Anastasia Celine / 12 B
Salah satu ranah yang cukup personal, sekaligus cukup berpengaruh dalam
kehidupan bermasyarakat adalah ranah seksual. Berbagai macam pembahasan dan
diskursus moral soal isu-isu seksual benar-benar diperlukan dalam pembahasan soal
seks dan seksualitas.
Salah satu masalah seksual yang patut mendapatkan perhatian adalah percabulan
visual yang disokong oleh multi-billion dollars industry : pornografi. Pornografi
merupakan masalah besar yang ada di masyarakat, terutama di kalangan orang
Kristen. Dekadensi moral ini selalu eksis dalam masyarakat tanpa tergerus zaman,
pertama, karena kesediaannya yang tidak pernah habis, dan kedua, karena
permintaannya yang tidak pernah surut.
Secara etimologis, pornografi berasal dari kata bahasa Yunani “porni” (prostitute)
dan “graphein” (to write) yang setelah melalui beberapa difusi dan adaptasi
menghasilkan kata pornografi yang kita pakai sekarang ini. Oxford English
Dictionary mendefinisikan pornografi sebagai “magazines, DVDs, websites, etc, that
describe or show naked people and sexual acts in order to make people sexually
excited, especially in a way that many people find offensive.” Harus dipahami
bahwa ketelanjangan itu sendiri (dan depiksi hubungan seksual), sebagai satu
elemen yang berdiri sendiri bukanlah elemen utama dari pornografi. Untuk
membatasi diskusi ini dalam kerangka yang jelas, beberapa elemen pornografi yang
saya tegaskan di sini adalah elemen yang menggolongkan pornografi sebagai sebuah
masalah moral dan seksual. Pertama, intensi di baliknya. Ada intensi yang jelas
untuk menimbulkan sexual arousal dan excitement pada konsumennya. Kedua,
sifatnya eksploitatif. Ada keuntungan yang ingin diperoleh dari menonton
persetubuhan orang lain.
Selain itu, pornografi juga menghambat pengiriman sinyal dari satu bagian otak ke
bagian lainnya, yang akhirnya menyebabkan belahan otak kiri tertutup karena
minimnya pengiriman sinyal. Otak kiri yang menutup mengganggu proses berpikir
logis, dan menyerahkan semua proses kognitif kepada otak kanan yang seharusnya
hanya bertanggung jawab atas refleks emosional seperti nafsu, malu, takut, dan lain-
lain. Keadaan ini mengganggu keseluruhan proses kognitif dan kesehatan manusia.
Selain itu, dampak ekonominya tidak bisa diremehkan. Ribuan hingga jutaan dolar
dihabiskan oleh individu dan kelompok dalam upaya mengkonsumsi pornografi.
Konsumsi eksesif ini dapat menjadi masalah, sekaligus katalis untuk masalah-
masalah ekonomi lain dalam masyarakat.
Meskipun pornografi tidak diatur secara langsung dalam Alkitab, ada sejumlah ayat
yang mengatur soal hawa nafsu dan permasalahan-permasalahan seksual. Konsep
pornografi itu sendiri berhubungan dengan kedagingan, yaitu hasrat kuat dan
keterikatan manusia kepada hal-hal duniawi. Kitab Suci mengakui bahwa orang
Kristen tidak bebas dari dosa, dan selama kita ada di dunia ini, pergumulan antara
daging dan roh akan terus-menerus terjadi. Sebagai orang Kristen, roh kita harus
lebih kuat daripada daging. Dalam 1 Yohanes 1 : 8 dikatakan :
“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri,
dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yoh 1 : 8, Terjemahan Baru)
Konsekuensi dari kejatuhan manusia dalam dosa adalah kondisi manusia yang selalu
tertarik pada kedagingan dan hal-hal duniawi. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha
sadar untuk memilih jalan roh dan menolak kedagingan dan apa yang dunia
tawarkan. Paulus mengatakan :
“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat,
melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.
Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang
memperbuatnya, tetapi dosa” (Roma 7 : 19-20, Terjemahan Baru)
Dibutuhkan kehendak untuk kembali pada Allah dan kebenaran dan tekad untuk
terus bertekun pada jalan-Nya untuk melawan hasrat daging.
Hawa nafsu dari konsumsi porno memulai perzinaan dalam hati, dan konsumsi
pornografi memuaskan hasrat duniawi tersebut. Jadi, pornografi melipat-gandakan
dosa percabulan, karena pornografi merupakan aksi sadar yang dilakukan untuk
memanifestasikan perzinaan dalam hati menjadi aksi konkret. Kedua bentuk
percabulan ini, di dalam pikiran dan perbuatan, harus kita lawan secara aktif.
Selain itu, pornografi sebagai bentuk seks yang berdosa dan tidak menghormati
hubungan perkawinan yang sakral juga dijelaskan dalam ayat berikut ini :
Allah menghargai perkawinan, dan hubungan seksual sehat dan wajar di dalamnya.
Ayat ini mengatakan bahwa aktivitas seksual harus murni dan dilaksanakan di dalam
hubungan perkawinan yang sah, sehingga tidak terjadi perzinaan.
Percabulan, dalam bentuk apapun, baik pikiran dan perbuatan, harus dihindari
Alkitab memperingatkan kita untuk tidak merawat tubuh kita untuk memuaskan
keinginan hawa nafsu (Roma 13 : 14). Sebagai orang percaya, kita harus senantiasa
berjaga-jaga, karena lawan iman kita (iblis) ada di mana-mana , menyebarkan
godaan dan mencari orang yang dapat ditarik ke dalam dosa. (1 Petrus 5 : 8-9).
Seorang Kristen yang taat harus bisa berpikir jernih, mengendalikan diri, dan
menetapkan prioritas-prioritas moral mereka agar tidak mudah menuruti keinginan
daging. Dalam prioritas-prioritas itulah, kita harus mengikutsertakan tanggung
jawab pribadi kita dalam menolak pornografi, serta jika bisa, mendukung
penghapusan kultur pornografi dalam masyarakat.
Pornografi harus bisa diatasi dalam dua level : personal dan masyarakat. Dalam level
personal, setiap orang harus sadar bahwa hukum demand-supply berlaku dalam
industri pornografi. Ketersediaan pornografi dan permintaan akan produk tersebut
tidak bisa dipisahkan dan keduanya harus diatasi. Mengendalikan produksi dan
distribusi pornografi akan menolong mencabut akar-akar dari industri pornografi.
Dalam level masyarakat, tidak ada cara lain selain menghancurkan pornografi secara
tuntas melalui hukum. Untuk mencapai ini, harus diterapkan paradigma bahwa
pornografi adalah bentuk penyimpangan seksual yang tidak sepantasnya
dinormalisasikan dari segi apapun. Jika norma dan moral suatu masyarakat sudah
meyakini bahwa pornografi adalah penyimpangan, dan menentang normalisasinya,
maka hukum yang dengan keras dan tegas menentang pornografi bisa diberlakukan.
Dalam membangun norma yang mendukung hukum ini, tentunya pendidikan
seksual dan moral yang baik dan benar harus diikutsertakan, untuk membangun
masyarakat yang lebih berdaya, moral, dan taat hukum.
Sebagai orang Kristen, mengenal bahwa pornografi adalah dosa adalah langkah awal
dalam tanggung jawab pribadi kita untuk tidak mengkonsumsi pornografi. Jika kita
sudah mengakui hal tersebut, maka selanjutnya kita harus menjauhi sumber
percobaan. Gunakan internet dan resource digital lainnya dengan bertanggung
jawab dan filter konten yang dikonsumsi. Menjauhkan diri dari percobaan, dapat
dilakukan dengan terus berdoa dan meminta bantuan Allah dalam menerapkan self-
control yang baik.
Referensi
The Hidden Economics of Porn - The Atlantic