitu sebagai berikut:

 Negara Hukum Indonesia menggunakan nilai-nilai sebagaimana yang


terdapat dalam Pancasila yaitu Nilai Ketuhanan (Belief Of God), Nilai-nilai
Kemanusiaan (Humanity), Nilai Persatuan (Unity), Nilai Demokrasi
(Democracy) dan Nilai Keadilan Sosial (Social Justice);

 Dalam Pancasila, khususnya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjamin
pentingnya perlindungan martabat manusia sebagai makhluk mulia yang
diciptakan oleh Tuhan YME. Salah satu pengaturan tentang
perlindungan martabat kemanusiaan (humandignity) dalam UUDNRI
Tahun 1945 diatur dalam pasal 28G. Selain itu, Indonesia merupakan
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 29 UUDNRI Tahun 1945;

 Untuk menjamin adanya perlindungan terhadap martabat kemanusiaan


sebagai makhluk Tuhan tersebut, maka diperlukan suatu politik hukum
(legal policy) tentang penghapusan Tindak Pidana Seksual yang
komprehensif. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan
dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa belum sepenuhnya
terinternalisasi dalam politik hukum (legal policy) RUU tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual/Penghapusan Kekerasan Seksual ini.

3. Mengganti Rumusan Tindak Pidana dengan Mengakomodasi Kekerasan


Seksual, Perzinahan, dan Penyimpangan Seksual

Pasal…
(1) Setiap orang yang mengucapkan kata-kata yang melanggar kesusilaan
dan bersifat porno kepada seseorang yang tidak terikat perkawinan
dengannya, dengan maksud melakukan pelecehan seksual secara
verbal diancam dengan dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
bulan dan paling lama 6 (enam) bulan;
(2) Setiap orang yang dengan sengaja meraba, menyentuh tubuh organ
vital, mencium atau memeluk orang lain yang tidak terikat
perkawinan dengannya, diancam karena melakukan pelecehan
seksual dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun;
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan organ vital kepada
orang lain yang tidak terikat perkawinan dengannya, diancam karena
melakukan pelecehan seksual dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun;
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

(4) Setiap orang yang mengirim dan/atau menyebarluaskan gambar


dan/atau rekaman alat vital kepada orang lain, diancam karena
melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun.

Pasal …
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual, atau memasukkan
dan/atau menggesekkan alat kelaminnya ke alat kelamin, anus,
mulut, atau bagian tubuh orang lain yang patut diduga sebagai
hubungan seksual dengan orang yang tidak terikat perkawinan
dengannya diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 1 (satu) tahun;
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,
penyesatan, atau tipu daya, maka diancam dengan pidana penjara
paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal …
(1) Setiap orang yang menggunakan kekuasaan dengan cara kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama palsu
atau martabat palsu, dan/atau penyalahgunaan kepercayaan, agar
seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau dengan
orang lain, dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang
lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun;
(2) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual atau tindakan yang
memanfaatkan nafsu perkelaminan, hasrat seksual menyimpang,
dan/atau fungsi reproduksi orang lain dalam bentuk gambar atau
gambar bersuara, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal …
Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Seksual disertai pembatasan
ruang gerak dan/atau akses seseorang terhadap dunia luar atau
mencabut kebebasan seseorang atau menempatkan seseorang untuk
melayani kebutuhan seksual pelaku atau orang lain secara terus-menerus
atau berulang kali dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal …
Setiap orang yang menyuruh, menghasut, menyetujui, atau membiarkan
Tindak Pidana Seksual untuk tujuan intimidasi, paksaan, atau hukuman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun.
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

Pasal …
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul sesama jenis dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2
(dua) tahun dan dilakukan rehabilitasi.

Pasal …
Setiap orang yang melakukan hubungan seksual secara beramai-ramai
atau dengan bertukar pasangan yang terikat perkawinan, atau salah
satunya terikat perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan dilakukan
rehabilitasi.

Pasal …
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dan/atau persetubuhan
dengan mayat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dilakukan rehabilitasi.

Pasal …
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan hewan dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan dilakukan rehabilitasi.

Pasal …
(1) Dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang
bukan suami atau istrinya yaitu:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa
perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki
tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan melakukan persetubuhan.
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, anaknya,
atau Pihak Ketiga yang tercemar dengan alat bukti yang kuat.
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

Pasal …
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di
luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan;
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, anaknya,
atau Pihak Ketiga yang tercemar dengan alat bukti yang kuat.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan
oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat
keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.

Pasal …
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang
diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga sedarah
dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal …
(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain
yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun;
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa
orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal …
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap
Orang yang:
a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang
tersebut pingsan atau tidak berdaya;
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau
patut diduga Anak; atau
c. dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang Anak
melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan
cabul dengan orang lain.

Pasal …
Setiap Orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau
dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

Anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap


dirinya dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal …
(1) Setiap Orang yang melakukan percabulan dengan Anak kandung,
Anak tirinya, Anak angkatnya, atau Anak di bawah pengawasannya
yang dipercayakan padanya untuk diasuh atau dididik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun;
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun:
a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau
dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk
dijaga; atau
b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga
pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan karya, rumah
pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau
panti sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.

Pasal …
(1) Setiap Orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain
berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau
patut diduga Anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Anak kandung, Anak tiri, Anak angkat, atau Anak di bawah
pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal …
Setiap Orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain
melakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun.

Pasal …
(1) Setiap Orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan, atau
menyerahkan Anak kepada orang lain untuk melakukan percabulan,
pelacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menjanjikan Anak memperoleh pekerjaan atau janji lainnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

4. Menambahkan Kategori Pemberatan Pidana (Ditambah 1/3) Apabila


Tindak Pidana Seksual dilakukan Secara Penyimpangan Seksual

Pasal 8
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6 ditambah 1/3 (satu per tiga), apabila Tindak Pidana
Kekerasan Seksual tersebut:
a. dilakukan oleh dokter, tenaga kesehatan, tenaga pendidik, tenaga
kependidikan, pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang
dimasukkan ke lembaga, lembaga nonpemerintah, lembaga
internasional, rumah, rumah sakit, panti, balai atau orang yang
dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;
b. dilakukan secara berulang-ulang terhadap 1 (satu) orang yang sama;
c. dilakukan secara penyimpangan seksual, yaitu hubungan seksual
sesama jenis, dilakukan terhadap objek yang tidak lazim seperti
terhadap hewan atau mayat;
d. dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang;
e. dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) orang secara bersama-sama dan
bersekutu terhadap 1 (satu) orang yang sama;
f. dilakukan terhadap Anak;
g. dilakukan terhadap penyandang disabilitas;
h. dilakukan terhadap perempuan hamil;
i. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya;
j. dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan
bahaya, situasi konflik, bencana alam, atau perang;
k. mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis
berat, atau penyakit menular;
l. mengakibatkan terhentinya dan/atau rusaknya fungsi organ dan/atau
sistem reproduksi biologis; dan/atau
m. mengakibatkan korban meninggal dunia.
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

5. Menambahkan Kurikulum Pendidikan untuk Pencegahan Tindak Pidana


Seksual Berlandaskan Keimanan, Ketakwaan, dan Akhlak Mulia yang
Terintegrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pasal 60
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan
pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
(2) Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui bidang:
a. Pendidikan;
b. Pelayanan publik;
c. Pemerintahan dan tata kelola kelembagaan;
d. Ekonomi dan ketenagakerjaan;
e. Sosial dan budaya;
f. Teknologi informatika;
g. Keagamaan; dan
h. Keluarga.
(3) Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi pada:
a. situasi konflik;
b. bencana alam;
c. letak geografis wilayah; dan
d. situasi khusus lainnya.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana disebutkan pada ayat
(1) menyiapkan materi dan pedoman dalam pelaksanaan
Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal …
Bentuk Pencegahan Tindak Pidana Seksual melalui sektor pendidikan
meliputi:
a. menguatkan pendidikan karakter dan akhlak mulia yang
dilaksanakan sejak pendidikan Anak usia dini hingga pendidikan
tinggi;
b. menguatkan pengetahuan dan keterampilan pendidik dan tenaga
pendidikan pada pendidikan Anak usia dini sampai perguruan tinggi
tentang materi Pencegahan Tindak Pidana Seksual yang
berdasarkan norma sosial, budaya dan agama serta kesehatan; dan
c. memberikan edukasi terkait bahaya minuman beralkohol bagi
kesehatan, bahaya penyalahgunaan narkotika, serta bahaya
pornografi yang dapat memicu terjadinya Tindak Pidana Seksual;
d. menetapkan kebijakan Pencegahan Tindak Pidana Seksual dalam
lingkungan lembaga pendidikan.
BIDANG LEGISLASI
FRAKSI PKS DPR-RI

Argumentasi menambahkan Kurikulum Pendidikan untuk Pencegahan


Tindak Pidana Seksual yaitu sebagai berikut:

 Perlunya menyusun kurikulum pendidikan untuk pencegahan Tindak


Pidana Seksual berlandaskan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kurikulum
pendidikan tersebut dijabarkan mengenai larangan untuk melakukan
perbuatan seksual yang dilarang oleh agama dan norma masyarakat
Indonesia yaitu seks bebas dan seks menyimpang. Selain itu juga
dijabarkan mengenai upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari tindak
pidana seksual yaitu dengan mengenal fungsi tubuh secara biologis,
fisiologis, dan spiritual; menghindari pergaulan bebas yang bisa
menjerumuskan ke dalam penyalanggunaan narkoba dan minuman
beralkohol yang bisa memicu terjadinya tindak pidana seksual; serta
penguatan karakter generasi muda Indonesia agar beriman, bertakwa,
dan berakhlak mulia;

 Penyusunan kebijakan pencegahan Tindak Pidana Seksual melalui


pendidikan harus sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional bahwa
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUDNRI Tahun 1945 dan UU
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jangan sampai justru
kebijakan pendidikan untuk pencegahan Tindak Pidana Seksual ini
kontra produktif dengan tujuan tersebut. Pada 3 September 2021,
Mendikbud Ristek Nadiem Makarim sudah mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Melalui
Permen ini ditegaskan dan diatur cara-cara penanggulangan kekerasan
seksual. Sayangnya, Permen ini tidak mengatur perzinahan sebagai salah
satu bentuk tindak pidana seksual karena penentuan terjadinya
kekerasan seksual hanya didasarkan pada ada/tidak adanya kekerasan,
serta ada/tidak adanya persetujuan (sexual consent). Hal ini menunjukan
bahwa substansi peraturan ini tidak mempertimbangan ajaran Islam dan
agama lain, serta budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi
perlindungan marabat manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Anda mungkin juga menyukai