Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study Kebijakan Dakwah
Dosen Pengampu : Saerozi, S.Ag, M.pd.

Disusun Oleh :
1. Amanda Eliyatul Maghfiroh (2201036111)
2. Fathuddin Halim Santoso (2201036115)
3. Zikhra Dwi Imania (2201036117)
4. Nanda Diyah Amilia (2201036121)
5. Yuliana (2201036122)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pornografi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku generasi
muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai
korban murni maupun sebagai ”pelaku sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan
pornoaksi dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal ini bukan masalah baru, karena
Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) telah melarang pornografi dan telah menentukan hukumnya. Pornografi
dan pornoaksi berdampak pula terhadap perbuatan moral lainnya dan tindak pidana
lainnya, misalnya; perzinaan, pemerkosaan, pelacuran, aborsi, pembunuhan dan lain-
lain.1
Undang-Undang Pornografi nomor 44 tahun 2008 merupakan produk negara yang
pengesahaannya melalui proses cukup panjang, sekitar 10 tahun. Inipun diawali dengan
suatu rancangan dengan mengalami pengubahan, sebelumnya adalah dengan nama
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Dan Pornoaksi dengan singkatan sebagai
RUUAPP. Dalam perkembangan kemudian nama rancangan itu menjadi Rancangan
Undang-Undang Pornografi, dan selanjutnya melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia disahkan dan ditetapkan sebagai UndangUndang Pornografi .
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebijakan penegakan hukum terhadap Undang-undang No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi?
2. Bagaimana evaluasi tim penyusun mengenai UU No.44 tahun 2008 Aspek Sosiologis-
Historis, Agama-Budaya Serta HukumPolitik?
3. Apa saja faktor-faktor penunjang dan penghambat penegakan hukum terhadap Undang-
undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi?

1
Neng Djubaidah, Tinajauan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi,
disampaikan pada Rapat Terbatas: Penanganan Pornografi Dewan Pertimbangan Presiden, Rabu 30 Juni/17 Rajab
1431 H.
PEMBAHASAN

A. Pornografi Dalam Undang-Undang Pornografi


Undang-undang Pornografi memberi batasan perihal pornografi dan juga
merumuskan tentang macam atau bentuk tidak pidana pornografi. Berdasarkan jenis-jenis
tindak pidana pornografi yang dirumuskan dalam Undang-undang Pornografi, secara
umum dapat diberi batasan. Yang dimaksud tindak pidana pornografi adalah ”tindak
pidana yang mengandung segala perbuatan yang berhubungan dengan pornografi yang
dilarang oleh Undang-undang Pornografi dan diancam dengan pidana tertentu terhadap
barang siapa yang melanggarnya".2

Berdasarkan batasan pengertian tentang pornografi, tindak pidana pornografi


dapat diberi batasan yang lebih konkrit, yakni perbuatan dengan wujud dan cara apapun
yang berhubungan dengan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Namun demikian, ukuran rasa kesusilaan pada setiap orang atau masyarakat pada
umumnya berbeda. Hal ini tidak terlepas dari pangaruh agama, tempat dan waktu yang
membedakannya.

Sebagaimana diketahui bahwa setiap individu seharusnya tidak menegakkan


hukum saja tetapi juga norma-norma yang ada seperti norma agama dan norma
kesusilaan. Meskipun norma agama dan norma kesusilaan belum diadopsi ke dalam
norma hukum. Tetapi setiap individu tidak ada alasan untuk tidak mematuhi norma
agama dan norma kesusilaan. Dalam norma agama jelas bahwa ada aturan yang mengatur
setiap individu, dan ada juga nilai-nilai kesusilaan yang hidup dan dijunjung tinggi dalam
masyarakat yang harus dipatuhi. Sebenarnya banyak norma norma agama yang tanpa
disadari telah diadopsi oleh norma kesusilaan. Sehingga, melanggar norma agama dapat
sekaligus melanggar norma kesusilaan.

2
Adami Chazawi, 2009, Tindak Pidana Pornografi, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya. hlm. 3.
Penilaian mengenai sesuatu yang dikatakan pornografi yang melanggar norma
kesusilaan memang tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, sehingga dilihat dari beberapa sisi
dan juga dapat diukur dengan norma kesusilaan secara umum tentang patut atau tidak
patut suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi dan lainnya yang
bermuatan pornografi dan telah disebarluaskan, dipertunjukkan atau ditempel secara
terbuka dan bukan dari pandangan beberapa orang atau golongan saja. Hal ini juga
dipengaruhi oleh agama, budaya dan adat istiadat setempat. Lain halnya dengan gambar
atau foto yang bermuatan pornografi dimana menggambarkan seseorang yang telanjang
bulat sehingga terlihat semua bentuk tubuhnya, hal ini memang jelas dan bisa dikatakan
pornografi. Oleh karena itu, setiap kasus tentang tindak pidana pornografi penyelesainnya
dan penilainnya berbeda, karena ditentukan oleh pendapat umum yang harus ditinjau
secara tersendiri menurut agama, budaya, adat istiadat dan kebiasaan hidup masyarakat
dimana tindak pidana pornografi tersebut terjadi.

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa penghormatan


terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi dan perlindungan terhadap warga Negara. hal tersebut berarti bahwa
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini adalah :

1. Menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang brsumber pada ajaran agama.


2. Memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang
harus di patuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang
melanggarnya .
3. Melindungi setiap warga Negara, khususnya perempuan anak dan generasi muda
dari pengaruh buruk dan pornografi.3

Pengertian pornografi yang terdapat dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008


tentang Pornografi memiliki beberapa batasan terhadap tindak pidana pornografi seperti
perbuatan dengan segala bentuk, cara, dan yang berhubungan dengan gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang

3
Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 44 Thn 2008 Tentang Pornografi
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi yang mengandung kecabulan
harus berbentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, dan percakapan.Wujud yang disebutkan diatas harus memuat kecabulan
yang secara eksplisit seperti persenggamaan dan juga persenggamaan yang menyimpang,
kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak. Wujud tersebut sifatnya melekat pada
suatu benda dan benda itu disebut benda pornografi.

Tindak pidana Pornografi sudah diatur secara konkret dalam Undangundang


Pornografi yang dibentuk berdasarkan tiga pilar sebagai berikut :

1. Pengertian yuridis pornografi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Pornografi.


2. Objek pornografi yang disebutkan dengan tersebar dalam pasal-pasal Undang-
undang pornografi, seperti Pasal 1 angka 1, Pasal 4 sampai Pasal 12 Pasal 29 sampai
dengan Pasal 38 Undang-undang pornografi.
3. Perbuatan pornografi yang dilarang ada 33 perbuatan dalan 10 Pasal yang
merumuskan tindakan pidana pornografi dalam Pasal 29 sampai Pasal 38 Undang-
undang pornografi.4

Objek pornografi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang pornografi dapat


dimungkinkannya dengan perkembangan jaman yang semakin pesat dan munculnya
teknologi semakin canggih hakim dapat menentukan objek selain yang sudah disebutkan
diatas. Hal ini dimungkinkan karna dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang pornografi
menyebutkan klausa yang menyatakan “atas bentuk pesan lainnya”, hal ini khususnya
mengenai objek pesan melalui alat-alat komunikasi.

B. Tindakan Yang Dilarang Dalam Undang-Undang Pornografi


Perbuatan pornografi yang dilarang dalam Undang-Undang pornografi terdapat 33
perbuatan yang ada didalam 10 Pasal. Seperti dalam Pasal 29 Pasal 4 ayat 1 yang isinya
seperti berikut:

1. Pasal 29

4
Adami Chazawi, 2009, Tindak Pidana Pornografi, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya. hlm. 139.
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengekspor, menawarkan, memperjual belikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
alama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
6.000.000.000.00 (enam miliar rupiah).
2. Pasal 4 ayat 1
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang
secara eksplisit memuat :
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang.
b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. Alat kelamin, atau
f. Porografi anak.

Rumusan tindak pidana pornografi di atas terdiri atas perbuatan dan objek
perbuatan yang sekaligus obyek tindak pidana. Hal ini dapat dirinci unsur-unsur
tindak pidana sebagai berikut :

1) bentuk perbuatannya seperti: memproduksi, membuat, memperbanyak,


menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
2) bentuk objeknya seperti: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, pornografi anak. 10

Beberapa perbuatan yang diatur atas membuat jaringan hukum yang semakin rapat
sehingga para pelaku tidak ada yang lolos dari jeratan hukum dengan alasan tidak
masuk dalam salah satu dari perbuatan yang dirumuskan. Perbuatan perbuatan tersebut
ada sebagian yang tumpang tindih pengertiannya yang dimaksud seperti: perbuatan
memproduksi dengan membuat, antara memperbanyak di dengan menggandakan,
menyebarluaskan dengan mengedarkan dan memperjualbelikan.

Perbuatan-perbuatan yang diartikan diatas memang mirip dan ada yang saling
berkaitan arti dari perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini memang dibuat sedemikian
rupa dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang Pornografi.
Akibatnya dalam suatu kasus tertentu dapat dikenai dua atau tiga perbuatan sekaligus.
Semakin banyaknya perbuatan yang diatur maka semakin sulitnya pelaku untuk lolos
dari jeratan hokum

Tujuan dari Undang-undang Pornografi itu sendiri terdapat dalam Pasal 4


Undang-undang Pornografi, dimana tujuan dari Undang-undang Pernografi tersebut
salah satunya memberikan perlindungan bagi anak dan perempuan. Batas usia bagi
anak adalah 18 tahun, dimana seseorang yang usianya dibawah 18 tahun dapat
dikategorikan sebagai anak. Oleh karena itu film atau gambar yang bermuatan
pornografi didalamnya diberikan batasan usia 18 tahun. Batasan usia tersebut juga
dipergunakan sebagai patokan usia minimal kedewasaan seseorang dibidang pornografi
seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Pornografi.

Terhadap tindakan pornografi, perbuatan yang dilarang juga diatur dalam Pasal 6
Undang-undang Pornografi yang menyatakan dilarang memiliki atau menyimpan
produk pornografi, yang dimaksud adalah dilarang memiliki atau menyimpan produk
pornografi tidak termasuk untuk dirinya sendiri. Apabila seseorang yang memiliki atau
menyimpan produk pornografi yang tidak untuk disebarluaskan atau dijualbelikan
maka tidak termasuk dalam pasal tersebut. Pengecualianya juga diberikan kepada
pihak-pihak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti penyensor film,
lembaga yang mengawasi penyiaran, aparat penegak hukum, lembaga pelayanan
kesehatan seperti ditempat praktek kedokteran atau terapi kesehatan seksual dan
lembaga pendidikan.

C. Pengaturan Pornografi Dalam Undang-Undang


Pada dasarnya ada beberapa peraturan yang terkait dengan pornografi selain dari
Undang-undang Pornografi sendiri. Pihak Pemerintah, penegak hukum dan lembaga lain
yang terkait tinggal menjalankan sesuai dengan bidang masing-masing. Beberapa
undang-undang yang terkait dengan pornogarfi seperti berikut :
1. Undang-Undang Tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999, khusunya Pasal 5 ayat (1),
Pasal 13 ayat (1) huruf a, dan Pasal 18;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya
Pasal 78 dan Pasal 88
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, khusunya pada Pasal 5,
Pasal 36 ayat (5), Pasal 46 ayat (3) huruf d, Pasal 48 ayat (2) huruf a dan huruf b,
Pasal 48 ayat (4), Pasal 55, Pasal 57, dan Pasal 58
4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
khususnya Pasal 27 ayat (1)
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 282 dan Pasal 283.
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, juga diatur mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan pornografi, khususnya Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasall 48,
Pasal 50, Pasal 57, Pasal 78, dan Pasal 80

Kemudian berkaitan dengan Peraturan Pemerintah (PP) telah ada PP yakni;


Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, khususnya
Pasal 19 ayat (3). Yang semua itu telah menunjukkan dan menjadi dasar bahwa telah
cukup banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengatur tindak
pidana atau hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan atau pornografi.

Berbagai undang-undang di atas telah mengatur lebih dulu tentang pornografi


sebelum dikeluarkannya Undang-undang Pornografi. Undangundang yang ada tersebut
tidak mendifinisikan apa yang dimaksud dengan pornografi. Pengaturan pornografi
dalam undang-undang tersebut hanya beberapa pasal saja dan tidak secara lengkap
tentang pornografi. Berbagai tindakan pornografi yang diatur dalam undangundang di
atas seperti pornografi yang iatur dalam bentuk media seperti televisi, internet, majalah,
koran dan sebagainya.

D. Tindakan Pemerintah dan Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Pornografi


Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan umum yang diatur dalam Undang-
undang Pornografi yaitu selain penegak hukum, Pemerintah, Pemerintah Daerah juga
komponen masyarakat ikut dilibatkan dalam mencegah dan menanggulangi pornografi,
dimana masyarakat didorong untuk menempuh jalur hukum bagi media yang
menyebarkan atau menampilkan pornografi, dan membuat aturan tentang kepantasan
sebagai barometer pornografi. Peran Pemerintah tersebut sudah diatur dalam Pasal 17
Undang-undang Pornografi, dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Tindakan
Pemerintah dalam pencegahan tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Pornografi.
Dimana Pemerintah berwenang :
a) Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet.
b) Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi, dan
c) Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.

Tindakan Pemerintah dalam pencegahan sebagaimana yang dimaksud di atas,


Pemerintah Daerah juga diberi kewenangan yang tidak jauh beda dengan kewenangan
Pemerintah. Perbedaan kewenangan tersebut adalah terdapat kewenangan pada tindakan
yang dilakukan tertuju pada wilayah tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 19
Undangundang Pornografi.

Penegak hukum juga harus berupaya dengan melaksanakan deteksi dini, preemtif,
preventif dan represif. Upaya-upaya ini dapat meliputi sebagai berikut :

1) “Upaya yang dilakukan dengan deteksi dini, upaya ini dilakukan terhadap jaringan
atau sindikat produsen, penyalur/pengedar pornografi termasuk mendeteksi produser,
sutradara maupun fotografer pornografi”.5
2) ”Upaya pre-emtif merupakan pencegahan yang dilakukan secara dini melalui
kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran yang mempengaruhi faktor-faktor
penyebab, pendorong dan faktor peluang”.6
5
Rini, Bagaimana Upaya Untuk Menciptakan, http://www.jombangkab.go.id/egov/bagaimana.htm, di akses pada
hari Sabtu, 07 Juli 2008. hlm. 1.
6
Lockcit. hlm. 1.
3) ”Upaya preventif adalah tindakan yang dilakukan dengan pengawasan dan
pengendalian Police Hazard (PH) untuk mencegah suplay and demand agar tidak
saling interaksi, atau dengan kata lain mencegah terjadinya Ancaman Faktual (AF)
dari luar”.
4) ”upaya represif merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap
ancaman factual dengan sangsi yang tegas dan konsisten sesuai dengan undang-
undang yang berlaku untuk membuat efek jera”.7

Semakin lama semakin banyak media yang menampilkan hal-hal porno, ini dapat
merusak moral masyarakat, sudah selayaknya dicegah dan diberantas dari masyarakat
Indonesia. Dampaknya sudah banyak terjadi ditingkat kejahatan perkosaan dan tindak
asusila yang semakin bertambah akibat media-media yang menampilkan hal-hal yang
porno. Jika tidak segera dilakukan tindakan terhadap media ini, bisa merusak moral dan
akhlak generasi muda kita di masa depan. Selain dari Pemerintah dan aparat penegak
hukum serta masyarakat dapat bertindak cepat untuk menyikapi keberadaan media-
media porno ini. Masyarakat bisa melakukan class actionke pengadilan untuk mencegah
media porno ini. Perlu disadari betul bahwa media-media porno semacam ini lebih
banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, apalagi bagi generasi muda.

E. Analisis dan Evaluasi Aspek Sosiologis-Historis, Agama-Budaya Serta


HukumPolitik
1. Analisis Dan Evaluasi Aspek Sosiologis-Historis
Tim penyusun Analisis dan Evaluasi Mengenai Undang-Undang No. 44 Tahun
2008 Pornografi secara aspek Sosiologis-Historis merumuskannya sebagai berikut:
 Dalam proses penyusunan rancangan undang-undang yang pada waktu itu masih
disebut sebagai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Dan Pornoaksi
sampai kepada suatu usulan yang menemui titik kompromi yang kemudian
berubah namanya menjadi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi memang terlihat jelas adanya “pergumulan” demikian tajam atau
istilah lain pada masa itu menimbulkan pro-kontra dari berbagai kelompok dan
komponen masyarakat yakni; antara kelompok atau komponen yang lebih
mengedepankan aspek moralitas dan memiliki pendukung yang sangat besar

7
Lockcit. hlm. 1.
sebagai silent mayority, dengan kelompok atau komponen masyarakat yang
mengedepankan aspek kebebasan yang jumlahnya relatif lebih kecil namun
demikian vocal. Masing-masing kelompok itu memiliki alasan-alasannya dari
perbedaan pandangan yang timbul, hal itu merupakan sesuatu yang wajar dalam
kehidupan masyarakat demokratis.
 Kesalahpahaman persepsi dari bagian kelompok masyarakat yang seolaholah
undang-undang ini semata-mata identik dengan memperjuangkan kepentingan
nilai-nilai kelompok agama tertentu saja, menunjukkan bahwa 106 sosialisasi
mengenai isi, maksud dan tujuan diperlukannya undang-undang tersebut
sesungguhnya belum cukup maksimal, dan ini juga yang kemudian menimbulkan
kekhawatiran dari sekelompok masyarakat yang menentang dengan persepsi
bahwa keberadaan undang-undang tersebut akan “memasung” kebebasan
berekspresi dalam dunia seni dan penerapan nilainilai budaya adat yang
keberadaannya telah diakui bangsa Indonesia.
 Ruang perdebatan mengenai wacana dan tanggapan dari materi undangundang
dari bagian kelompok masyarakat, dalam perkembangan pro-kontra tersebut,
nampaknya telah terjadi kristalisasi perbedaan yang lebih bernuansa politis di
banding dengan kebutuhan yang didasarkan pertimbangan sosial dan hukum,
sehingga terjadi pembiasan makna. Kondisi ini menyebabkan maksud mulia
diperlakukannya undang-undang tersebut menjadi “tergerus” oleh opini yang
lebih bemuatan politis dari mereka yang menolak.
 Pada dasarnya, perbedaan pandangan dalam mensikapi lahirnya UndangUndang
No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dari komponen bangsa yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya memiliki titik pandang
yang sama yakni; bagaimana moralitas yang semua manusia Indonesia
mengakuinya sebagai suatu yang penting akan tetapi moralitas yang tumbuh tidak
memasung kebebasan yang bertanggungjawab. Sebaliknya juga kebebasan yang
secara hakekat diperlukan sebagai hak yang dimiliki bagi setiap insan manusia
Indonesia itu tidak melanggar batas moralitas yang merupakan jati diri dari bangsa
Indonesia yang religius, sosialistis, ber etika akhlakul kharimah dalam
membangun manusia 107 Indonesia dengan iman dan taqwa sebagai perwujudan
manusia Indonesia seutuhnya.
2. Analisis dan Evaluasi Aspek Agama-Budaya
Tim penyusun Analisis dan Evaluasi mengenai Undang-Undang No. 44 Tahun
2008 Pornografi, secara aspek Agama-Budaya telah dirumuskan sebagai berikut:
 Masyarakat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Meroke sesungguhnya
sebagai suatu bangunan bangsa Indonesia yang religius dan beradab. Kehidupan
nilai-nilai keagamaan telah melekat dan menyatu dalam prilaku budaya
masyarakatnya. Oleh sebab itu hal-hal yang tidak patut, tabu, tidak pantas, tidak
sopan, melanggar etika agama dan budaya masyarakat termasuk soal pelanggaran
moralitas dalam bentuk pornografi dan pornoaksi pada dasarnya dapat
meruntuhkan dan menghancurkan moralitas bangsa Indonesia.
 berdasarkan berbagai tanggapan dan opini serta berbagai kejadian tindakan
kriminal telah sampai 108 kepada kesimpulan bahwa berbagai penayangan yang
memperlihatkan tindak kekerasan, pemerkosaan, kebebasan yang tidak
mengindahlan lagi tata susila, nilai-nilai agama jelas telah menjadi ancaman yang
demikian mengkhawatirkan dalam membentuk watak serta kepribadian orang
Indonesia. Telah banyak penelitian yang telah dilakukan bagaimana akibat yang
ditimbulkan oleh penayangan pornografi dan pornoaksi pengaruhnya kepada
kerusakan perkembangan jiwa serta prilaku manusia. Oleh karena itu terlepas dari
berbagai pro-kontra, secara yuridis formal maupun politik kenegaraan, bagian
besar rakyat Indonesia mendukung adanya undangundang yang mengatur
mengenai pornografi yang tidak lain untuk terjaminnya pengamalan nilai-nilai
kehidupan beragama serta nilai-nilai budaya luhur bangsa.
 RUU tersebut dari sisi pandang kelompok masyarakat yang menolak
keberadaannya dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan
bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat
pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu
kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan
ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa
itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan
tata susila.
 Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis
adalah tidak benar. Hal ini terlihat adanya pertentangan dan 109 argumen yang
muncul dari berbagai kelompok masyarakat sebenarnya lebih kepada cara
pandang dan tafsir mengenai pornografi. RUU pornografi dianggap oleh sebagian
kelompok masyarakat mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar
sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang
secara plural di masyarakat. Akan tetapi harus diakui pula secara mayoritas baik
dari sudut pandang agama maupun kultur adanya rancangan undang-undang
hingga disahkannya menjadi undang-undang pornografi telah mendapatkan
dukungan kuat dari bagian besar komponen bangsa Indonesia.
3. Analisis dan Evaluasi Aspek Hukum-Politik
 Undang-Undang Pornografi merupakan suatu produk hukum berbentuk undang-
undang yang mengatur mengenai pornografi. Undang-undang ini disahkan dalam
Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008.
 Kontroversi Isi pasal UU Pornografi ini menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir,
dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat
sebaiknya disimpan di museum. Sedangkan kelompok yang menentang berasal
dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
 Analisis kekuatan untuk menggolkan RUU Pornografi secara perkiraan kuantitatif
di parlemen untuk kekuatan pendukung dan penolakan adalah 428 mendukung ini
terdiri dari; Praksi Golkar 129 kursi, PPP 58 kursi, Partai Demokrat 57 kursi, PAN
53 kursi, PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, BPD 20 kursi dan PBR 14 kursi.
Sedangkan kekuatan anggota parlemen yang menolak sebanyak 122 kursi, ini
berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebanyak 109 kursi
dan PDS sebanyak 13 kursi.8 Jadi dari aspek politik hukum keberadaan Undang-
Undang Pornografi memiliki legitimasi yang kuat.

8
Republika , 20 September 2008
 Dari segi legitimasi politik dan hukum ketatanegaraan, UU Pornografi dan
Pornoaksi yang kemudian disahkan menjadi UU Pornografi, pada akhirnya
ditentukan oleh kekuatan pendukung yang ada di Parlemen Repiblik Indonesia,
dalam hal ini para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (anggota DPR-RI). Melihat
kekuatan yang ada di DPR pada masa pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pornografi, anggota DPR terkelompok dalam 10 Fraksi dengan perimbangan
bahwa mereka yang mendukung dan menolak itu berbanding 8 (delapan) Fraksi
mendukung, dan 2 (dua) Fraksi menolak. Sedangkan pihak Eksekutif
(Pemerintah) memberi dukungan bagi penyelesaian RUU Pornografi, melalui
Surat Presiden No. 54 tanggal 20 September 2007
 Secara politis dan hukum, adanya bagian masyarakat yang memiliki pandangan
dan sikap yang menganggap bahwa undang-undang yang berhubungan dengan
pornografi tidaklah diperlukan, dengan alasan bahwa soal pelanggaran kesusilaan
telah terakomodasi dalam KUHP yang belum lebih diberdayakan. Seperti undang
undang yang sudah dijelaskan pada pemateri sebelumnya.
F. Faktor Penunjang dan Penghabat Hukum Terhadap Tindakan Pidana Pornografi
Terhadap proses tindak pidana pornografi secara normatif dan sosiologis terdapat
beberapa faktor yang menjadi penunjang maupun penghambat pelaksanaannya. Dibawah
ini beberapa faktor penunjang dan penghambat dari penegakan hukum terhadap tindak
pidana pornografi.
1. Faktor Penunjang
Kemajuan jaman dan kemajuan teknologi yang semakin canggih membuat
pornografi semakin menyebar di wilayah Indonesia. Tindakan untuk mencegah
pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi diperlukan keseriusan dari
aparat penegak hukum. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah pembuatan,
penyebarluasan dan penggunaan pornografi selain dari aparat penegak hukum yang
menegakkan undang-undang, juga di bantu oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
serta peran dari masyarakat sesuai yang diatur dalam Undang-undang Pornografi.
Sesuai Pasal 18 Undang-undang Pornografi dimana Pemerintah berwenang
melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau
jasa pornografi, termasuk juga pemblokiran pornografi melalui internet. Dimaksud
dengan pemblokiran pornografi melalui internet disini adalah pemblokiran barang
pornografi atau penyedia jasa pornografi. Pemerintah juga melakukan pengawasan
terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah diharapkan pornografi tidak sampai berdampak pada
masyarakat khususnya pada anak-anak. Selain itu Pemerintah melakukan kerja sama
dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
hal pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Kerja sama
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan pihak luar negeri, diharap dengan
cepat dapat memblokir jaringan internet yang bermuatan pornografi yang masuk ke
Indonesia. Sehingga jaringan internet yang masuk ke Indonesia benar-benar bersih dari
pornografi. Selain pemerintah, dalam Pasal 19 Undang-undang Pornografi menyatakan
Pemerintah Daerah juga diberi wewenang untuk melakukan pemutusan jaringan
pembuatan dan penyebarluasan pornografi. Kewenangan ini juga tidak jauh beda
dengan kewenangan Pemerintah. Jika Pemerintah Daerah hanya terbatas pada
wilayahnya masingmasing dan tidak adanya kewenangan melakukan kerjasama
kepada pihak luar negeri terkait dengan pencegahan pornografi.
Peran masyarakat juga diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Pornografi.
Masyarakat mempunyai peran serta dalam melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Peran serta masyarakat itu
dapat dilakukan dengan cara melaporkan pelanggaran pornografi. Apabila masyarakat
mengetahui terhadap pelanggaran pornogarfi, dapat melaporkan langsung kepada
pihak kepolisian. Pornografi bukan delik aduan tetapi delik biasa, dimana setiap orang
yang melihat, mendengar atau mengetahui pelanggaran pornografi maka dapat
melaporkan langsung kepada polisi. Peran masyarakat juga dapat melakukan gugatan
perwakilan ke pengadilan terkait dengan pornografi dan juga masyarakat dapat
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi dan
melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
Peran serta masyarakat disini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, agar masyarakat tidak main hakim sendiri, tindakan kekerasan,
razia atau tindakan melawan hukum lainnya.
Beberapa peraturan perundangundangan selain Undang-undang Pornografi yang
berkaitan dengan pornografi, seperti Undang-undang ITE yang mengatur dibidang
informasi elektronik terkait dengan pornografi dan juga undang-undang lainnya dapat
dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana pornografi yang ada di Indonesia. Beberapa perbuatan yang diatur dalam
Undang-undang Pornografi dapat membuat jaringan hukum yang semakin rapat
sehingga para pelaku tidak ada yang lolos dari jeratan hukum dengan alasan tidak
masuk dalam salah satu dari perbuatan yang dirumuskan. Untuk itu dengan adanya
Undang-undang Pornografi peran Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
juga diharapkan dapat lebih mudah dalam mencegah pornografi di Indonesia.
2. Faktor Penghambat
Beberapa perundang-undangan yang telah disebutkan di atas bisa dikatakan
sebagai peraturan terhadap masalah kesusilaan dan peraturan ini sudah cukup lengkap
dalam memberantas pornografi karena sudah mencerminkan nilai-nilai yang
mendasari hukum adat termasuk hukum agama yang berlaku. Kenyataanya penegak
hukum dalam menegakkan hukum dikatakan masih belum maksimal, karena masih
banyak tayangan televisi maupun internet yang berbau pornografi. Paling tidak
terdapat kendala yang terkait dengan penegakan hukum tersebut. Dilihat dari
permasalahan tersebut, permasalahan sebenarnya bukan pada faktor pengaturannya,
akan tetapi pada penerapan hukumnya terkait dengan faktor-faktor lain.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa “masalah pokok penegakan hukum


sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut seperti
penegak hukum, masyarakat, dan pendidikan”.9

PENUTUP
A. Kesimpulan

9
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. hlm. 8.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan dalam pembahasan diatas dalam kaitannya
dengan pokok permasalahan yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pornografi di Indonesia kurang begitu
efektif, perlu adanya langkah yang tegas yang dilakukan oleh penegak hukum
dibantu oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dengan langkah memblokir
situs-situs porno yang masuk di Indonesia melalui internet, melakukan razia dan
menutup tempat-tempat yang tidak mempunyai izin usaha seperti warnet yang
menyediakan layanan pornografi
2. Selain penegak hukum, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan peran masyarakat dapat
melakukan pencegahan terhadap pornografi, melakukan sosialisasi dan pembinaan
terhadap masyarakat lainnya tentang dampak dari pornografi. Pada proses penegakan
hukum terdapat kendalakendala seperti masyarakat yang berpandangan terhadap
hukum adat yang kuat dan kurangnya personil aparat penegak hukum khususnya dari
tenaga ahli di bidang teknologi sehingga kurangnya kerjasama antara penegak hukum
dengan para pakar Information Technology (IT), sarana dan prasarana yang dimiliki
penegak hukum kurang memadai untuk menindak lanjuti kasus pornografi.

Kesimpulan akhirnya bergantung pada sudut pandang individu dan dampak konkret yang
dihasilkan oleh implementasi UU ini di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2009, Tindak Pidana Pornografi, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya.
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djubaedah, Neng. “Tinjauan Atas Undang-Undang Republik Indnesia Nomor 44 tahun 2009
Tentang Pornografi “, Disampaikan dalam Rapat Terbatas: Penanganan Pornografi
Dewan Pertimbangan Presiden Rabu, 30 Juni 2010/17 Rajab 1431 H.
Republika , 20 September 2008
Rini, Bagaimana Upaya Untuk Menciptakan,
http://www.jombangkab.go.id/egov/bagaimana.htm, di akses pada hari Sabtu, 07 Juli
2008.
Soerjono Soekanto, 2007, yang Mempengaruhi Penegakan Faktor-Faktor Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Anda mungkin juga menyukai