Anda di halaman 1dari 4

PERJALANAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) PENGHAPUSAN

KEKERASAN SEKSUAL

1. Pada tanggal 19 Mei 2016, Badan Legislasi DPR (Baleg) menerima Naskah Akademik dan
draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan usulan anggota DPR
(ditandatangani oleh 70 orang anggota legislatif).
2. Pada 6 Juni 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) bersama FPL telah menyerahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
kepada Pimpinan DPR, yang diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
3. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disepakati oleh Baleg dan Pemerintah untuk
masuk dalam daftar Prolegnas 2016 sebagai RUU prioritas (bersama 9 RUU lainnya),
pada tanggal 6 Juni 2016.
4. Pada Rabu, 8 Juni 2016, Komnas Perempuan menemui Presiden Joko Widodo untuk
melaporkan perkembangan penyusunan usulan draf RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual. Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan korban kekerasan
seksual dalam RUU tersebut, yang saat ini drafnya sudah masuk program legislasi
nasional (Prolegnas). Presiden Jokowi sangat mendukung pembahasan RUU ini, dan
pemerintah berkomitmen untuk mengawalnya hingga menjadi undang-undang.
Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa,
Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak Yohana Yambise dan Menteri Sekretaris
Negara Pratikno.1
5. Pada 19 September 2016, Komnas Perempuan dan FPL menyerahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual kepada Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) di
kantor Dewan Perwakilan Rakyat RI. KPPRI diminta untuk mengawal pembahasan dan
pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual agar
segera menjadi Undang-Undang.2
6. Pada tanggal 25 Oktober 2016, dalam Rapat Paripurna DPD Komite III DPD RI
menyampaikan hasil penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan
Kekerasan Seksual. Perumusan dilakukan bekerjasama dengan Komnas Perempuan.
Pada saat itu, DPR belum menyepakati agenda pembahasan RUU ini. Maka DPD menilai
penting untuk mengambil langkah lebih dulu, sebagai pendorong agar kebijakan nasional
mengenai kekerasan seksual ini segera diimplementasikan.3
7. Dalam Sidang Badan Legislasi DPR RI tanggal 31 Januari 2017 mengenai RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi usulan DPR, Fraksi PKS menyatakan
MENYETUJUI hasil Panja Badan Legislasi, namun mengajukan PERUBAHAN sebagaimana
telah dijabarkan di bawah ini.
a. Definisi yang dituangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebagai
berikut:

1
http://mampu.or.id/staging/cerita-perubahan/komnas-perempuan-sampaikan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-
kepada-presiden/
2
https://kumparan.com/@kumparannews/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-dan-nasib-perempuan-indonesia
3
https://www.jpnn.com/news/dpd-sahkan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual

Halaman 1|
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,
dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau
fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Definisi yang diusulkan dalam RUU ini bermasalah dalam hal:
- tidak fokus, melebar ke permasalahan di luar tindak kejahatan seksual (ekses:
pernikahan, kontrasepsi, dan aborsi);
- tidak memberikan batasan mengenai istilah “merendahkan”, padahal kata tersebut
cenderung subyektif/relatif; dan
- tidak memperhitungkan resiko korban dapat kehilangan nyawanya oleh tindakan
kejahatan seksual;
- memasukkan unsur “hasrat seksual” yang luas yang dapat berimplikasi pada permisif
terhadap perilaku seksual yang menyimpang.
- menggunakan istilah “relasi kuasa” yang dapat disalah-pahami dengan “relasi suami-
istri”, sehingga berpotensi menimbulkan polemik dalam kehidupan berumah-tangga.
Fraksi PKS mengajukan usulan definisi menjadi sebagai berikut:
“Kejahatan Seksual adalah setiap perbuatan terhadap tubuh dan fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa;”

b. Penggunaan istilah Kejahatan Seksual untuk menggantikan istilah “kekerasan seksual”.


- menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas sehingga
dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana
dalam pembuktian.
- istilah kejahatan seksual juga sudah digunakan dalam UU Perlindungan Anak.
Dengan demikian, istilah Kejahatan Seksual lebih memenuhi kriteria “darurat kejahatan
seksual” yang sedang terjadi di masyarakat, lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan
istilah “Kekerasan Seksual”, sehingga perlu untuk mengganti judul menjadi RUU Penghapusan
Kejahatan Seksual.

c. Fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual; fokus hanya pada tindak
kejahatan seksual yaitu:
- Pemerkosaan
- Penyiksaan seksual
- Penyimpangan perilaku seksual
- Pelibatan anak dalam tindakan seksual
- Inses

d. Dengan pertimbangan judul menggunakan kata “Penghapusan” maka selayaknya RUU


tersebut juga menitik-beratkan kontennya pada tindakan pencegahan. Tindak kejahatan
seksual banyak dilatar-belakangi oleh pengaruh:
- terpapar pornografi
- konsumsi minuman beralkohol/minuman keras
- penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif)

Halaman 2|
- terpapar tayangan konten tindak kekerasan (violence) dan tindak asosial melalui game-
online, film, dan TV.

Sehingga bagian pencegahan harus mencakup permasalahan-permasalahan tersebut.

e. Fraksi PKS berpandangan bahwa penting untuk menggunakan pendekatan ketaatan


terhadap Agama sebagai perspektif dalam pencegahan kejahatan seksual. Ketaatan terhadap
ajaran Agama yang dianut dapat menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa
berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang
karena dianggap sebagai perbuatan dosa. Hal ini sejalan pula dengan maksa filosofis Sila ke-
2 Pancasila yang dijiwai oleh Sila ke-1 bahwa upaya-upaya untuk mewujudkan kemanusiaan
yang adil dan beradab dengan menentang segala perbuatan keji, jahat, tercela yang tidak
mencerminkan keberadaban sebagai manusia, haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu, FPKS mengusulkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa
dimasukan dalam Pasal 2 RUU, sehingga menjadi.

Penghapusan Kekerasan Seksual didasarkan pada asas:


- Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
- Non-diskriminasi;
- Kepentingan terbaik bagi korban;
- Keadilan;
- Kemanfaatan; dan
- Kepastian hukum.”

8. Pimpinan legislatif mengirimkan surat dan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
kepada Pemerintah pada 6 April 2017, setelah disahkan dalam paripurna sebagai inisiatif
DPR.
Namun perlu dicatat bahwa Naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disetujui
Baleg tersebut masih terdapat catatan-catatan dan bagian batang tubuhnya masih belum
lengkap. Sehingga masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Namun, hasil akhir
perbaikan naskah tidak dikomunikasikan ke Fraksi-Fraksi, dan langsung dikirimkan ke
Pemerintah untuk dimintakan tanggapannya.
9. Rapat Kerja Komisi VIII dengan KPPPA pada tanggal 11 September 2017 mengenai Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Perlu dicatat bahwa pada rapat terakhir Baleg RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
akan diusulkan untuk kelak dibahas oleh Panitia Khusus (dengan Komisi III sebagai
leading committee) dengan pertimbangan konten dari RUU tersebut lintas-bidang dan
lintas kementerian. Namun, Komisi VIII mendapat penugasan dari Pimpinan Legislatif
untuk membahas DIM Pemerintah, yang berarti dibahas oleh Panitia Kerja, bukan Panitia
Khusus.
10. Umumnya anggota legislatif Komisi VIII tidak mengetahui mengapa terjadi perubahan
dari rencana Pansus menjadi Panja, dan mengapa dari rencana leading committee Komisi
III menjadi Komisi VIII. Dengan penugasan yang dirasa tiba-tiba ini, maka Komisi VIII
walaupun menyetujui untuk maju ke pembahasan tingkat I, memberikan waktu untuk
setiap anggota komisi VIII mempelajari DIM Pemerintah.

Halaman 3|
11. DIM Pemerintah terdiri dari 774 poin dari 152 pasal RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual yang diusulkan oleh DPR. Pemerintah mengusulkan banyak perubahan dan
penghapusan pasal, hingga DIM Pemerintah secara total hanya 50 pasal. Alasannya
adalah materi yang bersifat teknis akan diatur dalam Perpres tentang Kebijakan Nasional
Pencegahan Kekerasan Seksual dan beberapa pasal harus dihapus karena sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Beberapa UU terkait yang juga bersinggungan dengan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual adalah:
UU Perkawinan, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan Anak, UU
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUH Pidana), dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
12. Rapat Dengar Pendapat telah dilakukan sebanyak 5 kali pertemuan dengan
mengundang:
- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
- Pakar Psikologi (DR. Ikhsan Gumilar dan DR. Bagus Priyono) serta Pakar
Kesehatan (Dr. Dewi Inong Irana, SpKK, FINSDV, FAADV) - Kamis, 25 Oktober
2018
- Forum Keagamaan (MUI, PGI, WALUBI) serta Kongres Ulama Perempuan
Indonesia, Rabu 3 Oktober 2018
- Ormas Muhammadiyah, PBNU, AILA (Aliansi Cinta Keluarga), PWKI (Persatuan
Wanita Kristen Indonesia) dan Wanita Hindhu Dharma Indonesia - Rabu, 31
Januari 2018
- Pakar Hukum (Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. dan Dr. Chairul Huda, S.H., M.H)
dan Pakar Sosiologi (Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si). - Senin, 29 Januari 2018
13. Jadwal Pembahasan Tingkat I masih belum ditetapkan oleh Komisi VIII.

Halaman 4|

Anda mungkin juga menyukai