Anda di halaman 1dari 7

Solusi Islam terhadap Pornografi dan Pornoaksi

Oleh : Farid Ma'ruf

Soal :
Saat ini sedang panas-panasnya pro dan kontra tentang Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi. Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam terhadap masalah pornografi
dan pornoaksi ini ?

Jawab :
Sebelum membahas pornografi dan pornografi, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisinya. Ibnu Sina
pernah berkomentar : "Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai kepada konsep." Karena itu, definisi, menurut
filsuf Iran itu, sama pentingnya dengan silogisme (logika berpikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau
pernyataan) yang kita buat. Definisi yang jelas akan membantu kita untuk menentukan keputusan dan penilaian
sehingga tidak ragu dan bingung.
Ketidakjelasan definisi akan membuat bingung dan pro-kontra seperti kondisi sekarang. Setiap orang/kalangan
menentukan definisinya sesuai persepsi masing-masing. Walhasil pendapatnya beragam. Ada yang berpendapat kalau
berpose telanjang baru bisa dikatakan pornografi, ada juga yang berpendapat kalau masih mengenakan busana, walau
minim belum bisa dikatakan pornografi. Tolok ukurya pun bermacam, ada yang dari norma agama ada juga yang adat.
Jika tolok ukurnya adalah adat ketimuran, maka belum dianggap porno misalnya kalau di Jawa memakai kemben atau
di Papua dengan kotekanya.

Definisi :
Pornografi berasal dari dua kata yaitu porno dan grafi. Porno berarti telanjang sedangkan grafi bermakna gambar.
Jadi pornografi adalah gambar telanjang. Pornoaksi bermakna mempertontonkan ketelanjangan di muka umum. Istilah
pornoaksi penulis ketahui hanya ada di Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-
mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Microsoft Encarta Dictionary Tools menyatakan bahwa pornografi adalah sexually explicit material : films,
magazines, writings, photographs, or other materials that are sexually explicit and intended to cause sexual arousal.
Dalam yourdictionary.com disebutkan bahwa pornografi adalah: the depiction of acts in a sensational manner so
as to arouse a quick intense emotional reaction (penggambaran sebuah perbuatan dalam perilaku yang sensasional
untuk merangsang secara cepat reaksi emosi yang hebat).
Dalam RUU APP disebutkan, pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk
menyampaikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika (Bab I, pasal 1,
Ayat [1]). Sedangkan pornoaksi adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mempertontonkan atau
mempertunjukkan eksploitasi seksualitas, kecabulan dan/atau erotika (Bab I, Pasal 1, Ayat [2]).
Dari beragam definisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pornografi adalah gambar manusia telanjang
yang bisa membangkitkan nafsu seks orang yang melihat gambar tersebut. Namun penulis sendiri lebih sepakat untuk
mengembalikan makna pornografi ke mbali kepada makna bahasa, yaitu telanjang (tidak mempedulikan apakah gambar
tersebut dapat membuat orang yang melihatnya terangsang nafsu seksnya atau tidak).
Permasalahan timbul ketika makna telanjang tidak sama antara daerah satu dengan daerah yang lain. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat seorang wanita memakai pakaian bikini di pantai tidak disebut telanjang (nude), tetapi di
Arab Saudi hal itu bisa disebut telanjang. Begitu pula fakta di Indonesia. Di Keraton Yogyakarta atau Surakarta, wanita
memakai kemben adalah hal yang biasa, tidak dianggap porno. Tetapi hal yang sama tidak berlaku di Aceh yang
memiliki budaya Islam lebih kental.

Fakta Pornografi
Masalah pornografi dan pornoaksi telah lama menimbulkan banyak reaksi keras masyarakat baik pro maupun
kontra di Indones ia. Desakan penolakan pornografi semakin gencar sejak munculnya Video Klip Nafa Urbach, VCD
Bandung Lautan Asmara, Casting Sabun, goyang ngebor Inul, film layar lebar Buruan Cium Gue (BCG), VCD Lombok
atau sering disebut Lombok Membara, ke ikutsertaan Artika Sari Devi, Putri Indonesia 2004, dalam ajang Miss Universe
2005 di Thailand, dan penerbitan majalah Playboy versi Indonesia.
Majalah Playboy cukup menarik perhatian karena seakan ia menjadi ‘martir’ dalam urusan majalah porno
(walaupun faktanya ia bukanlah majalah porno pertama di Indonesia, sebelumnya sudah ada majalah-majalah porno di
negeri ini yang berlisensi asing; FHM, EVE, dan ME). Majalah porno asal Amerika ini memang tidak tanggung-
tanggung dalam urusan pornografi. Tercatat banyak selebritis dunia yang berpose tanpa sehelai benang pun di majalah
Playboy. Misalnya Marilyn Monroe (Desember 1953), Zsa Zsa Gabor (Maret 1957), Sophia Loren (November 1957),
atau Brigitte Bardot (Maret 1958). Di tahun 60-an ada Elizabeth Taylor (Januari 1963), Ursula Andress (Juli 1965),
Jane Fonda (Agustus 1966), dan Joan Collins (Maret 1969).
Pada tahun 1970-an ada Linda Evans (Juli 1971), Jane Seymour (Juli 1973), Melanie Griffith (Oktober 1976),
Raquel Welch (Februari 1977), dan Farrah Fawcett (Desember 1978). Tahun 1980-an diramaikan Bo Derek (Maret
1980), Kim Basinger (Februari 1983), dan Morgan Fairchild (Agustus 1986). Sherilyn Fenn (Desember 1990).
Tidak ketinggalan model Indonesia juga ada yang sudah tampil di sampul Playboy edisi Spanyol dan Thailand
pada Agustus 2005. Namanya, Tiara Lestari, kelahiran Solo. Bukan hanya di Playboy, Lestari juga tampil 'los-polos'
tanpa busana di majalah porno Penthouse edisi Belanda pada September 2005 dengan 13 foto telanjangnya
(hidayatullah.com, 14/1/2006).

1
Kompas Cyber Media (2002) melaporkan bahwa jumlah domain internet yang kadaluwarsa tiap bulannya
bertambah dari 750.000 per-bulan menjadi 2.250.000 perbulannya. Situs-situs ini dikumpulkan oleh traffic aggregator
(tukang tadahnya internet) lalu dibeli dan diarahkan agar menuju ke web situs porno yang isinya free censored?
Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Anti-Pornografi dan Pornoaksi, Dra Hj Juniwati T Masjchun Syofwan
mengungkapkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pornografi di Indonesia merupakan urutan kedua di dunia
setelah Swedia (Hidayatullah.com, 01 Juli 2003).
Fakta-fakta yang sudah kami sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja dari permasalahan pornografi di
dunia dan khususnya di Indonesia. Akibat pornografi tersebut sudah jelas yaitu rusaknya moral generasi. Sudah banyak
media yang melansir berita pemerkosaan yang terjadi setelah pelakunya menonton VCD porno.

RUU APP
Masalah pornografi di Indonesia akhirnya dicoba untuk diatasi dengan membuat aturan mengenainya, yaitu
dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). RUU ini sudah diperjuangkan sejak tahun 2003, tetapi sampai
sekarang RUU ini belum disahkan sebagai UU. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005, RUU APP masuk
dalam prioritas ke-21 dari 55 RUU yang akan dibahas DPR (www.pikiranrakyat.com, Mei 2005). Walhasil, sampai
bulan Maret tahun 2006 ini pun RUU APP tetap belum dis ahkan.
Akibat pro-kontra yang “keras” di masyarakat akhirnya membuat DPR membuat solusi kompromi. Pansus DPR
setuju untuk mencoret 'ciuman di depan umum' dari draft RUU Pornografi-Pornoaksi. Bukan hanya itu, mereka sepakat
untuk mencoret kata ANTI dari kata 'antipornografi'. Hal ini mengisyaratkan bahwa kandungan UU kalaupun nantinya
disahkan tidak 'antipornografi'.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa demokrasi dan HAM memang sebuah konsep yang kabur dan tidak jelas
serta diterapkan tidak konsisten. Bagaimana tidak, Dalam sistem demokrasi seperti yang dielu-elukan oleh pemujanya
benar-benar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, dalam kasus ini pornografi, berdasarkan pendapat manusia.
Firman Allah SWT dilecehkan atas nama seni.
Dari 167 ormas yang datang ke DPR, menurut pansus DPR hanya 10% yang menolok RUU Antipornografi-
Pornoaksi. Kalau mengikuti logika demokrasi 'suara terbanyak', mestinya tidak perlu lagi ragu untuk menetapkan UU
Antipornografi-Pornoaksi. Tapi, kenyataan berbicara lain. Artinya, slogan demokrasi 'suara terbanyak' hanyalah benar-
benar slogan. Konsep 'suara terbanyak' digunakan sesuai dengan kepentingan. Kalau kepentingan itu dipandang
menguntungkan umat Islam yang ingin menjaga masyarakatnya dari kehancuran moral, diabaikanlah prinsip tersebut.
Tapi, bila untuk kepentingan para pemilik modal atau dapat merusak generasi Muslim, maka dalih 'suara terbanyak' pun
diusung habis -habisan.
Kalau terhadap 'terorisme' yang di lapangan lebih diperuntukkan bagi umat Islam yang ingin mengubah
kezhaliman melalui penerapan Islam mereka serentak menggunakan 'antiterorisme'. Namun, dalam rangka
menghentikan invasi budaya porno terhadap tubuh generasi mayoritas Islam, atas nama demokrasi dan hak asasi
manusia alergi pun muncul. Sekalipun hanya sekedar terhadap satu kata 'anti' dalam 'antipornografi'

Solusi Islam
Seluruh aktivitas dalam Islam ada aturannya termasuk dalam pembahasan pornografi dan pornoaksi. Islam
menetapkan aturan tersendiri antara hukum menonton langsung dan menonton gambar/tayangan (tidak langsung)
perihal yang di dalamnya terdapat unsur pornoaksi dan pornografi. Begitu pula Islam menetapkan aturan tersendiri
antara mempertontonkan kecantikan di ruang privat (hayatul khas) dan di ruang publik (hayatul ‘âmm).
Secara fikih, melihat secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali
untuk tujuan yang dibolehkan oleh syara’, misalnya memberi pertolongan medis. Sementara itu, sebuah benda dengan
muatan pornografi dihukumi sesuai hukum asal benda. Namun demikian, ketika benda (baca: sarana/wasilah) itu
dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman maka ia menjadi haram. Sebab, kaidah ushul fiqh yang
mu’tabar menyebutkan: “Sarana yang menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram”. Orang yang ikut
dalam usaha membuat dan/atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan
aktivitas yang haram. Oleh karenanya, pelaku pornografi dan pornoaksi akan dihukum oleh pemerintah Islam

Aurat Laki-laki dan Wanita


Islam memberikan aturan mengenai batasan aurat, cara berpakaian, dan aturan interaksi. Dari berbagai dalil yang
ada bisa kita jelaskan sebagai berikut :
A. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al -Baihaqi , lihat Fiqh Islam, Sulaiman
Rasyid].
Rasulullah Saw juga pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah
engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat
Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Oleh karena itu pakaian laki-laki harus menutupi minimal sampai batas-batas auratnya tersebut. Namun di
dalam kehidupan sosial hanya menutupi sebatas aurat boleh jadi dianggap tidak sopan, misalnya datang ke masjid hanya
pakai celana saja (telanjang dada). Walaupun hal itu secara syar’i boleh namun masyarakat menganggapnya tidak
sopan. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau berpakaian juga memperhatikan etika kesopanan yang berlaku di
masyarakat. Jangan minimalis !
B. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;

2
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita
boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non mahram. Adapun di
tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang
luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur
langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non mahram
atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk
tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model
apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain,
Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib
menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah
(kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada
keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
C. Aurat Wanita
Pemb ahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat
Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan mahramnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka
baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota
badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang
tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut.
Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh
tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs.
an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah
di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang
dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut
anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan mahramnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr
[24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua
bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun
dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih
turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan
tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah
pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.
Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan
perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk
menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah
kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap
sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain,
sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap
auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga
tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’
binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan
wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…”
[HR. Abu Dawud, no. 3580].

3
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka,
sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang
memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku
takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar
isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu
dengan sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan
warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup
aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar,
jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan
yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan
jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot
panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis
pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs.
an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak
diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan
sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk
tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan
selanjutnya.

Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum


Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka
seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan
perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara -saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak -budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak -anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyik an. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr
[24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke
juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun
yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain
yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni
kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang
diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan
jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak -anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-
Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas
mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan
(tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah
saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar
pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan
kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai
jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].

4
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah
menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.

Memahami Pengertian Jilbab


Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang
dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab
(pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-
Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa
dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah).
Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-
Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai
keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja
selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu
diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti
baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk
tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan
wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk
menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki
non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana
Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab”, maka Rasulullah
menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai
jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah
hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi
sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari
atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang
diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min
jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila
asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak
potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?”
Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian
terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya
langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh
kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak ka ki) ditutup dengan
kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam
hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki
sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur
sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar
rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja
apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain
maka diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.

Memahami Pengertian Tabarruj


Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang
jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan,
dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr
(24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang
berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-
sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya
wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika
dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab
selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar,
mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum
berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24];
31).

5
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi
gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti
wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan
perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj,
sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan
perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non mahram. Dalil lain yang menerangkan bahwa
tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi
Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka
mencium aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang
dan wanita yang berjalan lenggak -lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk
surga dan tidak mendapatkan baunya.”
Kata telanjang, berlenggak -lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan
kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias,
namun bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang
mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang
mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat
Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita
yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala
berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu
menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).

Penutup
Pornografi dan pornoaksi adalah budaya yang berasal dari luar Islam. Memberantas pornografi/pornoaksi tidak
bisa sepotong-sepotong, namun harus komprehensif. Ini harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan
mengganti sistem hukum sekular dengan sistem hukum Islam. Bukankah Allah Swt. telah berfirman: Apakah hukum
Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS
al-Maidah [5]: 50).
Sudah saatnya kaum muslimin kembali pada aturan hidup Islam yaitu dengan penerapan syariah Islam secara
kaffah. Insya Allah semuanya akan beres dan kita akan hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Amin.

Farid Ma'ruf; Syariah Publications


www.syariahpublications.tripod.com
Maraji
Muhammad Al-Fakkar, 2005, Berpakaian Sesuai Syariat Islam, hayatulislam.net
Batasan Pornografi/Pornoaksi Menurut Islam, muslimuda.info
LS HTI, 2006, Kebobrokan Demokrasi Dalam Kasus Antipornografi-Pornoaksi, hizbut-tahrir.or.id
Solihin, Playboy Indonesia, Studia edisi -278
Rahma Nisa Hakim, 2005, Dilema RUU Anti Pornografi Dan Pornoaksi: Pemasungan Kebebasan Berekspresi Ataukah
Solusi?, hayatulislam.net

Hukum Tentang Ikhtilath

Soal: Bagaimana pandangan Islam terhadap ikhtilath, dan dimana saja kita bisa berikhtilath?
Misalnya boleh ndak kita berikhtilath di sekolahan, pasar/tempat-tempat umum, dan seterusnya?

Jawab: Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada
dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi
apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
Sebelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah-kaedah interaksi (ijtima’)
antara laki-laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki-laki dengan wanita dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, jika suatu aktivitas memang mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita, maka dalam hal
semacam ini seorang laki-laki dan wanita diperbolehkan melakukan interaksi, namun hanya terbatas pada kepentingan
itu saja. Sebagai contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas jual beli, mau tidak mau harus ada penjual dan
pembeli. Harus ada pula kegiatan interaktif antara penjual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa harganya,
barang apa yang hendak dibeli, boleh ditawar atau tidak, dan semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan
semacam ini, maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut
mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi. Demikian juga
dalam hal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, perburuhan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain
yang mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan semacam ini seorang laki-laki diperbolehkan berinteraksi
dengan seorang wanita.

6
Hanya saja, tatkala seorang laki-laki berinteraksi dengan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas seperti di atas,
ia harus membatasi dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut. Ia dilarang (haram)
melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki-laki
hendak membeli buku kepada seorang penjual wanita, maka ia hanya diperbolehkan berinteraksi pada hal-hal yang
berhubungan dengan aktivitas jual beli buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di luar
konteks jual beli buku. Misalnya, ia menyatakan, “Wah buku ini keren, seperti pembelinya.” Atau hal-hal yang tidak
ada sangkut pautnya dengan jual beli. Namun jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia hendak
bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan arah
jalan itu saja, tidak boleh lebih.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki diperbolehkan berinteraksi dengan wanita dalam
aktivitas-aktivitas semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan infishal
(pemisahan). Misalnya, tatkala seseorang hendak membeli barang dari seorang wanita, maka ia tetap harus
memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau malah memepet perempuan tersebut, atau misalnya
duduk berhimpitan bersama perempuan penjual itu perempuan tersebut, tatkala hendak membeli barangnya. Meskipun
dari sisi interaksi —dalam jual beli— diperbolehkan, akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai
infishal (pemisahan). Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun wanita dan laki-laki diperbolehkan
berinteraksi dalam aktivitas semacam ini –belajar mengajar—akan tetapi keterpisahan tetap harus diperhatikan —
dengan ukuran jarak. Sebab, kewajiban infishal ini berlaku umum, lebih-lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena
itu, tidak diperkenankan murid laki-laki dan wanita duduk bersama dalam sebuah bangku.
Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya, maka seorang
laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau pertamuan dalam aktivitas tersebut. Contohnya,
adalah bertamasya, berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-laki diharamkan berjalan bersama -sama
dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan interaksi selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal-hal
semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan merupakan pengecualian yang dibolehkan oleh syara’.
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya,
ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya
mengharuskan adanya interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya, bercampur baurnya laki-laki dan wanita dalam
aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, hal. 40).
Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa “Oleh karena itu,
keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita
dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan dalam
kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki
tidak boleh berinteraksi (ijtima’) di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau
diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara laki-laki
dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah ( infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid,
ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual
beli.” (ibid, hal. 40).
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi itu bisa
berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa
bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan dirinya melakukan
ikhtilath. Sebab, ada interaksi-interaksi yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid, dalam
majelis ilmu dan dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-
baur, misalnya jual beli, naik haji.
Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath, maka seorang laki-
laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk
melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur
baurnya laki-laki tatkala berada di halte bus untuk menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Namun
demikian, walaupun mereka boleh berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol,
bercengkerama, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur
baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang ada di
sampingnya, kecuali ada hajah yang syar’iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanya ikhtilath, akan lebih utama jika
seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara bisa
memberlakukan pemisahan tempat duduk laki-laki dan wanita di kendaraan umum.
Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan.
Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan lain
sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.
Demikianlah, anda telah kami jelaskan mengenai masalah ikhtilath dengan gamblang dan jelas. Wallahu a’lam bi
al-shawab. [Syamsuddin Ramadhan]

Disampaikan oleh Farid Ma'ruf


dalam acara Pengajian Pemuda Babadan, 18 Maret 2006.

Dapatkan artikel Islami lainnya di situs :


http://www.syariahpublications.co.nr
pertanyaan mengenai materi yang telah dibahas silakan dikirim ke :
syariahpublications@yahoo.co.id
pertanyaan baru silakan dikirim melalui web site :
http://www.hayatulislam.net, http://www.khilafah1924.org

Anda mungkin juga menyukai