Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, porneia (porneia) yang
berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality) atau
yang popular disebut sebagai zinah; dan kata grafe yang berarti kitab atau tulisan.
Kata kerja porneuw (porneo) berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral
(berzinah = commit sexual immorality) dan kata benda pornh (porne) berarti
perzinahan atau juga prostitusi. Rupanya dalam dunia Yunani kuno, kaum laki-
laki yang melakukan perzinahan, maka muncul istilah pornoz yang artinya laki-
laki yang melakukan praktik seksual yang tak bermoral. Tidak ada bentuk kata
feminin untuk porno. Kata grafh (grafe) pada mulanya diartikan sebagai kitab
suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau tulisan. Ketika kata itu dirangkai
dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang dimaksudkannya adalah
tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak bermoral, baik secara
tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak muda yang mengucapkan
kata-kata berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang
memakai kata-kata yang bersangkut dengan seksualitas dan memakai gambar-
gambar yang memunculkan alat kelamin atau hubungan kelamin adalah
pornografi.
Tulisan ini hanya akan menoroti masalah pornografi, yang akhir-akhir ini
cukup ramai diperbincangkan dalam masyarakat, terutama saat-saat seperti
sekarang ketika sebagian besar masyarakat kita sedang melaksanakan ibadah
puasa.
Dari segi etika atau moral, pornografi akan merusak tatanan norma-
norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan masyarakat
pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia seperti
nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai tersebut sangat
dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan yang sehat dalam
masyarakat. Masyarakat yang sakit dalam nilai-nilai dan norma-norma, akan
mengalami kemerosotan kultural dan akhirnya akan runtuh dan khaos.
Selain itu, secara rohani dan teologis dapat dikatakan bahwa pornografi
akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik
yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat
Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat
dan terhormat.
Dampak
Studi Utomo perlu dipaparkan kembali agar pihak yang pro dan kontra terhadap
Undang-Undang Pornografi mendapat gambaran sikap atas seksualitas pada
budaya masyarakat Indonesia secara proporsional melalui pendekatan sejarah dan
budaya.
Pornografi-pornoaksi dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi,
norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat
spesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi
biologis-prokreasi).
Awal konservatisme
Perbedaan sikap
Selain karya literatur dan aktivitas seksual, keterbukaan sikap terhadap seksualitas
juga terlihat dari kesenian tradisional masyarakat yang masih bisa disaksikan saat
ini. Tayub, ronggeng, dombret, dan jaipong, di mana gerakan-gerakan erotis yang
mengeksploitasi pinggul, dada, dan pantat jelas terlihat.
Benturan nilai
Benturan dengan nilai dan norma ”baru” yang datang kemudian, yaitu pandangan
Islam dan agama-agama lain, serta sistem pendidikan Belanda baru terjadi
”kemarin sore”. Ini akan memunculkan dua kubu yang berhadapan, seperti terjadi
saat ini. Resistensi pasti terjadi di satu sisi, sementara keinginan untuk
”menyucikan” budaya juga terjadi di sisi lain.