Anda di halaman 1dari 10

TENTANG :

UNDANG UNDANG
ANTI PORNOGRAFI
DI SUSUN
O
L
E
H
Nama
Kelas

: MARDIATUN HASANAH
: XC

SMA PEMBANGUNAN
BAGAN BATU
TAHUN PELAJARAN 2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama
Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian
menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undangundang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya).
Oleh karenanya pemakalah disini mencoba untuk membahas tentang pornografi dan kaitannya
dengan undang-undang APP.

2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan agar tidak melebar luas, disini pemakalah memberi batasan
yakni sebagai berikut:
1. Apa definisi dari pornografi itu dan bagaimana rancangan undang-undangnya?
2. kapan disahkannya UU Pornografi?
3. Adakah kontroversi tentang UU Pornografi tersebut? Jika ada apa saja?
4. Apa aturan tindak pidana tentang UU pornografi tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN
PORNOGRAFI DI INDONESIA DALAM PERSEPSI UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama


Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian
menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undangundang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi
undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan
dari masyarakat Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur
Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas
menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus
Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan
dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi
DEFINISI DAN RANCANGAN
Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam
perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93
pasal.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat
komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8
bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi
dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan
pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi
pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan)
yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini
adalah adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau
mempertontonkan pornografi".
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini
tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU
Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan
Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR.
Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU
Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.
Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah
materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam
masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya,
dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari
berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan
yang masih menolak RUU ini.
3

Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang
dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
DISAHKAN MENJADI UNDANG-UNDANG
Pada 28 Oktober 2008 RUU Pornografi disepakati 8 fraksi di DPR. Sekitar pukul 23.00 WIB,
Mereka menandatangani naskah draft, yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna.
Delapan fraksi tersebut adalah FPKS, FPAN, FPD, FPG, FPBR, FPPP, dan FKB. Sedang 2 fraksi
yakni FPDIP dan FPDS melakukan aksi 'walk out'. Sebelumnya, masing-masing fraksi
menyampaikan pandangan akhirnya. Hingga kemudian, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan.
"Kami dari pemerintah mewakili presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU
Pornografi," ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja pansus RUU Pornografi, di
Gedung DPR, Senayan. Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan,
pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan.
Pengesahan UU tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan 'walk out', yakni
Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan
setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini[16]. Pengesahan UU Pornografi ini juga diwarnai aksi
'walk out' dua orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG) yang menyatakan walk out secara perseorangan.
Keduanya merupakan anggota DPR dari FPG yang berasal dari Bali, yakni Nyoman Tisnawati Karna
dan Gde Sumanjaya Linggih
KONTROVERSI
Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung
diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat
yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang
berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain
RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan
tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan,
aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.
Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi
berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak
dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat
sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata,
seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran
barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi
adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam
masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap
karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat
membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif
dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang.
PENYERAGAMAN BUDAYA
RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur
moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku
berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas
kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu
mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
4

Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini.
Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya
Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat
akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan
adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi,
sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus
pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari
pemerintah dahulu (Pasal 37).
Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada
resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi
paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling
banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara
keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek
dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.
MENYUDUTKAN PEREMPUAN
RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum
perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari
pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah.
Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual.
Menurut logika agamis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan
pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan
tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak
akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.
Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang
tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.
BENTUK TOTALITARIANISME NEGARA
RUU Pornografi dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan
moralitas kehidupan personal warga negara, sehingga dapat menjebak negara untuk mempraktikkan
politik totalitarianisme. RUU Pornografi melihat perempuan dan anak-anak sebagai pelaku tindakan
pornografi yang dapat terkena jeratan hukum, dan menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya
menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban dari obyek eksploitasi. RUU pornografi
akan menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban yang kedua kalinya. Mereka menjadi
korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara.
Selain mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga
bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya
tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi.
Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum
publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang
seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. Seharusnya persoalan yang diatur RUU ini adalah masalah
yang benar-benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisasi dan eksploitasi seks pada
perempuan dan anak, penyalahgunaan materi pornografi yang tak bertanggung jawab, atau
penggunaan materi seksualitas di ruang publik. Selain tidak adanya batas antara ruang hukum publik
dan privat, RUU Pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Pasal 1 angka
1 mengungkapkan ...membangkitkan hasrat seksual. Isi pasal ini bertentangan dengan asas lex certa
dimana hukum haruslah bersifat tegas.
Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini
terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat.
RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum
merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di masyarakat.
FATWA MUI
5

MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang
perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk
segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.[1]
ATURAN TINDAK PIDANA DALAM UU PORNOGRAFI
Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan
memberantas penyebarluasan pornografi di Internet. Pemerintah Cina mengganggap masalah
Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius karena memicu berbagai
tindak kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar
44.000 situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal
berkaitan pornografi di Internet. Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi
situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri. Demikian pula, Pemerintah
Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi dengan keras menindak para pelaku
penyebaran pornografi terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk
pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada toko-toko di
Singapura.
Bagaimana di Indonesia? Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat
larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Peraturan perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan
belum memenuhi kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu,
sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU
APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU
Pornografi melalui Sidang Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap beberapa hal seperti
batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan
DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan
pertimbangan bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah
semakin luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai tindak
kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual dimana si pelaku
terdorong melakukannya setelah menonton film porno di internet, kasus maraknya penyebaran foto
bugil di internet dari hasil rekayasa foto, kasus jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa
maupun anak-anak, dan masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan
untuk segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, dan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, erutama bagi
anak dan perempuan.
Memproduksi, membuat dan menyebarluaskan Pornografi
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan
berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Bandingkan dengan sanksi pidana dalam UU ITE,
terhadap setiap orang yang menyebarkan informasi pornografi (pasal 27 ayat 1) dikenai pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Tampaknya, sanksi pidana dalam UU Pornografi lebih berat.
Bahkan, Pasal 27 ayat 1 UU ITE menggunakan kata dapat diaksesnya, yang berarti setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan
6

pornografi atau pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi pidana. Contoh, Seseorang memiliki
website. Bila di dalam website itu terdapat link (hubungan) ke website lain yang memuat gambar
porno maka orang itu dapat dituduh ikut menyebarluaskan pornografi atau mengarahkan orang lain
mengakses situs porno. Contoh yang lain, perbuatan seseorang mengirimkan pesan lewat email
kepada orang lain dan memberitahu keberadaan situs porno yang dapat diakses. Perbuatan orang itu
juga termasuk perbuatan menyebarluaskan pornografi yang dilarang dalam UUITE.
Dalam UU ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi elektronik sehingga
seolah-olah tampak asli. Kita sering mendengar dan melihat berita tentang tindak kriminal dari
pelaku rekayasa foto seperti foto artis, pejabat, atau orang lain yang diubah dari tidak bugil menjadi
bugil (seolah-olah foto asli). Kegiatan merekayasa foto tersebut termasuk perbuatan yang dilarang
dalam UU ITE terkait dengan pasal 35 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik.
Bagi si pelaku dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau
denda paling banyak 12 (duabelas) miliarrupiah.

Mengunduh, Memperbanyak, menggandakan, memperjualbelikan, menyewakan Pornografi


Kegiatan seperti mengcopy file Pornografi ke CD atau media penyimpanan yang lain, lalu
menyewakan atau menjualnya merupakan perbuatan yang melanggar Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi,
bagi si pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Kegiatan seseorang untuk memfasilitasi pembuatan, penggandaan, penyebarluasan, penjualan,
penyewaan, penggunaan produk pornografi merupakan kegiatan yang dilarang dalam pasal 7 UU
Pornografi. Bagi pelaku yang melanggar pasal 7 dikenai pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Bandingkan dengan UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang digunakan
untuk memfasilitasi perbuatan penyebarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam
pasal 34 ayat 1 UU ITE. Bagi pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Perbuatan itu termasuk
keterlibatan seseorang menyediakan fasilitas berupa perangkat keras komputer untuk menggandakan
atau memperbanyak file-file pornografi dalam CD atau media penyimpanan yang lain agar dapat
disebarluaskan.
Setiap orang yang memiliki produk pornografi mendapatkannya dengan cara membeli,
memperoleh secara gratis, atau mengunduh dari internet. Mengunduh adalah kegiatan mengalihkan
atau mengambil file dari sistem teknologi informasi dan komunikasi. Kegiatan mengunduh sering
dilakukan di internet, seperti mengunduh artikel ilmiah, berita, cerita humor, dan informasi lainnya.
Tapi, mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 5 UU Pornografi. Setiap
orang yang mengunduh pornografi dikenai pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda
paling banyak 2 miliar rupiah. Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap
akses situs porno agar tidak dapat diunduh dengan menyediakan software antipornografi. Meskipun
demikian, situs porno di internet bertambah jumlahnya setiap saat, sehingga penggunaan software
antipornografi perlu dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya memberdayakan peran orang tua
untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada anak-anak untuk tidak mengunduh pornografi
lewat internet atau media lainnya.

Pencegahan Pornografi dengan Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah


UU Pornografi tidak hanya memuat pasal-pasal larangan tetapi memuat pula peran serta masyarakat
dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan pornografi. Pasal 15 dikatakan Setiap orang
berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
pornografi. Selanjutnya, dalam ketentuan umum pada Pasal 1 yang dimaksud dengan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Untuk usia di bawah 18 tahun, akses
pornografi oleh anak-anak kemungkinan dilakukan lewat Internet, dan tempat yang mudah dijangkau
adalah Warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban mengawasi dan mencegah akses
pornografi lewat internet, misalnya mengatur posisi komputer agar menyulitkan pengunjung warnet
untuk mengakses situs porno, menggunakan software anti pornografi, dan upaya lainnya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan
dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet.
Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi misalnya penyuluhan ke sekolah-sekolah
tentang bahaya dan dampak pornografi. Masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk
mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya. Peran serta masyarakat harus sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maksudnya masyarakat tidak boleh melakukan
tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum
lainnya, hal ini ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU Pornografi.

Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi oleh Aparat Penegak Hukum


Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan untuk mencegah
dan memberantas penyebaran produk pornografi. Berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya
melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat termasuk pengguna komputer untuk memeriksa
keberadaan produk pornografi, menindak para pembuat website pornografi, melakukan penyuluhan
tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan Aparat tersebut dipertegas dalam Pasal 25
UU Pornografi tentang penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memeriksa file
komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. Pemilik
data atau penyimpan data atau penyedia jasa layanan elektronik wajib menyerahkan atau membuka
data elektornik yang diminta oleh Penyidik.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama
Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian
menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undangundang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi
undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat
komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober
2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan.
MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang
perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk
segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.
Peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi
9

http://ronny-hukum.blogspot.com/2009/04/tinjauan-aturan-tindak-pidana-dalam-uu_01.html

10

Anda mungkin juga menyukai