Anda di halaman 1dari 5

PORNOGRAFI

Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, porneia (porneia) yang
berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality) atau
yang popular disebut sebagai zinah; dan kata grafe yang berarti kitab atau tulisan.
Kata kerja porneuw (porneo) berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral
(berzinah = commit sexual immorality) dan kata benda pornh (porne) berarti
perzinahan atau juga prostitusi. Rupanya dalam dunia Yunani kuno, kaum laki-
laki yang melakukan perzinahan, maka muncul istilah pornoz yang artinya laki-
laki yang melakukan praktik seksual yang tak bermoral. Tidak ada bentuk kata
feminin untuk porno. Kata grafh (grafe) pada mulanya diartikan sebagai kitab
suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau tulisan. Ketika kata itu dirangkai
dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang dimaksudkannya adalah
tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak bermoral, baik secara
tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak muda yang mengucapkan
kata-kata berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang
memakai kata-kata yang bersangkut dengan seksualitas dan memakai gambar-
gambar yang memunculkan alat kelamin atau hubungan kelamin adalah
pornografi.

Pornografi umumnya dikaitkan dengan tulisan dan penggambaran, karena


cara seperti itulah yang paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah
seksualitas. Akhir-akhir ini dalam masyarakat kita ada istilah baru yaitu porno
aksi. Yang dimaksudkan kiranya adalah penampilan seseorang yang sedikit
banyak menonjolkan hal-hal seksual, misalnya gerakan-gerakan yang merangsang
atau cara berpakaian minim yang menyingkap sedikit atau banyak bagian-bagian
yang terkait dengan alat kelamin, misalnya bagian dari paha. Tetapi tidak semua
penonjolan atau penyingkapan itu dapat disebut sebagai porno aksi, sebab di
kolam renang misalnya, memang "halal" bagi siapapun untuk berpakaian mini,
bahkan memang dengan hanya berbusana bikini (pakaian renang yang hanya
menutup alat kelamin). Jadi soal porno aksi itu sangat relatif, tergantung motivasi
manusianya.

Tulisan ini hanya akan menoroti masalah pornografi, yang akhir-akhir ini
cukup ramai diperbincangkan dalam masyarakat, terutama saat-saat seperti
sekarang ketika sebagian besar masyarakat kita sedang melaksanakan ibadah
puasa.

Pornografi diartikan sebagai:

1. tulisan, gambar/rekaman tentang seksualitas yang tidak bermoral,


2. bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara eksplisit terang-
terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual,
3. tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi
orang yang melihat atau membaca,
4. tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan
5. penggambaran hal-hal cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang
bertujuan mengeksploitasi seksualitas.
Kriteria

Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno dapat dijelaskan sebagai


berikut:

1. sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain,


2. bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak,
3. tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan),
4. tidak pantas menurut tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan
5. bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi,
dan kelompok.

Dari pengertian dan kriteria di atas, dapatlah disebutkan jenis-jenis


pornografi yang menonjol akhir-akhir ini yaitu:

1. tulisan berupa majalah, buku, koran dan bentuk tulisan lain-liannya,


2. produk elektronik misalnya kaset video, VCD, DVD, laser disc,
3. gambar-gambar bergerak (misalnya "hard-r"),
4. program TV dan TV cable,
5. cyber-porno melalui internet,
6. audio-porno misalnya berporno melalui telepon yang juga sedang marak
diiklankan di koran-koran maupun tabloid akhir-akhir ini. Ternyata bahwa
semua jenis ini sangat kental terkait dengan bisnis. Maka dapat dikatakan
bahwa pornografi akhir-akhir ini lebih cocok disebut sebagai porno-bisnis
atau dagang porno dan bukan sekadar sebagai pornografi.

Karena pornografi terkait dengan bisnis, maka dampaknya bagi


masyarakat sangat luas, baik psikologis, sosial, etis maupun teologis. Secara
psikologis, pornografi membawa beberapa dampak. Antara lain, timbulnya sikap
dan perilaku antisosial. Selain itu kaum pria menjadi lebih agresif terhadap kaum
perempuan. Yang lebih parah lagi bahwa manusia pada umumnya menjadi kurang
responsif terhadap penderitaan, kekerasan dan tindakan-tindakan perkosaan.
Akhirnya, pornografi akan menimbulkan kecenderungan yang lebih tinggi pada
penggunaan kekerasan sebagai bagian dari seks. Dampak psikologis ini bisa
menghinggapi semua orang, dan dapat pula berjangkit menjadi penyakit
psikologis yang parah dan menjadi ancaman yang membawa bencana bagi
kemanusiaan.

Dilihat dampak sosialnya, dapat disebutkan beberapa contoh, misalnya


meningkatnya tindak kriminal di bidang seksual, baik kuantitas maupun jenisnya.
Misalnya sekarang kekerasan sodomi mulai menonjol dalam masyarakat, atau
semakin meningkatnya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Contoh lain ialah
eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi yang semakin marak dan
cenderung dianggap sebagai bisnis yang paling menguntungkan. Selain itu,
pornografi akan mengakibatkan semakin maraknya patologi sosial seperti
misalnya penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Dapat ditambahkan bahwa secara
umum pornografi akan merusak masa depan generasi muda sehingga mereka tidak
lagi menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga.

Dari segi etika atau moral, pornografi akan merusak tatanan norma-
norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan masyarakat
pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia seperti
nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai tersebut sangat
dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan yang sehat dalam
masyarakat. Masyarakat yang sakit dalam nilai-nilai dan norma-norma, akan
mengalami kemerosotan kultural dan akhirnya akan runtuh dan khaos.

Selain itu, secara rohani dan teologis dapat dikatakan bahwa pornografi
akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik
yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat
Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat
dan terhormat.

Dampak

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pornografi


membawa dampak sangat buruk bagi kehidupan manusia. Maka tidak bisa lain,
harus ada usaha bersama seluruh masyarakat melawan pornografi supaya tidak
semakin jauh menjerumuskan kita kepada pengingkaran akan hakikat kita sebagai
manusia yang dikaruniai segala sesuatu oleh sang Pencipta, termasuk seksualitas
untuk tugas dan tujuan mulia, yaitu menciptakan generasi manusia secara
berkelanjutan dengan keadaan sehat jasmani dan rohani, jiwa dan raga.

Pornografi pastilah merusak kehidupan umat manusia pada umumnya, kini


dan di masa yang akan datang. Maka sangat diperlukan adanya usaha bersama
melawan pornografi secara efisien.

Yang pertama-tama, adalah pendidikan seks dalam keluarga dan institusi


agama. Bagaimanapun pornografi tidak akan mungkin lagi terbendung. Maka
pertahanan yang seharusnya diperkuat, yaitu pendidikan terhadap generasi muda
dan orang dewasa supaya pengaruh kuat pornografi tidak menjerumuskan.

Kedua, rasanya pemerintah memang harus menertibkan media dan pelaku


pornografi melalui konstitusi dan kesadaran produsen. Kiranya media perlu
mawas diri supaya tidak mendukung arus pornografi. Usaha lain yang penting
adalah pemblokiran cyber-porno melalui kebijakan konstitusi negara, atau usaha
pribadi, khususnya keluarga. Cyber-porno merupakan tekanan pornografi yang
paling kuat dan paling mudah bagi mereka yang punya saluran internet. Tetapi
yang paling penting adalah pengendalian diri konsumen terhadap informasi yang
terkait dengan pornografi. Tanpa pengendalian diri ini, upaya konstitusi apapun
rasanya taka akan bermanfaat.

Akhirnya dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menyiasati


pornografi. Mungkin kita tidak harus menjadi munafik dengan kondisi masyarakat
modern yang memang sangat terbuka. Saya kira kita tidak bisa menutup-nutupi
kenyataan kuatnya pengaruh pornografi dalam masyarakat kita. Pastilah bukan
usaha-usah penghancuran yang menjadi jalan terbaik menyiasati pengaruh
pornografi. Yang terutama adalah kesadaran bahwa membiarkan pornografi
merusak fisik, jiwa dan rohani kehidupan kita karena mengeksploitasi seksualitas
yang seharusnya kita hargai dan muliakan sebagai anugerah yang sangat penting
dari sang Pencipta.
Pornografi dalam Budaya Indonesia

Studi Utomo perlu dipaparkan kembali agar pihak yang pro dan kontra terhadap
Undang-Undang Pornografi mendapat gambaran sikap atas seksualitas pada
budaya masyarakat Indonesia secara proporsional melalui pendekatan sejarah dan
budaya.

Pornografi-pornoaksi dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi,
norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat
spesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi
biologis-prokreasi).

Sikap masyarakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar


sosiokultural yang berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini bisa dilihat
jejaknya dari Kakawin Arjunawiwaha (Mpu Tantular) dan Serat Centhini (Paku
Buwono V). Kedua karya besar itu eksplisit menunjukkan secara terbuka karena
aktivitas seksual dipandang sebagai hal alami.

Awal konservatisme

Menurut Supomo, pandangan konservatif terhadap seksualitas dibentuk oleh


pengaruh ajaran Islam saat itu dan sistem pendidikan Belanda yang diliputi
semangat viktorian. Ini terbukti dengan munculnya literatur yang semakin
konservatif sepanjang abad ke-19 karena para penulisnya mengikuti sistem
pendidikan Belanda.

Akibatnya, masyarakat kelas menengah atas cenderung bersikap lebih konservatif


daripada masyarakat pedesaan yang tidak mengenyam sekolah. Pendapat ini
selaras dengan pendapat Hull yang menyatakan moralitas ”tradisional” yang
menyalahkan hubungan seksual pranikah lebih dipengaruhi moralitas impor dari
kolonialisme Belanda ketimbang pola sosial tradisional Melayu- Polinesia.
Pendapat ini diperjelas Reid yang menunjukkan, sebelum abad ke-16, pandangan
seksualitas orang Indonesia-Asia Tenggara lebih kendur atau bebas ketimbang
bangsa Barat.

Perbedaan sikap

Sikap kontra sehubungan dengan diundangkannya UU Pornografi yang terjadi di


Provinsi Bali dan Sulawesi Utara dapat dipahami melalui sudut pandang sejarah.
Penelitian Schurhammer membuktikan, di Sulawesi Utara pada masa pra-Islam,
perzinahan dengan perempuan yang belum menikah diperbolehkan, tetapi jika
perzinahan dilakukan dengan perempuan yang telah terikat perkawinan, dikenai
hukuman mati.

Sementara itu, di Bali, Hirschfeld menemukan, hampir semuanya, tanpa kecuali,


perempuan dewasa dan remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan
perempuan kecil telanjang bulat. Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan
dada. Dr Kruse, dokter berwarga negara Jerman yang lama berpraktik di Bali,
menuliskan dalam bukunya, hanya pelacur yang menutup dada mereka untuk
membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki meski pendapat ini perlu
diuji kebenarannya lebih lanjut.
Budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam posisi dipelihara oleh
perempuan. Suami tinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan untuk
kepentingan hubungan seks. Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi
individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke
Indochina mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai


450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah
penari dan pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.

Selain karya literatur dan aktivitas seksual, keterbukaan sikap terhadap seksualitas
juga terlihat dari kesenian tradisional masyarakat yang masih bisa disaksikan saat
ini. Tayub, ronggeng, dombret, dan jaipong, di mana gerakan-gerakan erotis yang
mengeksploitasi pinggul, dada, dan pantat jelas terlihat.

Benturan nilai

Perbedaan sikap terhadap seksualitas di berbagai budaya di Indonesia tidak bisa


disatukan menjadi kesamaan sikap. Sikap budaya yang terbuka terhadap
seksualitas sebagai hal alamiah sudah lama dipraktikkan dan mustahil dihapus
jejaknya.

Benturan dengan nilai dan norma ”baru” yang datang kemudian, yaitu pandangan
Islam dan agama-agama lain, serta sistem pendidikan Belanda baru terjadi
”kemarin sore”. Ini akan memunculkan dua kubu yang berhadapan, seperti terjadi
saat ini. Resistensi pasti terjadi di satu sisi, sementara keinginan untuk
”menyucikan” budaya juga terjadi di sisi lain.

Dua domain akan sibuk mendefinisikan pengertian pornografi-pornoaksi yang


pada dasarnya tidak akan mudah (untuk tidak mengatakan tidak pernah bisa)
karena landasan pijak yang berbeda. Ada atau tidak ada UU Pornografi, sexual
misconduct dalam bentuk apa pun akan tetap dan akan terus terjadi atau bahkan
tidak pernah terjadi, tergantung dari individu yang memberi nilai, norma, dan
pengertian yang dimiliki. Serahkan manajemen tubuh berikut persepsinya pada
kesadaran diri individu masing- masing, bukan tekanan, keharusan, dan hukuman
dari luar.

Anda mungkin juga menyukai